PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 22 Agustus 2011

Pagi Cerita Yang Lain

Pengarang: Isbedy Stiawan ZS

hendak pergi ke mana lagi pagi ini
dengan pakaianmu warna-warni?
hujan belum reda,
tanah basah,
cuaca kabut
dan anak-anak masih berselimut
mungkin masih ingin meneruskan
mimpinya. dengkurnya,
aduhai, seperti dalam
pelukan bunda…
rambutmu yang rapi
alismu bagai pelangi
dan bibirmu berwarna hati
seperti hendak menahan hujan
lalu langkahmu ingin mengayun
“hello…”
pintu mulai terkuak
anak-anak berdahak
(ah, tidak!
Mereka mendengkur
Memeluk kembali mimpi
yang sempat terhenti)
tapi,
tanah masih basah,
cuaca berkabut
dan rambutmu yang rapi
menggegas pagi…
hendak pergi ke mana lagi pagi ini
dengan pakaianmu warna-warni?
--lalu aku cuma menatapmu berlalu
seperti pagi tak berkabut,
tanah garing—dan
senja kelak kau pulang
hati berang:
pakaianmu basah
suaramu mendesah
“jangan tegur,
aku letih!”
ah,
anak-anak menutup rapat
tubuhnya dengan selimut
di luar cuaca makin berkabut
dan pohon sewarna lumut

Minggu, 21 Agustus 2011

Pagi-pagi Di Binamuda

Pengarang: Dadan Dania DK

Masih pagi,
ketika datang dirimu di senggang fana
ujung kerudungmu melambai seiring gontai
tertunduk wajah mengeja langkah
tengadah di beranda kelas
anggun wajahmu mengayun tatap
terbata mataku di matamu.
Masih pagi,
ketika datang dirimu di luang rasa
kini kueja langkahmu pelan
hingga lumat ditelan lalang dan lolong.
Masih pagi,
ketika kau lewat dan aku terjerat.

Lepaskanlahh..


Kemerdekaan semu menghinggap
Bukan diraih karena tetes perjuangan
Dengan motto "Sampai Titik Darah Penghabisan"
Atau gelora pembangkit semangat "Rawe-rawe
rantas, malang-malang putung"
Entah benar atau tidak ejaan pun ku tak tahu
Kemerdekaan semu dirasa
Bukan karena ingin bebas dari belenggu jajahan
Tapi karena merasa lebih bebas
Entah mengapa...
Bebaskah?
Kemerdekaan...
Yah, itulah istilah yang kuguna
Kemerdekaan yang sebenarnya memalukan
Kemerdekaan yang sebenarnya tak boleh kuulang
Kemerdekaan yang bisa keblabasan

Sabtu, 20 Agustus 2011

Menapaki Kerinduan

Pengarang: Anonim

ketika sinar rembulan pucat
sesosok rindu tanpa sayap
terbang ke langit malam
gelap mata
gelap hati
membuat ia lupa dimana tempat bersinggah
gelap malam menghapuskan arah dan tujuan
sementara,
dingin sunyi menjadi saksi
jiwa-jiwa yang menggigil
terperosok ke ceruk jurang malam
dalam...
sedalam hatimu
debur ombak di Pantai Barat menghantam jiwaku
tapi tak mampu goyahkan sepi
sapaan angin mengajak kabut dingin
menyusupi pori-pori,
merontokkan tulang..,
tapi tak mampu runtuhkan sunyi
sepi tanpa keheningan
sunyi dalam kebisuan
disitu aku terdampar
sendiri
menapaki kerinduan

Kunyanyikan Rindu

Pengarang: Anonim
di sini
di antara kemeriahan dan bintang
aku memilih sunyi
di mana telah kutanam hektaran rindu untukmu
ketika malam berjatuhan
hingga terdampar di pagi
dan untuk kesekian kalinya
aku merasa kau begitu jauh
meski kita masih saling berteduh
di bawah langit yang sama
kekasihku...
jika kau percaya angin adalah satu
jika kau percaya samudera adalah biru
akan kunyanyikan rindu ini
lewat angin, lewat laut
lewat sunyi
dan denting malam

Ingin Kusuarakan

Pengarang: Isbedy Stiawan ZS

ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya
telinga dan kata-kata. bahkan lampu-lampu taman ini
akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa
lain. lalu dinding memagar tubuhku,
kesepian yang mendekam!
ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung
tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah
memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi
kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu
cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku
merokok limbah serta mengunyah beton!
ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi
punya suara. seribu iklan memadati halaman
demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah
anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana
kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang.
kemudian hening…
ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa
granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan
burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga
di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecemasan

1994

Cinta Di Matamu

entahlah..,
berapa kali harus kuyakinkan dirimu
bahwa rindu yang mengalir dalam darahku adalah rindumu
mungkinkah..,
kau dengar
cerita yang tergelar lewat bisunya malam
itu cerita cinta
tentang kau dan aku
kau tahu
purnama ini begitu indah
walau tak seindah senyummu
yang terakhir kali
masih kuingat
kasih..,
aku lihat senyummu
di antara bintang dan bulan purnama
aku dengar suaramu
lewat hembusan angin dan gesekan daun-daun
tapi rinduku belum juga terobati
kasih..,
apakah hari ini kau simpan rindu
seperti rindu yang menggunung di hatiku..?
ah..,
bila saja mungkin
ingin kulihat cinta di matamu
sekali lagi..!

Jumat, 19 Agustus 2011

Integrasi Media Sosial sebagai Media Dakwah

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Beberapa pihak bahkan mengklaim, NU adalah organisasi Islam besar di dunia. Klaim jumlah jamaah terbesar se-Indonesia tersebut, agaknya bukan isapan jempol semata, mengingat jumlah jamaah atau pengikut (follower) organisasi ini yang sangat banyak. Utamanya dikawasan pulau Jawa (pulau yang terpadat jumlah penduduknya).
Organisasi yang salah satu pendirinya adalah KH Hasyim Asy’ari ini merupakan sebuah organisasi yang menganut paham Ahlussunah wal jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Namun seiring perkembangan zaman, NU mengalami pergeseran persepsi dari masyarakat. Organisasi ini banyak dinilai sebagai organisasi yang kolot dan kurang peka terhadap perkembangan zaman. Hal ini dapat terjadi dikarenakan oleh berbagai macam sebab. Bisa karena pembawaan dakwah yang lebih condong pada arah ‘ritualis’, bisa karena asumsi yang keliru dari para jamaah, atau dapat juga disebabkan karena berbagai macam alasan lainnya. Namun artikel ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai hal itu.
Karena pada artikel ini, akan dibahas mengenai sebuah fenomena menarik yang terjadi dikalangan tokoh-tokoh besar Nahdatul Ulama. Pada era digital seperti sekarang ini, ternyata para tokoh-tokoh besar yang membawa brand Nahdatul Ulama tersebut, menggiring persepsi masyarakat kearah yang lebih baik dan moderen. Caranya adalah menggunakan media sosial sebagai salah satu media untuk berdakwah.
Seperti yang kita ketahui bersama, dewasa ini adalah era kebangkitan media sosial. Tidak hanya bagi dunia, di Indonesia pun pengguna media sosial sudah sangat banyak. Sebut saja facebook yang telah menembus 21,5 juta akun lebih dari Indonesia! (April 2010). Ataupun twitter yang jumlah pengguna terbesarnya adalah berasal dari Indonesia.
Ya, terhitung 5 April 2010, tercatat sekitar 21,5 juta akun Facebook yang berasal dari Indonesia! Angka yang luar biasa besar mengingat akhir tahun 2008 lalu, angkanya masih bertengger di 1,5 juta akun. Dalam 15 bulan, jumlah akun Facebook Indonesia meningkat 14 kali lipat. Selama rentang waktu itu, sedikitnya lahir sejuta akun baru Indonesia tiap bulan di Facebook! (sumber:VirtualID).
Selain facebook, perkembangan twitter di Indonesia juga tak kalah pesat. Pada tahun 2009 Indonesia menempati urutan ke-6 pengguna twitter terbanyak di dunia, dengan total pengguna 2,41%. Sedangkan Amerika saat itu berada di posisi nomor satu dengan total 50,88 %.
Tetapi, hanya dalam kurun waktu 1 tahun, Indonesia ‘berhasil’ menempati posisi satu pengguna twitter terbanyak di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia resmi menjadi negara pengguna twitter terbanyak dengan total persentase 20,8 % dan meninggalkan Brazil dengan 20,5%; Sementara Venezuela 19% dan Amerika 11,9% (sumber:dskon.com).
Dengan jumlah pengguna media sosial yang sangat fantastis di Indonesia, media sosial kini dilirik menjadi salah satu alat komunikasi yang paling mudah digunakan. Banyak sekali ahli-ahli media sosial dan bermunculan.  Dan kemudian, fungsi Media Sosial bergeser dan berkembang menjadi berbagai macam. Seperti misalnya: tools marketing dua arah yang ‘tercepat’, karena tidak terbatas ruang dan waktu. Kemudian digunakan sebagai alat untuk menggalang masa. Seperti yang terjadi di Moldova (Republik), yang mana terjadi sebuah revolusi dan menggunakan twitter serta facebook sebagai alat menggalang massa untuk menggebrak sebuah rezim pemerintahan.

Media Dakwah

Dari berbagai fungsi yang dapat dimanfaatkan melalui media sosial, agaknya ini memancing beberapa tokoh besar Nahdatul Ulama untuk menggunakan media sosial sebagai alat untuk berdakwah. Sebut saja Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj – akrab disapa Kang Said-. Kemudian anak perempuan Gus Dur, Yenny Zannuba Wahid atau yang lebih dikenal dengan Yenny Wahid (Direktur The Wahid Institute). Kemudian KH A. Musthofa Bisri -atau Gus Mus- yang menjabat sebagai Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Kemudian tak ketinggalan juga KH Salahuddin Wahid -Gus Sholah-, yang merupakan pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang. Dan juga beberapa tokoh Nahdatul Ulama lainnya, seperti Alissa Wahid, dan masih banyak lagi.
Mereka mengaktivasi brand Nahdatul Ulama -secara tidak langsung- dengan sangat moderen via media sosial. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun para petinggi atau tokoh-tokoh yang berpengaruh tersebut juga memberikan ruh yang sesungguhnya bagi sebuah akun Media Sosial. Yakni berupa sebuah interaksi dua arah.
Beberapa dari akun twitter yang mereka pergunakan bukan hanya untuk menjalin silaturahmi dengan kerabat, atau sanak saudara. Namun benar-benar dipergunakan sebagai sebuah media interaksi dua arah yang berkesinambungan dengan masyarakat.
Tidak hanya saling bertukar sapa, bahkan beberapa tokoh menjawab pertanyaan seputar kajian fiqh dan agama melalui twitter. Diantara yang paling rajin menjawab pertanyaan dari masyarakat adalah @Gus_sholah. Hal seperti ini, yang sebenarnya dapat memacu pertumbuhan brand, baik secara kualitas maupun kuantitas jamaah (followers)
Jumlah follower di twitter mereka pun tidak main-main. Karena self branding yang memang sudah kuat sebelumnya, jumlah follower dari masing-masing account tersebut bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan ribu akun!.
Misalnya akun twitter milik Gus Sholah. Pada akun @Gus_Sholah ini, terdapat 11.905 follower. Kemudian Yenny Wahid (@Yennywahid) yang memiliki 25.625 follower. Selain twitter, Yenny Wahid juga mendapatkan 6500 ‘likes’ di Facebook-Fanpage miliknya.
Secara tidak langsung, media sosial dijadikan salah satu media dakwah yang sangat baik dan cepat. Dengan menggunakan media sosial sebagai sebuah alat untuk berdakwah, para tokoh besar ini, juga ikut menaikkan brand perseption dari organisasi yang menjadi brand mereka, yakni Nahdatul Ulama.

