PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 28 Februari 2011

Kedudukan Strategis Baitul Maqdis dan Tanah Syam dalam Islam


Kota Baitul Maqdis (Al Quds, Yerussalem) dan tanah Syam (sekarang adalah Suriah, Yordania, Palestina, Lebanon, Israel) mempunyai sejarah yang panjang sebagai tanah yang paling dipersengketakan di antara manusia di muka bumi. Itu tidak mengherankan, sebab Baitul Maqdis dan tanah Syam mempunyai kedudukan penting (significance) bagi semua umat manusia dan menjadi tanah utama yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT, sejak dahulu sampai Hari Kiamat nanti.
Bagi umat Islam khususnya, Baitul Maqdis dan tanah Syam –sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri Islam– mempunyai kedudukan strategis yang berkaitan langsung dengan agama Islam itu sendiri.
Kedudukan Strategis Baitul Maqdis dan Tanah Syam
Paling tidak terdapat 8 (delapan) kedudukan strategis Baitul Maqdis dan tanah Syam bagi umat Islam, yaitu sebagai :
  1. Tanah wahyu dan kenabian,
  2. Tanah Isra’ dan Mi’raj,
  3. Tanah kiblat pertama,
  4. Tanah yang ditaklukkan tanpa perang,
  5. Tanah kesabaran dan jihad,
  6. Tanah yang dijanjikan,
  7. Tanah ibu kota Khilafah di masa depan, dan
  8. Tanah tempat semua manusia akan dikumpulkan.
Tanah Wahyu dan Kenabian
Allah SWT telah menjelaskan beberapa kali dalam Al Qur`an, bahwa Baitul Maqdis dan tanah Syam merupakan tanah yang diberkahi Allah, sesuai firman Allah :
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.” (TQS Al Israa’ : 1)
Keberkahan yang dimaksud, antara lain karena di Syam-lah Allah mengutus banyak nabi dan rasul-Nya. Syam juga menjadi tempat berlangsungnya kisah-kisah yang ditunjukkan Al Qur’an. Para malaikat turun di sana dengan membawa wahyu dan dengan wahyu itu para rasul berdakwah. Di tanah Syam pula banyak nabi  dikuburkan. Nabi Isa AS, Dawud AS, dan Sulaiman AS dilahirkan, tumbuh, dan berdakwah di Syam. Nabi Ibrahim AS dan Luth AS pun bermigrasi ke Syam sebagaimana firman Allah SWT :
Kami berfirman,’Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim,’ mereka berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (TQS Al Anbiyaa` : 69-71)
Tanah Syam adalah negeri yang ditetapkan oleh Alah SWT untuk menyelamatkan Nabi Musa AS dan kaumnya dari kekejaman Fir’aun. Syam adalah negeri tempat dikuburkannya Nabi Ibrahim AS, Ishaq AS, Ya’qub AS, Yusuf AS, dan Musa AS.
Secara ringkas, Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan kesucian tanah Syam ini sesuai riwayat Imam At-Tirmidzi dari shahabat Zaid bin Tsabit Al-Anshari RA yang menyatakan bahwa, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda :
‘Betapa diberkahinya Syam ! Betapa diberkahinya Syam !’ Lalu orang-orang bertanya,’Bagaimana ia diberkahi wahai Rasulullah ?’ Nabi menjawab,‘Para malaikat membentangkan sayapnya di atas Syam, dan para nabi telah membangun Baitul Maqdis (Al Quds).” Ibnu Abbas menambahkan bahwa Rasulullah bersabda, ‘Dan para nabi tinggal di Syam, dan tidak ada sejengkal pun kota Baitul Maqdis kecuali seorang nabi atau malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.” (HR At Tirmidzi)
Tanah Isra’ dan Mi’raj
Nabi Muhammad SAW telah melakukan perjalanan malam dari Baitul Maqdis (Al-Quds) bertolak dari Makkah, dan kemudian dari Baitul Maqdis melakukan mi’raj ke langit ke tujuh. Al Masjidil Aqsha adalah tempat berakhirnya Isra’ Nabi dan tempat bermulanya Mi’raj Nabi. Pada saat malam Isra’ Mi’raj itu, Baitul Maqdis menjadi tempat Muhammad SAW melakukan sholat sebagai imam bersama para nabi lainnya (HR. Ahmad Ibn  Hanbal, dari Ibnu Abbas). Allah SWT berfirman :
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.” (TQS Al Israa’ : 1)
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (TQS An Najm : 13-18)
Isra’ dan Mi’raj adalah salah satu peristiwa terpenting dalam Sirah Muhammad SAW.  Peristiwa ini terjadi pada bagian terakhir dari fase Makkah pada bulan Rajab (619 M). Isra’ Mi’raj menjadi pemisah antara orang-orang yang beriman dan yang kafir, sebab setelah peristiwa itu beberapa orang murtad dan keluar dari Islam, sementara Abu Bakr yang membenarkan dan mengimani Isra’ Mi’raj,  mendapatkan gelar Ash-Shiddiq, yang artinya ‘orang yang  sangat membenarkan.’
Masjid Al-Aqsha menjadi tempat suci ketiga bagi umat Islam dan merupakan satu dari tiga masjid yang direkomendasikan Nabi untuk dikunjungi. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
‘Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja  kecuali ke tiga masjid : masjidku ini (di Madinah), Al Masjidil Haram (di Makkah), dan Al Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain Imam At-Thabrani dan Al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Al-Darda` bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sekali sholat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 sholat. Sekali sholat di Masjidku ini (di Madinah) sama dengan 1000 sholat. Dan sekali sholat di al Masjid Al-Aqhsa sama dengan 500 sholat.”  (HR. At Thabrani dan Al-Bazzar)
Tanah Kiblat Pertama
Arah kiblat yang pertama bagi Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin dalam sholat adalah ke arah Baitul Maqdis (Al Quds). Ini berlangsung selama 16 atau 17 bulan sampai Allah SWT menurunkan wahyu untuk mengubah arah kiblat ke arah Ka’bah. Perubahan kiblat ini terjadi pada bulan Sya’ban –atau mungkin Rajab— pada tahun ke-2 Hijrah setelah berdirinya Daulah Islamiyah di  Madinah. Allah SWT berfirman :
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (TQS Al Baqarah : 144)
Tanah Yang Ditaklukkan Tanpa Perang
Pada masa kepemimpinan Khalifah kedua Umar bin Al-Khaththab RA, Al-Quds ditaklukkan oleh pasukan Islam (638 M). Hal khusus yang perlu diingat dalam penaklukan Al-Quds ini adalah tidak terjadinya peperangan. Umar RA disambut di kota itu oleh orang-orang Kristen. Karena ditaklukkan tanpa perang, maka Syam termasuk tanah Usyriyah (al ardh al ‘usyriyah) yang berbeda perlakuannya dengan tanah-tanah yang ditaklukkan dengan perang (al ardhu al kharajiyah).
Tanah Kesabaran dan Jihad
Banyak hadits yang menerangkan bahwa seseorang yang tinggal di Baitul Maqdis akan seperti orang yang berjihad atau berperang fi sabilillah. Misalnya Mu’az Ibn Jabal RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Hai Muadz ! Allah Yang Maha Kuasa akan membuat kalian sanggup menaklukkan Syam, setelah kematianku, dari wilayah Al-Arisy sampai Efrat. Para lelaki dan wanitanya akan terus berjihad sampai Hari Kiamat. Siapa saja di antara kalian yang memilih tinggal perbatasan Syam atau Baitul Maqdis (Al-Quds) dia akan berada dalam keadaan berjihad sampai Hari Kiamat.”
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya bahwa Abu Umamah Al-Bahili meriwayatkan Nabi SAW bersabda :
“Sebuah kelompok dari umatku akan selalu menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyalahi dan berbeda pendapat dengan mereka, sampai datang keputusan Allah atas mereka.’ Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah, di manakah mereka ?’ Nabi menjawab, ”Di Baitul Maqdis dan di sekitarnya.” (HR Ahmad)
Sesungguhnya, sepanjang sejarah Islam dan juga masa sekarang, kebenaran yang diucapkan Nabi SAW itu telah terbukti. Pendudukan atas seluruh Palestina, tak hanya Tepi Barat atau Jalur Gaza, tidak pernah membuat kaum muslimin merasa kalah. Seperti halnya ketika kaum Salib menduduki Syam lebih lama daripada kaum Israel saat ini. Akan tetapi Allah SWT terbukti telah memunculkan seorang pemimpin di antara kaum mu`min, yaitu Salahuddin Al-Ayubi, yang tercatat dalam sejarah sebagai pembebas Palestina dari cengkeraman kaum Salib yang kafir.
Tanah Yang Dijanjikan
Allah SWT telah berjanji kepada para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan beramal shaleh bahwa Dia akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Allah akan meneguhkan keadaaan mereka dan akan menunjuk mereka untuk mengelola Baitul Maqdis. Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman:
Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu,’Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dan kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran  untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta dan kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukum bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (TQS Al Israa` : 4-7)
Dan Kami berfirman sesudah itu kepada Bani Israil,’Diamlah di negeri ini, maka apabila datang masa berbangkit, niscaya Kami datangkan kamu dalam keadaan bercampur baur (dengan musuhmu).” (TQS Al Anbiyaa` : 104)
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (TQS Ali ‘Imran : 112)
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai Hari Kiamat orang-orang yang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan.” (TQS Al A’raaf : 167-168)
Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari kepada Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (TQS An Nisaa` : 104)
Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” (TQS Muhammad : 35)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.” (TQS An Nuur : 55)
Tanah Ibu Kota Khilafah yang Akan Datang
Pada saat kita hidup dalam keadaan hina dan terpuruk saat ini, kita harus mempunyai harapan  akan janji Allah SWT. Kita dapat menghubungkan janji Allah ini dengan kembalinya Khilafah suatu saat nanti di tanah Syam dalam beberapa hadits Nabi Muhammad SAW. Imam Ahmad meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir bahwa Nabi SAW bersabda:
“Telah datang suatu masa kenabian (nubuwwah) atas kehendak Allah kemudian berakhir.  Setelah itu akan datang masa Khilafah Rasyidah sesuai dengan jalan kenabian, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir.  Lalu, akan datang masa kekuasaan yang terdapat di dalamnya banyak kezhaliman (mulkan jabriyan), atas kehendak Allah, kemudian berakhir pula.  Lantas, akan datang zamannya para diktator (mulkan ‘adhan), atas kehendak Allah, akan berakhir juga.  Kemudian (terakhir), akan datang kembali masa Khilafah Rasyidah yang mengikuti jalan kenabian.’ Kemudian Nabi diam.   (HR. Imam Ahmad dan Al Bazzar)
Ibn Asakir meriwayatkan dari Yunus bin Maisarah bin Halbas bahwa Nabi Muhammad SAW berkata:
“Perkara ini (Khilafah) akan ada sesudahku di Madinah, lalu di Syam, lalu di Jazirah, lalu di Iraq, lalu di Madinah, lalu di Al-Quds (Baitul Maqdis). Jika ia (Khilafah) ada di Al-Quds, pusat negerinya akan ada di sana dan siapa pun yang memaksanya (ibu kota) keluar dari sana (Al Quds), ia (Khilafah) tak akan kembali ke sana selamanya.”
Ibn Sa’d meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Umairah Al-Mazni dia berkata,
“Akan ada bai’ah untuk setia mengikuti pimpinan yang ada di Baitul Maqdis (Al-Quds).”
Tanah Tempat Semua Manusia Akan Dikumpulkan 
Banyak hadits menunjukkan bahwa Baitul Maqdis adalah tanah tempat semua manusia akan dibangkitkan pada Hari Kebangkitan di hadapan Allah SWT. Di antaranya adalah riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya bahwa Maimunah, saudara perempuan Sa’ad dan pembantu Rasulullah SAW, berkata :
‘Wahai Nabi, berikanlah kami sebuah pernyataan tentang Baitul Maqdis.’ Nabi menjawab,‘Dia adalah tanah tempat manusia dibangkitkan dan dikumpulkan.” (HR. Ahmad)
Allah SWT berfirman :
Dan dengarkanlah (seruan) pada hari penyeru (malaikat) menyeru dari tempat  yang dekat.” (TQS Qaaf : 41)
Beberapa mufassir mengatakan bahwa tempat yang dekat dengan tempat malaikat Israfil AS meniup terompetnya itu,  adalah Baitul Maqdis (Al-Quds).
Penutup
Akhirul kalam, sebagai muslim, kita wajib merealisasikan kedudukan strategis Baitul Maqdis dan tanah Syam dalam Islam dengan cara membebaskannya dari cengkeraman musuh. Kita harus berjuang melawan siapa pun yang akan menghilangkan kesucian dari Baitul Maqdis dan tanah Syam, atau siapa pun yang memaksa kita untuk berdamai (baca : menyerah) kepada musuh, walau pun itu berarti darah kita harus tertumpah habis. Kita pun harus menentang sikap para pemimpin kita yang berkhianat, yang lebih suka mengadakan konferensi-konferensi perdamaian dengan Israel dan mengistirahatkan tentaranya di barak-barak, sementara bocah-bocah muslim di Palestina yang tak bersenjata harus menghadapi serbuan peluru, roket, dan tank tentara Israel yang ganas dan kejam hanya dengan batu dan dada mereka.
Keimanan kita kepada Allah SWT menjadi dasar perjuangan kita. Ingatlah bahwa Allah SWT telah berjanji kepada kita untuk memenangkan kita jika kita beriman dan dan beramal shaleh. Kita berharap Allah SWT akan segera merealisasikan kemenangan itu agar kalimat Allah saja yang tertinggi di muka bumi. [ Ir.Muhammad Shiddiq Al Jawi ]
-  -  -  -  -  -  -  -  -
*Makalah disampaikan dalam Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW diselenggarakan oleh Panitia Isra’ Mi’raj Akubank YIPK Yogyakarta, di Mushalla Akubank YIPK Yogyakarta, Rabu, 17 Oktober 2001
(Makalah ini saduran dari artikel The Significance Of Baitul Maqdis (Al-Quds) & The Land Of Al-Sham In Islam, karya Badrul Rasyid, dalam situs www.khilafah.com, tanggal akses : Ahad, 14 Oktober 2001)

Apa Warisan Rasulullah saw.?


