PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 31 Januari 2011

Dinasti Ming

Dinasti Ming (Hanzi: 明朝, hanyu pinyin: ming chao) (1368 - 1644) adalah dinasti satu dari dua dinasti yang didirikan oleh pemberontakan petani sepanjang sejarah Cina. Dinasti ini adalah dinasti bangsa Han yang terakhir memerintah setelah Dinasti Song. Pada tahun 1368 Zhu Yuanzhang berhasil mengusir bangsa Mongol kembali ke utara dan menghancurkan Dinasti Yuan yang mereka dirikan. Ia mendirikan dinasti Ming (大明國; Dà Míng Guó), dengan ibukotanya di Yingtian (sekarang Nanjing) sebelum putranya, Zhu Di, yang menjadi kaisar ke-3 memindahkan ibukota ke Shuntian (sekarang Beijing). Yingtian kemudian berganti nama menjadi Nanjing (ibukota selatan).
Awal Dinasti Ming ditandai dengan masa-masa ketenangan dan kemakmuran di bawah Kaisar Hongwu, Zhu Yuanzhang. Kaisar Hongwu melakukan reformasi pada sistem pemerintahan dan birokrasi dengan membentuk organ birokrasi baru yang saling mengimbangi untuk mencegah munculnya lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang terlalu besar. Ia juga melalukan pembangunan ekonomi, menghentikan segala ekspedisi militer untuk memberi rakyat waktu dan ketenangan untuk melakukan tanggung jawab mereka di bidang masing-masing. Kebijakan ini berhasil ditandai dengan peningkatan jumlah populasi sampai dengan 10.650.000 kepala keluarga atau 65.000.000 jiwa pada tahun 1393.
Di penghujung Dinasti Ming, pemberontakan marak di seluruh negara dan pada puncaknya, Beijing jatuh ke tangan pemberontak yang dipimpin oleh Li Zicheng. Kekalahan ini menyebabkan Chongzhen menggantung diri di bukit di belakang Kota Terlarang. Li yang bersengketa dengan Wu Sangui menangkapi keluarganya di Beijing menyebabkan Wu memutuskan untuk menyerah kepada suku Manchu yang kemudian menaklukkan Li Zicheng dan menguasai Beijing pada tahun 1644.
Setelah Beijing dikuasai oleh suku Manchu, mereke kemudian mendirikan Dinasti Qing yang menandai runtuhnya Dinasti Ming. Sisa-sisa kekuatan yang setia kepada Dinasti Ming kemudian mengungsi ke selatan Cina dan meneruskan perlawanan secara terpisah. Dalam sejarah, kekuatan ini dikenal sebagai Ming Selatan. Ming Selatan kemudian berhasil dihancurkan oleh Kaisar Kangxi pada tahun 1683.

Daftar isi

[sembunyikan]

Kronologi sejarah

Awal berdiri

Penghujung Dinasti Yuan

Dinasti Yuan adalah dinasti yang didirikan oleh bangsa Mongol yang dianggap sebagai bangsa asing oleh suku Han. Diskriminasi kekaisaran terhadap suku Han yang mayoritas sangat kentara dengan pembagian kasta yang didasarkan atas etnisitas. Suku Han dialokasikan di dua kasta terendah pada zaman tersebut.
Penghujung Dinasti Yuan juga ditandai dengan pemerintahan yang korup, pajak dan inflasi yang tinggi. Hal ini diperparah dengan tingkah laku bangsawan Mongol yang sewenang-wenang. Kekaisaran kemudian mengganti mata uang yang telah beredar sejak zaman Kublai Khan dengan mata uang baru. Mata uang baru ini kemudian dicetak dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hiperinflasi. Perekonomian ambruk dan bencana kelaparan merebak di mana-mana.
Tahun 1351, Sungai Kuning meluap menyebabkan banjir besar. Bencana ini memperparah kondisi perekonomian yang telah sangat kacau. Kekaisaran kemudian memerintahkan seluruh ratusan ribu petani dan tentara untuk memperbaiki bendungan Sungau Kuning. Kerja paksa ini menyebabkan ketidakpuasan rakyat mencapai puncaknya.

Pemberontakan petani

Hiperinflasi dan ketidakpuasan atas kerja paksa menanggulangi bencana banjir Sungai Kuning menyebabkan pecahnya pemberontakan petani secara massal. Pemberontakan ini dikenal dengan Pemberontakan Serban Merah yang meletus pada bulan Mei 1351.
Tahun berikutnya, Guo Zixing memimpin pemberontakan dan berhasil menguasai wilayah Haozhou (sekarang Kabupaten Fengyang, Anhui). Pada saat ini, Zhu Yuanzhang ikut berpartisipasi dan berjasa dalam beberapa pertempuran. Jasa Zhu kemudian menarik perhatian Guo yang akhirnya menikahkan putri angkatnya kepada Zhu. Setelahnya, Zhu kemudian meninggalkan Haozhou dan memperkuat diri sendiri. Tahun 1356, dengan kekuatannya sendiri, ia berhasil menaklukkan Jiqing (sekarang Nanjing, Jiangsu) dan mengganti nama menjadi Yingtian. Yingtian inilah yang kemudian menjadi ibukota yang baru setelah Dinasti Ming berdiri.

Berdirinya Dinasti Ming

Zhu Yuanzhang kemudian memutuskan untuk berbasis di Yingtian untuk memusatkan kekuatan demi mempersatukan daratan Cina. Pada awalnya, situasi Zhu di wilayah Yingtian sangat tidak strategi buat mengumpulkan kekuatan dalam waktu singkat. Kemudian ia menerima nasihat Zhu Sheng untuk memperkuat pertahanan dan memusatkan perhatian pada perbaikan logistik dan tidak terlalu gegabah untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja.
Kebijakan ini menyebabkan Zhu dapat memperkuat dirinya dalam waktu singkat. Ia kemudian menyerang kekuatan pemberontak lainnya, Chen Youliang pada tahun 1360. Ia kemudian berhasil memukul mundur pasukan Chen ke Jiangzhou, wilayah pesisir sebelah timur Yingtian. Dalam waktu tiga tahun, Zhu berhasil menghancurkan kekuatan Chen.
Tahun 1367, Zhu berhasil menaklukkan Zhang Shicheng, pemberontak lainnya dan menguasai Pingjiang (sekarang Suzhou, Jiangsu). Dalam tahun yang sama, Zhu juga menghancurkan kekuatan Fang Guozhen yang pada saat itu menguasai wilayah pesisir Zhejiang. Setelah keberhasilan ini, Zhu Yuanzhang mengangkat diri sebagai kaisar pada tahun 1368, memulai sejarah Dinasti Ming selama 300 tahun ke depan. Ia menetapkan Hongwu sebagai tahun pemerintahan sehingga ia dikenal juga sebagai Kaisar Hongwu.
Di tahun itu juga, Kaisar Hongwu melakukan ekspedisi ke utara untuk mempersatukan Cina. Kekaisaran Yuan yang saat itu telah melemah tidak dapat menghambat tentara Ming yang saat itu bermoral tinggi karena kemenangan demi kemenangan. Ibukota Yuan, Dadu berhasil dikuasai dan dibumi-hanguskan atas perintah Kaisar Hongwu. Suku Mongol kemudian berhasil diusir kembali ke padang rumput Mongol.
Setelah berhasil menghancurkan Dinasti Yuan, Kaisar Hongwu menaklukan pemberontak Ming Yuzhen di Sichuan pada tahun 1371. Sepuluh tahun kemudian, hancurnya kekuatan Raja Liang dari Dinasti Yuan di Yunnan mengukuhkan penyatuan Cina daratan di bawah Dinasti Ming.