Integrated Media Sosial for Dakwah

Penggunaan media sosial yang dilakukan oleh para tokoh NU ini, tidak terbatas pada akun twitter saja. Tetapi juga terintegrasi ke beberapa media sosial lainnya. Seperti misalnya fanpage di Facebook, kemudian juga website, dan tak ketinggalan Youtube!.
Untuk official account media sosial dari Nahdatul Ulama sendiri, dapat diakses melalui empat macam jenis Media Sosial tersebut. Jika diwebsite, dapat ditemui pada www.nu.or.id. Untuk twitter @Nu_online, serta dapat disapa melalui Facebook pada “NU”. Integrated Media Sosial system dilakukan dengan semangat ‘istiqamah’, alias berkelanjutan dan berkesinambungan. Karena itu, tak henti-hentinya jumlah follower dan ‘likes’ pada Facebook terus bertambah. Berita-berita yang tersaji melalui website pun terus di update.
Selain official Media Sosial, banyak juga organisasi-organisasi yang masih berada dalam lingkungan NU, membentuk account-account fans. Misalnya seperti @GUSDURians (Komunitas GUSDURian) dan @GusDurian_KDR (GusDurian’s Kediri). Keduanya adalah merupakan komunitas pecinta Gus Dur.Komunitas ini sendiri dibentuk sebagai semangat untuk meneruskan perjuangan-perjuangan Gus Dur. Dan meskipun bukan merupaka akun resmi, jumlah follower nya juga tinggi, yakni mencapai 820 untuk GUSDURian dan 100 untuk Gusdurian Kediri.
Selain FB, twitter dan website, Nahdatul Ulama juga memposting sebuah video, yang merupakan sejarah berdirinya organisasi Islam terbesar ini. Video berdurasi 5:38 menit ini dikemas dengan modern, professional dan menggunakan bahasa Arab. Video ini dibuat pada PCI NU di Sudan periode 2009-2010.

Editor Majalah Masjid Kemayoran Surabaya -Ar Royyan Magz| Follow @farizilquds)

BULAN YANG SUCI; IMBANGILAH DENGAN KESUCIAN HATI

Oleh: KHR. Chamid Busthomi, Rois Syuriyah MWCNU Karangmoncol.
 Puasa adalah ibadah sir (rahasia). Orang yang mengetahui kita benar-benar berpuasa atau tidak hanya diri kita masing-masing. Banyak orang yang menampakkan dirinya seperti orang berpuasa, tapi di luar sana pergi ke warung untuk makan dan minum dengan lahapnya. Ini ajaib dan aneh. Mereka mengaku mengenal Alloh, tapi malah mengingkari dan menentangnya. Perbuatan yang demikian justru menandakan sebagai orang yang tidak mengasihi dirinya sendiri, yang berarti juga dia telah menghancurkan dirinya sendiri.
Celakalah mereka yang menganggap remeh suatu pekerjaan yang sebenarnya sangat bermanfaat (yaitu puasa), tapi malah mengejar sesuatu yang ia inginkan. Celakanya lagi, karena mereka juga meyakini bahwa Romadlon adalah bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan, tapi mereka malah melupakan apa yang mereka yakini itu.
Wahai kaum muslimin-muslimat, berdirilah dengan tegar dan waspada laksana Anda seorang penjaga. Usirlah mereka yang akan masuk jika kedatangannya justru akan mengotori dan membuat kerusakan ruangan Anda. Tinggalkanlah hasrat dan nafsu Anda yang tidak baik agar tercapai cinta Alloh yang Maha kasih dan sayang. Cinta Alloh akan mengantarkan Anda menggapai segala cita-cita.
Ingat, orang yang berpuasa adalah laksana orang yang sedang dalam barisan peperangan. Ada yang luka berat maupun ringan, dan bahkan ada yang mati dalam pertempuran. Jagalah diri kita jangan sampai terluka. Karena jika luka itu menggores wajah kita, akan sulit disembuhkan. Jangan sampai tombak-tombak syetan, panah-panah iblis dan pisau-pisau Gerandong menggores kulit kita. Jangan sampai kita tergoda dengan apa saja yang diwujudkan dengan kenikmatan duniawiyah yang sifatnya sementara. Jangan engkau gapai makanan, minuman dan jimak di siang hari bulan Ramadlon hingga batas waktu yang diperbolehkan menurut syariat Islam.
Jasad dan waduk pencernaan kita perlu diistirahatkan setelah dalam waktu 1 tahun diisi terus menerus. Kata Nabi saw, dengan berpuasa kita akan menjadi sehat. Apalagi ditambah dengan sholat tarawih. Dilihat dari kacamata kesehatan, gerakan sholat dari takbir, ruku, sujud, duduk sampai salam adalah gerakan badan yang sangat menyehatkan. Ini dilakukan selama 1 bulan dengan rutin, dengan pola makan yang teratur dan terukur. Ini akan sangat membantu kesehatan jasmani dan rohani kita.
Kita diciptakan Alloh memiliki lubang 10 (sepuluh), tapi pada usia 3 tahun, lubang yang satu ditutup lagi oleh Alloh swt, yaitu ubun-ubun. Jadi sampai dewasa tinggal 9 (sembilan) lubang, yaitu 2 lubang hidung, 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 1 lubang mulut dan 2 lubang pembuangan depan belakang.
Orang yang cerdas adalah mereka yang senantiasa berpikir dengan otak (ubun-ubun), dan menghitung-hitung antara kehidupan yang sementara dengan kehidupan yang langgeng di akhirat. Di akhirat nanti ada orang yang senang selamanya dengan kenikmata surga, ada pula orang yang sengsara selamanya di neraka. Oleh karena itu, jika kita ingin mendapatkan kesenangan akhirat, perbanyaklah “tholabul ilmi” (mencari ilmu). Orang jawa bilang “NGAJI” , yaitu “sanga dengan siji”. Jadi 9 + 1 = 10. Sepuluh artinya “genep/jangkep”. Jadi kalau ingin disebut seabgai orang yang “GENEP/JANGKEP” harus senang NGAJI. Kalau ingin jadi orang yang “kurang” ya tidak perlu ngaji. Dengan bahasa pasemon/kireto, “ngaji” berarti ngarah barang kang aji (berharga), sedangkan “ngaos” artinya ngarah kang aos (berisi).
Manusia memiliki lubang yang 9 itu harus ditutup dengan perkara “siji”, yaitu BENAR. Ada mata yang benar (digunakan untuk hal-hal yang baik), ada mata yang salah (karena digunakan untuk hal-hal yang maksiat). Ada hidung yang benar, ada juga hidung yang salah, dst. Ukuran BENAR adalah benar menurut Al-Qur’an dan Hadits, juga Ijam’ dan Qiyas. Bukan benar menurut keinginan dan kepentingan pribadi. Untuk mendapatkan sesuatu yang BENAR caranya dengan  ngaji. Memahami Al-Qur’an dan Hadits harus dengan ilmu. Untuk mendapatkan ilmu harus ngaji.
Oleh karenanya, pada kesempatan Romadlon tahun 1432H/2011M ini, piculah untuk mencuci hati kita, memarahi diri kita sendiri. Bila perlu berdirilah di depan kaca sambil bergumam…”He kamu, apa kamu yakin kalau tahun 2012 nanti akan bertemu bulan Ramadlon lagi…?”. Mungkin nafsu kita akan menjawab: “Santai saja Brow…! Kamu kan masih muda…”
Tapi coba tatap wajahmu di depan kaca, jawablah dengan akalmu: “Oh, ya. Aku harus semangat, mumpung ketemu bulan Romadlon. Belum tentu tahun depan aku masih hidup. Banyak bayi dilahirkan lalu tidak lama mati. Berapa umur kita? Kita mati kapan? Mati dimana?…. Kita tidak tahu.
Karenanya hiasilah rumahmu dengan Al-Qur’an. Bacalah Al-Qur’an.  Rasulullah Saw, bersabda:
اَكْثِرُوْا مِنْ تِلاَوَةِ الْقُرْآنَ فِي بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ اْلبَيْتَ الَّذِى لَا يقْرَأْ فِيْهِ اْلقُرْآنِ يَقِلُّ خَيْرُهُ وَيَكْثُرُ شَرُّهُ وَيَضِيْقُ عَلَى اَهْلِهِ (رواه الطبرنى عن انس بي مالك)
“Perbanyaklah rumah-rumahmu dengan bacaan Al-Qur’an. Sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an sedikit sekali kebaikannya dan banyak kejelekannya dan sempit dalam keluarganya”.

Bila ingin rumah tangga kita harmonis, anak-anak kita solih solihah, banyak kebaikannya, tentram, damai, sakinah (anteng), maka perbanyaklah bacaan Al-Qur’an di rumah kita. Itulah konsep dari Nabi Saw. Lebih-lebih di bulan Romadlon ini, mari kita lakukan dengan penuh kesungguhan.
Kita semua tahu, Al-Qur’an diturunkan di bulan Romadlon. Kita juga tahu bahwa Al-Qur’an adalah pedoman hidup, petunjuk bagi manusia. Tinggal kita mengimplementasikan pengetahuan dan keyakinan kita. Mari kita niati yang baik, bertekad kalau selesai Romadlon nanti akan senantiasa kontinyu, istiqomah membaca Al-Qur’an. Jangan kita baca Al-Qur’an di musim Romadlon saja.
Mari kita kerjakan ibadah hanya mengharap keridloan dan rahmat Alloh semata. Itulah ciri orang yang cinta kepada Alloh swt.***

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TANPA BATAS

Tidak ada pengujian undang-undang yang tanpa batas, walaupun oleh Mahkamah Konstitusi sekalipun. Dalam melakukan pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh ketentuan konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu sendiri, prinsip-prinsip hukum umum (general prinples of law)[1] serta undang-undang yang berlaku.
UUD NRI Tahun 1945, memberikan kewenangan kepada Mahkamah Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945). Bagaimana hukum acara pengujian itu dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, UUD menyerahkan hal itu untuk diatur oleh undang-undang. Dengan demikian undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi sepanjang mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi bekedudukan setara dengan konstitusi dan Mahkamah Konstitusi wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan undang-undang itu.
Pasal 50 UU MK, menentukan bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945. Persoalannya, apakah ketentuan pasal ini mengandung pembatasan yang sejalan dengan UUD ataukah bertentangan dengan UUD.
Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan pembatasan atas undang-undang mana saja yang boleh dan tidak boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatasan dalam menguji suatu undang undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh ketentuan Undang Undang Dasar hanya dapat ditarik dari pemahaman dan penafsiran atas seluruh ketentuan UUD itu sendiri. Memperhatikan ketentuan pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, secara tegas menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahakamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Dengan dasar ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tunduk pada hukum acara yang ditentukan oleh undang-undang. Apakah pasal 50 UU MK, adalah lingkup hukum acara ataukah sudah masuk pada hukum materil.
Hukum acara adalah hukum yang diadakan untuk menegakkan hukum materil yang mengandung prosedur dan tatacara penegakkan hukum materil. Pasal 50 UU MK, ditempatkan pada bagian hukum acara mengenai pengujian undang-undang terhadap UUD. Untuk menilai substansi pasal 50 apakah termasuk bidang hukum acara atau sudah masuk bidang hukum materiil tergantung dari segi mana kita akan melihatnya. Jika kita akan memandang bahwa hukum acara itu diperlukan untuk menegakkan hukum materil secara adil dan untuk memenuhi kepastian dan ketertiban hukum maka dapat saja kita masukkan substansi pasa 50 itu ke dalam bidang hukum acara. Sebaliknya jika kita memandang bahwa hukum acara hanya semata-mata mengatur prosedur dan mekanisme penegakkan hukum materil maka pasal 50 itu dapat dianggap sudah keluar dari substansi hukum acara dan sudah masuk wialayah hukum materil.
Lalu mengapa pembentuk undang-undang memasukkan substansi pasal itu dalam hukum acara MK. Hal ini terkait dengan penafsiran pembentuk undang-undang terhadap Undang Undang Dasar bahwa suatu undang-undang yang telah lahir sebelum perubahan UUD, tidaklah adil untuk diuji dengan ketentuan UUD yang lahir kemudian untuk memenuhi prinsip tidak berlaku surutnya suatu ketentuan hukum yang baru. Disinilah dua prinsip hukum yang dapat membatasi dalam menguji UU terhadap UUD yaitu prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum. Untuk menguji suatu undang-undang yang telah lahir sebelum perubahan UUD haruslah diuji dalam kerangka UUD yang berlaku pada saat itu dan tidak dpt diuji dengan UUD yang lahir kemudian. Karena itulah aturan peralihan UUD menentukan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tertap berlaku sepanjang belum diadakan yang baru. Dengan demikian untuk merevieuw undang-undang yang lahir sebelum perubahan UUD tidaklah dapat dilakukan dengan mekanisme constitusional revieuw oleh MK akan tetapi melalui legislative revieuw yang dilakukan oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Disinilah prinsip kepastian hukum serta prinsip tidak berlakunya surutnya suatu ketentuan hukum harus diterapkan. Pada sisi lain memberikan peluang untuk melakukan constitusional review terhadap undang-undang sebelum Perubahan UUD, dapat mengakibatkan bertumpuknya pekerjaan MK untuk menerima permohonan pengujian terhadap berbagai perundang-undangan yang lahir sejak jaman Belanda, termasuk seluruh pasal KUH Pidana, KUH Perdata dan lain-lain yang sangat banyak.
Disamping itu undang-undang dapat saja memberikan pembatasan terhadap hak dan kebebasan setiap orang dengan pertimbangan untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan karena pertimbangan moral, agama dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Hal ini berarti bahwa pembatasan atas kebebasan setiap orang untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap suatu undang-undang adalah sah-sah saja dan tidak perlu dipertentangkan dengan UUD, manakala pembatasan itu untuk memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama serta ketertiban umum atau untuk menghormati hak asasi orang lain.
Pembatasan yang diatur dalam pasal 50 UU MK itu dimaksudkan hanya semata-mata untuk memenuhi tuntatan yang adil sesuai dengan pertimbangan untuk mengakkan ketertiban umum, yaitu agar supaya tidak memberikan peluang yang terlalu bebas untuk menguji seluruh undang-undang tanpa batas untuk menghindari potensi menumpuknya perkara yang akan diajukan kepada MK.