Selamat! Kamu mendapat warisan Rp 1 miliar!” Waaaah, pasti kamu nggak percaya kalo dapat kabar seperti ini. Menganggap lagi mimpi dan buru-buru pengen cepat bangun. Kenapa nggak percaya? Karena duit segitu tuh banyak banget. Nggak nyangka aja bakalan dapetin warisan, gitu lho. Tapi kalo emang itu adalah kenyataan, ya terima saja. Kali aja dirimu jadi ahli waris dari ortumu yang ngedadak kaya karena dapet undian, terus saking kagetnya meninggal. Jadi deh kamu ahli warisnya. Siapa tahu kan? Ih, tapi amit-amit deh dapetin duit banyak juga kalo harus kehilangan ortu mah. Tul nggak?
Tapi intinya, mendapatkan warisan tuh senang. Apalagi sebanyak itu pasti senangnya berlipat-lipat banget kan? Pasti gembira sekali. Hmm.. ini wajar banget kok. Sebab, siapa sih yang nggak senang dapetin harta, apalagi melimpah begitu? But, kalo warisannya berupa harta sih, sehari aja bisa habis kok. Entah ada yang ngerampok atau kamu langsung borong sembako, beli rumah, beli mobil dan macem-macem. Sampe puas. Kalo pun nggak sehari habis, tapi cepat atau lambat pasti habis juga kalo nggak bisa ngelolanya.
Eit, cukup prolognya ya jangan ngayal dan jangan keterusan ngomongin soal ini. Dua paragraf pembuka tadi sekadar cantolan aja dari pembahasan utama kita pada edisi pekan ini. Yup, intinya kita emang bakalan ngomongin soal warisan, tapi bukan warisan berupa harta, gitu lho.
Lalu warisan apa? Yes, mari kita bicara soal warisan Rasulullah saw. untuk kaum muslimin. Untuk kita-kita yang emang meneladani beliau dalam seluruh aspek kehidupan. Nah, Rasulullah saw. sebenarnya udah ngasih warisan yang nggak bikin kita sesat kalo kita mau mengamalkan warisan yang harganya nggak bisa ditukar dengan duit Rp 1 miliar atau berapa pun besarnya.
Sobat, apa yang diwariskan oleh Rasulullah saw. kepada kita? Beliau saw. bersabda:
???????? ??????? ?????????? ???? ????????? ??? ????????????? ??????? ??????? ??????? ????????? ?????????
Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya; Kitabullah dan Sunnah nabiNya,” (HR Imam Malik)
Kalo membaca hadis ini, kayaknya nggak ada yang aneh deh. Maksudnya? Iya, maksudnya al-Quran dan as-Sunnah adalah dua istilah yang udah kita kenal sejak pertama kali ngaji. Cuma yang jadi masalah tuh, sejauh mana sih kita mau ngerti dan mengamalkan ajaran-ajaran di dalamnya yang udah diwariskan oleh Rasulullah saw. itu. Iya nggak sih? Sebab, praktiknya sih kaum muslimin malah banyak yang ngamalin ajaran yang bukan warisan dari Rasulullah saw. Mau bukti? Yuk kita bahas sama-sama.
Nasionalisme warisan Rasulullah saw.?No! No! Salah banget, Bro. Rasulullah saw. sama sekali nggak nyuruh kita menjadikan nasionalisme sebagai bagian dari pandangan hidup kita. Ya, Rasulullah saw. mengecam mereka yang mengamalkannya. Beliau saw. bersabda: “Bukan golongan kami yang menyeru pada ashabiyyah, berperang karena ashabiyyah dan mati karena ashabiyyah.” (HR Abu Daud)
Oya, dalam hadis ini disebut dengan istilah ashabiyyah. Apa itu ashabiyyah? Ashabiyyah artinya semangat golongan. Sekarang-sekarang kita suka dengar istilah itu dengan nama sukuisme, patriotisme, nasionalisme. Pokoknya ashabiyyah itu adalah bangga terhadap kelompoknya, sukunya, atawa negaranya melebihi kebanggaannya kepada Islam.
Kabilah-kabilah di wilayah Arab pada masa jahiliyah acapkali membanggakan kelompok masing-masing. Termasuk kalo ada kabilah yang kebetulan lebih maju dari kabilahnya, mereka suka iri, lalu menebar dendam dan terjadilah perang. Idih, hina banget ya? Cuma persoalan sepele kok ribut. Aneh ya?
Sepanjang abad kelima, salah satu perang yang sangat terkenal alah Harb al-Basus, yang disebabkan oleh terbunuhnya unta bernama Basus milik seorang tua dari Bani Bakr. Perang ini berlangsung selama 30 tahun dan masing-masing saling menyerang, merampas, dan membunuh. Harb Dahis wa’l Ghabraa timbul karena ketidak-jujuran dalam suatu pacuan kuda antara Suku Abs dan Dhabyan di Arabia Tengah. Perang ini berlangsung sampai beberapa waktu. Kedua Suku Aus dan Khazraj di Yastrib (sekarang Madinah) juga terlibat dalam Harb al Bu’ath (Perang Bu’ath), dan di Mekkah Suku Quraisy dan sekutunya, Bani Kinanah, berperang dengan Suku Hawazin dalam perang Harb al-Fujjar (Akar Nasionalisme di Dunia Islam, hlm. 14).
Rasulullah saw, baginda kita bersabda saat terjadi peristiwa perang yang mengusung semangat antar golongan: “Wahai kaum muslimin, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam; yang karena itulah kalian menjadi mulia dan men­jauhkan diri dari paganisme, menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersaudara karenanya?”
So, jangan sampe kita membela kelompok yang menyerukan semangat golongan. Padahal seharusnya kita membela kelompok, dimana dasar pembelaan kita adalah karena ikatan akidah Islam. Bukan yang lain. Sebab, inilah yang diperintahkan oleh Allah Swt. dalam firmanNya:
????????????? ???????? ??????? ???????? ????? ??????????? ??????????? ???????? ??????? ?????????? ???? ???????? ????????? ????????? ?????? ??????????? ?????????????? ???????????? ?????????? ?????????? ????? ????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ??????? ???????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????????? ???????????
Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah ketika kalian dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan hingga Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian, karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk. (QS Ali Imrân [3]: 103)
So, kalo sekarang seorang muslim semangat banget memperingati berdirinya negara atas dasar nasionalisme, bahkan penuh perjuangan membela dan mempertahankan ikatan nasionalisme ini, berarti emang udah nggak nganggap Islam sebagai warisan pandangan hidup yang wajib dijaga dan dipertahankan. Atau minimal banget dirinya tidak tahu masalah yang sebenarnya karena nggak pernah mempelajari Islam dengan benar dan baik. Lebih kenal dengan nasionalisme ketimbang dengan Islam. Sungguh memprihatinkan, Bro!
Demokrasi warisan Rasulullah saw.?Sumpah. Nggak banget. Salah besar kalo Rasulullah saw. mewariskan demokrasi kepada kita. Justru demokrasi itu bertentangan dan bahkan menentang Islam.
Sobat, asas dari ideologi Kapitalisme adalah Sekularisme. Nah, sekularisme ini merupakan dasar bagi semua penyelesaian yang ditetapin sama Kapitalisme lho. Sekaligus juga Sekularisme menjadi asas bagi setiap pemikiran yang dicetuskan oleh Kapitalisme. Sebenarnya sih, sekularisme yang emang lahir dari sebuah proses kompromi ini telah memberikan suatu anggapan bahwa manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri.
Hal ini nggak akan bisa terealisasi kecuali jika manusia diberikan kebebasan dan dilepaskan dari segala ikatan. Dari sini, lahirlah kemudian ide kebebasan (liberalisme) yang selanjutnya menjadi sesuatu yang inheren alias melekat dalam ideologi Kapitalisme. Dari ide kebebasan ini, pada gilirannya, lahirlah konsep demokrasi; sebuah konsep yang menghendaki manusia steril dari intervensi pengaturan pihak lain (baca: agama atau Tuhan), sekaligus menghendaki agar manusia diberikan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri.
Sederhananya gini deh. Sekularisme itu akidahnya Kapitalisme. Sementara mesin politiknya untuk menggerakkan sistem Kapitalisme ini adalah demokrasi. Sebagaimana sejarahnya, demokrasi itu bukan berasal dari ajaran Islam. Tapi, mengapa sebagian besar kaum muslimin lebih suka mewarisi aturan buatan manusia ini ketimbang aturan buatan Allah Swt.? Mengapa lebih memilih warisan Voltaire dan Montesque ketimbang warisan Rasulullah saw.? Sungguh terlalu!
Akibat menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup di seluruh dunia (termasuk di negeri-negeri kaum muslimin), kini sudah biasa kita lihat orang bebas berbuat apa saja atas nama HAM (Hak Asasi Manusia) yang memang dinaungi oleh demokrasi. Seks bebas sudah marak, korupsi jadi budaya, kriminalitas tiada henti, perzinaan yang dilindungi (baca: lokalisasi pelacuran), dan banyak masalah manusia yang lahir akibat diterapkannya demokrasi bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Celaka dua belas!
Pilih warisan Rasulullah saw.  or penjajah?Sobat, semoga kita mulai sadar dengan kondisi kita saat ini. Benarkah dalam praktik kehidupan sehari-hari kita udah menjadikan warisan Rasulullah saw. (yakni Islam) sebagai pedoman hidup kita atau malah sebaliknya menjadikan warisan penjajah negeri ini (Belanda) sebagai pedoman hidup kita?
Setiap tahun masyarakat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan negeri ini. Merasa udah merdeka dan merasa udah bebas dari tekanan penjajahan. But, kayaknya kita banyak lupa atau malah melupakan kalo yang namanya penjajahan bukan cuma secara fisik, tapi juga secara ideologi, hukum, pemerintahan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Nyatanya? Sungguh kita pantas bersedih karena negeri ini—meski ngaku-ngaku merdeka dari penjajahan secara fisik—ternyata masih menjadi hamba penjajah. Buktinya apa? KUHP alias Kitab Undang-Undang Hukum Pidana misalnya, masih setia dipake untuk ngatur kehidupan negeri ini. Demokrasi menjadi konsep politik yang diyakini kebenarannya, bahkan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh muslim. Lha, masih cinta sama penjajah dan rela dijajah rupanya. Piye iki? Dapat imbalan apa sih kalo bela-belain demokrasi? Jabatan? Harta? Hmm.. jangan sampe syahadat kita tak berkutik di hadapan demokrasi.
Pantesan aja kita banyak yang tersesat saat ini dan kehidupan kita ancur-ancuran karena nggak menjadikan Islam yang merupakan warisan Rasulullah saw. sebagai pandangan hidup kita (ideologi negara). Justru malah menjadikan warisan penjajah sebagai the way of life. Cinta dan ketaatan kita bukan kepada Allah Swt. dan RasulNya kalo tetap menjadikan demokrasi sebagai pedoman hidup kita dan sekularisme sebagai akidah kita. Yuk, ada baiknya kita renungkan firman Allah Swt.: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaahaa [20]: 124)