Masa kejayaan awal (1368-1436)

Pemerintahan Hongwu

Setelah berhasil mendirikan Dinasti Ming, Kaisar Hongwu melaksanakan kebijakan untuk menenangkan rakyat. Di antaranya dengan mengembalikan gerak roda perekonomian, melakukan reformasi birokrasi Dinasti Yuan, meringankan pajak dan beban petani dan menghukum berat para pejabat yang korup. Masa ini dikenal sebagai pemerintahan Hongwu dalam sejarah.
Kaisar Hongwu juga merupakan kaisar yang penuh kecurigaan terhadap para menterinya. Ia takut pejabat kekaisaran menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan mereka untuk kepentingan diri sendiri yang pada akhirnya dapat mengancam dan membahayakan kekuasaannya. Dalam pada itu, ia terkenal sebagai kaisar yang kerap menjatuhkan hukuman kepada para menterinya.
Pada menteri terkenal yang dibunuh antara lain adalah Liau Yongzhong, Zhu Liangxiang, Li Wenzhong, Hu Weiyong, Lan Yu dan Chen Ning.
Pada akhirnya, hampir seluruh pejabat kekaisaran yang berjasa dalam pendirian Dinasti Ming kecuali Tang He dihukum mati oleh Kaisar Hongwu. Setelah ini, Kaisar Hongwu juga membentuk badan intelijen yang selanjutnya makin mengukuhkan kekuasaan absolut di tangannya.

Insiden Jingnan

Insiden Jingnan adalah peristiwa kudeta berdarah karena perebutan tahta kekaisaran antara Kaisar Jianwen dan Raja Yan, Zhu Di yang selanjutnya menjadi Kaisar Yongle. Kaisar Jianwen, Zhu Yunwen adalah cucu tertua dari Zhu Yuanzhang. Zhu Yunwen sendiri adalah anak dari Zhu Biao, anak sulung Zhu yang mati muda sebelum sempat naik tahta.
Tahun 1398, Kaisar Hongwu wafat dan digantikan oleh Kaisar Jianwen. Kaisar Jianwen atas nasihat menterinya, Qi Tai melakukan pembersihan lawan-lawan politiknya yang masing-masing memiliki kekuatan sendiri di seluruh negeri. Lawan politik yang dimaksud adalah para raja yang sebenarnya masih merupakan pamannya sendiri, anak dari mendiang Kaisar Hongwu.
Lima raja berhasil diturunkan dari tahta dan menjalani hukuman sebagai rakyat biasa. Raja Yan, Zhu Di adalah anak keempat dari Kaisar Hongwu, mempunyai kekuatan paling besar kemudian melakukan kudeta saat mendengar bahwa kekuatannya akan menjadi target pembersihan selanjutnya oleh Kaisar Jianwen.
Zhu Di akhirnya melakukan penyerangan ke ibukota Nanjing pada tahun 1399 atas saran dari penasihatnya Yao Guangxiao. Perang saudara pecah antara Kaisar Jianwen dan Zhu Di, namun akhirnya berhasil dimenangkan oleh Zhu Di pada tahun 1402. Kaisar Jianwen hilang dan tidak diketahui nasibnya setelah insiden berdarah ini.
Zhu Di lalu naik tahta dengan gelar Chengzu, menetapkan era pemerintahan sebagai Yongle sehingga dikenal juga sebagai Kaisar Yongle.

Era kejayaan Yongle

Di masa pemerintahan Kaisar Yongle, Ming mengalami masa kejayaan awal. Ekspedisi militer dilakukan oleh Kaisar Yongle untuk mempertahankan kejayaan ini. Annam (sekarang Vietnam) berhasil ditaklukkan dan kemudian menjadi protektorat Ming. Kaisar Yongle juga memimpin ekspedisi ke utara untuk memukul mundur bangsa Mongol ke Asia Tengah demi mencegah ancaman dari mereka.
Tahun 1405, Kaisar Yongle juga memerintahkan Zheng He untuk memimpin ekspedisi maritim ke lautan selatan. Tujuh kali ekspedisi melayari lautan sampai ke Madagaskar.
Pada tahun 1406, istana kekaisaran dibangun di Beiping (sekarang Beijing) dan menggunakan Beiping sebagai basis untuk melakukan ekspedisi ke Mongolia. Sampai pada tahun 1422, pembangunan dan perkembangan Beiping sangat pesat dan Kaisar Yongle kemudian menitahkan untuk memindahkan ibukota dari Nanjing ke Beiping. Beiping kemudian berganti nama menjadi Beijing.
Masa pemerintahan Yongle ditandai dengan kedamaian dan kemajuan yang pesat di seluruh negeri. Dalam catatan sejarah, masa ini dikenal sebagai era kejayaan Yongle (永樂勝世). Namun, di balik masa kejayaan ini, Kaisar Yongle bukanlah seorang kaisar yang pengasih. Hukuman yang dijatuhkan kepada lawan politik dan oposisi tidak berkurang, ditandai dengan peristiwa penjatuhan hukuman mati sepuluh kerabat kepada Fang Xiaoru. Ini merupakan peristiwa satu-satunya di dalam sejarah Cina yang biasanya hanya membunuh sampai sembilan kerabat.
Kaisar Yongle wafat pada tahun 1424 dan digantikan oleh anaknya, Zhu Gaochi.

Pemerintahan Renxuan

Setelah Kaisar Yongle wafat pada tahun 1424, anak sulungnya Zhu Gaochi naik tahta menggantikannya sebagai kaisar. Era pemerintahan diganti menjadi Hongxi. Malangnya, ia meninggal tahun berikutnya dalam usia 48 tahun.
Walau era pemerintahannya sangat pendek, namun Kaisar Hongxi melakukan banyak keputusan yang penting di antaranya menghentikan ekspedisi maritim Zheng He dan ekspedisi militer. Ia juga mempromosikan produksi rakyat demi perkembangan ekonomi, mengampuni banyak tawanan politik, meringankan hukuman penjara dan melakukan penghematan di banyak bidang.
Setelah Kaisar Hongxi mangkat, anaknya Zhu Zhanji meneruskan tahta kekaisaran dan kebijakan yang ditinggalkan sang ayah. Ia bertahta sebagai Kaisar Xuande dan terkenal akan kemahirannya dalam seni lukis. Beberapa lukisannya menjadi lukisan ternama dalam sejarah Cina.
Di tahun 1431, Kaisar Xuande merasakan bahwa pengiriman upeti dari negara-negara protektorat Ming menyusut. Oleh karenanya, ia memerintahkan Zheng He untuk mempersiapkan ekspedisi maritim ketujuh. Ekspedisi ini menjadi ekspedisi terakhir bagi Zheng He karena ia kemudian meninggal di Guli, sebuah kota di pesisir India.
Masa pemerintahan Kaisar Xuande diwarnai dengan campur tangan kasim dalam keputusan kekaisaran yang dilarang sejak masa pemerintahan Kaisar Hongwu. Kaisar Xuande juga dijuluki sebagai kaisar jangkrik karena ia sangat gemar memelihara dan berlaga jangkrik. Hal ini menyebabkan para menteri dan kasim di istana berlomba-lomba untuk memberikan hadiah jangkrik kepada sang kaisar.
Walaupun ada berbagai kekurangan di atas, namun di masa ini rakyat Ming mengalami kehidupan yang relatif aman dan tenteram. Era ini dikenal sebagai pemerintahan Renxuan (仁宣之治) diambil dari gelar kedua kaisar yang memerintah, Renzong dan Xuanzong.