RENUNGAN KEBANGKITAN NASIONAL

Pada 10 Oktober 1905, lahirlah Serikat Dagang Islam, suatu gerakan organisasi yang bersifat nasional pertama di Solo, yang didirikan oleh HOS Cokroaminoto. Organisasi ini beranggotakan para pedagang pribumi dan Islam  dari seluruh tanah Hindia Belanda, Aceh sampai Maluku. Dari catatan sejarah yang ada, hanya dalam waktu 14 tahun yaitu pada 1919, SDI yang berubah menjadi SI (1912) telah memiliki 2 juta orang anggota di seluruh tanah Hindia Belanda. Luar biasa, dalam masa tidak ada transportasi udara dan komunikasi telepon seperti sekarang ini. Gerakan ini lahir karena terbangun dari kesadaran bersama akan keterbelakangan dibidang ekonomi di kalangan islam dan pribumi yang jauh tertinggal dari golongan Cina, Timur Asign apalagi Eropa. Jadi kesadaran yang terbangun adalah kesadaran untuk maju dan berdiri sejajar dengan bangsa lain.
Tiga tahun berikutnya, pada 20 Mei 1908, hari Ahad jam 10 pagi di sekolah STOVIA, dibentuklah organisasi Budi Utomo, oleh para anak muda mahasiswa STOVIA, Soetomo Cs. Juga dengan semangat dan kesadaran untuk maju dan sejajar dengan bangsa lain, khususnya dari kalangan etnis Jawa dan Madura. Mereka sadar karena penduduk Jawa dan Madura terbelakang di banding bangsa lain di Hindia Belanda pada masa itu. Sebelumnya, bangsa lain di tanah Hindia telah memiliki organisasi antara lain organisasi Tiong Hoa yaitu Hwee Koan, dan Indische Bond bagi orang Indo Belanda. Soetomo dkk pun tidak ingin ketinggalan untuk membentuk gerakan bagi bangsa Jawa dan Madura. Gerakan inilah yang menginspirasi selanjutnya lahirnya, Jong Java, (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten Bond (1924), Jong Batak, Jong Cilebes Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Ambon dan lain-lain, yang kemudian bersatu mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Pada 18 November 1912, lahirlah pula Gerakan Perserikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogya dan selanjutnya Nahdatul Ulama, 31 Januari 1926.
Kelahiran SDI – SI serta Budi Utomo, semula merupakan gerakan sosial, budaya dan ekonomi, karena pada saat itu tidak memungkinkan untuk mendirikan gerakan politik karena pasti akan mengancam keberadaan penjajahan Belanda dan akan dilarang oleh penjajah. Akan tetapi karena tuntutan keadaan dan kebangkitan nasional gerakan-gerakan itu bermetamorfosa sebagai gerakan politik dan menjadi partai politik hingga menjadikan Indonesia merdeka. Pada 25 Desember 1912, lahirlah partai politik pertama di Indonesia yaitu Indische Partij, yang didirkan oleh tiga serangkai DR Dowes Dekker seorang pemuda Indo-Belanda, Cipto Mangunkusumo serta Ki Hajar Dewantara. Organisasi inilah yang pertama sekali meminta Indonesia merdeka. Karena itulah Indische Partij pada tahun 1913, dilarang oleh pemerintah Belanda.
Makna Kekinian Kebangkitan Nasional
Sekarang ini banyak dari kita yang merayakan hari kebangkitan nasional dengan fosmalitas, simbol-simbol, serimonial, dengan kata-kata bahkan untaian puisi. Sekarang, kita tidak butuh hanya untaian kata dan puisi pemberi semangati. Kita tahu betapa kebangkitan itu tertanam dalam jiwa dan kesadaran kita.
Kita tidak bisa lagi bangkit hanya sekedar dengan kata-kata, untaian puisi maupun juga heroik cerita. Kita harus bangkit melakukan gerakan, langkah-langkah nyata untuk kejayaan Indonesia. Bagi saya Indonesia sebagai sebuah bangsa telah lahir dan eksis. Karena itu nasionalisme tidak lagi kita tekankan pada memompakan kebangsaan Indonesia yang satu. NKRI dan lain-lain simbol lama. Itu adalah gerakan 100 tahun yang lalu, gerakan pada waktu sumpah pemuda, gerakan kemerdekaan dan gerakan awal membangun Indonesia merdeka yang baru mengenal bangsa. Sekarang sudah berbeda, sudah lain.
Lalu gerakan apa yang harus kita lakukan?
Gerakan lahir dari kesadaran dan kondisi sosial kehidupan yang melingkupi kita. Gerakan lahir dari kesadaran untuk berubah, berubah kepada yang lebih baik. Gerakan lahir tidak karena disuruh, diberikan, disuapin dan tidak karena hadiah. Tapi gerakan lahir karena kesadaran sendiri, mengambil, mencuri dan bahkan merampas. Yang penting untuk tujuan kebaikan, kebesaran dan kejayaan kita sebagai sebuah bangsa. Kalau tidak dengan cara itu, Indonesia tidak pernah akan merdeka, karena tidak pernah penjajah akan memberikan kemerdekaan itu.
Gerakan kebangsaan dalam kondisi kekinian, bukanlah lagi melihat ke dalam struktur masyarakat Indonesia karena masyarakat yang berstruktur seperti pada masa penjajahan Belanda sudah tidak ada. Pada masa Belanda mereka membuat gerakan karena masyarakat bumi putera terpinggirkan, dibanding Indo-Belanda, golongan Tionghoa serta bangsa-bangsa lain di Hindia Belanda.
SEKARANG, kita harus melihat Indonesia dalam kancah pergaulan dengan negara-negara lain. Kalau saja, bangsa lain tidak lebih maju dari kita, maka kita memiliki kekuatan dan kebanggan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa Indonesia. Akan tetapi kita masih jauh dari itu, kita hanya bisa bangga sebagai bangsa dengan penduduk terbesar ke empat di dunia. Di dunia olahraga, bulu tangkis yang sejak lama telah merupakan kebanggaan kita, tetapi sekarang tidak lagi, apalagi dunia seni, film, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebersihan dan kedisiplinan di jalan. Semua tidak ada lagi yang kita banggakan. Industri pesawat terbang sebagai lonjatan teknologi tinggi yang menjadi kebanggaan, dipreteli dan bonsai menjadi kecil. Tidak ada lagi yang bisa kita banggakan sebagai sebuh bangsa.
Sekarang kalau kita ke luar negeri, atau di Asean saja, kita akan dilihat sebagai bangsa pekerja harian, bangsa pekerja kasar, buruh perkebunan, buruh bangunan dan pekerja rumah tangga. Di Timur Tengah, bangsa kita dipandang sebelah mata, karena terbanyak di sana sebagai khadam, istilah krennya pekerja rumah tangga, istilah agak kasar “pembantu rumah tangga”, istilah lebih kasar adalah ”babu” dan lebih kasar lagi adalah “budak”, dan inilah makna asal dari khadam itu. Sungguh tragis. Padahal negara kita adalah negara yang lebih dulu merdeka dari banyak negara-negara lainnya yang kini lebih maju.
Jadi, kesadaran yang harus dibangun adalah kesadaran akan kesedarajatan, serta kesadaran untuk menjadi lebih baik dari bangsa-bangsa lain. Kesadaran menjadi bangsa besar dan kesadaran untuk maju dan lebih unggul dari bangsa lain. Itulah yang harus menjadi kesadaran bersama kita anak bangsa ini.
Gerakan yang harus kita lakukan adalah gerakan untuk memajukan kecerdasan bangsa, gerakan untuk hidup disiplin dan terartur, gerakan menghargai waktu serta gerakan internationalize standard. Kita harus melihat standar kwalitas apaupun dalam kerangka standar internasional. Hanya dengan cara itulah kita bisa mengukur diri, apa kita masih berjalan di belakang, sudah di tengah atau di depan.
Untuk membangun gerakan itu kita tidak perlu menjadi bangsa peminta-minta. Bangsa yang selalu mengeluh kepada bangsa lain yang kini lebih kaya, karena hal itu akan tetap merendahkan martabat bangsa. Kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Kita harus bangun kesederajatan dalam hubungan dengan negara lain. Kita harus mengolah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi kita untuk kebesaran bangsa kita. Kita tidak akan pernah menjual kekayaan alam untuk keuntungan bagi bangsa lain.
Kini, kita sangat prihatin, hanya untuk general check up kesehatan, pejabat dan orang-orang kaya Indonesia harus ke Singapura atau Malaysia. Untuk sekolah menengah atas apalagi perguruan tinggi harus ke luar negeri. Sekarang mahasiswa internasional yang sekolah di negeri kita, paling dari Timor-Timor. Sedangkan sebeleumnya banyak sekali mahasiswa Malaysia yang belajar di universitas-universitas kita. Kita mundur, mundur jauh ke belakang dari tetangga kita Malaysia dan Thailand, apalagi Korea selatan.
Kita prihatin manager-manager kunci di perushaan-perusahaan yang beropresi di Indonesia adalah manager dari bangsa lain, bahkan kita kalah jauh dari bangsa India. Pada organisasi-organisasi Internasional, kita kalau jauh dengan orang-orang bangsa Vietnam dan bangsa Pakistan. Hanya sedikit sekali dari bangsa kita yang bekerja pada organisasi-organisasi Internasional itu, padahal bangsa kita adalah negara dengan penduduk terbesar ke empat di dunia. Sungguh tragis.
Lalu apa yang harus kita lakukan! Kata kunci dari internasional standar itu adalah DAYA SAING. Kekuatan kompetisi. Inilah yang paling lemah dalam bangsa ini. NASIONALISME harus dibangun dengan kesadaran bahwa kita adalah bangsa yang memiliki daya saing tinggi dalam segala aspek kehidupan. Karena itu sekali lagi gerakan yang kita bangun adalah gerakan penrcerdasan bangsa, kedisiplinan, keteraturan serta membangun kekuatan daya saing sebagai sebuah bangsa yang berada di tengah pergaulan dunia.
Gerakan Budi Utamo, Indische Partaj, PNI serta gerakan-gerakan pemuda yang melahirkan sumpah pemuda, diawali oleh diskusi-diskusi kecil di kalangan mahasiswa dan kaum terpelajar. Dalam kondisi kritis yang kita alami sekarang ini, peran pemuda, mahasiswa dan intelektual harus kembali tampil ke depan memulai gerakan itu. Kita tidak bisa menjadi besar, hanya dengan demo dan protes, walaupun demo dan protes itu sangat penting untuk mengasah kepekaan sosial. Lawan kita bukanlah siapa yang berkuasa sekarang ini, tetapi lawan kita adalah cengkaraman bangsa lain atas seluruh aspek kehidupan kita. Lawan kita adalah keterpurukan kita dalam kancah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Lawan kita adalah kelemahan daya saing itu.
Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia yang terutama diperankan oleh pemerintah harus menjadikan persoalan ini menjadi gerakan dan program yang utama dan pertama. Kalau mereka tidak melakukan itu mari para pemuda dan mahasiswa ambil alih penentu kebijakan, menggantikan posisi mereka. Bergeraklah para pemuda, mahasiswa untuk kejayaan bangsa kita di masa depan yang menjadi milik kalian.
Wallahu a’lam. Semoga bahagia di Indonesia yang kita cintai ini, dan Allah selalu meridlai.
(Ini adalah Orasi Kebangkinan Nasional yang saya sampaikan di Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta, Mei 2008)

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden


Judul buku: Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945;
Pengarang: Hamdan Zoelva;
Penerbit: Konstitusi Press, Jakarta;
Cetakan: pertama, Juni 2005;
Tebal: x+238 halaman.