Adab-Adab Khutbah Jum’at


Khutbah Jum’at merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khathib seringkali menyampaikan khutbah yang membosankan yang berputar-putar dan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khutbah Jum’at adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur. Maksudnya, kalau Anda terkena penyakit itu, hadirilah khutbah Jum’at, niscaya Anda akan dapat tertidur nyenyak !
Di samping itu, para khathib itu juga tak jarang menyampaikan khutbah dengan cara yang kurang sesuai dengan adab khutbah Jum’at yang seharusnya. Misalnya, mereka berkhutbah dengan suara yang lemah lembut. Mungkin dianggapnya itu adalah cara yang penuh “hikmah” dan lebih cocok dengan karakter orang Indonesia yang konon ramah tamah, mencintai harmonisasi kehidupan, serta suka kedamaian dan kelembutan (?). Tentu akibatnya lebih fatal.  Sudah materinya membosankan, penyampaiannya malah bikin orang terlena di alam mimpi. Padahal menurut contoh Nabi SAW, beliau berkhutbah secara bersemangat dengan kata-kata yang terucap secara keras dan tegas. Jika para khathib menggunakan cara penyampaian yang diteladankan Nabi ini, dengan materi yang aktual, hangat, dan dinamis, niscaya para hadirin akan bergairah dan penuh semangat, tidak lesu dan mengantuk seperti yang sering kita lihat.
Karena itu, kita harus mempelajari kembali adab-adab khutbah Jumat sebagaimana yang ada dalam tuntunan Syariah Islam yang mulia. Tujuannya adalah agar para khathib dapat menjalankan khutbah Jum’at dengan sebaik-baiknya dan agar khutbah yang disampaikan dapat turut memberikan kontribusi yang lebih positif bagi dinamika dakwah Islam.
Adab Khutbah Jum’atAdab khutbah Jum’at dapat diartikan sebagai sekumpulan tatacara khutbah Jum’at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya1.
Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khutbah Jum’at di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya2. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah jum’atan, demikian menurut seluruh imam madzhab3. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib4. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah)5.
2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)6
3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam madzhab Syafi’i ada 5 (lima) : (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama), (5) Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.7
Adapun syarat-syaratnya ada 6 (enam) perkara : (1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at, (2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah, (3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa  bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an8, (4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah, (5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya, (6) Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama9.
4. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar10.
5. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu11.
6. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah)12. Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim  dan Ibnu Majah)13.
7. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah14. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)15.
8. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele)16. Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)
9. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat  berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani-18.
10. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin19, yakni  peristiwa  atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.
Maka dari itu, perkara khatib saat ini pun seharusnya juga mengaitkan khutbahnya dengan realitas atau problem kontemporer yang ada di kalangan kaum muslimin, dan tidak sekedar mengulang-ulang khutbah yang kurang memberi kesadaran bagi hadirin, dengan tema  yang itu-itu saja yang tentu akan membuat hadirin jemu, mengantuk, atau bahkan tertidur. Wallahu a’lam. [Muhammad Shiddiq Al Jawi - Dosen Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute ]
CATATAN :
  1. Kata “adab” (jamknya “aadaab”) dalam bahasa Arab mempunyai beberapa  makna, di antaranya adalah sejumlah tatacara yang selayaknya dilaksanakan oleh orang yang mempunyai pekerjaan / profesi (fan) atau aktivitas/tugas (shina’ah/tashurruf) tertentu. Misalnya, abad-adab Qadly (hakim) atau Khatib (penulis / pengarang). Lihat Al Mu’jamul Wasith, Dr. Ibrahim Anis dkk., hal. 9-10. Lihat Kamus Al Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, jal. 14, 115, dan 853.
  2. Lihat Ahkamush Shalat, Ali Ar Raghib, hal. 104
  3. Lihat Rohmatul Ummah, (terjemahan), hal. 105
  4. Ibid., hal. 105.
  5. Lihat Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, jilid III/304, Syarah As Sunnah, Imam Al Baghawi, jilid  IV / 24-27, Majma’uz Zawaid, Al Haitsami, II/187, Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid I/262.
  6. Lihat Majma’uz Zawaid, jilid II/184, Fiqih Sunnah, jilid I/260.
  7. Lihat Al Fiqih ‘Ala Al Madzahib Al ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jaziri, jili I/390.
  8. Perhatikan rinciannya dalam Al Fiqih ‘Ala Al Madzahibi Al ‘Arba’ah, jilid I/391-392.
  9. Lihat Al-Fiqih ‘Ala Al Madzahibi Al ‘Arba’ah, jilid I/392
  10. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104 , Syarah Sunnah, jilid II/242 dan 244, Majma’uz Zawaid, jilid II/183
  11. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
  12. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 105, Fiqih Sunnah, jilid I/262. Nailul Authar, jilid III/307.
  13. Lihat Nailul Authar, jilid III/307, Fiqih Sunnah, jilid I/263.
  14. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
  15. Lihat Nailul Authar, jilid III/305. Menurut Asy Syaukani, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, isnad hadits ini hasan.
  16. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 105, Fiqih Sunnah, jilid I/263, Nailul Authar, jilid III/305-307.
  17. Lihat Majma’uz Zawaid, jilid II/190. Syarah Sunnah, jilid II/251.
  18. Lihat Nailul Authar, jilid III/308, Syarah Sunnah, jilid II/255.
  19. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.

Tinjauan Terhadap Hubungan Agama-Negara


Tinjauan hubungan agama-negara –secara ideologis– pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan  adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya (An Nabhani, 1953). Oleh sebab itu, pembahasan hubungan agama-negara harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut, baru kemudian secara langsung dibahas hubungan agama-negara sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut.
Mengingat kini ideologi yang ada di dunia ada 3 (tiga), yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun setidaknya ada 3 (tiga) macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme, dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pelbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama-negara.

Pandangan yang Berkembang
Aqidah Sosialisme adalah Materialisme (Al Maaddiyah), yang menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Materi merupakan dasar eksistensi segala macam pemikiran. Dari ide materialisme inilah dibangun 2 (dua) ide pokok dalam Sosialisme yang mendasari seluruh bangunan ideologi Sosialisme, yaitu Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme (Ghanim Abduh, 1964).
Atas dasar ide materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh ide materialisme. Bahkan agama dalam pandangan kaum sosialis hanyalah ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat yang harus dimusnahkan dari muka bumi. (Lihat Karl Heinrich Marx, Contributon to the Critique of Hegel’s Philosophi of Right (1957 : 42)
Dengan demikian, menurut Sosialisme, hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan.
Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau sekularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui –walaupun hanya secara formalitas– namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,  budaya, dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan tuhannya, sedang hubungan manusia satu sama lain diatur oleh manusia itu sendiri (Zallum, 1993).
Berdasarkan aqidah Kapitalisme, formulasi hubungan agama-negara dapat disebut sebagai hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari arena kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia.  Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)
Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah, hancurlah perikehidupan manusia.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199 berkata :
“Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.”
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394 telah menyatakan : 
“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama  terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.”

Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fil Islam hal. 17 mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Seluruh imam madzhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah)  ini.  Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…”
Tak hanya kalangan empat madzhab dalam Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah juga termasuk Khawarij dan Mu’tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 mengatakan :
“Menurut golongan Syi’ah, mayoritas Mu’tazilah dan Asy’ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.”
Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal WalAhwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan :
“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…”
Kekeliruan Kaum Substansialis
Kendatipun hubungan agama dan negara dalam Islam sudah jelas dan gamblang, namun sayangnya masih saja ada saja kesalahpahaman atau kekeliruan pada sebagian orang mengenai hal tersebut. Kekeliruan yang paling umum dijumpai adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang penting bukan bentuk formal negaranya, yakni Khilafah, tetapi substansi ajaran Islam itu sendiri, seperti keadilan, persamaan, persatuan, dan sebagainya. Prinsip-prinsip itulah yang katanya penting dan substansial, bukan bentuk negara secara legal-formal. Karena itu, Khilafah bisa saja diganti dengan sistem republik, kerajaan, atau sistem politik lainnya asalkan substansi ajaran Islam tetap dapat dipelihara dan diwujudkan.
Secara global, dapat ditegaskan bahwa pola pikir semacam ini tidak mungkin terlahir dari Aqidah Islamiyah, sebab pola pikir ini jelas-jelas bertentangan dengan Aqidah Islamiyah dan bertentangan pula dengan nash-nash tafshili (rinci) yang menegaskan kewajiban Khilafah. Dibuang kemana gerangan dalil-dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qa’idah Syar’iyyah yang mendasari wajibnya Khilafah? Apakah semua dalil yang sahih itu bisa saja dengan mudah diingkari dengan dalih bahwa Khilafah sekedar aspek legal-formal, bukan substansi? Dibuang kemana pula pendapat para imam madzhab dan mujtahidin terpercaya yang mengatakan wajibnya Khilafah? Apakah semua pendapat para ulama itu –rahimahumullah– adalah sampah kotor yang harus dimasukkan tempat sampah ataukah hanya sekedar dongeng cengeng bernada romantisme yang tidak laku lagi dijual di era modern ini?
Jelaslah, pola pikir kaum substansialis sebenarnya lahir dari Aqidah Kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Aqidah inilah sebenarnya asumsi pokok yang mendasari seluruh bangunan argumentasi sekuleristik dari kaum substansialis. Hanya saja, mereka tidak menyatakann asumsi ini secara terang-terangan, sebab jika dinyatakan, tentu akan mendapat reaksi dan tentangan keras dari umat Islam (Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, 1980).
Kritik terhadap pendapat ini secara lebih rinci adalah sebagai berikut :
  1. Apa yang disebut-sebut sebagai “substansi” Islam itu sendiri sebenarnya tidak begitu jelas apa maksudnya dan apa maunya, demikian pula poin-poin dalam “substansi”, seperti persatuan, keadilan, dan lain-lain. Ada kalanya “substansi” itu disejajarkan dengan “maqashidusy syari’ah” yang merupakan tujuan penerapan syariah, seperti muhafazhah ‘alal mal, muhafazhah ‘alal karamah, muhafazhah ‘alal aql, dan seterusnya. Ada kalanya “substansi” itu ditafsirkan sebagai nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua pihak dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa memandang agama dan keyakinan individunya. Ketidak jelasan pengertian “substansi” Islam ini saja sebenarnya sudah menunjukkan kelemahan dan kerapuhan cara pandang kaum substansialis mengenai hubungan agama-negara. Sebab kejelasan pengertian suatu terminologi dalam pemaparan sebuah ide adalah suatu keharusan dan tuntutan yang mutlak. Kejelasan pengertian di samping merupakan tuntutan akademis dan tuntutan ilmiah, juga merupakan suatu faktor yang akan membuat terminologi itu menjadi operasional. Kekaburan makna dari suatu istilah tidak lain hanyalah menunjukkan adanya kecacatan  ide secara akademis dan ilmiah, di samping mengakibatkan suatu istilah menjadi tidak operasional (Amien Rais, 1991). Dengan demikian, ide kaum substansialis ini tak lebih hanyalah sebuah ide kosong yang tak ada substansinya.
  2. Tidak ada kejelasan kategorisasi istilah “substansi” atau “formal”, apakah ia suatu definisi syar’i (at ta’rif asy syar’i) yang harus diistinbath dari dalil-dalil syar’i, ataukah definisi non-syar’i (at ta’rif ghairu syar’i) yang memang semata merupakan deskripsi fakta (Zallum, 1985). Juga tidak jelas bagaimana muncul pengutamaan atau prioritas “substansi” daripada “formal”, sehingga seolah-olah yang wajib itu “substansi”, sedang “formal” itu tidak wajib. Ketidak jelasan kategorisasi ini semakin mengaburkan apa yang dimaksud dengan “substansi”.
  3. Mengutamakan “substansi”  daripada aspek “legal-formal”, dapat diartikan mengutamakan tujuan daripada cara. Cara apa saja bisa ditempuh, asalkan tetap menuju kepada satu tujuan. Ini tentu saja kaidah berpikir yang bertentangan dengan Islam. Islam tidak demikian. Satu tujuan yang Islami, harus dicapai dengan cara yang Islami pula, bukan dengan sembarang cara, apalagi dengan menggunakan hukum-hukum kufur. Islam tidak mengenal prinsip “Al Ghayah tubarrirul waashitah” (Tujuan dapat menghalalkan segala cara/ the end justifies the means). Kaidah yang benar adalah “Al Ghayah laa tubarrirul waashithah”, artinya, tujuan tidak membenarkan segala sarana atau cara. Suatu tujuan yang Islami, harus semata ditempuh dengan cara yang Islami, bukan yang lain (An Nabhani, 1964).
PenutupHubungan agama-negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Hubungan ini sangatlah eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.
Hubungan ini secara nyata akan dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah Islamiyah, yang pendiriannya merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Tanpa Khilafah, agama dan negara akan terpisah dan terceraikan. Dalam keadaan demikian, menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh adalah utopia, ibarat mimpi di siang bolong. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi** ]
- – - – -
Disampaikan dalam Diskusi Panel pada Pesantren & Silaturrahmi Mahasiswa Muslim Se-Indonesia (PSMMI), DKM Universitas Padjadjaran, di Kampus II Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang, hari Sabtu 8 Juli 2000.
**Pemerhati fiqih siyasah.