Era pertengahan (1436-1573)

Invasi Mongol

Pada tahun 1435, Zhu Qizhen naik tahta dengan gelar Yingzong dan era tahun Zhengtong. Kaisar Zhengtong adalah satu-satunya kaisar dinasti Ming yang memerintah dengan dua era pemerintahan, Zhengtong dan Tianshun setelah restorasi tahta kekaisaran.
Masa pemerintahan Kaisar Zhengtong diwarnai dengan penyalahgunaan wewenang oleh kasim ternama, Wang Zhen. Wang adalah seorang guru kekaisaran yang kemudian dikebiri untuk menjadi kasim di dalam istana. Wang secara terang-terangan melanggar peraturan Kaisar Hongwu bahwa kasim tidak diperbolehkan untuk mencampuri urusan kenegaraan. Selama kurun waktu tujuh tahun dengan latar belakang sebagai kasim kesayangan kaisar, tindak-tanduknya yang korup semakin merajalela.
Seiring dengan ini, kekuatan suku Oirat di Asia Tengah makin meningkat. Pada tahun 1449, Esen Khan dari Oirat menginvasi Beijing. Wang Zhen lalu memaksa Kaisar Zhengtong untuk memimpin langsung 500.000 tentara keluar dari Beijing untuk menahan serangan Mongol. Karena pasukan ini tidak terlatih dan juga bermoral rendah menyebabkan garis depan dapat dikalahkan oleh pasukan Mongol.
Mendengar kekalahan ini, Wang Zhen lalu takut untuk meneruskan pertempuran melawan Mongol dan memerintahkan seluruh pasukan untuk mundur. Kuatir kampung halamannya akan luluh lantak setelah dilewati pasukan Ming, ia mengambil rute jalan yang lebih jauh sehingga menyebabkan pasukan Oirat berhasil mengejar pasukan Ming sesampai Kastil Tumu.
Dalam pertempuran di kastil Tumu ini, Kaisar Zhengtong berhasil ditawan oleh Esen Khan, sedangkan Wang tewas dalam pertempuran. Dalam beberapa catatan sejarah tidak resmi, dikatakan bahwa Wang tewas karena dibunuh oleh jenderal Fan Zhong, pengawal kekaisaran yang tidak puas akan tindak tanduk Wang. Namun kebenaran peristiwa ini tidak diakui oleh sejarah resmi kekaisaran. Peristiwa ini dikenal sebagai Insiden Tumu dalam catatan sejarah.
Setelah kabar bahwa insiden ini sampai ke Beijing, menteri-menteri kuatir akan keselamatan mereka bila Beijing jatuh ke tangan Oirat mengusulkan untuk memindahkan ibukota ke Nanjing dan menyerahkan Beijing. Namun usulan ini ditolak oleh salah seorang menteri, Yu Qian yang kemudian menyarankan supaya adik dari Kaisar Zhengtong, Zhu Qiyu untuk meneruskan tahta kekaisaran demi kelanjutan dinasti. Zhu kemudian naik tahta dengan gelar Daizong dan era pemerintahan Jingtai.
Esen Khan sampai ke Beijing namun tidak berhasil menguasai Beijing karena pertahanan kota yang relatif kuat karena strategi pertahanan Yu Qian. Yu Qian kemudian memimpin pasukan Ming keluar Beijing dan memukul mundur pasukan Oirat. Esen Khan kemudian mundur bersama pasukannya dengan membawa Kaisar Zhengtong sebagai tawanan.
Yu Qian tidak menghiraukan tawaran damai dari Esen Khan sebagai tebusan atas Kaisar Zhengtong, namun menyusun strategi pertahanan yang lebih kuat dan selanjutnya mengusir pasukan Oirat lebih jauh ke utara. Esen Khan memperlakukan Kaisar Zhengtong dengan baik dan kemudian melepaskannya setelah merasa bahwa tidak ada gunanya lagi menawan sang kaisar pada tahun 1450.

Restorasi Kaisar Zhengtong

Kaisar Zhengtong yang dilepaskan oleh Esen Khan kemudian pulang ke Beijing. Malangnya, kepulangannya ini tidak disambut gembira oleh Kaisar Jingtai, sang adik yang bertahta menggantikannya selama menjadi tawanan.
Walaupun atas saran para menteri, Kaisar Jingtai memberikan gelar Maha Kaisar, namun ia tidak keluar menyambut Kaisar Zhengtong di gerbang kota, malah menjatuhkannya sebagai tahanan rumah di Istana Selatan. Lebih jauh, Zhu Jianshen yang sebelumnya adalah putra mahkota dicabut gelarnya dan digantikan oleh anak Kaisar Jingtai, Zhu Jianji yang tak lama kemudian meninggal karena sakit.
Sepeninggal Zhu Jianji, Kaisar Jingtai yang tidak mempunyai putra lainnya tidak juga mengembalikan kedudukan Zhu Jianshen sebagai putra mahkota. Pada tahun 1457, Kaisar Jingtai sakit parah dan beberapa menteri merencanakan kudeta untuk merestorasi Yingzong sebagai kaisar. Kudeta ini menyebabkan beberapa menteri yang setia kepada Jingtai dijatuh hukuman mati, di antaranya Yu Qian.
Kaisar Jingtai kemudian diturunkan kedudukannya menjadi raja dan meninggal sebulan kemudian. Sebaliknya, Yingzong bertahta kembali sebagai kaisar dengan era tahun Tianshun.

Wilayah

Pembagian administrasi

Peta Dinasti Ming di tahun 1580
Di awal berdirinya Dinasti Ming, Kaisar Hongwu meneruskan administrasi dari dinasti sebelumnya, namun kemudian melakukan reformasi untuk membatasi wewenang pejabat daerah.

Struktur Pemerintahan

Militer

Sosial Budaya dan Agama

Hubungan Luar Negeri

Tokoh-tokoh Terkenal

Kaisar Dinasti Ming pertama, Zhu Yuanzhang

Lihat pula

Referensi

  • Wanli Shiwu Nian《萬曆十五年|万历十五年》,Huang Renyu 黄仁宇,生活·读书·新知三联书店,ISBN 7-108-00982-X/K·211
  • Xishuo Mingchao《细说明朝》,Li Dongfang 黎東方,上海人民出版社,ISBN 7-208-02512-6