Sekilas melihat judulnya, terkesan buku ini seperti tidak membicarakan sistem konstitusi di Indonesia. Terutama disebabkan pemilihan istilah impeachment yang tidak dikenal dalam sistem perundangan di Indonesia. Namun, disadari atau tidak proses impeachment sering terjadi di Indonesia. Menengok ke sejarah, empat dari lima presiden yang pernah dimiliki Indonesia tidak mampu menyelesaikan masa jabatannya.  Setidaknya dua diantaranya, Soekarno dan Abdurahman Wahid, diberhentikan oleh parlemen (MPRS/MPR). Walaupun pemberhentiannya taat pada konstitusi, namun pemetaan politik dan kepentingan cukup mewarnai proses pemberhentian kedua presiden tersebut. Kisah-kisah itu menjadi awalan yang cukup menarik dalam buku ini. Sejarah pemberhentian presiden pada periode lalu dikisahkan lagi oleh penulis dalam prespektif hukum dengan sedikit mengeliminasi konteks politik yang berkembang di dalamnya.Dengan sedikit mereduksi konstelasi politik yang terjadi di balik penurunan presiden oleh MPR, proses tersebut menunjukkan tingginya kontrol parlemen atas institusi kepresidenan. Hal ini setidaknya dapat menjadi modal awal untuk membangun proses demokratisasi di Indonesia di mana salah satu pilarnya adalah kontrol terhadap kekuasaan agar tidak mengarah kepada terciptanya penguasa tungal.* * *Penulis buku ini mempunyai mimpi besar untuk membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap presiden yang lebih sehat dan tidak hanya tergantung pada konstelasi politik semata. Buku ini melemparkan kritik mendasar kepada multi-intepretasi atas Pasal  7A UUD 1945. Presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan perlanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. (hal 9) Setidaknya terdapat lima jenis pelanggaran hukum yang dapat “menurunkan” presiden berdasar pasal tersebut. Sayangnya, pemaknaan terhadap kelima jenis pelanggaran tersebut tidak memiliki bingkai yang jelas. Selama proses impeachment yang terjadi di Indonesia pemaknaan terhadap jenis pelanggaran tersebut sangat tergantung kepada konstelasi politik yang sedang berlangsung.  Sehingga  konstelasi politik di DPR/MPR yang lebih memegang peranan penting dibandingkan dengan nilai-nilai keadilan.Ajakan untuk  menggunakan aspek hukum pidana dalam pemberhentian presiden cukup kuat dirasakan dalam buku ini.  Dalam Pasal 7A terdapat dua alasan presiden diberhentikan. Alasan yang pertama, karena presiden melakukan pelanggaran hukum, dan yang kedua, dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Penulis menggunakan pendekatan hukum pidana untuk membingkai penafsiran pada alasan yang pertama. Sedangkan pada alasan kedua, kurang begitu dikupas dalam buku ini. Agaknya disebabkan terlalu multi intrepretatifnya alasan kedua. Konstelasi politik dan pemetaan politik di MPR/DPR yang akan lebih memegang peranan penting untuk memberikan tafsir yang lebih tegas tentang maksud dari “tidak layak” menjadi presiden.  Pendekatan hukum pidana menjadi mungkin digunakan untuk membingkai jenis pelanggaran yang dilakukan presiden berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkan presiden pada saat pengangkatannya. Berdasar Pasal 9 UUD 1945, presiden yang bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan , termasuk di dalamnya KUHPidana. Pelanggaran pidana yang dapat menjadi penyebab pemberhentian presiden terdiri dari tindakan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya dan perbuatan tercela. Penterjemahan untuk keempat jenis pelanggaran yang pertama cukup dengan gamblang diuraikan dalam buku ini dengan merujuk pada berbagai undang-undang terutama undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Sebuah lembaga yang nantinya akan memegang peranan penting dalam proses pemberhentian presiden. Pemaknaan terhadap perbuatan tindakan tercela yang dilakukan oleh presiden memiliki batasan yang cukup luas. Asumsi tindakan tercela  akan terkendala pada bentuk aturan mana yang dapat dijadikan dasar untuk membingkai tindakan tercela yang dilakukan presiden. Ketiadaan aturan yang menjelaskan perilaku menjadi salah satu kendalanya. Pemaknaan terhadap tindakan yang tercela merupakan satu dari banyak tema diskusi menarik yang ditawarkan buku ini.Melalui pendekatan ini, maka penyelidikan terhadap pelanggaran pidana yang dilakukan presiden dapat dilakukan oleh kepolisian. Permasalahannya kemudian adalah peraturan-peraturan yang mengatur mekanisme tersebut dijalankan. Sisi positif dari pendekatan ini memungkinkan meminta pertanggunggjawaban presiden secara lebih menyeluruh. Bentuk pertangungjawaban presiden tidak hanya berhenti saat presiden turun dari jabatannya tetapi masih akan diikuti dengan proses lebih lanjut berdasar hukun pidana. Proses inilah yang sering tidak pernah terjadi di Indonesia. Tuduhan korupsi ataupun tuduhan berkhiatan terhadap ideologi dan pandangan bangsa yang jelas-jelas merupakan sebuah tindakan pelanggaran pidana prosesnya berhenti saat presiden yang bersangkutan mengundurkan diri. * * *Mekanisme pemberhentian presiden yang mulai berubah pasca revisi UUD 1945 menjadi sorotan lainnya dalam buku ini. Semenjak MPR tak lagi memegang kekuasaan tertinggi, perubahan yang cukup signifikan terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini juga berpengaruh pada sistem pemberhentian presiden.  Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR dapat memberhentikan presiden dengan diawali proses pengawasan terhadap DPR. Apabila DPR menganggap presiden telah melakukan pelanggaran terhadap undang-udang maka dapat mengajukan usulan pemberhentian presiden dengan persetujuan 2/3 anggota dewan. Namun sebelumnya haruslah meminta keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dakwaan yang diajukan dewan terhadap Presiden. Setelah mendapat keputusan dari MK barulah proses pengajuan usulan pemberhentian presiden kepada MPR dapat berlangsung.Pelibatan MK dalam proses pemberhentian presiden tersebut di satu sisi akan memberikan nilai lebih dalam membangun sistem pengawasan presiden yang lebih sehat. Pertimbangan hukum memegang peranan penting dalam pemberhentian presiden. Mekanisme ini dapat menjadi koreksi atas sistem pengawasan terhadap lembaga eksekutif (presiden) yang selama ini cenderung bernuansa politis dan tergantung konstelasi politik. Namun, mekanisme tersebut nantinya akan membawa tantangan tersendiri bagi institusi baru seperti MK yang juga turut berperan dalam proses impeachment presiden. Peranan MK terlebih pada pembuktian dari sudut hukum mengenai benar atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum presiden dan wakil presiden dan putusannya tidak secara otomatis dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden dari jabatannya. Tetapi netralitas dan keberpihakan MK kepada hukum dan nilai-nilai kebenaran keadilan menjadi faktor terpenting yang harus dijaga. Bukan sebuah keniscayaan, lembaga pertimbangan konstitusi seperti MK dapat terjebak ke dalam pertarungan politik. * * *Demokratisasi di Indonesia diawali dengan kisah, tingginya bahkan terlalu kuatnya peranan parlemen dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Kuatnya parlemen ini membuat tidak berimbangnya kekuasaan antara parlemen dengan eksekutif. Sehingga pertimbangan dari aspek politis lebih mewarnai proses pengawasan terhadap lembaga kepresidenan alih-alih pertimbangan dari aspek hukum.Berawal dari pengalaman sejarah tersebut, penegasan dan penguatan aspek hukum dalam proses pengawasan lembaga ekseklutif ditawarkan oleh buku ini. Pertimbangan aspek pidana dalam proses pengawasan dan pemberhentian presiden bukan untuk semata-mata melindungi lembaga kepresidenan dari intrik politik, tetapi juga mempertegas kembali nilai-nilai keadilan bagi presiden dan juga legislatif. Pendekatan hukum pidana juga akan mendorong terjadinya pertanggung-jawaban presiden yang tak hanya secara politis tetapi juga dalam konteks hukum pidana atas tindakan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban yang menyeluruh tersebut sering hilang dalam sejarah pemeberhentian presiden yang dimiliki indonesia. Sebagian besar pertanggungjawaban presiden berhenti setelah turunnya presiden dari jabatan. Walaupun secara hukum ketatanegaraan sudah selesai tetapi dalam kacamata hukum pidana belum selesai. * * *Check and balances antara tiga lembaga negara menjadi salah satu faktor penting dalam tatanan pemerintahan yang demokratis. Mekanisme pengawasan yang dibangun oleh parlemen terhadap eksekutif haruslah juga mendasarkan pada prinsip yang serupa. Kisah arogansi parlemen di masa awal demokratisasi Indonesia merupakan sebuah pengalaman yang dipelajari.  Agaknya, berdasar dari pengalaman empiris ini, Hamdan zoelva mencoba menggunakan pendekatan legal konstitusional untuk melaksanakan mekanisme kontrol kekuasaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Sebuah benang merah yang bisa ditarik adalah pengawasan terhadap lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk menegakkan nilai keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit politik semata. Apabila proses ini terjadi maka sistem politik yang lebih sehat akan tercipta dan membawa kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka inilah buku ini memberikan pijakan awal untuk membangun sistem pengawasan terhadap presiden yang lebih menegakkan nilai-nilai keadilan.[] sumber: jurnal konstitusi, vol. 2 no. 2 (2006), diresensi oleh Agus Mulyono.

4 Pesawat Tanpa Awak Perkuat Kalimantan

defense.gov Ilustrasi: PREDATOR - 
 
Pesawat tak berawak yang dipersenjatai ini bisa dikendalikan dari Amerika Serikat dan dioperasikan di mana saja, semisal untuk mengebom gerilyawan muslim di Pakistan dan Afghanistan. Kini, pesawat semacam itu digunakan pula untuk menyerbu Libya.
SUNGAI RAYA, KOMPAS.com - Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Imam Sufaat mengatakan, empat pesawat tanpa awak akan memperkuat pertahanan Kalimantan dan segera ditempatkan di Pangkalan TNI AU Lanud Supadio pada akhir 2011.
"Pesawat tanpa awak di Pangkalan Udara Supadio Pontianak diarahkan untuk memperkuat kemampuan pemantauan termasuk daerah perbatasan di Kalimantan Barat, bahkan juga dioperasikan untuk pengawasan di pulau Kalimantan," katanya saat berkunjung ke Lanud Supadio Pontianak, Jumat (19/8/2011) sore.
Saat ini proses pembangunan hanggar untuk empat pesawat tersebut sudah delapan puluh persen dikerjakan dan ditargetkan dalam waktu dekat pengerjaannya sudah selesai.
"Karena pengadaan pesawat tanpa awak ini dilakukan oleh Kementerian Pertahanan, kita belum tahu pasti kapan pesawat itu bisa ditempatkan di Lanud Supadio. Namun, kita harapkan akhir 2011 pesawat tersebut sudah ada di sini (Supadio)," tuturnya.
Imam mengatakan, pesawat tanpa awak mempunyai fungsi yang sangat strategis untuk mempertahankan kedaulatan NKRI karena dapat dikendalikan dari jarak jauh.
Selain itu, pesawat tersebut juga dapat dipersenjatai serta dilengkapi dengan peralatan pendeteksi untuk kondisi malam dan siang hari. Dia menyatakan, keberadaan pesawat tanpa awak selain digunakan untuk memperkuat pertahanan NKRI di gatra udara juga bisa berfungsi sebagai alat untuk mendeteksi berbagai kegiatan ilegal dalam patroli perbatasan, baik laut mupun udara.
Selain itu juga bisa berfungsi untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan yang marak terjadi di wilayah Kalimantan dan pulau lainnya.
"Berdasarkan hasil pertemuan terahir dengan pihak Amerika beberapa waktu lalu, telah disepakati Indonesia akan menerima 24 pesawat tempur F16 bekas dari Amerika Serikat plus enam pesawat cadangan, sehingga totalnya menjadi 30 unit," tuturnya.
Nantinya ke 30 pesawat tempur hibah itu akan di upgrade ke blok 52 lengkap dengan persenjataan mutakhirnya melengkapi jumlah yang ada saat ini 10 unit sehingga menjadi 2 skuadron ( 40 unit) F16.
Dia menambahkan, pada Desember 2010 juga telah dilakukan penandatanganan kontrak pembelian 16 Super Tucano buatan Brazil, lalu April 2011 sudah ada kepastian pengadaan pesawat latih/tempur jenis T-50 buatan Korea Selatan. Kedua Skuadron itu secara bertahap akan mengisi arsenal TNI AU mulai awal tahun depan.
"Pada 2011 juga sudah dipersiapkan tambahan 6 unit Sukhoi lengkap dengan persenjataannya untuk melengkapi jumlah yang ada sekarang sebanyak 10 unit," tuturnya.
Opsi tentang perkuatan pesawat tempur jenis Sukhoi tetap mengental. Setelah lengkap berjumlah satu skuadron (16 unit), akan terus ditambah minmal sampai berjumlah 32 unit dari jenis Su27/30.
"Bahkan petinggi TNI AU sangat berminat dengan Sukhoi SU35 BM minimal 1 skuadron. Untuk memenuhi kriteria minimum essential force (MEF) sampai dengan 2014 TNI AU membutuhkan minimal 10 skuadron tempur," kata Imam.