Superhero Sejati


Mulai awal bulan Agustus 2007 ini, salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini menggelar film serial televisi Heroes yang konon kabarnya heboh di Amrik sono sejak tahun 2006 lalu. Yup, kita jadi tambah kenalan superhero macam Nathan Petrelli (Adrian Pasdar), Peter Petrelli (Milo Ventimiglia), Angela Petrelli (Cristine Rose), Claire Bennet (Hayden Panettiere), Hiro Nakamura (Masi Oka), Ando Masahashi (James Kyson Lee), dan jagoan superhero lainnya dalam serial televisi ini.
Di film ini ada superhero yang lentur banget tulangnya. Lehernya bisa berputar sampe 360 derajat. Jadi kalo kecelakaan di bagian leher tetep aman. Ada yang bisa terbang dengan kecepatan bak meteor, ada yang bisa ninju orang ampe mental dengan tenaga dalam yang super-duper (eh, istilah ini mah buat makanan atuh ya, karena arti kiasan dari super-duper adalah enak sekali).
Para pahlawan super ini kayaknya kian melengkapi jagoan khayalan dari negeri Ajo Rijal, eh, Ajo Sam ini (backsound: kalo Ajo Rijal sih identik ama Sate Padang ya?). Superhero yang udah kita kenal banget sejak kecil adalah Superman, Batman, Captain America, Spiderman, terus gerombolan mutan macam Wolverine, Cyclops, Magneto, Profesor Xavier, dll yang tergabung dalam komunitas X-Men.
Superhero jadi-jadian alias khayalan ini memang menghibur siapa pun. Punya kelebihan dan keahlian yang bisa diandelin untuk melawan kejahatan dan menegakkan keadilan. Masyarakat Amerika barangkali udah jenuh dengan kondisi hidup mereka yang diliputi rasa cemas karena banyaknya kejahatan, sementara pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan malah cuek aja (backsound: jadi inget film jaman baheula yang diputer di televisi: LA Law yang berkisah kalo hukum di negara kapitalis Amerika sana bisa dijual-beli alias ada mafianya. Pantes aja yang banyak duit jadi kebal hukum, yang kismin, eh miskin mah harus rela nggak dapet perlindungan).
Nah, kejadian-kejadian seperti itu yang terus berulang akhirnya menginspirasi orang-orang kreatif untuk berkarya. Kalo Winston Groom membesut karya fenomenalnya, Forrest Gump yang menyindir Amerika secara ‘pelan-pelan’ dari berbagai sudut kehidupan (pernah difilmkan dengan judul sama. Forrest Gump diperani oleh Tom Hanks), maka tim kreatif di DC Comics mengeluarkan Superman, Batman, Wonder Woman, dan The Flash. Nggak ketinggalan tim kreatifnya Marvel Comics (Marvel Enterprises Inc.) menciptakan superhero Spiderman, Captain America, the X-Men, the Fantastic Four, dan the Incredible Hulk, serta superhero imajiner lainnya.
Meski awalnya sekadar hiburan, tapi sangat boleh jadi keberadaan para superhero itu terinspirasi dari kehidupan masyarakat Amerika yang mendambakan para pahlawan yang bisa memberi perlindungan kepada mereka. Siapa tahu kan? Iya kan?
Okelah, terlepas dari asal-usulnya penciptaan para superhero itu, yang jelas bahwa saat ini hampir di seluruh dunia superhero tersebut menjadi idola anak-anak, bahkan sejak jaman kakek-nenek kita anak-anak. Maklum, Marvel Comics udah ada sejak tahun 1932, Bro. Sekadar tahu aja, pada tahun 1941 Joe Simon dan Jack Kirby menciptakan Captain America dengan maksud sebagai bentuk ‘perlawanan’ terhadap Nazi Jerman waktu itu. Laku banget dah komik tersebut. Tuh kan, kayaknya kakek-nenekmu waktu mereka anak-anak juga pernah mengidolakan superhero ini.
Sobat, sekarang kayaknya kita perlu bertanya: mengapa kita perlu pahlawan, bahkan bila perlu superhero?
Idola sekaligus inspirator
Superhero diciptakan sangat boleh jadi tujuannya adalah untuk menjadi idola kaum lemah dan pelindung mereka yang tak berdaya. Why? Sebab, manusia itu beda-beda kekuatannya, beda-beda kondisinya, beda-beda ketahanannya, beda-beda emosinya, termasuk beda-beda nasibnya. Begitulah manusia diciptakan.
Itu sebabnya, dengan potensi kehidupan yang seperti itu, manusia itu akan saling terinspirasi, saling terpengaruh, dan saling membantu satu sama lain. Mereka yang dinilai memiliki kelebihan, pasti menjadi andelan. Hmmm.. jadi inget film-film laga yang diperankan Barry Prima, George Rudy, Johan Saimima dan Advent Bangun yang menjadi idola anak-anak dan remaja di tahun 1980-an. Mereka kuat, gagah dan mahir olah kanuragan. Di film-film selalu jadi bintang utama dan selalu menang (kecuali Advent bangun kali ye, yang sering kebagian peran penjahat—meski jago berantem ya tetep aja ujungnya sih harus kalah sesuai tuntutan skenario hehehe…).
Sobat muda muslim, setiap orang pasti mencari sosok yang bisa dijadikan idola bagi dirinya masing-masing. Setidaknya bisa mewakili perasaannya, mewakil pendapatnya, mewakili keinginannya, dan mewakili cita-citanya. Yup, sang idola akan menjadi inspirator orang yang mengidolakannya. Bukan tak mungkin pula kan ada orang yang mengidolakan superhero macam Spiderman dan Superman, karena dianggapnya bisa menolong penderitaannya dan merasa tenang jika ada superhero tersebut di sampingnya. Iya kan?
Nah lho, superhero idolanya kok  superhero khayalan sih? Memangnya nggak ada yang nyata? Maksudnya bukan legenda apalagi mitos gitu lho. Ada faktanya.
Hehe.. ada sih. Yup, meski kita nggak pernah ketemu langsung sama Tjut Nyak Dien, tapi insya Allah kita yakin bahwa Tjut Nyak Dien bukanlah tokoh fantasi. Tapi nyata adanya.
Terus, apakah superhero tersebut bisa menjadi inspiratormu dalam beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari?
Yes! Seharusnya memang demikian. Seorang hero bisa memberikan semangat kepada ‘pengikutnya’. Kita pasti tahu bagaimana kuatnya kharisma Tjut Nyak Dien ketika berjuang menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang melawan Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Semangatnya mampu menyebar di dada para pejuang Aceh.
Kalo sekarang mungkin yang jadi hero adalah orang yang bisa memberikan inspirasi dalam hidup kita. Untuk lebih percaya diri, untuk lebih bisa tenang menjalani hidup karena merasa ada orang yang mampu dijadikan rujukan dalam berbuat dan bertindak. Karena jujur aja nih, kita sering ingin banget dapetin ‘pembenaran’ dan dukungan atas apa yang kita lakukan. Salah satunya dengan kita mengikuti gaya hero yang kita teladani.
Sekalian bisa bilang ke orang-orang, bahwa apa yang kita lakuin memang ada teladannya, yakni hero kita itu. Sehingga orang lain bisa ngeh dengan apa yang kita lakuin dan menganggap wajar karena ngikutin idola kita yang udah teruji keteladanannya di mata banyak orang. Tentu teladan dalam kebenaran dong.
Oya, yang terpenting agar kita bisa meneladani sang hero, maka hero yang kita pilih adalah yang benar dan bagus. Yang tentunya lebih baik dari kita. Bisa dipercaya, bisa dijadikan rujukan dalam kebaikan. Terlebih, seorang hero tuh harus mampu memberi inspirasi yang baik buat kita. Hmm.. jika tipe hero yang diinginkan seperti itu, tentu bukan yang ecek-ecek dong ya. Kelasnya lain. Berarti tuh hero kudu menjadi inspirator ulung bagi setiap calon pengikutnya. Inspirator dalam melakukan kebenaran dan kebaikan tentunya. Kebenaran Islam dan kebaikan Islam, gitu lho.
Superhero “made in” Islam
Islam sejak lama sudah menjadi magnet kuat bagi manusia yang cinta kebenaran. Sosok Muhammad saw. pasti salah satu daya tariknya. Para sahabat menjadikan beliau guru, sahabat, sekaligus hero dalam kehidupannya.
Allah Swt. menegaskan dengan  sangat jelas dalam firmanNya (yang artinya): “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21)
Bahwa Rasulullah saw. adalah manusia yang telah diberi ‘ishmah atas dosa-dosa beliau, baik yang lalu maupun yang akan datang, itu telah jelas. Tapi itu bukan berarti kita tidak mampu dan tidak akan pernah bisa mengikutinya. Justru tujuan pengangkatan beliau sebagai utusan Allah adalah untuk memberi teladan, contoh serta pemahaman kepada kita akan mulianya ajaran Islam. Firman Allah Swt. (yang artinya):”(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS an-Nisaa’ [4]: 165)
Arthur Glyn Leonard menuliskan dalam bukunya bahwa Muhammad saw. adalah: “Seorang laki-laki yang bukan saja besar, tapi salah seorang yang terbesar … yang paling besar … yang dihasilkan kemanusiaan. Pembangunan material dan spiritual yang membangun suatu bangsa yang besar, suatu empirium besar, dan bahkan lebih dari segalanya ini, suatu agama yang lebih besar lagi.” (Major Arthur Glyn Leonard, Islam, Her Moral and Spiritual Value)
Muhammad saw. menginspirasi banyak manusia. Islam yang dibawanya mampu menjadi sumber keberanian dan motivasi dalam hidup, maka banyak dari pengikut Muhammad saw. yang tadinya manusia biasa menjadi luar biasa. Mereka menjadi hero di antara para hero dan tentunya layak dan pantas kita jadikan hero dalam kehidupan kita dengan cara meneladaninya. Yup, ‘mencontek’ gaya hidupnya dan prinsip hidupnya yang memang keren itu.
Nah, ada beberapa superhero ‘made in’ Islam yang bisa kita kenal adalah Khalid bin Walid. Beliau adalah mantan panglima perang kafir Quraisy ketika memukul mundur pasukan kaum muslimin di Perang Uhud, ternyata kemudian terpesona dengan Islam dan mengubah dirinya dari hero jahat menjadi hero baik di jalan kebenaran Islam.
Sosok Usamah bin Zaid yang masih muda usia melambung namanya setelah menjadi panglima perang pada usia 18 tahun. Salman al-Farisi yang semula penyembah api, lalu masuk Islam dan menjadi sosok hero buat kita yang bisa diandalkan. Ali bin Abi Thalib yang gagah berani, cerdas, ahli fikih dan pernah menjadi khalifah (kepala negara Islam) juga layak kita jadikan teladan dalam hidup kita.
Ada lagi yan lain? Masih banyak, Bro. Masih ribuan sosok hero yang berhasil ‘diproduksi’ Islam sebagai ideologi yang udah menyelamatkan banyak manusia. Tapi, maaf ya nggak bisa ditulis satu persatu di sini.
Intinya nih, kita bisa meneladani hero-hero yang lahir dari rahim Islam. Bahkan, jika kita meneladani mereka, terus kita ‘menjerumuskan’ diri kepada Islam dengan sepenuh hati, suatu saat—cepat atau lambat, insya Allah pasti kita jadi hero pula. Menjadi teladan buat anak-cucu kita. Teladan dalam dakwah dan perjuangan menegakkan Islam. Inilah sosok hero yang sebenarnya, bahkan boleh dibilang superhero sejati. Karena riil dan tentu saja bukan khayalan belaka. 

[Buletin STUDIA Edisi 355/Tahun ke-8/20 Agustus 2007]

Minggu, 27 Februari 2011

Lebih Kejam dari Teroris


Rasanya Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau mungkin juga kamus-kamus bahasa lainnya di dunia sudah tidak lagi menemukan kata yang paling �kejam’ untuk menyebut kelakuan Israel. Kata-kata seperti �terkutuk’, �keji’, �biadab’ sudah nggak �mempan’ untuk menghentikan agresi Israel atas muslim Palestina. Kekejian itu misalkan dapat kita lihat dari tayangan televisi, foto-foto di berbagai media cetak yang dijamin membuat hati kita �panas’.
Di sebuah media cetak tanah air misalkan, ditampilkan foto seorang bocah Palestina yang hangus terbakar di tengah-tengah mainannya. Sementara diberitakan pula bahwa militer Israel telah menutup jalur masuk, dan melakukan eksekusi besar-besaran terhadap sejumlah warga. Dengan begitu, kejahatan mereka tidak akan dihentikan oleh dunia internasional.
Apa yang dilakukan Israel adalah bagian dari impian lama para penggagas Zionisme – seperti Theodore Herzl – untuk menciptakan negara Yahudi Raya di tanah Palestina. Dan mereka tidak puas dengan hanya sekedar menguasai Palestina, tapi juga telah mengambil alih dengan cara licik Dataran Tinggi Golan, Sinai dan Terusan Suez. Israel juga tidak akan pernah rela melepaskan tanah Palestina kepada PLO atau siapapun, meski hanya menyisakan Jalur Gaza dan Tepi Barat. Agresi militernya yang kian deras akhir-akhir ini adalah bukti nyata keinginan tersebut.
Tapi apa yang dilakukan Israel sebenarnya tidak lebih �kejam’ dibandingkan berdiam dirinya umat Muslim, khususnya para pemimpin dunia Islam. Hampir tidak ada yang diperbuat – kecuali memberi bantuan dana dan logistik, dan doa – mereka yang punya kekuatan untuk menolong saudara-saudara kita di Palestina. Lebih sedih lagi masih saja ada orang yang bilang, “Buat apa ngurusin Palestina, di sini juga banyak yang perlu diurus.� Wow, ini adalah ucapan yang jauh dari keimanan. Bukankah Rasulullah saw. pernah berkata,�Belum sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.� Beliau juga berkata, “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, (hendaknya) ia tidak mendzaliminya dan menyerahkannya (kepada musuh)…� Kurang apalagi sih nasihat dari Rasulullah saw. supaya kita peduli terhadap sesama muslim? Memang benar bahwa di tanah air juga banyak urusan, tapi kalau urusan nyawa apa bisa ditunda?
Umat Muslim bukanlah umat barbar yang haus darah dan peperangan, tapi ada saat dimana kita harus mengangkat senjata. Kasus Israel ini salah satunya. Tidak mungkin muntahan peluru dilawan dengan bahasa diplomasi, apalagi darah telah nyata tumpah. Maka, berdiplomasi dengan Israel, apalagi mengajaknya berdamai, termasuk menerima keberadaannya, hakikatnya lebih kejam dari agresi Israel itu sendiri. Semoga kita bukan termasuk golongan seperti itu. Amin.

Cowok, Temenan Yuk!


Emangnya kalo nggak temenan sama cowok, apaan dong? Jangan salah, di beberapa kalangan terutama pengusung ide feminisme, mereka menganggap bahwa cowok adalah rival atau saingan cewek dalam banyak hal. Cowok tuh makhluk paling nyebelin dan penjajah sedunia. Makanya, kaum feminis berusaha sok tegar hidup tanpa cowok karena mereka nggak mau dijajah sama makhluk berjenis cowok. Masa sih sampe segitunya?
Di pihak lain, ada sekelompok cewek yang ganjen bin lembeng (ini temennya ganjen loh) tergantung banget sama yang namanya cowok. Seakan-akan mereka ini nggak bakal bisa survive tanpa cowok. Cowok adalah makhluk perkasa yang akan memperlakukan mereka ibarat putri dari kahyangan. Cewek jenis ini merasa butuh dimanja dan disayang oleh cowok all the time.
Waduh, kayaknya kedua kutub di atas ekstrim banget ya. Trus, gimana sih seharusnya kamu sebagai kaum cewek kudu bersikap terhadap cowok? Lanjut aja bacanya ya.
Cowok-cewek, partner-anAllah Swt. berfirman: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (QS al-Hujuraat [49]: 10). Seorang mukmin dengan mukmin lainnya (tentu termasuk mukminah) adalah bersaudara. Jadi, laki-perempuan juga bersaudara asal mereka beriman kepada Allah Swt. Maksudnya saudara di sini bukan kayak kakak or adik kandung, tapi saudara seiman dalam Islam.
Saudara? Indah nian ungkapan ini untuk menggambarkan posisi antara laki dan perempuan, cowok dan cewek. Mereka berdua bukan musuh satu sama lain yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Bila pun yang satu menjadi pemimpin terhadap yang lain, tak akan ada ungkapan ‘ya gitu itu kalo pemimpinnya laki-laki’. Masalahnya bukan laki atau perempuan, tapi aturan apa yang diterapkan dalam periode kepemimpinan itu.
Cowok adalah mitra sejajar bagi cewek. Ia tidak lebih tinggi atau pun lebih rendah daripada cewek. Memang sih, di beberapa hal cowok diberi kelebihan oleh Allah dalam hal keperkasaan fisik dan fungsi sebagai pemimpin. Meskipun demikian, perkasanya cowok bukanlah untuk menindas cewek. Begitu juga ketika ia menjadi pemimpin bukan pula untuk mendzalimi yang dipimpin.
Begitu juga bagi para cewek. Tidak lantas karena fitrahnya lembut, cewek jadi lemah dalam segala hal. Pasrah saja ketika ia didzalimi dan diperlakukan semena-mena. Kamu tahu ibunda Khaulah binti Tsa’labah yang berani menegur pemimpin negara selevel Umar bin Khaththab? Beliau ini adalah seorang wanita tua yang ketika berpapasan dengan amirul mukminin, ia berani menegur dan menasihatinya agar bertakwa di dalam memimpin umat. Tangguh banget nih cewek. Dan kamu tahu apa tanggapan Umar bin Khaththab? Ia tertunduk, mendengar dengan takzim nasihat wanita tua ini.
Bayangkan, kalo kamu sebagai cewek melakukan hal yang sama pada pak presiden atau bupati deh yang paling dekat dengan tempat tinggalmu. Kamu sebagai cewek menasihati bapak-bapak pejabat ini untuk bertakwa dengan menjalankan syariah Islam dalam naungan Khilafah. Hayooo…berani nggak?