Dinasti Song

Dinasti Song (Hanzi: 宋朝, hanyu pinyin: song chao) adalah salah satu dinasti yang memerintah di Cina antara tahun 960 sampai dengan tahun 1279 sebelum Cina diinvasi oleh bangsa Mongol. Dinasti ini menggantikan periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara dan setelah kejatuhannya digantikan oleh Dinasti Yuan. Dinasti ini merupakan pemerintahan pertama di dunia yang mencetak uang kertas dan merupakan dinasti Cina pertama yang mendirikan angkatan laut. Dalam periode pemerintahan dinasti ini pula, untuk pertama kalinya bubuk mesiu digunakan dalam peperangan dan kompas digunakan untuk menentukan arah utara.
Dinasti Song dibagi ke dalam dua periode berbeda, Song Utara dan Song Selatan. Semasa periode Song Utara (bahasa Tionghoa: 北宋, 960–1127), ibukota Song terletak di kota Bianjing (sekarang Kaifeng) dan dinasti ini mengontrol kebanyakan daerah Cina dalam (daerah suku Han bermayoritas). Song Selatan (bahasa Tionghoa: 南宋, 1127–1279) merujuk pada periode setelah dinasti Song kehilangan kontrol atas Cina Utara yang direbut oleh Dinasti Jin. Pada masa periode ini, pemerintahan Song mundur ke selatan Sungai Yangtze dan mendirikan ibukota di Lin'an (sekarang Hangzhou). Walaupun Dinasti Song telah kehilangan kontrol atas daerah asal kelahiran kebudayaan Cina yang berpusat di sekitar Sungai Kuning, ekonomi Dinasti Song tidaklah jatuh karena 60 persen populasi Cina berada di daerah kekuasaan Song Selatan dan mayoritas daerah kekuasaannya merupakan tanah pertanian yang produktif.[1] Dinasti Song Selatan meningkatkan kekuatan angkatan lautnya untuk mempertahankan daerah maritim dinasti Song. Untuk mendesak Jin dan bangsa Mongol, dinasti Song mengembangkan teknologi militer yang menggunakan bubuk mesiu. Pada tahun 1234, Dinasti Jin ditaklukkan oleh bangsa Mongol. Möngke Khan, Khan ke-empat kekaisaran Mongol, meninggal pada tahun 1259 dalam penyerangan ke sebuah kota di Chongqing. Saudara lelakinya, Kublai Khan kemudian dinyatakan sebagai Khan yang baru, walaupun klaim ini hanya diakui oleh sebagian bangsa Mongol di bagian Barat. Pada tahun 1271, Kubilai Khan dinyatakan sebagai Kaisar Cina.[2] Setelah peperangan sporadis selama dua dasawarsa, tentara Kubilai Khan berhasil menaklukkan dinasti Song pada tahun 1279. Cina kemudian disatukan kembali di bawah Dinasti Yuan (1271–1368).[3]
Populasi Cina meningkat dua kali lipat semasa abad ke-10 dan ke-11. Pertumbuhan ini didukung oleh perluasan kultivasi padi di Cina tengah dan selatan, penggunaan bibit beras cepat panen dari Asia selatan dan tenggara, dan surplus produksi bahan pangan.[1][4] Sensus Dinasti Song Utara mencatat populasi sekitar 50 juta. Angka ini menyamai populasi Cina pada saat Dinasti Han dan Dinasti Tang. Data ini diperoleh dari sumber catatan Dua Puluh Empat Sejarah (bahasa Tionghoa: 二十四史). Namun, diperkirakan bahwa Dinasti Song Utara berpopulasi sekitar 100 juta jiwa.[5] Pertumbuhan populasi yang dramatis ini memacu revolusi ekonomi Cina pramodern. Populasi yang meningkat ini merupakan salah satu penyebab lepasnya secara perlahan peranan pemerintah pusat dalam mengatur ekonomi pasar. Populasi yang besar ini juga meningkatkan pentingnya peranan para bangsawan rendah dalam menjalankan administrasi pemerintahan tingkat bawah.
Kehidupan sosial semasa Dinasti Song cukup vibran. Elit-elit sosial saling berkumpul untuk memamerkan dan memperdagangkan karya-karya seni berharga, masyarakat saling berkumpul dalam festival-festival publik dan klub-klub privat, dan di kota-kota terdapat daerah perempatan hiburan yang semarak. Penyebaran ilmu dan literatur didorong oleh penemuan teknik percetakan blok kayu yang telah ada dan penemuan percetakan bergerak pada abad ke-11. Teknologi, sains, filsafat, matematika, dan ilmu teknik pra-modern berkembang dengan pesat pada masa Dinasti Song. Walaupun institusi seperti ujian pegawai sipil telah ada sejak masa Dinasti Sui, institusi ini menjadi lebih menonjol pada periode Song. Hal inilah yang menjadi faktor utama bergesernya elit bangsawan menjadi elit birokrat.

Daftar isi

Sejarah

Song Utara

Kaisar Song Taizu (memerintah 960–976) menyatukan Cina dengan menaklukkan berbagai daerah-daerah kekuasaan semasa pemerintahannya danb mengakhiri pergolakan periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara. Di Kaifeng, ia mendirikan pemerintahan pusat yang kuat. Ia menjaga stabilitas administrasi negara dengan mempromosikan sistem ujian pegawai sipil dalam menunjuk pejabat-pejabat birokrat. Selain itu, ia juga memulai berbagai proyek-proyek yang bertujuan menjamin efisiensi komunikasi di seluruh kerajaan. Salah satu proyek tersebut adalah pembuatan peta tiap-tiap provinsi dan kota-kota kerajaan secara mendetail dan kesemuannya dikumpulkan menjadi satu atlas yang besar.[6] Ia juga mendorong inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mendukung berbagai karya-karya ilmiah seperti pembuatan menara jam astronomi yang dibuat oleh insinyur Zhang Sixun.[7]
Kaisar Song Taizu (memerintah 960–976) dalam sebuah lukisan potret istana
Kerajaan Song memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan Chola di India, Fatimid di Mesir, Sriwijaya, dan kerajaan-kerjaan mitra dagang lainnya.[8][9][10][11]. Dari awal sejak didirikannya oleh Taizu, Dinasti Song secara bergantian terlibat dalam peperangan dan hubungan diplomasi dengan bangsa Khitan dari Dinasti Liao di Timur Laut dan bangsa Tangut dari Dinasti Xia Barat di Barat Laut. Dinasti Song menggunakan kekuatan militer dalam usahanya menumpas Dinasti Liao dan merebut kembali Enam belas Prefektur, daerah kekuasaan Khitan yang dianggap sebagai bagian dari Cina.[12] Namun, tentara Song berhasil didesak oleh tentara Liao yang terlibat dalam kampanye perang agresif selama bertahun-tahun di daerah utara Song. Hal ini berhenti pada tahun 1005 dengan ditandatanganinya perjanjian Shanyuan. Bangsa Cina kemudian dipaksa membayar upeti kepada bangsa Khitan, walaupun pembayaran upeti ini tidak memberikan dampak yang besar bagi ekonomi Song karena bangsa Khitan sangat bergantung pada impor barang dari Dinasti Song.[13] Dinasti Song berhasil memenangkan beberapa peperangan dengan bangsa Tangut pada awal abad ke-11. Kemenangan ini mencapai puncaknya di bawah arahan Jenderal Shen Kuo (1031–1095), yang juga seorang cendekiawan dan negarawan.[14] Namun, operasi militer ini pada akhirnya gagal oleh karena salah seorang rival Shen tidak mematuhi perintah langsung dan daerah yang berhasil direbut dari Xia Barat pada akhirnya lepas.[15] Terdapat pula perang yang signifikan melawan Dinasti Lý dari Vietnam dari tahun 1075 sampai dengan tahun 1077 dikarenakan sengketa wilayah perbatasan dan diputusnya hubungan dagang dengan keajaan Đại Việt.[16] Setelah tentara Lý berhasil memberikan kerusakan parah dalam serangannya di Guangxi, komandan Song Guo Kui (1022–1088) kemudian membalas dengan menyerang balik sampai sejauh Thăng Long (sekarang Hanoi).[17] Oleh karena kerugian besar yang ditanggung oleh kedua belah pihak, Komandan Lý Thường Kiệt (1019–1105) kemudian menawarkan perjanjian damai dan mengijinkan kedua belah pihak mundur dari peperangan. Daerah-daerah yang berhasil direbut oleh Song dan Lý kemudian dikembalikan ke pihak masing-masing bersama dengan para tahanan perang pada tahun 1082.[18]
Sebuah bantal yang berasal dari Dinasti Song Utara abad ke-12
Selama abad ke-11, persaingan politik yang sengit kemudian memecah belah anggota-anggota istana kerajaan oleh karena perbedaan pendekatan, pendapat, dan kebijakan para menteri pejabat dalam menangani ekonomi dan masyarakat Song yang kompleks. Kanselir Fan Zhongyan (989–1052) yang merupakan seorang idealis, mendapatkan pukulan politik yang besar ketika ia berusaha melakukan reformasi dalam memperbaiki sistem perekrutan pejebat, meningkatkan gaji para pegawai rendah, dan menginisiasi program sponsor yang mengijinkan masyarakat luas mendapatkan pendidikan.[19] Setelah Fan dipaksa turun dari jabatannya, Wang Anshi (1021–1086) menjadi kanselir baru istana. Dengan dukungan Kaisar Shenzong (1067–1085), Wang Anshi mengkritik habis-habisan sistem pendidikan dan birokrasi negara. Untuk menyelesaikan apa yang ia lihat sebagai korupsi dan kelalaian negara, Wang mengimplementasikan sejumlah reformasi yang disebut sebagai Kebijakan Baru. Reformasi ini meliputi reformasi pajak tanah, pendirian monopoli pemerintah, dukungan terhadap milisi-milisi lokal, dan pembuatan standar baru dalam ujian kerajaan.[20] Reformasi ini menimbulkan perpecahan politik dalam istana kerajaan. Kelompok Kebijakan Baru Wang Anshi ditentang oleh golongan 'Konservatif' yang dipimpin oleh sejarahwan dan Kanselir Sima Guang (1019–1086).[21] Seketika salah satu golongan menjadi mayoritas dalam kementerian istana, para pejabat saingan akan diturunkan jabatannya secara paksa dan diasingkan ke tempat-tempat terpencil di kerajaan.[20] Salah satu korban persaingan politik yang terkenal ini adalah negawaran dan penyair Su Shi (1037–1101). Ia dipenjarakan dan pada akhirnya diasingkan oleh karena mengkritik kebijakan reformasi Wang.[20]
Manakala politik istana Song terpecah dan terfokus pada masalah internal, peristiwa besar yang terjadi di Kerajaan Liao pada akhirnya mendapatkan perhatian Kerajaan Song. Bangsa Jurchen yang merupakan suku taklukkan Kerajaan Liao memberontak dan mendirikan kerajaan mereka sendiri, yakni Jin Dynasty (1115–1234).[22] Pejabat Song Tong Guan (1054–1126) menganjurkan Kaisar Huizong (1100–1125) membentuk aliansi dengan bangsa Jurchen dan melakukan operasi militer bersama untuk menaklukkan Dinasti Liao pada tahun 1125. Namun, buruknya prestasi dan lemahnya kekuatan militer tentara Song terlihat oleh bangsa Jurchen dan dengan segera mereka keluar dari aliansi dengan Song. Bangsa Jurchen kemudian menyerang daerah Song pada tahun 1125 dan 1127. Pada penyerangan tahun 1127, bangsa Jurchen bukan hanya dapat merebut ibukota Song di Kaifeng, namun juga menawan Kaisar Huizong yang telah mengundurkan diri, penggantinya Qinzong, dan kebanyakan anggota istana.[22] Kejadian ini terjadi pada tahun Jinkang (bahasa Tionghoa: 靖康) dan dikenal sebagai peristiwa Penghinaan Jinkang (bahasa Tionghoa: 靖康之恥). Tentara Song yang tersisa kemudian bergabung di bawah perintah Kaisar Gaozong (1127–1162) yang mengangkat dirinya sebagai Kaisar. Dinasti Song kemudian mundur ke selatan Sungai Yangtze dan mendirikan ibukota baru di Lin'an (sekarang Hangzhou). Penaklukan Cina utara oleh bangsa Jurchen dan berpindahnya ibukota dari Kaifeng ke Lin'an merupakan garis pemisah Dinasti Song Utara dengan Dinasti Song Selatan.
Patung pahatan Guan Yin dari Dinasti Liao, Provinsi Shanxi, Cina, (907–1125)