The Role of Indonesian Civil Society Organizations in Security Sector Reform After 1998

Abstract
Generally, in the view of society, the process of security sector reform (SSR) in Indonesia is not yet complete. Indeed, there has been some normative progress through the enactment of new legislations in security sector and there has been more ‘space’ for public participation up to a certain level in the parliament and government in policy making process. However, the role of the government and the parliament to implement, monitor and evaluate various legislations and to adopt public aspirations is still somewhat weak. On one hand, traditional security actors (military, police and intelligence) still tend to be resistant and respond negatively towards the pressure for reformation and the demands put forward by a number of civil society organizations (CSOs). Pro-democracy groups and CSOs have not been performing optimally in conducting SSR advocacy. In fact, the intensity of the pressure that they exert tends to decrease in the past few years.[3]
Similarly, in some aspects government’s performance (executive-legislative-judicial) does not seem to be improving in terms of being in of favour public aspiration. In certain conditions, government’s own political interests still tend to outweigh those of the public. As a consequence, the phenomenon of political status quo and impunity remains a mainstream that erodes the flow of democratic transition, including SSR. On the other hand, civil society is faced with problems of organizational consolidation, limited innovation in advocacy strategies and SSR-related skills and knowledge, state stigmatization and criminalization against their advocacy work, and limited advocacy network among those who work at national, regional or international level.[4]
The question that subsequently comes to mind is: where have the civil society and CSOs been for the past 10 years since 1998 reformation (reformasi 1998)? What have they ‘won’ through CSOs advocacy? Why are the achievements in SSR below expectations? What are the obstacles, challenges, and opportunities that CSOs have had for the past 10 years in conducting SSR advocacy?

Key words
Security Sector Reform, Military, Police, Intelligence, Parliament oversights, Civil Society Organizations, advocacy, human rights, legislation,
An Introduction
Basically, security is fundamental to people’s livelihoods. It relates to personal and state safety, access to social services and political processes. It is a core government responsibility, necessary for economy, and vital for the protection of human rights. Security matters to the poor and other vulnerable groups, especially women and children, because bad policing, weak justice and penal systems, and corrupt militaries, polices and intelligence agencies mean that they suffer disproportionately from crime, violation, insecurity and fear.[5]
SSR concept itself refers to a continuous effort made by security sector stakeholders (parliament, government and security actors) together with civil society to encourage changes in policy, governance, and security institutions from the old authoritarian system into a new and more democratic system. Such changes are marked by the birth of democratic security policies, changes in the relation between civil government and security actors in administration, concern and compliance to the universal values as governed by the concepts of democratic state and international laws, available check and balance mechanism between parliament-government-security actors, establishment of an independent law enforcement system, and adequate room for participation and complaint for society.[6]
The above concept shows that SSR agenda everywhere cannot be separated from political process and support from various groups, including from internal security actors. Apart from a support that comes from the momentum when the state or government is faced with no other alternatives but to encourage reformation, an effort that civil society has long pioneered can serve as a useful input to accelerate the process and the quality of changes it results in. This also applies in SSR context in Indonesia after more or less 10 years since 1998.
It needs to be acknowledged that long time before the fall of Soeharto regime, CSOs had initiated to encourage democracy and political changes, although it was not as strong as the 1997-1998 movement. The New Order (Orde Baru) government supported by military power and with its policy of political and economic stability was criticized and pressured by a few NGOs, especially those based on human rights and development issues. Together with critical academia and journalist community, these NGOs were the initiators of student movements in campuses, actions by sector groups (labours, farmers, and fishermen), victim community movements (especially victims of development policy such as eviction) and movement by former New Order political prisoners. Near the end of the New Order era, their investment started to pay off: an almost simultaneous movement by all civil society elements to bring Soeharto government down.[7]
SSR ideas arising post 1998 were the continuation of discourses persisting among the 1980s movement. There were at least three groups of critical discourses regarding security sector during about 30 years of New Order administration:
  1. Resistance against New Order political policy that was dominated by Soeharto’s decisions and those of the military in government. The dual-function of the Indonesian Armed Forces (Dwi-fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI) and the Territorial Command Structure were pointed out as entry points to legitimate political activities performed by high military officials at judicial, legislative and executive levels, as well as their involvement in economic sectors. Such discourse of the army’s Dual-function was accompanied by others such as civil-military relationship, role of military in a democratic state, and military-civil leadership.
  2. Criticism against the Armed Forces’ repressive role (where the police was also included) that was considered excessive and in violations against human rights, both in facing “separatism” issues in critical areas such as Aceh, Papua and East Timor, and in responding to society’s resistance against government’s development policies. The universal values of human rights were used as parameters to assess and criticize the army’s violence that resulted in victims among the society.
  3. Resistance against Soeharto’s figure who tended to grow more into a corrupt tyrant as his power continued. The effectiveness in the management of social, political and economic powers under his military cronies not only resulted in political resistance but also opened the eyes of the public after watching his practices of cronyism, nepotism and corruption grew more blatant and ended in economic crises. The discourses of bringing Soeharto down, revoking the army’s dual-function, eradicating Collusion, Corruption and Nepotism (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) became the ultimate key to forcing Soeharto to relinquish his power.
After the fall of Soeharto’s regime, civil society continued to carry out a number of efforts to encourage, influence and monitor reformation process. This included efforts to ensure that reformation also occurred in security sector. There were at least three major agenda of civil society in the first three years post May 1998 (1998-2001):[8]
  1. Agenda of transitional justice: this included especially how to stop the army’s practices of violence and brutality carried on from the New Order era –including the police as part of ABRI, to build fair and accountable law enforcement mechanism against those practices, and to develop a formula of national reconciliation in line with the transition and reformation agenda;
  2. Agenda of political transition: this included an amendment to the 1945 Constitution, enactment of several MPR decrees – such as those related to the formation of clean government free of collusion, corruption and nepotism, to human rights, to the separation between the Indonesian National Army (Tentara Nasional Indonesia, TNI) and the Indonesian Police (Kepolisian Negara Republik Indonesia, POLRI) and to a dignified conflict resolution in Aceh and Papua—as well as to the amendment to existing laws and policies and the creation of new ones.
  3. Agenda of Strengthening Transitional Government: Disbandment of several institutions formed by the New Order regime, formation and strengthening of extra-judicial bodies, reordering of the central-regional government relationship, democratic election, development of freedom of expression and public access to government, and internal reformation formula in security institutions. Including on intelligence reform.
As time went, the government had to face several major issues post 1998 and political support towards the continuity of reformation and democracy acceleration decreased. This was marked by the decline in the quality of government legislations and policies from an idealistic nature to a more pragmatic nature, by the halt in reformation at government and state institutions, and by the lack of justice and the weak accountability of process and results of law enforcement efforts.
Up to 10 years after 1998, the strategic roles performed by CSOs have been varied, starting from the development of SSR discourse, formulation and advocacy of legislations and policies in security sector, accountability and transparency in the process and implementation of security policies, monitoring and complaints on the abuse and misuse of authorities, to violations of law involving security actors, government and parliament.[9]
Apart from those significant efforts, the facts show that SSR dynamics in several periods of power after Soeharto (B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, and Susilo Bambang Yudhoyono/SBY) have not shown any significant changes. The reformation package demanded in 1998 is ignored years after years, while the mainstream of public pressure and state accommodation moves towards symbolical instead of substantial reformation. This can be seen from some security sector policies that are poor in their implementation. A few of them might be in place but the monitoring on their implementation is partial and internal, depending on each security institution’s interpretation and interests – on what they would like to reform.[10]
However, CSOs admit that the currently existing political room and channels are more accommodating, open and generally better compared to that in the New Order era. In the New Order era, it was difficult to imagine the government and policy makers taking public aspirations into consideration when formulating policies. Similarly, it was difficult to imagine the same people ‘willing’ to involve CSOs in their decision-making process.

Significance of CSOs Achievements in SSR Advocacy
Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) concluded in its research that the dynamics of SSR advocacy in the last 10 years have been more or less focused and involved coalitions with many different actors and approaches. The dynamics have also entered more than political problems, and more into the formulation of technocratic solutions in security sectors such as defense concept, security concept, postures of security and defense institutions, budget policy and development of military and police curriculum for their education in academy or training.
Such dynamics are influenced by at least several factors namely 1). The compromise and accommodation of old elite groups, who used to play active role during New Order era, at judicial, legislative and executive levels towards public demands regarding SSR; 2). The emergence of newly elected politicians from old and new political parties, who are being more accommodative towards democratic transition agenda or stand up for public interests; 3). The availability of public access to security sector policy drafts, process and policy making at parliament and government, although it is yet to be accompanied by massive involvement in the formulation process and the substance is yet to fulfill public expectations; and 4). The existence of pressure and support from various countries and international community for SSR agenda in Indonesia, directly or indirectly –such in past human rights abuses accountability or amendment of laws that against the international human rights principles and norms.[11]
At this macro level, CSOs achievements far exceeded the minimum expectations in SSR advocacy. The right momentum to push security actors in terms of security sector legislations and institutional changes is the key to these achievements. Indeed, the role of CSO during Megawati and SBY governments is generally lacking in orientation, partial, without consensus and clear distribution of work, and seems to be more pragmatic. However, such condition is believed by CSOs to have been influenced by the dynamics of national and international politics that tend to be inconsistent in safeguarding the democratic transition.[12]

Difficulties to Overcome the Obstacles and Challenges in SSR
Outside the factors elaborated above, CSOs are still faced with resistance from security actors in their advocacy work as well as state’s ambiguous political stand and the lack of support from the political elites. Such tendencies resulted in CSOs choice of SSR agenda and strategies that are more realistic in accordance with each of their own capacity and program direction, such as in particular cases and policies, instead of consolidation and joint efforts in safeguarding SSR issues as expected in 1997-1998.
CSOs dealt with issues related to the commitment of TNI, POLRI and BIN in terms of their view points, interpretation and implementation of democratic values in the changes of constitution and several legislations. CSOs think that political and economic situations are not fully stabilized and this always tempts the institutions to commit any actions that will be politically and economically beneficial and ensure that they remain the centre of legitimacy for anyone who is in power. Megawati and SBY government clearly shows their political dependency to those powers by not giving pressure and encouragement to ensure that the paradigm and performance of those security institutions are consistent with the spirit of reformation and principles of democracy. One thing that is of concern is that the security actors involved are merely providing tentative loyalty that is highly dependent on political development, as seen when President Habibie and President Wahid received political pressure.
Military’s analysis on threats still places CSOs as an internal threat against national integrity and NKR. Such views arise because TNI is still under the perception that human rights issues and law enforcement against members of TNI and POLRI promoted by human rights CSOs are merely issues ‘sponsored’ by the Western world in order to divide the country and to weaken the security institution. As a reaction to such perspective, some human rights organizations became resistant to any state actions that they perceive as threatening their existence.
CSOs feel that the recent government itself is no longer enthusiastic about taking the initiative to continue the process of reformation within TNI, let alone about taking SSR ideas that CSOs are promoting. On the other hand, SBY seems to be building the loyalty of the army, police and intelligence to himself rather than creating a democratic control structure. He dramatically succeeded in increasing his influence and becoming a centre of legitimacy for those institutions’ interests, creating fragments of elite security actors obedience only to civil political institutions possessing similar points of view as their own, and slowly giving back opportunities for security actors to perform ‘practical politics’, just like in the past.
Meanwhile, the parliament seems ‘busy’ with each group or party’s own political interests instead of encouraging, evaluating, monitoring and taking a stand on various SSR issues that are halted. At a certain level, such attitude of promoting their own interests is an obstacle against SSR due to the resulting ineffectiveness if legislation and monitoring functions and the tendency to only encourage and support legislations and policies that are against the spirit of reformation. Discourses developed by elite parties and members of parliaments tend to steer away from SSR substance, which in the end arises a paradox where democracy issues and values are interpreted and directed to justify their interests, ones that are undoubtedly far from public aspirations. Indeed, formal and symbolic reformation occurs in their hands, but it is full of substantial problems that can one day turn into a political boomerang in terms of decisions that are compromised with pro status quo interests, anti-reformation and even anti- democracy.
Closing; Challenges in SSR and Strengthening of CSO
It is indisputable that attention and efforts are needed to overcome obstacles in improving our security and defense condition. Several strategic measures in the future are:
  1. Increase the effectiveness of coordination between institutions and sectors relevant to the issues of threats against defense and security to reformulate the basis of operational policy, direction and objectives of defense and security system development to be more in line with the postures and strategies of national defense and security strategies.
  2. Increase the effectiveness of control functions that legislative institutions have on government, monitoring functions on the implementation of legislations and policies in defense sector, and evaluation functions on abuse and misuse.
  3. Strengthening the political commitment of executive bodies and security and defense actors to democracy transition by making concrete efforts in the form of pro-people actions and policies, by being consistent to democratic values and by being politically accountable.
  4. Providing adequate support to increase the professionalism of security apparatus while building a control mechanism and strengthening civil political authorities that manage the control. This includes the involvement of experts from civil society.
  5. State’s serious accountability in criminal cases resulted from its misuse of authorities and its political interests in maintaining stability in line with global capitalism interests. Justice and accountability over past cases is not merely lessons for future changes but also needed to avoid impunity and continuation of violence and power abuse by security apparatus.
  6. Encouraging government’s consistency in eliminating political rooms for security actors at national level (through presidential cabinet and strategic state bodies/department) and at regional level (Muspida).
  7. Promoting civil society capacity so that they can play an active role in policy making and monitoring government’s performance. At the very least, civil society needs to understand more about security and defense issues and to be able to work more professionally in encouraging changes.
  8. Involving international stakeholders to encourage, impart knowledge, monitor and exert influence through cooperation with government in strengthening civil society advocacy.
In the Indonesian context, the existence of CSOs and media that are strong and able to work consistently, harmoniously and sustainably is a prerequisite to strengthen SSR agenda, especially in giving input to government and security actors and in relation to the need for monitoring the performance of security sector institutions. CSOs can provide more independent views and concepts, based on real issues in society, and supported by field facts and good theoretical framework. Professional media can also assist in giving accurate and quality information to motivate community’s attention and involvement in policy formulation and safeguarding it in security sector.
As one of the central powers to safeguard democratic transition and SSR in Indonesia, CSOs are demanded to continuously consolidate and reformulate their advocacy strategies. At minimum, the 1998 experience shows evidence of CSO’s strategic role which is expected to be able to develop three patterns of security sector reform advocacy in the future: strengthening their influences on government and policy makers, maintaining consistency in their role as control and pressure group in strategic security sector policies, and strengthening society’s discourse and understanding of SSR urgency.
Furthermore, CSOs in Indonesia are also demanded to improve their internal capacity, at the very least in relation to solving the following problems:
  • Professionalism: Lack of knowledge and limited understanding on issues and how to create good advocacy on it, when on the other side public trust and expectation to them is still significant.
  • Internal consolidation between CSOs: How to share and to work together, especially when recent political situation does not fully support their advocacy.
  • Networking: SSR mostly became a very limited “CSOs” issue; although some CSOs are concerned about it, collaboration among them is still limited.
  • Image: Security actors still place CSOs as an ‘annoyance’ to state interest and as agents of Western interests instead of being truly independent in action.
The above function and role require consolidation and reformulation of advocacy strategies in line with national and global political changes and the more pragmatic transition dynamics. CSOs can start by evaluating and critically observing their own advocacy experience in the past 10 years, while looking at the effectiveness and strategic cooperation among CSOs to ensure that future SSR objectives are achieved.
Jakarta, 3 June 2009

