PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 04 Juli 2011

Kritik untuk Hukum Acara Pengujian UU di Mahkamah Konstitusi (Bagian I)

Secara umum hukum acara untuk pengujian UU di Mahkamah Konstitusi diatur di UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain diatur dalam UU tersebut, pengaturan lainnya adalah di Peraturan MK No 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU. Ada beberapa hal yang menurut saya seharusnya ada kejelasan dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi ini.

Kedudukan Pemeriksaan Pendahuluan

Pengaturan Pemeriksaan Pendahuluan dapat ditemukan pada Pasal 39 UU 24/2003 yang menyatakan:
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

Selain itu Pemeriksaan Pendahuluan juga dapat ditemukan elaborasinya dalam Pasal 10 dan Pasal 11 PMK 06/2005
Pasal 10

(1) Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi.

(2) Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi

Pasal 11

(1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan.

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

(3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.

(4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

(5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya.

(6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa perkara dalam hal :

a. memiliki kesamaan pokok permohonan;

b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau;

c. pertimbangan atas permintaan Pemohon;

(7) Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah;

Dari sini sebetulnya terlihat jelas fungsi dan kedudukan dari Pemeriksaan Pendahuluan yaitu untuk pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum dari Pemohon, dan pokok permohonan dari Pemohon. Fungsi ini mirip dengan fungsi dismissal process dalam pemeriksaan perkara di TUN.

Hanya menurut saya ada hal penting yang harus dipikirkan karena di Mahkamah Konstitusi ada jenis putusan tidak diterima yang terkait dengan Kewenangan MK dan Kedudukan hukum Pemohon (Vide Pasal 56 ayat (1) UU 24/2003, Pasal 36 huruf a PMK 6/2005.

Selama ini yang saya lihat, meski pada umumnya saya tidak pernah mengalami jenis putusan tidak diterima karena alasan Pasal 56 ayat (1) UU 24/2003 dan Pasal 36 huruf a PMK 6/2005, namun tidak pernah ada kejelasan apakah Permohonan dimana Pemohon yang saya wakili atau saya sendiri jadi Pemohon diterima dan dilanjutkan proses pemeriksaannya atau tidak?

Menurut saya diantara Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Pleno harusnya ada ”Putusan Sela” yang menyatakan MK berwenang memeriksa permohonan dan Pemohon memiliki Kedudukan Hukum sebelum pemeriksaan pokok perkaranya. Hal ini penting untuk memperjelas status permohonan tersebut. Dengan kata lain, jangan sampai perkara terus diperiksa dengan menghadirkan ahli dan saksi akan tetapi di ujung perkara tersebut dinyatakan tidak diterima karena alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU 24/2003 dan Pasal 36 huruf a PMK 6/2005.

Namun jika menilik ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf c jo Pasal 30 ayat (2) maka semestinya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim sebelum adanya Sidang Pleno sudah ditentukan soal apakah MK memiliki kewenangan dan Pemohon memiliki Kedudukan Hukum. Sehingga menurut saya layak ada putusan sela terlebih dahulu mengenai hal ini ketimbang lanjut saja terus dan kemudian dalam keterangan DPR dan Pemerintah yang pada umumnya keterangan tersebut juga malah menguraikan soal kewenangan MK dan kedudukan Hukum Pemohon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!