Cowok, bukan musuh cewekSebelum paham Islam, saya dulu sempat berpikir bahwa cowok itu selalu mendominasi dalam kehidupan cewek. Makanya saya pingin melakukan sebaliknya. Jadi ketua kelas tiap tahun plus juara kelas, saya lakoni untuk membuktikan bahwa cewek juga bisa sebaik cowok dalam hal prestasi dan kepemimpinan. Kalo ngomong, saya paling ogah berlembek-lembek karena itu cuma membikin cewek terlihat ganjen dan lemah. Saya dulu sempat merasa bahwa dunia akan baik-baik saja tanpa cowok. Wiih….ekstrim banget ya?
Untunglah, ketika SMA saya insaf. Islam telah menunjukkan jalan kebenaran bagaimana kedudukan cowok dan cewek sesuai dengan tempat dan fitrahnya. Kedua makhluk ini bukan musuh satu sama lain. Tidak ada yang lebih baik di antara dua jenis ini kecuali takwanya. Iya kan?
Dengan pemahaman Islam yang benar, ide gender (baca: jender) dan feminisme nggak bakal bisa menjajah otak dan pemahaman kamu. Agama yang biasa dituding sebagai biang munculnya budaya patriarki (laki-laki dianggap yang paling unggul), selalu mengarah ke Islam, bisa kamu patahkan dengan mudah.
Memang sih pada faktanya ada beberapa ketidak-idealan dalam pelaksanaan. Salah satu teman saya ada yang curhat kalo cowok aktivis rohis itu menyebalkan. Hanya karena sedikit salah paham dengan pihak aktivis rohis cewek, mereka ‘balas dendam’. Ketika ada acara out bound ke luar kota, para cewek dicuekkin. Para cewek ini  yang notabene muslimah berjilbab dan berkerudung, tidak diberi tempat wudhu yang tertutup. Mereka dibiarkan saja tanpa diurusi oleh panitia cowok. Duh…
Begitu juga yang cowok. Saya sering mendapat laporan dari kubu ini bahwa para cewek itu jahat-jahat dan suka memaksakan kehendak. Kalo maunya begini pasti minta dituruti begini. Sulit ditawar. Jadinya mereka malas berurusan dengan cewek aktivis rohis dan memilih kerja sama dengan pihak lain. Nah, loh…
Cowok itu bukan musuh cewek. Kalo pun ada cowok yang semena-mena memperlakukan cewek, itu pasti karena ia belum paham Islam dengan benar. Atau pun bila ia mengaku paham Islam, pasti ia sedang lalai. Tugas kamu sebagai saudara seiman untuk mengingatkan kalo kondisi seperti ini terjadi.
Penyebab cowok baik jadi langka
Cowok emang banyak banget bertebaran di muka bumi ini. Tapi cowok yang baik, cerdas, sopan, alim, sholeh dan hanif (lurus) kayaknya ini jenis yang hampir punah dari muka bumi ini. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, cowok beginian emang nggak mudah ditemui. Tahu nggak kamu apa penyebabnya?
Yup, betul banget. Sistem Kapitalisme-Sekulerisme. Inilah biang kerok semua masalah di dunia ini. Cowok baik menjadi langka bukan tanpa sebab. Mereka ini sudah hampir punah karena sistem yang ada membuat cowok-cowok baik tak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Yang menjamur malah cowok-cowok ala manekin yang oke bodinya tapi kosong otak dan imannya. Ihh…males banget kan jadinya.
Cowok tipe ini akan dengan enaknya menganggap cewek sekadar mainan untuk diperlakukan semaunya sendiri. Ini namanya cowok jadi-jadian. Karena kalo cowok beneran yang gentle, maka ia akan memperlakukan cewek dengan penuh hormat. Meskipun kuat dan perkasa, cowok akan berlaku lemah lembut pada cewek dan tidak akan menyakitinya meskipun sedikit. Masalahnya, cowok kaliber ini emang nggak mudah dicari ya? Hayo…kamu pasti lagi mengangguk-angguk tanda setuju.
Sistem rusak yang diterapkan pada kita saat ini membuat cowok-cowok nggak dewasa. Tubuh aja yang digedein tapi kepribadian dan mentalnya masih kayak baby. Usia SMP dan SMA yang seharusnya udah tahu tanggung jawab dan kewajiban, eh malah disia-siakan. Apa-apa mama, dikit-dikit papa. Nggak punya sikap dan pendirian. Udah mending begitu, nggak sedikit juga yang malah terjerumus dalam narkoba dan pergaulan bebas. Jadinya nggak asyik banget punya temen cowok model begini.
Bila saja kita mau mencampakkan sistem rusak ini ke tong sampah peradaban, bisa dipastikan cowok jadi-jadian ala manekin ini akan hilang bin raib. Sebagai gantinya, maka cowok-cowok oke akan hadir di dunia dan tipe ini nih yang asyik buat temenan. Kamu tahu sahabat Rasulullah saw. yang bernama Ali bin Abi Thalib? Cowok imut ini datang ke hadapan Rasulullah untuk menjadi umat beliau. Karena masih belum baligh, Rasulullah saw. menganjurkan untuk minta ijin dulu ke ortunya. Ali bin Abi Thalib pergi tapi tak lama kemudian ia kembali. Apa katanya?
“Ya Rasulullah, ketika Allah menciptakan aku, orang tuaku tak diminta persetujuannya. Mengapa sekarang ketika aku ingin menjadi hambaNya dan memeluk agamaNya, harus meminta ijin dulu ke orang tuaku? Sungguh, aku tak butuh ijin mereka.”
Subhanallah banget! Belum lagi cowok oke bernama Mush’ab bin Umair. Dia ini sudah tampan, kaya raya dan cerdas. Ketika nur Islam menyentuhnya, ia rela meninggalkan semua kemewahan dunia demi perjuangan dan dakwah Islam. Ini belum seberapa. Kamu tahu siapa cowok tangguh dan keren penakluk Konstnatinopel? Yup, Muhammad al Fatih namanya. Umurnya masih 24 tahun tapi sudah menjadi panglima perang yang ahli dalam siasat menaklukkan musuh. Kedekatannya pada Allah tak terkatakan lagi. Lalu ada juga Muadz bin Jabal yang tampan, menarik, bermata jeli, bergigi putih dan bila berbicara seakan-akan ada untaian cahaya dan keluar dari mulutnya. Wiih pasti jadi idola cewek mana pun.
Masih seabrek cowok-cowok oke yang jumlahnya bisa ribuan bila disebutkan satu per satu. Apa penyebab dari semua fenomena unik ini? Ternyata cowok-cowok ideal di atas cuma bisa dihasilkan oleh sebuah kondisi tertentu di mana Islam diterapkan secara sempurna sebagai ideologi. Maksudnya Islam bukan hanya ada di pojok-pojok masjid saja tanpa ada aplikasi di bidang politik, pendidikan dan pemerintahan. Karena bila Islam cuma diambil sholat, zakat, puasa dan ada di masjid saja, nggak heran bila cowok generasi Si Boy yang STMJ merebak. STMJ = Sholat Terus Maksiat Jalan, gubraks!

Cowok, teman dalam dakwah
Meskipun langka, bukan mustahil tipe cowok ini ada di sekeliling kamu. Udah tampan, cerdas, juara kelas, kaya, takwa dan aktivis dakwah. Wuih, dijamin jadi idola nih. Tapi wait! Tunggu dulu, girls. Usia kamu saat ini yang masih imut, jangan ngeres dulu mikir yang nggak-nggak ya. Seberapa okenya cowok yang ada di sekolah kamu, luruskan niat. Kamu kontak dengannya karena ada urusan dakwah atau sekolah. Bukan urusan pribadi yang nggak ada hubungannya dengan hal-hal di atas.
Nggak boleh ada acara pinjam catatan kimia padahal itu bisa kamu pinjam dari teman sesama cewek. Nggak boleh ada sok ada acara rapat padahal kamu cuma pingin melihat senyum manisnya. Walah! Ingat, bersihkan hati jangan kau kotori. Hati-hati dengan niat yang emang nggak kelihatan ikhlas nggaknya. Jangan sampai yang kamu lakukan ternyata bukan karena mengharap ridho Allah. Kamu jadi nggak bakal dapat apa-apa bila niatmu salah.
Oya, hati-hati juga dengan virus VMJ yang kerap menjangkiti pengemban dakwah. Luruskan niat. Urusanmu dengan cowok adalah sebatas berteman dan berpartner dalam kebaikan. Paling banter bersaudara dalam ikatan akidah Islam. Meskipun wajib menjalin ukhuwah, jangan kebablasan saling kunjung sana kunjung sini dengan alasan menjaga uyhuwah. Berteman dengan cowok adalah dalam rangka kemaslahatan bersama dalam lingkup sosial bukan lingkup pribadi. Ingat ini ya.
Intinya, cowok dan cewek itu emang saling melengkapi satu sama lain. Mereka diciptakan oleh Allah bukan untuk saling menyakiti atau pun menguasai satu pihak terhadap pihak yang lain. Mereka ini adalah manusia-manusia pelanjut risalah dakwah untuk memakmurkan bumi dan seisinya. Jadi, oke banget kan Islam dalam menempatkan posisi cewek dan cowok? Tentu dong. Makanya ayo kita ramai-ramai campakkan ide gender dan feminisme terus kita ambil Islam saja sebagai ideologi. Setuju? Akurrrrr..! [ria: www.riafariana.com]
[Buletin STUDIA Edisi 353/Tahun ke-8/6 Agustus 2007]