[1] Some of the content was taken from the Executive Summary of Institute for Defense, Security and Peace Studies’ Research on the Effectiveness of Civil Society Organizations’ Strategies in Security Sector Reform Advocacy during 1998-2006. This paper was prepared for a workshop held by the Indonesian Solidarity titled “Indonesian Security Sector Reform Post Soeharto’s Regime: Achievement and Prospects”, Sydney Mechanics School of Arts (SMSA), 12-13, 2009, in Sydney, Australia. [2] Executive Director of the Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS), Jakarta,
[3] Mufti Makaarim & S. Yunanto, The Effectiveness of Civil Society Organization Advocacy Strategies in Security Sector Reform in Indonesia 1998-2006 (Jakarta: IDSPS, 2008), p. xxiv
[4] Ibid
[5] See The OECD DAC Handbook on Security System Reform (SSR), Supporting Security and Justice, p. 15
[6] See A Beginner’s Guide to Security Sector Reform (SSR), (UK: GFN-SSR & DFID, March 2007), p. 3-4
[7] See Mufti Makaarim A., “The Role of Civil Society Organizations in Security Sector Reform” in Beni Sukadis (Ed.), Almanac Indonesia 2007 Security Sector Reform (Jakarta; Lesperssi & DCAF, 2007), p. 127-129
[8] Mufti Makaarim & S. Yunanto, op. Cit. p. 10-15
[9] Mufti Makaarim A., “The Role of Civil Society Organizations in Security Sector Reform”, Ibid.
[10] Reformation of Indonesian National Army is Still Partial and Internal, Kompas, 14 November 2006
[11] Mufti Makaarim & S. Yunanto, op. Loc., p. xxvi
[12] The pragmatism of international agendas such as war against terrorism believed as an important factor influenced the regression of government concern to SSR agendas as mandated in 1998. The cancelation of military restriction by US government for example, triggered confidence among the military by issuing opinion about US acknowledgement for their reform and make them bold to refuse all of justice process and accusation of human rights violation in the past.

MEMPERTIMBANGKAN ISLAM DI TENGAH ARUS PERADABAN BARAT

Relevansi al-Kitab, Sunnah Dan Syari’ah Dalam Membentuk Peradaban Islam
Oleh: Mouvty Makaarim Al-Ahlaq

“Pada mulanya Islam dianggap hal yang aneh, kemudian ia juga pada akhirnya juga dianggap aneh. Beruntunglah bagi mereka yang dianggap aneh! Sahabat bertanya: Siapakah yang dianggap aneh itu wahai Rasul Allah? Nabi menjawab: Mereka yang berpegang sunnah-ku setelah banyak orang yang meninggalkannya.” (al-Hadits)

Memperbincangkan Islam sebagai wacana, serasa seperti membongkar kembali kepustakaan yang terlupakan, terlembagakan, angker dan angkuh. Islam sebagai proses dinamis telah lama mengalami distorsi, terkukung pemahaman konservatif yang stagnan, atau terlindas “wacana-wacana profan” sebagai akibat konsesi sejarah. Pendeknya, berbicara tentang wacana keislaman adalah “membangunkan” kesetiaan tanpa makna selama ratusan tahun terhadap tradisi, teks dan ijtihad yang tersakralkan, butuh tenaga ekstra. Meski demikian, membicarakan Islam adalah keharusan, sebagai  kajian terhadap peradaban yang tengah diuji eksistensinya. Islam dalam wajahnya yang siap menghadapi transformasi sosial.
Tulisan ini bukanlah klaim sebagai “obor” yang mulai  menyalakan “api” Islam, hanya sebuah kegelisahan menghadapi ketidakpastian sikap Islam menghadapi masa depan manusia, kerja keras dari “menara gading”, menatap setiap pelosok pedalaman Islam, menghadirkan pandangan optimis segelintir MUSLIM yang jeli melihat realitas umat (baca: muslim) sebagai problema. Dengan segala kekurangannya, Ashgar Ali Engineer (India), Dr. Hasan Hanafi (Mesir), Dr. Mohammed Arkoun, (Aljazair) Ustad Mahmoud Mohamed Taha dan muridnya Profesor Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im (Sudan) rela menjadi “tha’ifah yatafaqqah fi al-Dien”, menentang arus pemahaman umum kaum muslim yang terjebak dalam desakralisasi teks, pembekuan fenomena ijtihad, penampikan fakta historis tradisi, hukum dan prinsip keagamaan, fundamentalisme radikal yang ambigu. Mereka memang terlahir bukan pada masanya, sehingga harus rela disalahtafsirkan. Buah pikiran mereka nyaris tidak laku, berbenturan dengan konteks, kultur dan sikap tertutup –atau bahkan ketidakmauan– untuk membentuk sebuah konsep Islam yang transformatif.
Deskripsi ini, jelas tidak tuntas menyajikan buah fikiran mereka –sebab mustahil menyajikan eksperimentasi mendasar dalam bentuk konsep menjadi sekadar sebuah makalah. Apalagi pekerjaan terberat adalah mengkaji literatur yang berjumlah sekitar 18 judul buku dalam waktu singkat –enam hari–. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Realitas Umat Islam?
Dunia Islam[1] (Islamicate –menurut Marshall Hodgson Dalam The Venture of Islam) dalam pandangan Barat terwakili oleh kondisi kaum muslim. Artinya, selama beberapa dekade, identitas Islam tidak lagi difahami berdasarkan teks-teks keagamaan, aspek ritual atau konsep keagamaan lainnya, tetapi semata-mata merujuk pada kondisi riil umat. Islam kontemporer dalam stereotip (stereotype) Barat adalah “fundamentalisme”[2] yang memuat ekstremisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme. Wajah yang –mungkin hanya– diwakili Libya, Saudi Arabia, Pakistan dan Iran.
Imperealisme dan kolonalisme yang dilegitimasi modernitas adalah bagian dari transformasi ekstrim westernisasi dan sekularisasi. Pembangunan yang mengandung “westoxification” –racun Barat– mengidentikkan semua dengan misi penciptaan manusia beradab, serba Eropa. Agama menjadi rintangan utama perubahan sosial politik dan kebudayaan di dunia Islam.[3] Termasuk fundamentalisme.
Tentu saja, gerakan-gerakan Islam “fundamentalis”, membuat Islam diperhitungkan di level aksi dan gerakan, seperti yang terjadi di Irak, Iran, Mesir, Libya, Pakistan, Afganistan, Aljazair dan Palestina. Bagi Barat, Islam menjadi ancaman monolitik yang sangat berbahaya setelah runtuhnya komunisme. Yang menjadi pertanyaan, apakah realitas Islam yang sebenarnya? Kemanakah tradisi intelektual Islam? Sanggupkah Islam bertahan dengan sikap setengah hati –atau sikap penentangan– menerima transformasi dan modernisasi? Apakah memang Islam tidak siap menghadapi masa depan? Insya Allah akan kita diskusikan di sini.

Deskripsi Sejarah Islam-awal dan Perkembangannya

Diakui, kelahiran Islam di Makkah adalah revolusi Muhammad di berbagai bidang. Dengan bekal wahyu Tuhannya, Muhammad menentang segenap penindasan, ketidakadilan, penumpukan kekayaan, kecurangan, riba yang eksploitatif, penyembahan berhala dan perampasan hak asasi. Muhammad meperjuangkan restrukturisasi masyarakat yang radikal. Namun sayang, konteks sejarah tidak siap menghadapi elan pembebasan Islam secara total. Pada masa dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan dinasti lainnya, Islam menjadi terlembagakan, menjadi feodal, menjadi kekuatan eksploitatif. Inilah gambaran Asghar Ali Engineer tentang situasi Islam pasca meninggalnya Muhammad:
Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah dibawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresifitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti dengan cara yang tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan hukum syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu ulama masa kini –dengan semangat tidak kritis yang sama– menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang esensial adalah rububiyyah yang didefenisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahapan-tahapan evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan. Jika kebijaksanaan Ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi[4]
Ada dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya polarisasi dan stagnasi di kalangan umat Islam-awal: pertama, diakuinya posisi penguasa “negara Islam” (sulthan) sebagai khalifah Tuhan, menempati hierarki sosial paling tinggi, hingga otoritas agama sebagai lembagai independen menjadi hilang. Agama terjebak dalam konsesi dan legitimasi terhadap penguasa. Lebih jauh, jarak antara sistem religio-politik dan sekulerisasi yang dijalankan penguasa menjadi bias.[5]
Kedua, Syari’ah yang dikompilasikan oleh para teolog zaman Islam-awal dianggap sebagai corpus, teks suci. Hingga yang terjadi kedaulatan Tuhan disamakan dengan kedaulatan Ulama. Inisiatif manusia terlupakan, digantikan dengan keyakinan bahwa para Ulama sudah mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi di masyarakat. Padahal, kalangan Ulama pun bersepakat, bahwa para fuqaha dalam membuat sebuah keputusan hukum juga dipengaruhi oleh kondisi zaman dan perkembangan, hingga terjadi perbedaan mazhab.[6] Revisi terhadap rumusan Syari’ah mereka, bukan berarti menolak kebijaksanaan dan kecerdasan, pengetahuan dan ketulusan hati mereka dalam memperjuangkan Islam. yang jelas, mereka berfikir dan menulis dalam konteks zaman mereka sendiri; jikalau mereka berfikir diluar konteks dan zamannya, maka hasil rumusan mereka tidak berguna. Mereka juga menyadari keterbatasan pemikiran dan kemungkinan adanya kekeliruan dalam penarikan kesimpulan; karena itu setelah menyatakan pendapat, mereka selalu mengucapkan atau menulis wa Allah a’lam bi al-shawab.[7]
Agama adalah institusi sosial yang khusus –menurut  Emile Durkheim–. Agama mengandung dimensi yang empiris dan tak empiris.[8] Sementara kekuasaan cenderung berbicara melulu tentang realitas. Oleh karenanya, ketika agama berada dibawah hegemoni negara (penguasa) jelas akan terlibat penuh dengan pasang-surut realitas, kemungkaran-keadilan penguasa, atau bahkan melegitimasi kepentingan mereka. Begitu pun syariah, bukanlah wilayah kebenaran absolut. Syari’ah adalah kebijaksanaan agama, yang selalu turun kotesktual, rasional dan mengandung misi rahmat lil-’alamien