Song Selatan

Song Selatan pada tahun 1142
Walaupun telah melemah dan didesak ke selatan, Dinasti Song Selatan berhasil meningkatkan ekonomi dan mempertahankan eksistensinya melawan Dinasti Jin. Dinasti Song Selatan memiliki perwira-perwira militer seperti Yue Fei dan Han Shizhong. Pemerintah Song juga mensponsori proyek-proyek besar seperti pembuatan kapal, perbaikan pelabuhan, pembangunan menara api dan gudang pelabuhan untuk mendukung perdagangan maritim luar negeri dan pelabuhan laut internasional seperti Quanzhou, Guangzhou, dan Xiamen, yang menyokong aktivitas perdagangan Cina.[23][24][25] Untuk melindungi dan mendukung kapal-kapal yang melayari Laut Cina Timur dan Laut Kuning (menuju Korea dan Jepang), Asia Tenggara, Samudera Hindia, dan Laut Merah, adalah perlu untuk mendirikan angkatan laut resmi.[26] Dinasti Song oleh karenanya mendirikan angkatan laut permanen pertama Cina pada tahun 1132,[25] dengan markas besarnya di Dinghai.[27] Dengan adanya angkatan laut permanen, Kerajaan Song menjadi siap untuk menghadapi tentara laut Jin di Sungai Yangtze pada tahun 1161, pada Pertempuran Tangdao dan Pertempuran Caishi. Dalam pertempuran ini, angkatan laut Song menggunakan kapal perang yang diperlengkapi trebuchet untuk melemparkan bom mesiu.[27] Walaupun armada Jin terdiri dari 70.000 orang dalam 600 kapal perang, sedangkan tentara Song hanya terdiri dari 3.000 orang dalam 120 kapal perang,[28] tentara Dinasti Song berhasil memenangkan kedua pertempuran ini oleh karena daya rusak bom yang kuat dan serangan cepat kapal berdayung roda.[29] Sejak saat itu, kekuatan angkatan laut sangat ditekankan. Satu abad setelahnya, angkatan laut Song telah meningkat drastis mencapai 52,000 tentara laut.[27] Pemerintah Song menyita sebagian tanah yang dimiliki oleh para bangsawan untuk meningkatkan pemasukan yang digunakan untuk membiayai proyek ini. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakpuasan dan hilangnya kesetiaan para tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat Song. Namun hal ini tidak menghentikan persiapan defensif Song.[30][31][32] Permasalahan finansial juga diperparah oleh banyaknya orang kaya yang menggunakan koneksi pemerintahan untuk mendapatkan status bebas pajak.[33]
Patung Bodhisattva yang sedang duduk dari Dinasti Jin (1115–1234)
Walaupun Dinasti Song berhasil menahan serang Jin, ancaman besar lainnya muncul di daerah utara Dinasti Jin. Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (memerintah 1206–1227) pada awalnya menyerang Dinasti Jin pada tahun 1205 dan 1209 dalam serangan mendadak di sepanjang perbatasannya. Pada tahun 1211, tentara Mongol dalam skala besar dikerahkan untuk menginvasi Jin.[34] Dinasti Jin kemudian dipaksa untuk tunduk dan membayar upeti kepara bangsa Mongol sebagai negara taklukan (vassal). Ketika Jin memindahkan ibukotanya secara tiba-tiba dari Beijing ke Kaifeng, bangsa Mongol melihatnya sebagai pemberontakan.[35] Di bawah kepemimpinan Ögedei Khan (memerintah 1229–1241), Dinasti Jin dan Dinasti Xia Barat ditaklukkan oleh tentara Mongol.[35][36] Bangsa Mongol juga menginvasi Korea, Khalifah Abbasiyah di Timur Tengah, dan Kievan Rus' di Rusia. Pernah suatu kali bangsa Mongol beraliansi dengan Song, namun aliansi ini pecah setelah Song merebut kembali ibukota terdahulu Kaifeng, Luoyang dan Chang'an pada saat keruntuhan Dinasti Jin. Pemimpin Mongol Möngke Khan memimpin sebuah operasi militer melawan Song pada tahun 1259, namun meninggal pada tanggal 11 Agustus semasa pertempuran di Chongqing.[37] Kematian Möngke dan berlarut-larutnya krisis kepemimpinan membuat Hulagu Khan menarik mundur sebagian besar tentara Mongol dari Timur Tengah. Walaupun Hulagu beraliansi dengan Kublai Khan, tentaranya tidak dapat membantu serangan melawan Song oleh karena adanya perang dengan Ulus Jochi.[38]
Kubilai terus melakukan serangan terhadap Song dan berhasil mendapatkan daerah pangkalan di tepi sungai selatan Yangtze.[39] Kubilai telah bersiap-siap untuk menyerang Ezhou, namun perang saudara dengan saudaranya Ariq Böke (saingannya dalam merebut takhta Khan Mongol) memaksa Kubilai memindahkan sebagian besar tentaranya kembali ke utara. Tanpa keberadaan Kubilai, tentara Song diperintahkan oleh Kanselir Jia Sidao untuk melakukan serangan dan berhasil memaksa mundur tentara Mongol ke tepi sungai utara Yangtze.[40] Terdapat sedikit bentrokan di perbatasan sampai dengan tahun 1265, ketika Kubilai memenangkan pertempuran di Sichuan.[41] Dari tahun 1268 sampai dengan 1273, Kubilai memblokade Sungai Yangtze dan menggempur Xiangyang. Penggempuran ini merupakan halangan terakhirnya dalam menginvasi daerah lembah aliran Sungai Yangtze.[41] Kublai secara resmi mendeklarasikan berdirinya Dinasti Yuan pada tahun 1271. Pada tahun 1275, 300.000 tentara Song di bawah Kanselir Jia Sidao dikalahkan oleh Jenderal Bayan.[42] Pada tahun 1276, kebanyakan daerah kekuasaan Song telah direbut oleh tentara Yuan.[36] Pada pertempuran Yamen di Delta Sungai Mutiara pada tahun 1279, tentara Yuan yang dipimpin oleh Jenderal Zhang Hongfan pada akhirnya berhasil mengakhiri perlawanan Song. Penguasa terakhir Song, Kaisar Song Bing, yang masih berumur 11 tahun melakukan bunuh diri bersama-sama dengan pejabat Lu Xiufu (陆秀夫)[43] dan 800 anggota kerajaan. Di bawah perintah Kubilai, keluarga kerajaan terdahulu Song dibiarkan hidup dan Kaisar Song Gongdi yang sebelumnya telah digulingkan diturunkan statusnya menjadi bangsawan Ying (Ying Guogong 瀛國公), namun pada akhirnya ia diasingkan ke Tibet dan menjadi pertapa.[44]