Konsep Trias Politica dalam panganan Islam


Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M. Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara dapat lebih terjamin.
Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). Filsuf Inggris John Locke mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Menurut Locke, kekuasaan negara harus dibagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili, dan kekuasaan federatif yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain (dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Selanjutnya, pada tahun 1748, filsuf Perancis Montesquieu mengembangkan konsep Locke tersebut lebih jauh dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws), yang ditulisnya setelah dia melihat sifat despotis (sewenang-wenang) dari raja-raja Bourbon di Perancis. Dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya akan merasa lebih terjamin hak-haknya.
Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan dalam tiga cabang yang menurutnya haruslah terpisah satu sama lain; kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, tetapi oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang).
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya .    
Montesquieu juga menekankan bahwa kebebasan akan kehilangan maknanya, tatkala kekuasaan eksekutif dan legislatif terpusat pada satu orang atau satu badan yang menetapkan undang-undang dan menjalankannya secara sewenang-wenang. Demikian pula, kebebasan akan tak bermakna lagi bila pemegang kekuasaan menghimpun kedua kekuasaan tersebut dengan kekuasaan yudikatif. Akan merupakan malapetaka –seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu– bila satu orang atau satu badan memegang sekaligus ketiga kekuasaan tersebut dalam suatu masyarakat.
Konsep Trias Politica ini bertentangan dengan Islam dalam segi-segi berikut:
Pertama, Sumber konsep ini adalah manusia, dimana manusia memberikan penilaian baik buruknya sesuatu menurut akal belaka. Konsep ini dibuat oleh para filsuf sebagai pemecahan terhadap masalah penindasan dan kesewenang-wenangan para raja dan tokoh gereja di Eropa terhadap rakyatnya dalam menjalankan kekuasaan.
Dalam Islam, yang berhak memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah Allah SWT semata, yakni syara’, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini hanya terbatas memahami fakta permasalahan dan nash-nash syara’ yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Tetapi fakta bukanlah sumber pemecahan masalah atau sumber konsep/pemahaman tentang hidup, melainkan objek permasalahan yang harus dikaji untuk kemudian dicarikan pemecahannya menurut nash-nash syara’. Pemecahan terhadap suatu permasalahan haruslah berasal dari syara’, bukan bertolak dari fakta permasalahan itu sendiri tanpa merujuk kepada syara’. Firman Allah SWT :
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Al An’aam : 57)
Firman Allah SWT: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy Syuura : 10)
Kedua, Konsep ini merupakan salah satu ide pokok Demokrasi yang kufur, sebab Demokrasi telah menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan, dan sekaligus rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan-kekuasaan. Maka dari itu, demokrasi menetapkan rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan dan undang-undang, menentukan para hakim, dan mengangkat para penguasa.
Adapun Islam, telah menetapkan bahwa kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik rakyat. Syara’lah yang menjadi rujukan tertinggi dalam segala sesuatu. Firman Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. (An Nisaa’ : 59)     
Sementara dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai berikut:
1. Kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Maka dari itu, hanya Allah SWT sajalah yang menjadi Musyarri’ (Pembuat Hukum) yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua’malah, uqubat, dan sebagainya. Tak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walau pun hanya satu hukum. Firman Allah SWT :
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (Al An’aam : 57)
Firman Allah SWT :    “Ingatlah. Menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah ” (Al A’raaf : 54)
Yang dimiliki oleh rakyat, adalah kekuasaan, atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa. Namun demikian, syara’ telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan (mentabanni) hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, adalah khalifah saja, bukan yang lain. Ijma’ Shahabat menetapkan bahwa hanya khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syara’ sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya.
Dalam hal ini bukan berarti khalifah yang memegang kekuasaan legislatif, sebab khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.   
2. Kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat, sebab kekuasaan itu adalah milik umat/rakyat, dan dijalankan secara riil oleh khalifah –dan para aparatnya– sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syara’ dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa, agar para penguasa ini menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat, yakni bahwa bai’at itu berasal dari kaum muslimin untuk khalifah, bukan dari khalifah untuk kaum muslimin. Di antaranya adalah sabda Nabi saw: “Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai.” (Shahih Bukhari no. 7199)
3. Kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh khalifah, atau orang yang mewakili khalifah untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Jadi, khalifahlah yang mengangkat para qadli (hakim) dan mengangkat orang yang diberi wewenang untuk mengangkat para qadli. Tak ada seorang pun dari rakyat –baik secara individual maupun secara kolektif– yang berhak mengangkat para qadli. Hak ini hanya dimiliki oleh khalifah, bukan yang lain.   
Hal itu karena nash-nash syara’ menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan (qadla’) dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Demikian pula Rasulullah saw telah mengangkat Ali bin Abi Thalib ra sebagai qadli di Yaman, dan mengangkat Abdullah bin Naufal ra sebagai qadli di Madinah. Ini semua menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan khalifah dan mereka yang mewakili khalifah dalam urusan ini.   
Ketiga, Apabila penguasa kaum muslimin berlaku dzalim, merampas hak-hak   rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syara’ dalam hal ini telah memberikan pemecahannya, yaitu dengan mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi (muhasabah) dan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias Politica.
Sabda Rasulullah saw: “Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatan mereka, dan (ada yang) mengingkari perbuatan mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syara’), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syara’) maka dia selamat. Tetapi siapa saja yang ridla (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syara’) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para shahabat bertanya,”Apakah kita tidak memerangi mereka ?” Jawab Nabi saw,”Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (Shahih Muslim, hadits no. 1854)
Rasulullah saw telah mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan penyimpangan, dengan berbagai sarana yang memungkinkan, baik dengan tangan, lisan, maupun hati bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw menetapkan siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.       Dengan demikian Islam tidak mengkaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syara’ tertentu, sedang masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syara’ yang lain.
Dan kaum muslimin wajib mengambil pemecahan dari syara’ apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar ma’ruf nahi mungkar. Sebaliknya kaum muslimin diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syara’, seperti konsep Trias Politica. Sebab Allah SWT berfirman :   
Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An Nuur : 63)
Keempat, Konsep Trias Politica bertujuan untuk dapat memelihara kebebasan politik warga negara yang hilang karena perilaku penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Islam tidak mengakui adanya ide kebebasan, yakni kebebasan dalam arti tidak terikat dengan sesuatu apa pun pada saat dilakukannya suatu perbuatan, sebagaimana yang ada dalam peradaban Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara’. Demikian pula seorang muslim tidak boleh berbuat kecuali sesuai dengan hukum-hukum syara’. Keterikatan pada hukum syara’ adalah bukti dan buah dari iman. Allah SWT berfirman :   
Maka demi Rabbmu. Mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) hakim (pemutus) dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (An Nisaa’ : 65)
Islam memang telah mewajibkan umatnya untuk beraktivitas dalam politik, seperti memilih penguasa, melakukan pengawasan dan koreksi terhadap mereka. Namun hal ini bukanlah kebebasan politik, melainkan pelaksanaan dari hukum syara’, yaitu kewajiban berpolitik dan beramar ma’ruf nahi mungkar.
Atas dasar penjelasan di atas, jelaslah bahwa konsep Trias Politica sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Konsep Trias Politica tiada lain adalah konsep thaghut, padahal Allah telah mengharamkan kaum muslimin untuk berhukum kepada thaghut dan mengambil konsep pemerintahan thaghut. Dan Allah pun telah memerintahkan kaum muslimin untuk menentang dan mengingkari thaghut itu, sebagaimana firman-Nya:
Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah (untuk) mngingkari thaghut itu. Dan syaithan hendak menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa’ : 60)