Al-Qur’an, al-Sunnah, Syari’ah: Awal Kajian Islam Kontemporer

Setelah kita melacak akar stagnasi umat Islam saat ini, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada tiga hal utama yang menjadi arus perdebatan dalam wacana Islam kontemporer. Pertama, penafsiran kembali al-Qur’an melampaui tafsir historis ulama terdahulu. Al-Qur’an yang tidak saja berbicara tentang realitas, ruang dan waktu tertentu saja karena hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Islam kontemporer harus membangun tafsir perseptif (al-syu’ury) sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial.[9]
Kedua, reinterpretasi terhadap sunnah. Sunnah yang selama ini ditafsirkan terdiri dari segala perkataan, tindakan dan persetujuan Muhammad tidaklah benar. Hanya tindakan personal dan ucapannya yang merefleksikan suasana hati yang dibimbing Allah-lah yang membentuk sunnah. Sementara ajaran yang disampaikan kepada pengikutnya yang didesain untuk mengajarkan masyarakat tentang agama dan persetujuan tentang prilaku mereka adalah berdasarkan syari’ah. Sunnah berhubungan dengan praktek pribadi Muhammad, sementara pada syari’ah nabi menurunkannya dari tingkat praktek pribadinya menuju tingkat kaumnya untuk mengajari mereka menurut kemampuan mereka dan mengharapkan mereka bertindak sesuai dengan kapasitasnya. Perbedaan keduannya adalah perbedaan Pesan –yang mengandung Syari’ah– dan Kenabian –yang mengandung sunnah–.[10] Inilah yang dimaksud dalam jawaban Muhammad –tentang siapa yang dianggap aneh dalam hadits keanehan kedatangan Islam pada akhir masa–: “Mereka  yang berpegang teguh pada Sunnah-ku setelah banyak orang yang meninggalkannya.” Nabi bersabda: “Kami para nabi telah diperintah untuk mengajar manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka”. –yaitu Syari’ah yang sangat dipengaruhi oleh kontes dan kondisi masyarakat.[11]
Ketiga, mencoba mencari formula Syari’ah yang memahami kondisi Islam kontemporer, yang cenderung mencari pendekatan kemashlahatan (mashalih mursalah), dengan mengkaji paradigma hukum yang lebih dekat kepada realitas. Syari’ah yang tidak terpaku pada validitas teks saja, tetapi penerapannya tidak proporsional dan diskriminatif. Syari’ah yang dikembalikan pada sumber utamanya, dan keberanian untuk menggunakan akal secara optimal dalam interpretasi teks (ijtihad) karena teks seharusnya adalah refleksi atas realitas.[12]

Al-Qur’an: Khazanah Utama Islam dan Persoalan Reinterpretasi

Makna kata “Qur’an” –bentuk partciple/fi’l al-madi-nya qara’a– memiliki pengertian lebih dari sekedar membaca, karena tidak mensyaratkan adanya sebuah teks tertulis ketika pertama kali mengucapkan wahyu ini.[13] Menurut tradisi Muslim, al-Qur’an mulai dikumpulkan saat nabi meninggal tahun 632, bahkan ketika beliau hidup tampaknya ayat-ayat tertentu sudah ditulis, kumpulan-kumpulan parsial dibuat dengan bahan yang agak tidak memuaskan, karena kertas belum dikenal di kalangan orang arab dan tersedia bagi mereka baru di akhir abad ke-8. Meninggalnya para sahabat dan perdebatan panjang di kalangan umat Islam mendorong khalifah ketiga, Utsman, untuk mengumpulkan totalitas wahyu ke dalam satu kompilasi yang disebut mushaf. Kumpulan ini dinyatakan sempurna, selesai dan tertutup;[14] menjadi Corpus resmi yang tertutup.
Al-Qur’an sebagai kitab suci, tengah menghadapi dua ujian; Pertama, dengan terbukukannya al-Qur’an, secara fisik tekstual ia hadir sejajar dengan buku-buku lainnya, ia menjadi fakta historis. Al-Qur’an terikat dengan sikap dan respon pembacanya.[15] Al-Qur’an mengandung dua gaya bahasa: preskriptif (memerintah, melarang, mengatur, menetapkan) dan deskriptif (gaya penulisan ilmiah, demokratis dan terbuka untuk diskusi). Yang akan menjadi persoalan, sejauh mana Kitab Suci terbuka untuk difahami; seperti apakah tingkat-tingkat keterbukaan al-Qur’an? Belum lagi persoalan otoritas dan pendekatan studi terhadap Kitab Suci, misalnya dengan memperhatikan karakter sastra al-Qur’an –jika semuanya dimungkinkan, maka mau tidak mau otentisitas al-Qur’an akan diuji sebagaimana sebuah karya ilmiah. Maka al-Qur’an menjadi sebuah obyek kajian ilmiah dengan perpektif ilmiah pula. Bukankah ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan budaya tertentu; menjawab fenomena tertentu; terikat dengan konsep dan identitas budaya yang mungkin-mungkin semangatnya sudah berubah.[16]
Fazlurrahman menggambarkan ada tiga pendekatan studi literatur Barat pada awal zaman modern terhadap al-Qur’an: (1) Usaha mencari pengaruh Yahudi-Kristen di dalam al-Qur’an; (2) Percobaan membuat rangkaian kronologis ayat-ayat al-Qur’an; dan (3) Karya yang bertujuan menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek yang tertentu dalam ajaran al-Qur’an. Sementara ahli-ahli Muslim sendiri menghadapi dua problem: (1) Mereka kurang menghayati relevansi al-Qur’an untuk masa sekarang, hingga tidak dapat menyajikan al-Qur’an untuk memenuhi kebutuhan ummat manusia masa kini; dan yang lebih penting (2) Mereka kuatir jika penyajian al-Qur’an yang seperti di atas dalam berbagai hal akan menyimpang dari pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional. Sebuah resiko –menurut Fazlurrahman– yang harus dihadapi dengan ketulusan hati dan persepsi.[17]
Kedua, al-Qur’an diuji sebagai dasar hukum positif. Abdullahi Ahmed An-Na’im misalnya, melihat bahwa al-Qur’an “sebenarnya” terutama lebih berupaya membangun dasar prilaku umat Islam ketimbang mengekspresikan standar-standar itu sebagai hak dan kewajiban. Al-Qur’an berisi tingkah laku yang mendasari masyarakat beradab, seperti tenggang rasa, kejujuran dan kepercayaan dalam urusan perdagangan, integritas dan kejujuran dalam peradilan, dan mengkespresikannya sebagai etika keagamaan Islam. Kecuali untuk beberapa pelanggaran tertentu (hudud dan qisas) Al-Qur’an tidak menyebutkan konsekuensi hukum tentang berbagai pelanggaran hukum publiknya. Artinya, “seolah-olah” al-Qur’an bukan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, tetapi semata-mata hubungan manusia dengan Tuhannya.[18] Selanjutnya ia mengatakan:
Jadi al-Qur’an bukanlah kumpulan hukum atau bahkan buku hukum… melainkan sesuatu yang memiliki daya tarik bagi manusia untuk mentaati hukum Tuhan yang sudah lebih dulu diwahyukan atau mungkin dapat ditemukan. Namun demikian, salah besar mengabaikan pengaruh al-Qur’an dalam penciptaan sistem perundang-undangan Islam.”
Adalah Dr. Mohammed Arkoun yang mulai melihat bahwa keseluruhan teks al-Qur’an yang begitu tertata rapi memiliki fungsi sebagai karya tulis dan liturgi lisan.[19] Arkoun-lah yang mendakwahkan pendekatan filologi dalam melihat makna-makna teks. Studi kritis –dengan perangkat linguistik kontemporer– tentang al-Qur’an tidak lain kecuali penyusunan corpus autentik tentang semua ujaran-ujaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dibawah nama kebenaran yang diwahyukan (tanzil, wahy). Defenisi ini menekankan perjalanan dari kata yang  diujarkan kepada kata yang ditulis. Pembukuan resmi di zaman khalifah Utsman (644-656) yang merupakan totalitas wahyu, ditulis dalam suasana kacau. Karenanya, Arkoun sangat menganjurkan kajian filosofis terhadap al-Qur’an, padahal itu berguna untuk memperkuat fondasi-fondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi wahyu.[20]
Defenisi al-Qur’an juga memungkinkan kita untuk mengkaji aspek kebahasaannya. Kita hendak meneliti proses kebahasaan dan kesusasteraan manakah yang benar-benar menyebabkan “diskursus”[21] al-Qur’an menciptakan persepsi kesadaran yang terpusat pada Tuhan yang Hidup, Kreatif sekaligus Transenden. Bukankah pada masa Muhammad orang-orang banyak “ditaklukkan” oleh kualitas sastra al-Qur’an? “Katakanlah, seumpama manusia dan jin bekerjasama untuk membuat sesuatu yang sama dengan al-Qur’an, niscaya mereka akan gagal untuk membuat apa pun juga yang sama dengannya (al-Qur’an) (QS 17:88).Inilah yang dilihat Arkoun, bahwa apresiasi kebahasaan digunakan al-Qur’an untuk memperbarui kesadaran keagamaan[22].
Secara hermeneutik maka sangat beralasan bahwa penafsir pertama al-Qur’an adalah Muhammad sendiri, dan oleh karenanya posisi Tuhan sebagai pengarang al-Qur’an telah dijurubicarai oleh Muhammad yang tentu saja diwarnai oleh bahasa dan tradisi Arab.[23] Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa al-Qur’an membuka diri untuk sebuah ruang penafsiran, sesuai dengan konteks zaman dan tradisi ketika penafsiran itu ingin menjawab sebuah kondisi masyarakat. Inilah yang mewarnai ide-ide teolog Islam masa kini. Pembakuan penafsiran untuk masa tertentu mungkin diperlukan untuk memelihara stabilitas dan kohesi sosial, tetapi jika penafsiran itu diabsolutkan, tentu bertetangan dengan jiwa al-Qur’an itu sendiri, seperti komentar dari Komaruddin Hidayat:
“Absolutisasi atas penafsiran sama halnya dengan memukul lonceng kematian hermeneutik sehingga al-Qur’an berhenti sebagai mitra dialog bagi anak manusia dalam mengemban tugasnya menelusuri zamannya. Jika ini dilakukan terhadap al-Qur’an maka berarti memposisikan al-Qur’an yang bersifat universal pada posisi marginal atau bahkan dikeluarkan dari percaturan intertekstualitas yang akan dan tengah berkembang.”[24]
Dalam kasus interpretasi terhadap al-Qur’an, tentu kita harus mengkaji sebuah metode yang tepat –dan ruang makalah ini tentu terlalu sempit untuk membeberkannya. Tetapi paling tidak, dari ide-ide ini kita bisa menangkap semangat revitalisasi yang terus-menerus menyala, demi membumikan al-Qur’an.