Masyarakat dan kebudayaan

Sebuah lukisan abad ke-12 yang memperlihatkan cabang pohon bunga melati. Gaya lukisan seperti ini sangat populer pada periode Dinasti Song Selatan
Zaman pemerintahan Dinasti Song merupakan periode organisasi sosial dan administrasi yang maju dan rumit. Beberapa kota terbesar di dunia pada saat itu berada di Cina, dengan Kaifeng dan Hangzhou berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.[1][45] Masyarakat menikmati berbagai hiburan di kota-kota dan bergabung ke dalam berbagai klub-klub sosial. Selain itu, terdapat pula banyak sekolah dan kuil yang memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan.[1] Pemerintah Song mendukung bermacam-macam program kesejahteraan sosial, meliputi pendirian rumah pensiunan, klinik umum, dan pemakaman bagi orang miskin.[1] Dinasti Song juga memiliki layanan pos di seluruh negeri yang meniru model Dinasti Han. Sistem pelayanan pos ini memperlancar komunikasi di seluruh kerajaan.[46]
Walaupun wanita berstatus lebih rendah daripada pria (sesuai dengan etika Konfusius), mereka menikmati banyak hak-hak sosial dan hukum, dan memegang kekuasaan yang besar di rumah dan di bisnis usaha kecil mereka sendiri. Seiring dengan semakin sejahteranya masyarakat Song, para orang tua pengantin perempuan memberikan mas kawin yang semakin besar pula untuk perkawinannya, dan secara alami para wanita mendapatkan banyak hak-hak hukum baru dalam kepemilikan tanah dan harta keluarga.[47] Para wanita juga memiliki status yang setara dengan para pria dalam hal mewarisi harta keluarga[48] Terdapat banyak wanita-wanita terdidik yang terkenal dari Dinasti Song, dan merupakan hal yang umum bagi para wanita untuk mendidik anak laki-lakinya.[49][50] Sebagai contohnya, ibu seorang jenderal, diplomat, ilmuwan, dan negarawan Shen Kuo mengajari Shen Kuo dasar-dasar strategi perang.[50] Terdapat pula penulis dan penyair wanita yang terkenal seperti Li Qingzhao (1084–1151).[47]
Sebuah kaligrafi karya Huang Tingjian (1045–1105)
Pada periode Dinasti Song, agama memiliki peranan yang penting terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Cina dan literatur-literatur bertopik spiritual sangatlah populer.[51] Dewa-dewi Taoisme, Buddhisme, dan Kepercayaan tradisional Tionghoa, beserta roh-roh leluhur disembah dengan memberikan sesajian. Tansen Sen menyatakan bahwa lebih banyak Bhikkhu dari India yang berkunjung ke Cina semasa Dinasti Song daripada semasa Dinasti Tang (618–907).[52] Dengan banyaknya pendatang asing yang berkunjung ke Cina untuk berdagang ataupun berimigrasi tinggal di sana, berbagai agama-agama asing juga masuk ke Cina. Bangsa-bangsa asing yang ada di Cina pada saat itu meliputi bangsa Timur Tengah yang beragama muslim, Yahudi Kaifeng, dan bangsa Persia yang beragama Maniisme.[53][54]
Masyarakat Song terlibat dalam kehidupan rumah tangga dan sosial yang vibran dan menikmati berbagai jenis festival publik seperti festival Lampion dan festival Qingming. Terdapat perempatan-perempatan hiburan di kota-kota besar yang menyediakan hiburan sepanjang malam. Terdapat pula dalang boneka, pemain akrobat, aktor teater, penelan pedang, penjinak ular, pendongeng, penyanyi dan pemusik, pelacur, dan tempat-tempat untuk berelaksasi seperti rumah teh, restoran, dan perjamuan besar.[1][55][56] Masyarakat berpartisipasi dalam klub-klub sosial dalam jumlah yang besar, mliputi klub minum teh, klub makanan eksotik, klub kolektor barang seni dan antik, klub pecinta kuda, klub penyair, dan klub musik.[1] Drama teater juga sangat populer dikalangan elit dan masyarakat umum, walaupun bahasa yang dituturkan oleh aktor di panggung adalah bahasa Cina klasik dan bukanlah bahasa Cina sehari-hari.[57][58] Empat teater drama terbesar di Kaifeng dapat menampung hingga beberapa ribu penonton per teater.[59] Terdapat pula permainan catur igo dan xiangqi yang dimainkan di rumah untuk melewatkan waktu senggang.

Ujian pegawai negeri sipil dan Shenshi (紳士)