Bahaya di balik Bantuan


Diskursus publik mengenai pemulihan ekonomi Indonesia detik-detik terakhir ini menunjukkan fenomena menarik. Betapa tidak, di satu sisi mulai ada penolakan penguasa terhadap IMF yang sekitar tiga tahun belakangan memback-up pemerintah Indonesia dalam upaya recovery ekonomi nasional yang ambruk sejak krisis moneter 1997. Namun di sisi lain, ada pihak yang berusaha terus mempertahankan hubungan RI dengan IMF dengan alasan adanya kesulitan yang akan dihadapi Indonesia bila “bercerai” dengan IMF.
Penolakan itu antara lain nampak dari langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo yang berupaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap IMF dan berencana mencari pinjaman dengan mekanisme G to G (langsung antar pemerintah), tidak melalui IMF. Juga dari sikap “mbalelo” Menko Perekonomian Rizal Ramli dalam menyikapi surat teguran IMF dan Bank Dunia tertanggal 29 September 2000 yang mendesak pemerintah Indonesia meninjau kembali kesepakatan penyelesaian utang Grup Texmaco (Surya, 9 Oktober, 2000). Menurut Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, langkah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo tersebut perlu didukung. ”Saya percaya langkah Prijadi akan mendapat dukungan bukan saja dari partai politik dan DPR, tetapi juga dari seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya. Fuad Bawazier menilai, Dana Moneter Internasional (IMF) telah gagal mengeluarkan Indonesia dari krisis. Karena itu sebaiknya lembaga donor itu berbesar jiwa untuk mundur teratur. ”Selama tiga tahun dengan IMF, kenyataannya tidak membuahkan hasil. Malah tambah berantakan,” kata Fuad di Jakarta, Jumat (6/10/00). Selama ini, sambungnya, justru utang bertambah banyak hingga merugikan rakyat kita (Kompas, 7 Oktober 2000).
Kegagalan IMF mengeluarkan Indonesia dari krisis seperti disinyalir Fuad Bawazier itu memang bukan isapan jempol. Selama berhubungan dengan IMF tiga tahun belakangan ini, perekonomian Indonesia makin jeblok dan hancur-hancuran. Bantuan IMF tidak meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, tapi malah menganjlokkannya Menurut Laporan World Economic Forum, daya saing Indonesia tahun 2000 ini jatuh lagi dan menduduki posisi yang sangat payah, yakni ranking ke-44 dari 55 negara. Pada tahun 1997 tatkala krisis moneter mulai bergejolak, posisi Indonesia masih “lumayan”, rangking ke-15. Pada tahun 1998 –setelah mendapat bantuan IMF—posisi Indonesia malah merosot menjadi rangking ke-31, dan tahun 1999 anjlok lagi posisi ke-37. Akhirnya, di tahun 2000 ini, ranking Indonesia kembali terperosok ke posisi ke-44  (Republika, 19 September 2000 )
Selain itu, dalam kurun tiga tahun di bawah “asuhan” IMF dan Bank Dunia, hutang Indonesia juga semakin menggunung dan pajak pun semakin menggila dan mencekik rakyat jelata. Untuk RAPBN tahun 2000 ini, pemerintahan Gus Dur harus membayar beban bunga saja sebesar Rp. 58,9 trilyun ( US$ 8,4 miliar dolar dengan asumsi kurs US$ 1 dolar = Rp 7000). Artinya bunga yang harus dibayarkan kepada pihak penghutang hampir dua kali lipat dari  jumlah pinjaman/utang itu sendiri, yaitu sebesar US$ 4,73 miliar dolar sesuai keputusan Sidang ke-9 Consultative Group on Indonesia (CGI) yang berlangsung 1-2 Pebruari 2000 lalu. Dengan pinjaman baru ini, akumulasi utang luar negeri Indonesia hampir mencapai US$ 150 miliar dolar, yang jika beban itu dibagi kepada masing-masing penduduk Indonesia, maka setiap kepala –termasuk bayi yang baru lahir– akan menanggung utang luar negeri sebesar US$ 750 dolar ( Rp. 5.250.000, bila kurs 1 dolar = Rp 7000,-), suatu jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding pendapatan perkapita penduduk (GNP) Indonesia dalam setahun. Pajak yang dipungut pun akan semakin menjerat leher rakyat. Buktinya adalah sedemikian besarnya pos penerimaan dari pajak yang dalam RAPBN tahun 2000, nilainya mencapai Rp 97,78 trilyun (US$ 13,9 miliar dolar) dari keseluruhan nilai penerimaan RAPBN sebesar Rp 137,69 trilyun (US$ 19,67 miliar dolar). Jadi, lebih dari 70 % penerimaan anggaran belanja negara diperoleh dari pajak. Dan obyek pajak siapa lagi kalau bukan rakyat !
Namun meskipun kegagalan IMF dan malapetaka yang ditimbulkannya sudah semakin menyengsarakan rakyat, ternyata masih ada pihak yang enggan berpisah dengan IMF. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution sulit bagi Pemerintah Indonesia keluar dari Dana Moneter Internasional (IMF). Karena kalau pun mencari sumber-sumber dana pada lembaga keuangan Internasional lain, IMF harus tetap menjadi acuan. ”Bisa saja kita ciao (pisah) dengan IMF. Tapi konsekuensinya kita bisa makan batu seperti kata Bung Karno,”   kata  Anwar usai sholat Jumat (6/10/00) di Kantor BI Jakarta (Republika, 8 Oktober 2000).
Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari adanya sikap yang tarik-ulur yang kontradiktif terhadap IMF akhir-akhir ini, yakni sikap Menkeu Prijadi yang mau bercerai dari IMF dan sikap Deputi Gubernur BI Anwar Nasution yang ogah-ogahan berpisah dengan IMF ? Jika ditelaah dengan seksama, sikap Menkeu Prijadi itu sebenarnya adalah sikap munafik!  Karena meskipun seakan-akan menantang IMF, toh pemerintah jauh-jauh hari sudah merencanakan untuk tetap mengemis utang. Pada pertengahan bulan Oktober 2000 ini, akan segera dilaksanakan Sidang  CGI (Consultative Group on Indonesia) di Tokyo yang diharapkan akan memberikan dana bantuan sebesar US$ 4,8 miliar dolar yang direncanakan untuk membantu RAPBN 2001 (Surya, 9 Oktober 2000). Yang dimaui Menkeu Prijadi sesungguhnya adalah membangkitkan sentimen semu nasionalisme rakyat Indonesia, lantaran akhir-akhir ini Indonesia mendapat ancaman embargo dan penghentian bantuan dari negara-negara Barat (khusunya Amerika Serikat dan Inggris), terutama setelah meledaknya peristiwa Atambua. Langkah Prijadi mirip dengan langkah munafik yang pernah dilakukan Suharto bulan Pebruari 1992, tatkala dia dengan sok pahlawan tampil di televisi dan menolak semuan bantuan Belanda lantaran kelancangan Jan Pronk –ketua IGGI sekaligus Menteri Kerjasama Pembangunan Internasional Belanda saat itu— yang mengajukan usul agar dana bantuan internasional kepada Indonesia dikaitkan dengan syarat penghentian semua pelanggaran HAM yang terjadi. Tapi ironisnya, kendatipun IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) kemudian dibubarkan, tapi toh Indonesia tetap rajin berhutang, karena telah muncul konsorsium baru yang meski namanya berbeda, isinya sama saja, yaitu CGI (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal.7). Adapun sikap Anwar Nasution, adalah sikap pengecut yang tidak pantas dimiliki oleh seorang publik figur macam dia yang katanya mempunyai kredibilitas dan kualitas moral yang tinggi. Seharusnya dia bersikap berani dan sekaligus mendorong rakyat Indonesia untuk siap berkorban dan menderita demi meraih kemuliaan dan harga diri. Rakyat Indonesia patut malu dan harus mau belajar dari rakyat Korea Selatan yang berani menderita untuk memulihkan ekonomi mereka (meskipun mereka tetap berhutang kepada IMF). Ketika krisis mulai meruyak di negeri ginseng itu, rakyat spontan menyambut seruan pemerintahnya untuk berhemat. Mereka hanya membeli barang konsumsi buatan dalam negeri, melakukan tindakan konkret untuk menahan laju kemerosotan nilai tukar Won, membatasi secara ketat semua belanja barang konsumsi di luar negeri dengan disiplin tinggi,  dan para diplomat dan kaum profesionalnya di luar negeri sukarela dibayar dengan mata uang Won (berarti rela menerima gaji lebih rendah) (Roem Topatimasang, op.cit., hal.13-14).
Sikap mendua terhadap IMF yang didemonstrasikan oleh Menkeu Prijadi dan Deputi Gubernur BI Anwar Nasution itu sebenarnya menunjukkan kebingungan dan keraguan birokrat Indonesia dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Semua itu sebenarnya wajar, karena penguasa Indonesia selama ini memang tidak punya pedoman dan sikap hidup yang jelas, yang dapat dijadikan pegangan bagi mereka dan rakyat mereka dalam menjalani kehidupan. Mereka selama ini hanya puas mengekor dan tunduk kepada negara-negara Barat yang kafir dengan ideologi kapitalismenya, padahal sudah terbukti nyata negara-negara Barat tidak memberikan apa-apa kepada kita selain kesengsaraan, penderitaan, kerusakan, dan kenestapaan. Benarlah Rasulullah SAW yang sebenarnya telah mengingatkan kita semua akan bahaya mengekor kaum kafir seperti itu :
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Dan kalaupun mereka memasuki lubang biawak (membawa kerusakan) niscaya kalian akan tetap mengikuti mereka” Para shahabat bertanya,”Apakah mereka itu orang Yahudi dan Nashrani ?” –dalam riwayat lain ‘Apakah mereka itu orang Romawi dan Persia?’– Nabi menjawab,”Siapa lagi (kalau bukan mereka) ?” (HSR. Bukhari dan Muslim)
Politik Bantuan Luar NegeriBantuan luar negeri  adalah salah satu teknik negara-negara Barat untuk melangsungkan imperialisme (penjajahan) kepada negara-negara jajahannya (Abdurrahman Al Maliki, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 7). Sedang imperialisme itu sendiri, sesungguhnya merupakan metode tetap yang khas dari negara-negara Barat untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme yang mereka anut. Menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani (1973) dalam Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir hal. 13, imperialisme (al isti’mar) adalah pemaksaan dominasi (fardhu saytharah) di bidang politik, ekonomi, militer, dan budaya kepada negara-negara yang didominasi, untuk kemudian dieksploitasi (istighlal). Ringkasnya, imperialisme senantiasa menunjukkan 2 (dua) ciri tetap, pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).
Imperialisme mempunyai berbagai macam bentuk yang senantiasa disesuaikan dengan perkembangan konstelasi politik internasional dan opini umum dunia. Pada era puncak imperialisme militer pada abad XIX dan paruh pertama abad XX, cara yang lebih banyak dipakai adalah pendudukan militer secara langsung kepada negara-negara jajahannya. Perancis misalnya menduduki dan menjajah Aljazair (1830), Tunisia (1881), Maroko (1912), dan Syam (1920). Sementara Inggris menjajah India (1857), Mesir (1882), Irak (1914), dan Palestina (1918). Namun demikian, pada abad XIX negara-negara penjajah sebenarnya sudah mulai memanfaatkan bantuan luar negeri sebagai langkah awal untuk menancapkan taring penjajahan di banyak negara. Bahkan boleh dikatakan, penjajahan militer hampir tak dapat dipisahkan dengan bantuan luar negeri sebagai titik awal pendudukan militer. Inggris tak akan pernah menjajah Mesir kecuali melalui jalan hutang, Perancis tidak akan pernah menduduki Tunisia melainkan melalui jalan hutang, dan negara-negara Barat tak akan dapat meluaskan cengkeramannya di Daulah Utsmaniyah pada masa-masa terakhirnya kecuali melalui  jalan hutang. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 200, Bab Akhthar Al Qurudh Al Ajnabiyah).
Sebelum Perang Dunia I, cara yang ditempuh negara-negara Barat adalah memberikan bantuan (hutang), kemudian melakukan intervensi melalui hutang itu untuk menancapkan pengaruh dan kebijakannya di negeri-negeri yang diberi bantuan. Di Mesir, bantuan-bantuan yang diterima oleh pemerintah antara tahun 1864 hingga 1875 telah mencapai sekitar 95 juta poundsterling. Kemudian pada tahun 1875 datanglah satu komisi penyelidik untuk memeriksa kondisi perekonomian Mesir dan mengusulkan dibentuknya sebuah dewan pengawas untuk memperbaiki keadaan perekonomiannya. Penguasa Mesir saat itu, Khadawi, tunduk kepada usulan ini dan setelah itu bantuan hutang tidak diberikan kecuali atas persetujuan dewan pengawas tersebut. Pada tahun 1886 Khadawi membentuk lembaga Dana Hutang (Shunduq Ad Dayn) guna menerima dana-dana hutang yang dikhususkan untuk mengelola proyek-proyek lokal. Dengan demikian, ada anasir pemerintahan asing di dalam tubuh pemerintahan Mesir. Pada tahun 1886 itu juga, Khadawi membentuk lembaga bernama Sistem Pengawasan Bilateral (Nizham Ar Raqabah Ats Tsuna`iyah) yang antara lain tugasnya adalah melakukan kontrol atas kondisi keuangan Mesir. Yang melakukan tugas ini adalah dua orang pengawas, yaitu satu orang Inggris untuk mengontrol segala pendapatan negara, dan satu orang Perancis yang mengontrol segala pembelanjaan negara. Lembaga pengontrol ini kemudian berkembang dan berubah menjadi Dewan Menteri yang di antara anggotanya adalah dua orang menteri berkebangsaan Eropa; satu orang berkebangsaan Inggris yang memegang jabatan menteri dalam Kementerian Keuangan, satu orang lagi berkebangsaan Perancis menjabat sebagai menteri dalam Kementerian Urusan Pekerjaan Rakyat. Demikianlah akhirnya Inggris berhasil menjajah Mesir melalui jalan hutang (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 201).
Sementara itu di Tunisia, penguasanya saat itu, Bey, telah meminta hutang ke negara-negara Eropa. Tidak sampai 7  tahun, hutang Tunisia jumlahnya telah mencapai 150 juta Frank, sehingga kemudian negara-negara Eropa menjadikan hutang itu sebagai justifikasi untuk melakukan intervensi dalam urusan dalam negeri Tunisia. Perancis lalu mengusulkan agar dibentuk suatu dewan keuangan yang kemudian ini disetujui oleh Inggris dan Italia. Pada tahun 1870, Bey mengeluarkan keputusan untuk membentuk dewan tersebut yang meskipun diketuai oleh seorang berkebangsaan Tunisia, namun anggota-anggotanya adalah orang-orang Perancis, Inggris, dan Italia. Dewan keuangan ini bertugas mendata hutang, menetapkan suku bunga, dan mengelola proyek-proyek yang mendapat bantuan dananya dari hutang. Dengan jalan inilah, akhirnya Perancis berhasil menjajah Tunisia. Dan boleh dikatakan, cara seperti ini merupakan langkah umum yang ditempuh oleh negara-negara Barat saat itu (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 201).
Namun penjajahan yang mengandalkan pasukan bersenjata dan kekuatan militer ini mulai goyah pada pertengahan abad XX, tepatnya menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Ini terutama terjadi berkat opini dunia yang sangat gencar dilancarkan Uni Soviet untuk menentang kolonialisme Barat di berbagai belahan dunia (Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. vii). Serangan Uni Soviet ini telah melemahkan posisi kolonialisme yang ada saat itu. Ketika Sekutu berhasil meraih kemenangan pada Perang Dunia II, Uni Soviet telah menetapkan program untuk melanjutkan serangannya terhadap penjajahan kapitalisme dan sekaligus mendorong bangsa-bangsa terjajah untuk mengobarkan revolusi guna merebut kemerdekaan. Maka dari, Amerika Serikat (AS) kemudian menyadari bahwa tak ada jalan lagi untuk melestarikan imperialisme kecuali  dengan mengubah caranya dan bahwa tak ada cara lain untuk merebut negara-negara terjajah dari negara penjajah lain kecuali dengan cara baru, yaitu memerdekakan negara-negara jajahan lalu menjeratnya dengan macam-macam bantuan dan hutang.
Pada awalnya, imperialisme gaya baru AS ini tidak banyak diketahui orang banyak, karena diberi kedok dengan “revolusi kemerdekaan” dari penjajahan dan “bantuan” untuk membangun ekonomi negara yang baru merdeka. Semula cara baru ini hanya diketahui oleh para pengamat politik internasional. Namun pada pertengahan dasawarsa 60-an, orang-orang sudah mulai menyadari hal ini terutama setelah mereka mengamati upaya kemerdekaan negara-negara Afrika dan  peristiwa Kongo. Akhirnya menjadi jelaslah bagaimana cara baru yang dijalankan AS untuk mengembangkan imperialisme, yaitu mengubah imperialisme yang semula berupa pemaksaan dominasi melalui pasukan perang dan kekuatan militer terhadap bangsa-bangsa lemah untuk kemudian dieksploitasi, menjadi pemaksaan dominasi dengan cara baru : (1) pemberian kemerdekaan –secara formalitas— kepada negara terjajah, dan (2) memaksakan dominasi atas negara itu melalui berbagai hutang dan bantuan. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 7-8).
Menjadi gamblanglah bagi setiap orang bahwa ide pemberian kemerdekaan kepada berbagai bangsa dan pemberian hutang kepada mereka, tidak lain adalah cara baru untuk melangsungkan imperialisme. Semua orang akhirnya tahu bahwa AS selalu memantau negara-negara jajahan Inggris, Perancis, Belgia, Belanda, dan Portugal di berbagai belahan dunia, kemudian merebut negara-negara jajahan mereka itu dengan jalan memberikan kemerdekaan dan kemudian mengikatnya dengan memberi bantuan dan hutang. Peristiwa Kongo dan Angola, serta upaya PBB menentang penjajahan Inggris di Afrika (seperti  Rhodesia), juga pembebasan Irian Barat yang kemudian digabungkan dengan Indonesia, merupakan bukti-bukti yang amat jelas adanya langkah politik AS menjalankan cara baru imperialismenya, yaitu memberi kemerdekaan dan bantuan.
Yang perlu juga diingat, sebuah negara merdeka yang akan mengambil hutang dari AS, tentunya harus mempunyai alasan atau justifikasi yang kuat di hadapan rakyatnya. Karena itulah, AS merekayasa opini umum mengenai “rencana pembangunan” atau “upaya menumbuhkan ekonomi” di negeri-negeri yang sebelumnya merupakan negara jajahan atau berada di bawah pengaruh negara-negara Barat. Pembentukan opini ini bertujuan agar penduduk negeri-negeri itu terdorong untuk menyusun rencana pembangunan atau rencana pembangunan ekonomi, yang untuk implementasinya tentu membutuhkan biaya besar yang tak lain harus diambil dari hutang-hutang luar negeri, terurama dari AS. Melalui hutang inilah, akhirnya negara-negara Barat –terutama AS—dapat memaksakan dominasinya atas berbagai bangsa untuk kemudian dieksploitasi guna kepentingan negara-negara imperialisme yang kafir itu. Inilah teknik penjajahan baru yang memang dirancang untuk menggantikan penjajahan gaya lama berupa pemaksaan dominasi melalui  pasukan perang dan kekuatan militer (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal.8)  
Inilah hakikat politik bantuan luar negeri negara-negara Barat, khususnya AS, kepada berbagai negara dan bangsa di dunia. Bantuan luar negeri adalah sarana negara-negara Barat –khususnya AS— untuk menguasai negeri-negeri dan mencengkeramkan pengaruhnya di negeri-negeri itu. Dengan kata lain, bantuan luar negeri itu sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan suatu senjata politik (as silah as siyasi) yang ada di tangan negara pemberi hutang untuk memaksakan politik dan falsafah hidupnya (kapitalisme) kepada negeri yang mengambil hutang. Pernyataan John F. Kennedy pada tahun 1962 kiranya membuktikan semua itu. Dia menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia, serta menopang cukup banyak negara yang jika tidak dibantu sudah pasti akan runtuh, atau beralih ke dalam blok Komunis.” (Magdoff, The Age of Imperialism, hal.117, dalam Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. 120).
Maka dari itu, tak heran bila bantuan luar negeri dalam berbagai bentuknya –bantuan ekonomi, militer, pangan, pinjaman, hibah, dan lain-lain— akan selalu menampakan dua ciri utama penjajahan, yaitu pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).
Pemaksaan dominasi nampak sangat jelas dalam bermacam persyaratan (conditionalities) pemberian hutang, yang sebenarnya lebih patut disebut sebagai “mengintimidasi dan mencampuri urusan dalam negeri”. Para pemberi pinjaman, apakah itu lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, atau bank-bank komersial swasta, hanya akan memberikan pinjaman jika negara yang akan diberi pinjaman memang bersedia melaksanakann apa yang mereka sebut sebagai “penyesuaian struktural” (structural adjustment) yang, pada dasarnya, adalah “menyesuaikan kebijakan perekonomian negara yang bersangkutan agar lebih berorientasi dan terintegrasi ke dalam sistem pasar dunia.” Artinya, menyesuaikan diri dengan kehendak sistem pasar dunia yang dominan : sistem perdagangan bebas kapitalis seperti yang berlaku di negara-negara industri maju di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang. Itu berarti bahwa negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari IMF/Bank Dunia harus melakukan sejumlah “langkah penyesuaian” di dalam negeri mereka, antara lain : devaluasi mata uang, deregulasi sistem perbankan, privatisasi, liberalisasi pasar, peningkatan ekspor, pengurangan konsumsi dalam negeri, pengurangan subsidi sektor publik, pemotongan belanja pemerintah untuk sektor-sektor pelayanan sosial, dan sebagainya dan seterusnya.      
Dominasi ekonomi ini seringkali ditambah lagi dengan dominasi dan tekanan politik dari negara-negara pemberi hutang. Insiden Atambua yang menewaskan tiga orang pekerja UNHCR dijadikan alasan AS untuk melancarkan embargo dan menyetop bantuan ekonomi, jika Indonesia tidak mampu menyelesaikan kasus itu dengan membubarkan dan mengadili milisi-milisi bersenjata di Timtim. Dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan AS, William Cohen (Yahudi), menyatakan,”Kegagalan mereka menjalankan semua komitmen itu pasti akan memperburuk hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Lebih jauh, hal itu juga akan membahayakan kelangsungan semua bantuan ekonomi kepada Indonesia.” (Al Wa’ie, No. 02 Th. I, edisi 1-31 Oktober 2000, hal. 4).
Selain menimbulkan pemaksaan dominasi, hutang juga menjadi sarana eksploitasi bagi negara-negara pemberi hutang untuk memperkaya diri sendiri. Bantuan luar negeri sebenarnya hanya untuk menguntungkan negara-negara kreditor. Negara-negara yang mendapat bantuan tidak mendapatkan apa-apa selain ketergantungan kepada negara-negara penjajah yang semakin menjerat dari hari ke hari.
Keuntungan hasil eksploitasi melalui hutang itu memang cukup nyata. Bantuan luar negeri telah membentuk  suatu sistem yang luar biasa untuk mengalirkan nilai keuntungan yang diukur melalui pendapatan dan investasi-investasi luar negeri.  Misalnya, dari tahun 1970 hingga 1976, negara-negara industri Barat telah mengadakan investasi di luar negeri bernilai US$ 67 miliar dolar, yang US$ 27 miliar dolar di antaranya datang dari Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu, negara-negara penjajah itu menerima pendapatan sebesar US$ 99 miliar dolar dari investasi-investasi itu (yang US$ 42 miliar dolar di antaranya digunakan kembali di luar AS, dan yang US$ 57 miliar dolar kembali ke AS). Ini menunjukkan suatu kelebihan bersih sebesar US$ 32 miliar untuk negara-negara industri itu dan suatu hasil bersih sebesar US$ 30 miliar untuk neraca luar negeri AS. (Angka-angka dari Survey of Curent Business, dalam Serge Latouche, Critique de l’imperialisme, hal. 209).
Selain itu, seluruh kredit dan pinjaman itu sendiri –yang diberikan kepada negara-negara berkembang– akan mengalir lagi ke negara-negara pemberi utang dalam bentuk kewajiban utang (pelunasan dan bunganya) dalam jumlah yang lebih besar. Setiap satu dolar yang dikeluarkan negara donor untuk dunia ketiga akan kembali lagi kepada mereka dalam jumlah yang berlipat. Pada tahun 1983, misalnya, uang yang mengalir dari negara-negara berkembang ke bank-bank swasta di negara-negara industri jumlahnya US$ 21 miliar dolar lebih banyak daripada kredit yang mereka berikan ke negara-negara berkembang. Pada tahun 1984, uang yang mengalir ke negara-negara berkembang, baik dalam bentuk pinjaman maupun kredit, jumlahnya mencapai US$ 85 miliar dolar. Pada saat yang sama, uang yang mengalir balik ke negara-negara industri dalam bentuk pelunasan (cicilan hutang) dan bunga adalah sebesar US$ 92 miliar, atau sekitar 108 % dari uang yang sebelumnya mereka hutangkan. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 92-93).
Dari uraian ini, nampak jelas bantuan luar negeri –sebagai bentuk imperialisme baru—selain disertai syarat-syarat yang menunjukkan dominasi pihak pemberi hutang, juga memang lebih banyak mengabdi untuk kepentingan negara-negara kreditor itu sendiri, bukan untuk kepentingan negara-negara penerima hutang. Demikianlah kenyataannya, karena perilaku negara-negara penjajah yang kapitalis memang tak dapat dipisahkan dari persepsi ideologi kapitalisme anutan mereka, yang selalu mementingkan kepentingan diri sendiri dalam setiap aktivitas hidupnya. Mereka tak akan peduli, walaupun bantuan luar negeri yang mereka berikan akhirnya menimbulkan kemiskinan, kerusakan lingkungan, pengangguran, gejolak sosial, dan kerugian lainnya di pihak penerima bantuan. Yang penting diri sendiri untung. Itulah prinsip mengutamakan kepentingan sendiri (self interest) gaya kapitalisme yang sejak dulu sudah dicanangkan oleh Adam Smith (1723-1790), Bapak Kapitalisme. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) berkata :
“Bukanlah dari kemurahan hati tukang daging, tukang bir, atau tukang roti, kita mengharapkan mendapat makanan; melainkan dari penghargaan mereka atas kepentingan diri mereka masing-masing. Kita camkan dalam diri kita, bahwa bukanlah dari rasa kemanusiaan, melainkan dari rasa cinta terhadap diri sendiri; dan tak akan kita berbicara kepada mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan kita bersama, melainkan atas dasar laba yang bisa mereka raih.” (Adam Smith, The Wealth of Nations, vol.II (London : J.M. Dent and Sons Ltd, 1960), hal. vii, dalam Bonnie Setiawan, Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga, hal. 20)