Al-Sunnah; Pesan Islam Yang Kontroversial

Sebagai teks kedua dalam Islam yang diakui keshahihannya, sunnah (tradisi profetik), sangat besar perannya dalam membimbing masyarakat. Karena wahyu selalu membimbing Nabi, maka apa yang ia katakan mendapat jaminan ontologis. Para sahabat sangat memperhatikan sabda-sabda beliau, mengumpulkannya dengan keshalihan yang sungguh-sungguh dan meriwayatkannya kepada generasi berikutnya. Para sahabat dan pengikut-pengikut selanjutnya (tabi’in) merupakan mata rantai kesaksian (isnad) yang menjamin keotentikan isi hadits (matan). Sepeninggal Nabi, sabda-sabda ini menjadi obyek penelitian yang serius sehingga dapat dikumpulkan dan dibukukan sebagaimana al-Qur’an. Di sini juga terjadi transisi dari tradisi lisan menuju tradisi tulisan.[25]
Arkoun melihat, bahwa pada masa pembukuan sunnah (hadits) dan pengeditannya, terjadi kontroversi yang terus berlanjut antara tiga masyarakat besar muslim. Kaum Sunni misalnya, mengakui kompilasi Bukhari (w. 870) dan Muslim (w.875) sebagai dua kompilasi yang otentik. Syi’ah Itsna Asyariyah menumpukkan mata rantai hadits ini pada Kulaini (w.939) dan dilengkapi dengan koleksi Ibn Babuyi (w. 991) dan Tusi (w. 1067). Khawarij hanya menggunakan koleksi Ibn Habib (yang dimulai pada abad ke-8). Pertentangan dalam mengontrol hadits ini, bermula dari persaingan kelompok-kelompok tersebut untuk memimpin masyarakat politik muslim –khilafah atau imamah–, sehingga sarjana-sarjana muslim yang terkenal sebagai pakar hadits, al-muhadditsuun, mengembangkan ilmu kritik hadits (musthalah al-hadits), suatu usaha memverifikasi matarantai-matarantai otoritas secara historis. Sayang, belum pernah ada tinjauan umum terhadap seluruh kompilasi hadits yang ada, yang akan menyebabkan para sarjana mampu untuk menghadapi problem yang benar-benar historis dalam merekontruksi tradisi Islam secara tuntas. Langkah semacam ini mesti mempersyaratkan suatu perbandingan sitematis terhadap semua isnad dan semua teks yang dijunjung tinggi dalam tiga arus utama tradisi sehingga masalah otentisitas dapat dikajiulang dengan sarana-sarana modern –termasuk komputer untuk menangani teks-teks– dan kritik historis.[26]
Pada akhirnya, ada semacam rasa putus asa pada segelintir muslim pada masa berikutnya. Dr. Hassan Hanafi misalnya, lebih memilih melihat matan (teks) yang rasional dan wajar ketimbang aspek sanad (silsilah perawi)-nya.[27] Abdullahi Ahmed An-Na’im pun pesimis, bahwa saat ini kita masih mungkin untuk mengecek keaslian sunnah tersebut.[28]
Sebagaimana al-Qur’an, sunnah (hadits) memiliki unsur normatif dan kontekstual. Ketika prilaku Nabi harus mempunyai relevansi dengan umatnya, maka harus berasal dari tradisi dan sejarah umatnya sendiri, kontekstual. Dan ketika Nabi harus memberi teladan pada mereka, beliau mengambil yang normatif. Itu sebabnya al-Qur’an menggambarkan prilaku nabi sebagai teladan yang paling baik sepanjang masa.[29] Sayangnya, ketika fuqaha merumuskan syari’ah, kandungan normatif dalam al-Qur’an dan sunnah tidak bisa ditangkap. Belum lagi kesulitan melepaskan membuktikan bahwa sahabat dan ulama tradisonal yang merekam sunnah tersebut bisa melepaskan elemen kenabian dari ajaran dan fakta yang diduga bukan dari nabi sendiri.[30]
Yang jelas, sunnah bukanlah wilayah yang unthinkable –meminjam istilah Arkoun–, sehingga sudah tidak bisa dipercaya untuk menjawab tantangan masa depan dunia Islam. Sunnah adalah pesan kedua Islam –sebagaimana yang diucapkan Mahmoud Mohamed Taha–, berada diperbatasan penafsiran kita-lah kelanggengannya. Jika kita tidak bijak menyikapi sunnah, maka kita kembali mundur dan membekukan validitasnya dalam locker sejarah.

Syari’ah: Tindaklanjut Kebijaksanaan Kitab Suci dan Misi Kenabian

Problematika syari’ah kontemporer lebih berkenaan dengan hukum publik saja. Secara historis, syari’ah tidak bisa lepas dari prilaku interpretasi ulama terhadap al-Qur’an dan sunnah, dan semua telah kita bicarakan pada awal-awal tulisan ini. Maka, kita tidak akan berpanjang kalam mengungkit  aspek historis, tetapi lebih mengemukakan sikap-sikap dalam menggunakan syari’ah sebagai perangkat hukum resmi umat Islam.
Inilah yang meyebabkan Abdullahi Ahmed An-Na’im dengan semangat dekonstruksinya mengajak kita lebih bijaksana dalam menggunakan syari’ah sebagai perangkat hukum. Ia berpendapat, umat Islam sedunia dapat menggunakan legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain baik di dalam maupun di luar komunitas Islam.[31] Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati dalam menggunakan karya ulama muslim pra-modern awal dan “klasik” dalam masalah-masalah konstitusional dan politik. Pengaruh situasi sangat erat dengan karya mereka, misalnya al-Mawardi yang membolehkan perebutan kekuasaan dengan kekerasan –padahal ini  bertentangan syari’ah– atau Ibn Taimiyah yang mewajibkan ketaatan terhadap syari’ah, tanpa mempersoalkan ketaatan seorang pemimpin.[32] Sekalipun semua keputusan ulama itu dibolehkan, tetapi resikonya akan mengambrukkan seluruh suprastruktur sistem peradilan. Ada kesan umat Islam lebih suka menjaga keutuhan dan kesempurnaan syari’ah dalam teori, kendati  hal  itu tidak mungkin diterapkan dalam praktek. Bagi orang Islam, lebih baik jauh dari dosa yang mengerikan untuk menolak atau  mempermasalahkan wahyu ilahiyah, daripada gagal untuk menaatinya.
Salah satu yang menghendaki dan mengkondisikan proses beradaptasi dan menyesuaikan dengan kehidupan kontemporer adalah adanya realitas negara bangsa (nation state) modern. Karena konsep negara bangsa tidak berkembang dari pengalaman sejarah atau tradisi kultural umat Islam, maka umat Islam mengalami kesulitan mengasimilasikan konsep tersebut. Harus diakui, bahwa sekularisasi juga memberi keuntungan positif terhadap Islam, dan jika  syari’ah historis dipaksakan untuk diterapkan, maka kita akan kehilangan manfaat paling bermakna dari sekularisasi –seperti standar hak asasi manusia, tidak akan bisa direspon oleh syari’ah yang tidak memberikan kesamaan konstitusional antar warga negara (muslim-non muslim). Pada level internasional, syari’ah mensahkan penggunaan kekuatan agresif untuk menyebarkan Islam dan tidak mengakui persamaan kedaulatan negara-negara non muslim, dan ini bertentangan dengan sebagian standar Hak asasi Manusia yang paling fudamental.[33]
An-Naim meyakini, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja historis, mereka tidak akan pernah mencapai tingkat keharusan yang mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang. Karenanya, supremasi syari’ah  harus dijustifikasi, ditinjau ulang berdasarkan al-Qur’an dan sunnah. Dengan pendekatan “syari’ah demokratik”nya Mahmoud Mohamed Taha, Na’im mengimpikan pembaharuan syariah yang memadai, konsisten dengan standar HAM internasional.[34]

Penutup

Tulisan ini memang tidak tuntas, menyelesaikan dan menyikapi secara detail semua agenda masa depan Islam. Sesuai dengan judul, tulisan ini hanya ajakan untuk mempertimbangkan kembali Islam yang rahmatan lil-’alamin. Kita berhak untuk sepakat atau tidak sepakat, tetapi yang jelas perhatian mereka terhadap Islam tidak diragukan lagi. Hukum publik Islam dituntut untuk menyelesaikan problematika distribusi sosial yang adil dan seimbang, kepekaan terhadap hakikat (esensi) Islam, hak-hak kesetaraan, diskriminasi, dan lain sebagainya dalam pandangan An-Na’im, juga yang lainnya.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Jakarta, 28 Februari 1999

[1] Marshall Hodgson membedakan dunia Islam yang ideal dan riil dengan istilah Islamic dan Islamicate. Istilah terakhir menggambarkan pengertian tentang keseluruhan masyarakat dan budaya tempat kaum muslimin dan keimanannya bergumul dalam tradisi dan adat istiadat selama berabad-abad. Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Penerbit Pustaka Firdaus, cet. I Juli 1995, hal. 152. [2] Sengaja istilah “fundamentalisme” kami beri tanda “, hal ini berkaitan dengan persepsi fundamentalisme yang berkembang di Barat, dipengaruhi Protestanisme Amerika. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefenisikan fundamentalisme sebagai “sebuah gerakan Protestanisme abad keduapuluh yang menekankan penafsiran injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen”. Lihat John L. Esposito, The Islamic Treath: Myth or Reality, Oxford University Press, New York 1992, yang diterjemahkan dengan judul Ancaman Islam: Mitos Atau Realitas? Penerbit  Mizan, Bandung, Cet. III, 1996, hal. 17.
[3] John L. Esposito, ibid, hal. 19.
[4] Asghar Ali Engineer, Islam and Its Relevance to Our Age, Institute of Islamic Studies, Bombay, 1987, diterjemahkan menjadi Islam dan Pembebasan, LKiS Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka pelajar, cet. I, hal. 10-11.
[5] Lihat Mouvty Makaarim al-Akhlaq, PERAN POLITIK AGAMA DALAM NEGARA: Sebuah Tinjauan Historis, Jurnal Praksis Edisi Perdana/Januari 1999 hal. 3-4.
[6] Lihat Asghar Ali Engineer, ibid hal. 26. Selanjutnya ia mengatakan:
“…bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks, daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah seringkali terpaksa menggunakan ra’y dan pertimbangan akal dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum.”
[7] Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, C. Hurst. Co. 38 King Street, London, 1992. Edisi indonesia: Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yayasan Bentang Budaya, cet. I, 1994, hal. 22.
[8] K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-masyarakat Dalam Cakrawala sejarah Sosiologi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet. IV, 1993, hal. 164.
[9] Lihat Dr. Hasan Hanafi, Apa Arti Kiri Islam (Madha Ya’ni al-Yasar al-Islami), dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan  Postmodernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKiS Yogyakarta, cet.II Januari 1994, hal. 104. Judul asli: Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading
[10] Lihat catatan pembuka Abdullahi Ahmed An-Na’im, Ustad Mahmoud Taha: Pemikiran dan Perjuangannya dalam Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of islam: Syari’ah Demokratik, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD), Surabaya, cet. I November 1996, hal. 5. Judul asli: The Second Message of Islam.
[11] ibid, hal. 6.
[12] Hassan Hanafi, ibid hal. 97-98.
[13] Lihat Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Question, Uncommon Answers, Edisi Indonesia: Rethinking Islam, LPMI (Lembaga Penterjemah & Penulis Muslim Indonesia) bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, Maret 1996. hal. 46.
[14] ibid, hal.55-56. Lihat juga Dr. Komarudin Hidayat, MEMAHAMI BAHASA AGAMA: Sebuah Kajian Hermeneutik, Penerbit Paramadina, cet. I, Oktober 1996, hal. 114
[15] Komarudin Hidayat, op.cit. hal. 76-77.
[16] ibid, hal.104.
[17] Lihat Fazlurrahman, Tema-tema pokok al-Qur’an, Penerbit Pustaka, Bandung, cet. I, 1403 H – 1983 M. hal. xi. Judul asli: Mayor Themes of the Qur’an, Bibliotecha Islamica, Minneapolis, Chicago, 1980.
[18] Lihat Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asassi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, LKiS, Yogyakarta cet. II, Mei 1997, hal. 39-40. Judul Asli: Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law.
[19] Dr. Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, LPMI & Pustaka Pelajar, cet. I, September 1996. hal. 5. Judul asli: Arab Thought, S. Chand & Company (Pvt) LTD, New Delhi 1988.
[20] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, op.cit. hal. 57.
[21] Dalam defenisi E. Beneviste, suatu diskursus berarti “ujaran-ujaran apa pun yang mengiplikasikan kehadiran seorang pembicara, pendengar dan maksud dalam pikiran pembicara untuk mempengaruhi pendengar dengan cara tertentu.” Lihat Dr. Mohammed Arkoun, _Pemikiran Arab_ op.cit. hal.7
[22] Dr. Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, op.cit. hal. 7.
[23] Komarudin Hidayat, op.cit. hal.151-152.
[24] Ibid. hal. 152-153.
[25] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, op. cit. hal. 73.
[26] ibid. hal.73-74.
[27] Dr. Hassan Hanafi, op.cit. hal. 105.
[28] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syari’ah, op.cit. hal. 47.
[29] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, op.cit. hal. 18.
[30] Abdullahi Ahmed An-Naim, op. loc. hal. 45.
[31] Abdullahi Ahmed An-Na’im, op.loc. hal. 3.
[32] ibid, hal. 12-13.
[33] ibid. hal. 18-19.
[34] Abdulahi Ahmed An-Naim, SYARI’AH DAN HAM: Belajar Dari Sudan, dalam “Dekontruksi Syari’ah (II): Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, LKiS Yogyakarta cet. I, 1996, hal. 155-170. Lihat juga An-Na’im, Sekali Lagi, Reformasi Islam, hal. 109-130. Judul asli: Islamic Law Reform and Human Right Challenges and Rejoinders_ Editor Tore Lindholm dan Kari Vogt, Nordic Human Right Publication, Norwegia, 1993
morzing.com dunia humor dan amazing!