Sebuah lukisan Cina abad ke-11
Semasa periode Dinasti Song, terdapat perhatian dan tekanan yang lebih luas terhadap sistem perekrutan pegawai sipil yang didasarkan pada ujian kerajaan. Hal ini bertujuan untuk menyeleksi orang-orang yang paling pantas dalam pemerintahan. Sistem pegawai sipil ini dilembagakan dalam skala kecil semasa Dinasti Sui dan Tang, namun memasuki periode Song, sistem ini menjadi satu-satunya cara pengangkatan para pejabat dalam pemerintahan.[60] Meluasnya teknologi percetakan membantu penyeberaluasan ajaran-ajaran Konfusius dan mendidik lebih banyak kandidat ujian yang memenuhi syarat.[61] Hal ini dapat terlihat pada jumlah peserta ujian yang meningkat dari 30.000 peserta pada awal abad ke-11 menjadi 400.000 peserta pada akhir abad ke-13 setiap tahunnya.[61] Sistem ujian pegawai sipil ini mengijinkan meritokrasi, mobilitas sosial, dan kesetaraan yang lebih luas.[62] Berdasarkan statistik Dinasti Song, Edward A. Kracke, Sudō Yoshiyuki, dan Ho Ping-ti mendukung hipotesis bahwa tidak ada jaminan seseorang akan mendapatkan kedudukan jabatan yang setara dengan orang tuanya hanya karena ia merupakan anak, cucu, ataupun cicit dari salah seorang pejabat di kerajaanya.[62][63][64] Robert Hartwell dan Robert P. Hymes mengkritik model hipotesis ini dengan menyatakan bahwa model ini terlalu menekankan pada peran keluarga inti manakala mengabaikan peranan keluarga jauh dan realitas demografi Song pada saat itu, yakni bahwa terdapat sejumlah besar pria pada tiap-tiap generasi yang tidak memiliki anak lelaki yang bertahan hidup.[63][64] Banyak pula masyarakat yang merasa terampas haknya oleh apa yang mereka pandang sebagai sistem birokrasi yang memfavoritkan masyarakat kelas pemilik tanah yang dapat membiayai pendidikan dengan mudah.[62] Salah satu kritik terhadap sistem ini datang dari seorang pejabat dan penyair yang terkenal Su Shi. Namun, Su sendiri pun merupakan produk sistem tersebut, seiring dengan berubahnya identitas, kebiasaan, dan perilaku para pejabat yang menjadi kurang aristokratik dan menjadi lebih birokratik pada transisi periode Tang ke Song.[65] Pada awal berdirinya dinasti, jabatan-jabatan pemerintahan secara disproporsional dipegang oleh dua kelompok elit sosial, yaitu kelompok elit yang memiliki hubungan dengan Kaisar dan kelompok elit profesional yang menggunkan status klan, koneksi keluarga, dan perkawinan untuk mengamankan posisi jabatan.[66] Pada akhir abad ke-11, kedua kelompok elit tersebut perlahan-lahan menghilang dan digantikan oleh berbagai keluarga Shenshi (紳士).[67]
Oleh karena pertumbuhan populasi Cina yang meningkat drastis dan jumlah pengangkatan pejabat yang terbatas (sekitar 20.000 pejabat aktif semasa periode Song), golongan Shenshi (紳士) mengambil alih tugas-tugas pemerintahan pada tingkat terbawah.[68] Selain para pejabat yang diangkat oleh pemerintah, yang menjadi anggota golongan sosial elit ini adalah para kandidat ujian, para peserta ujian yang telah lulus tapi belum diangkat, para pengajar, dan pejabat-pejabat yang telah pensiun.[69] Orang-orang yang terpelajar ini mengawasi urusan-urusan daerah lokal dan mensponsori fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh komunitas lokal yang diawasi; Hakim-hakim lokal yang diutus oleh pemerintah ke suatu daerah juga bergantung pada kerjasama dengan beberapa ataupun banyak kalangan elit shenshi daerah tersebut.[68] Sebagai contohnya, pemerintah Song -kecuali pada masa pemerintahan Kaisar Song Huizong- menyisihkan sedikit sekali pendapatan negara untuk membiayai sekolah-sekolah tingkat prefektur (州-zhou) dan kabupaten (縣-xian). Pembiayaan sekolah-sekolah tersebut didapatkan dari pembiayaan privat.[70] Terbatasnya peranan pejabat-pejabat pemerintahan ini berbeda dengan peran pejabat pada periode awal Dinasti Tang (618–907), di mana pemerintah secara ketat meregulasi pasar dan pemerintahan daerah. Pada zaman Dinasti Song, pemerintah melepaskan peranannya dalam meregulasi perdagangan dan sebaliknya bergantung pada anggota shenshi untuk mengerjakan tugas-tugas yang diperlukan dalam komunitas lokal.[68]
Berbagai peralatan keramik dari Zhejiang abad ke-13
Roda berputar, sebuah lukisan yang dilukis oleh artis Song Utara Wang Juzheng

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 167.
  2. ^ Rossabi 1988, hal. 115
  3. ^ Rossabi 1988, hal. 76
  4. ^ Brook 1998, hal. 96
  5. ^ Veeck et al. 2007, hal. 103–104
  6. ^ Needham 1986b, hal. 518
  7. ^ Needham 1986c, hal. 469–471
  8. ^ Hall 1985, hal. 23
  9. ^ Sastri 1984, hal. 173, 316
  10. ^ Shen 1996, hal. 158
  11. ^ Brose 2008, hal. 258
  12. ^ Mote 1999, hal. 69.
  13. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 154.
  14. ^ Sivin 1995, hal. 8.
  15. ^ Sivin 1995, hal. 9.
  16. ^ Anderson 2008, hal. 207.
  17. ^ Anderson 2008, hal. 208.
  18. ^ Anderson 2008, hal. 208–209.
  19. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 163.
  20. ^ a b c Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 164.
  21. ^ Sivin 1995, hal. 3–4.
  22. ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 165.
  23. ^ Wang 2000, hal. 14.
  24. ^ Sivin 1995, hal. 5.
  25. ^ a b Paludan 1998, hal. 136.
  26. ^ Shen 1996, hal. 159–161.
  27. ^ a b c Needham 1986d, hal. 476.
  28. ^ Levathes 1994, hal. 43–47.
  29. ^ Needham 1986a, hal. 134.
  30. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 239.
  31. ^ Embree & Gluck 1997, hal. 385.
  32. ^ Adshead 2004, hal. 90–91.
  33. ^ Rossabi 1988, hal. 80.
  34. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 235.
  35. ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 236.
  36. ^ a b Needham 1986a, hal. 139.
  37. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 240.
  38. ^ Rossabi 1988, hal. 55–56.
  39. ^ Rossabi 1988, hal. 49.
  40. ^ Rossabi 1988, hal. 56.
  41. ^ a b Rossabi 1988, hal. 82.
  42. ^ Rossabi 1988, hal. 88.
  43. ^ Rossabi 1988, hal. 94.
  44. ^ Rossabi 1988, hal. 90.
  45. ^ Fairbank & Goldman 2006, hal. 89.
  46. ^ Needham 1986d, hal. 35.
  47. ^ a b Ebrey 1999, hal. 158.
  48. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 170–171.
  49. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 71.
  50. ^ a b Sivin 1995, hal. 1.
  51. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 172.
  52. ^ Sen 2003, hal. 13.
  53. ^ Gernet 1962, hal. 82–83.
  54. ^ Needham 1986d, hal. 465.
  55. ^ "China", Encyclopædia Britannica, 1 Agustus 2007, diakses pada 28 Juni 2007
  56. ^ Gernet 1962, hal. 222–225.
  57. ^ Gernet 1962, hal. 223.
  58. ^ Rossabi 1988, hal. 162.
  59. ^ West 1997, hal. 76.
  60. ^ Ebrey 1999, hal. 145–146.
  61. ^ a b Ebrey 1999, hal. 147
  62. ^ a b c Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 162.
  63. ^ a b Hartwell 1982, hal. 417–418.
  64. ^ a b Hymes 1986, hal. 35–36.
  65. ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 159.
  66. ^ Hartwell 1982, hal. 405–413.
  67. ^ Hartwell 1982, hal. 416–420.
  68. ^ a b c Fairbank & Goldman 2006, hal. 106.
  69. ^ Fairbank & Goldman 2006, hal. 101–106.
  70. ^ Yuan 1994, hal. 196–199