Bahaya Bantuan Luar NegeriBantuan luar negeri untuk membiayai pembangunan adalah jalan paling berbahaya bagi seluruh negeri di dunia. Umat manusia akan terus mengalami penderitaan selama mereka mengambil bantuan luar negeri, karena bantuan ini hakikatnya adalah penjajahan atas mereka.
Sesungguhnya setiap orang yang melihat dan memperhatikan fakta utang luar negeri, terdapat 5 (lima) bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar Al Qurudh Al Ajnabiyah) :
Pertama, Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri miskin –termasuk Indonesia– pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut. Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan di Indonesia, bahwa jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah menyedot hampir separoh dari belanja negara. Biro Pusat Statistik mencatat angka 48 % belanja pemerintahan tahun anggaran 1992 ditujukan untuk membayar kembali cicilan dan bunga hutang luar negeri. Padahal pada tahun 1974 hanya tercatat angka 4%, alias kenaikan hampir tujuh kali lipat selama hampir 20 tahun. Sementara itu Bank Dunia mencatat akumulasi jumlah pembayaran kembali (cicilan dan bunga) hutang luar negeri Indonesia tahun 1985-89 adalah sebesar US$ 37,03 miliar dolar. Jumlah ini adalah rata-rata 9,3 % dari total GNP atau 36,4 % dari nilai ekspor. Rasio antara kewajiban cicilan plus bunga dengan penghasilan negara dari ekspor (sebagai sumber utama pembayaran hutang) inilah yang disebut dengan DSR (Debt Service Ratio), yakni tolok ukur utama untuk menilai apakah suatu negara penghutang dianggap mampu membayar hutang-hutangnya. Menurut Bank Dunia, angkanya tak boleh lebih dari 30 %. Data terakhir dari ADB, DSR Indonesia tahun 1998 mencapai 36,0 %. Angka yang gawat. Bahkan tahun 2000 diprediksi tetap sama gawatnya : 34 %. Bahkan menurut ECONIT, tahun 2000 diprediksi DSR Indonesia sebenarnya 52 %. Gawat darurat ! Dengan kata lain, lebih dari separuh penghasilan kita habis lagi, hanya untuk membayar hutang luar negeri. Inilah suatu bentuk eksploitasi negara-negara imperialis atas Indonesia (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9)   
Kedua, sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian  Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat –seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM– yang akhirnya hanya menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari saja menelan kepahitan ekonomi.   
Ketiga, Pemberian hutang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 ini, setelah tiga tahun dibantu IMF, jumlah orang miskin di Indonesia menjadi 50 % dari jumlah penduduk, atau sekitar 100 juta orang. Padahal sebelum krisis ekonomi (tahun 1997) jumlah kaum miskin di Indonesia hanya sekitar 14 % dari jumlah penduduk atau sekitar 22 juta jiwa. (Muhidin M. Dahlan (ed), Sosialisme Religius Suatu jalan Keempat?, hal. 41; Suara Muhammadiyah, No. 04, 16-28 Februari 2000). Jadi telah terbukti, bahwa program IMF telah sukses menambah jumlah kaum miskin dan melarat. Bagi negara-negara berkembang yang sedang dalam kesulitan seperti Indonesia karena harus tunduk dan patuh kepada IMF, IMF tampak seperti pencekik berdarah dingin, yang menghisap darah orang miskin. Program-program yang biasanya diajukan IMF di bidang politik dan ekonomi adalah : (1) Gaji (juga upah buruh) mesti dibekukan (tidak dinaikkan), atau kalau perlu kenaikannya dibatasi dengan undang-undang.  Bila ini diterapkan, sedang harga terus membubung, daya beli masyarakat akan hancur berantakan. (2) Bantuan Sosial yang dikeluarkan pemerintah harus dikurangi. Yang menderita adalah rumah sakit, sekolah, lembaga sosial, dan tunjangan sosial. (3) Subsidi bahan makanan pokok (sembako) dan BBM harus dihilangkan. Tentu saja tanpa subsidi harga pangan dan BBM akan melangit dan akan menghantam habis kaum dhuafa. (4) Merosotnya nilai mata uang akan menyebabkan ekspor besar-besaran dan menurunnya konsumsi dalam negeri. Pasar dalam negeri akan mengalami kelangkaan barang akibat ekspor berlebihan. Langkanya barang, jelas akan melambungkan harga. Yang paling menonjol adalah jenaikan harga barang-barang impor (minyak tanah, bensin, bahan pangan, dan lain-lain). (5) Liberalisasi ekonomi terhadap pihak luar negeri akan memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeruk keuntungan tanpa batas. Tentu saja hal ini akan dapat memancing kerusuhan sosial yang ujung-ujungnya akan membikin rakyat menderita. Apalagi dalam penerapan kebijakan pemerintah ini, tak jarang dibarengi dengan politik represif atau kekuatan militer yang kejam. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, hal. 99).  Selain itu, utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu juga sangat memberatkan negara peminjam dan membuatnya semakin tergantung kepada negara-negara donor atau lembaga keuangan internasional yang meminjamkan uangnya. Menurut INFID (International NGO Forum on Development Indonesia) akumuluasi hutang luar negeri yang sudah diterima Indonesia makin menggunung dengan peningkatan cukup tajam, dari US$ 54 miliar pada 1997, menjadi US$ 142 miliar pada tahun 2000. Hal ini otomatis akan meningkatkan pula rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), dari 23 % pada 1997 menjadi 83 % pada tahun 2000. (Suara Pembaruan, 12 Oktober 2000).
Keempat, Hutang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negeri-negeri muslim untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi hutang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jendral Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana adalah bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer. Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 204-205). 
Kelima, Utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Hutang ada yang berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek. Yang berjangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Sebab bila hutang jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya tidak menggunakan mata uang domestik, melainkan terutama harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard currency. Maka dari itu, negara penghutang akan tidak mampu melunasi hutangnya dengan dolar AS karena langka, ataupun kalau dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal. Adapun hutang jangka panjang, adalah juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin menggila, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara penghutang dan membuatnya tidak mampu lagi melunasi hutang-hutangnya. Pada saat inilah negara-negara kreditor akan dapat memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara penghutang. 
Berdasarkan kenyataan ini, jelas sekali bahaya-bahaya besar yang ada dibalik ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. AS dalam hal ini, yang mengendalikan lembaga-lembaga keuangan Intemasional seperti Bank Dunia, IMF, maupun CGI, dengan mudah dapat menghancurkan perekonomian negeri-negeri miskin. Selanjutnya mereka memaksakan kepentingan politik dan ekonominya terhadap penguasa-¬penguasa yang ada di negeri-negeri tersebut. Atau bila perlu menggantikan penguasa secara paksa melalui krisis ekonomi yang mereka rancang, seperti yang terjadi dalam kasus lengsernya Soeharto sesaat setelah IMF dan Bank Dunia membangkrutkan Indonesia lewat krisis moneter dan memaksa Soeharto mundur.
Berdasarkan bahaya-bahaya yang ditimbulkannya itu, bantuan luar negeri adalah haram menurut syara’, karena :
Pertama, bantuan luar negeri menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai kemudharatan, seperti terus berlangsungnya kemiskinan, bertambahnya harga-harga kebutuhan pokok dan BBM, dan sebagainya. Segala macam sarana atau perantaraan yang akan membawa kemudharatan (dharar) –padahal keberadaannya telah diharamkan– adalah haram. Kaidah syara’ menetapkan :
“Al Wasilatu ilal haram muharramah.”
“Segala perantaraan yang membawa kepada yang haram, maka ia diharamkan.”

Kedua, bantuan luar negeri telah membuat negara-negara kapitalis yang kafir dapat mendominasi, mengeksploitasi, dan menguasai kaum muslimin. Ini haram dan tidak boleh terjadi. Allah SWT berfirman :
“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mu`minin.” (QS An Nisaa` : 141)
Ketiga, bantuan luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba). Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba itu. Riba adalah dosa besar yang wajib dijauhi oleh kaum muslimin dengan sejauh-jauihnya. Allah SWT berfirman :
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (QS Al Baqarah : 275)
Rasulullah SAW bersabda :
“Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
KhatimahSudah saatnya kaum muslimin bersikap tegas dalam masalah bantuan luar negeri ini. Mereka harus menolak bantuan luar negeri, karena telah terbukti membawa bahaya dan menyengsarakan mereka. Mereka harus berusaha dan berjuang keras untuk menghentikan ketertindasan dan ketundukan yang hina di bawah dominasi dan eksploitasi negara-negara Barat yang kafir. Mereka harus sadar bahwa negara-negara Barat bukanlah sahabat apalagi penolong mereka, melainkan musuh dan penjajah yang telah menyengsarakan dan menghinakan mereka.
Kaum muslimin juga seharusnya sadar, bahwa para penguasa mereka adalah para pengkhianat yang lebih mementingkan kepentingan pihak asing daripada kepentingan rakyat dan bangsanya sendiri yang melarat dan hidup tersia-sia. Tak ada balasan yang paling pantas untuk para penguasa sekuler yang zhalim itu, selain menggulingkan mereka dari tahta kekuasaannya, serta menggantikan mereka dengan para pemimpin yang ikhlas, yang benar-benar memperhatikan kondisi rakyatnya, memperjuangkan kesejahteraan dan kemuliaan mereka, serta mengatur kehidupan rakyatnya itu dengan hukum-hukum yang diridhai Allah SWT.
Dan semua upaya ini tidak akan dapat berhasil dengan gemilang, tidak akan dapat mengantarkan umat menuju puncak keridhoan Allah SWT yang abadi, selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia.
Semua upaya ini wajib ditempuh kaum muslimin agar Islam kembali jaya sebagai satu-satunya diin yang diridhai Allah SWT di tengah-tengah umat manusia, meskipun orang-orang kafir membencinya. Allah SWT berfirman :
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS Ash Shaff : 8) [14/10/00]

Oleh : Muhammad Shiddiq al Jawi
morzing.com dunia humor dan amazing!