Referensi

  • Adshead, S. A. M. (2004), T'ang China: The Rise of the East in World History, New York: Palgrave Macmillan, ISBN 1403934568 (hardback).
  • Anderson, James A. (2008), "'Treacherous Factions': Shifting Frontier Alliances in the Breakdown of Sino-Vietnamese Relations on the Eve of the 1075 Border War", di dalam Wyatt, Don J., Battlefronts Real and Imagined: War, Border, and Identity in the Chinese Middle Period, New York: Palgrave MacMillan, hlm. 191–226, ISBN 9781403960849
  • Bai, Shouyi (2002), An Outline History of China (edisi ke-Revised), Beijing: Foreign Languages Press, ISBN 7119023470
  • Bol, Peter K. (2001), "The Rise of Local History: History, Geography, and Culture in Southern Song and Yuan Wuzhou", Harvard Journal of Asiatic Studies 61 (1): 37–76, doi:10.2307/3558587
  • Brook, Timothy (1998), The Confusions of Pleasure: Culture and Commerce in Ming China, Berkeley: University of California Press, ISBN 9780520221543
  • Brose, Michael C. (2008), "People in the Middle: Uyghurs in the Northwest Frontier Zone", di dalam Wyatt, Don J., Battlefronts Real and Imagined: War, Border, and Identity in the Chinese Middle Period, New York: Palgrave MacMillan, hlm. 253–289, ISBN 9781403960849
  • Ebrey, Patricia Buckley; Walthall, Anne; Palais, James B. (2006), East Asia: A Cultural, Social, and Political History, Boston: Houghton Mifflin, ISBN 0618133844
  • Ebrey, Patricia Buckley (1999), The Cambridge Illustrated History of China, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 052166991X (paperback).
  • Embree, Ainslie Thomas; Gluck, Carol (1997), Asia in Western and World History: A Guide for Teaching, Armonk: ME Sharpe, ISBN 1563242648
  • Chan, Alan Kam-leung; Clancey, Gregory K.; Loy, Hui-Chieh (2002), Historical Perspectives on East Asian Science, Technology and Medicine, Singapore: Singapore University Press, ISBN 9971692597
  • Fairbank, John King; Goldman, Merle (2006) [1992], China: A New History (edisi ke-2nd enlarged), Cambridge; London: The Belknap Press of Harvard University Press, ISBN 0674018281
  • Fraser, Julius Thomas; Haber, Francis C. (1986), Time, Science, and Society in China and the West, Amherst: University of Massachusetts Press, ISBN 0870234951
  • Gernet, Jacques (1962), Daily Life in China on the Eve of the Mongol Invasion, 1250-1276, Translated by H. M. Wright, Stanford: Stanford University Press, ISBN 0804707200
  • Graff, David Andrew; Higham, Robin (2002), A Military History of China, Boulder: Westview Press
  • Guo, Qinghua (1998), "Yingzao Fashi: Twelfth-Century Chinese Building Manual", Architectural History: Journal of the Society of Architectural Historians of Great Britain 41: 1–13
  • Hall, Kenneth (1985), Maritime trade and state development in early Southeast Asia, Hawaii: University of Hawaii Press, ISBN 0824809599
  • Hansen, Valerie (2000), The Open Empire: A History of China to 1600, New York & London: W.W. Norton & Company, ISBN 0393973743
  • Hargett, James M. (1985), "Some Preliminary Remarks on the Travel Records of the Song Dynasty (960–1279)", Chinese Literature: Essays, Articles, Reviews (CLEAR): hlm. 67–93
  • Hargett, James M. (1996), "Song Dynasty Local Gazetteers and Their Place in The History of Difangzhi Writing", Harvard Journal of Asiatic Studies 56 (2): 405–442, doi:10.2307/2719404
  • Hartwell, Robert M. (1982), "Demographic, Political, and Social Transformations of China, 750-1550", Harvard Journal of Asiatic Studies 42 (2): 365–442, doi:10.2307/2718941
  • Hymes, Robert P. (1986), Statesmen and Gentlemen: The Elite of Fu-Chou, Chiang-Hsi, in Northern and Southern Sung, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0521306310
  • Hsu, Mei-ling (1993), "The Qin Maps: A Clue to Later Chinese Cartographic Development", Imago Mundi 45: 90–100, doi:10.1080/03085699308592766
  • Levathes, Louise (1994), When China Ruled the Seas, New York: Simon & Schuster, ISBN 0671701584
  • Lorge, Peter (2005), War, Politics and Society in Early Modern China, 900–1795 (edisi ke-1st), New York: Routledge
  • McKnight, Brian E. (1992), Law and Order in Sung China, Cambridge: Cambridge University Press
  • Mohn, Peter (2003), Magnetism in the Solid State: An Introduction, New York: Springer-Verlag, ISBN 3540431837
  • Mote, F. W. (1999), Imperial China: 900–1800, Harvard: Harvard University Press
  • Needham, Joseph (1986a), Science and Civilization in China: Volume 1, Introductory Orientations, Taipei: Caves Books
  • Needham, Joseph (1986b), Science and Civilization in China: Volume 3, Mathematics and the Sciences of the Heavens and the Earth, Taipei: Caves Books
  • Needham, Joseph (1986c), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 2: Mechanical Engineering, Taipei: Caves Books
  • Needham, Joseph (1986d), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 3: Civil Engineering and Nautics, Taipei: Caves Books
  • Needham, Joseph (1986e), Science and Civilization in China: Volume 5, Chemistry and Chemical Technology, Part 7: Military Technology; The Gunpowder Epic, Taipei: Caves Books
  • Paludan, Ann (1998), Chronicle of the Chinese Emperors, London: Thames & Hudson, ISBN 0500050902
  • Peers, C. J. (2006), Soldiers of the Dragon: Chinese Armies 1500 BC-AD 1840, Oxford: Osprey Publishing
  • Rossabi, Morris (1988), Khubilai Khan: His Life and Times, Berkeley: University of California Press, ISBN 0520059131
  • Rudolph, R. C. (1963), "Preliminary Notes on Sung Archaeology", The Journal of Asian Studies 22 (2): 169–177, doi:10.2307/2050010
  • Sastri, Nilakanta, K.A. (1984), The CōĻas, Madras: University of Madras
  • Schafer, Edward H. (1957), "War Elephants in Ancient and Medieval China", Oriens 10 (2): 289–291, doi:10.2307/1579643
  • Sen, Tansen (2003), Buddhism, Diplomacy, and Trade: The Realignment of Sino-Indian Relations, 600–1400, Manoa: Asian Interactions and Comparisons, a joint publication of the University of Hawaii Press and the Association for Asian Studies, ISBN 0824825934
  • Shen, Fuwei (1996), Cultural flow between China and the outside world, Beijing: Foreign Languages Press, ISBN 711900431X
  • Sivin, Nathan (1995), Science in Ancient China, Brookfield, Vermont: VARIORUM, Ashgate Publishing
  • Steinhardt, Nancy Shatzman (1993), "The Tangut Royal Tombs near Yinchuan", Muqarnas: an Annual on Islamic Art and Architecture X: 369–381
  • Sung, Tz’u (1981), The Washing Away of Wrongs: Forensic Medicine in Thirteenth-Century China, translated by Brian E. McKnight, Ann Arbor: University of Michigan Press, ISBN 0892648007
  • Temple, Robert (1986), The Genius of China: 3,000 Years of Science, Discovery, and Invention, with a foreword by Joseph Needham, New York: Simon and Schuster, ISBN 0671620282
  • Veeck, Gregory; Pannell, Clifton W.; Smith, Christopher J.; Huang, Youqin (2007), China's Geography: Globalization and the Dynamics of Political, Economic, and Social Change, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, ISBN 0742554023
  • Wagner, Donald B. (2001), "The Administration of the Iron Industry in Eleventh-Century China", Journal of the Economic and Social History of the Orient 44: 175–197, doi:10.1163/156852001753731033
  • Wang, Lianmao (2000), Return to the City of Light: Quanzhou, an eastern city shining with the splendour of medieval culture, Fujian People's Publishing House
  • West, Stephen H. (1997), "Playing With Food: Performance, Food, and The Aesthetics of Artificiality in The Sung and Yuan", Harvard Journal of Asiatic Studies 57 (1): 67–106, doi:10.2307/2719361
  • Wright, Arthur F. (1959), Buddhism in Chinese History, Stanford: Stanford University Press
  • Yuan, Zheng (1994), "Local Government Schools in Sung China: A Reassessment", History of Education Quarterly 34 (2): 193–213, doi:10.2307/369121
morzing.com dunia humor dan amazing!