PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 15 Agustus 2011

Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945

Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan beberapa catatan tambahan melengkapi apa yang telah dikemukakan dan diuraikan oleh Pak Albert Hasibuan dalam makalahnya yang baru saja disampaikan. Dalam banyak hal saya sependapat dengan apa yang telah disampaikan Pak Albert. Hanya beberapa catatan yang perlu saya kemukakan untuk menanggapi Pak Albert yang akan disampaikan pada bagian akhir pandangan saya. Pada kesempatan awal ini saya ingin memberikan beberapa catatan yang saya anggap penting berkaitan dengan pencantuman 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945.
Pertama, seperti juga secara sekilas telah dikemukakan oleh Pak Albert bahwa pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945, tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi, penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta  jaminan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.
Sebenarnya, sebelum perubahan UUD 1945, pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI 1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal 28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan perumusan kembali secara sistematis.
Pada saat itu, perdebatan diantara kalangan anggota PAH I adalah apakah perlu ketentuan mengenai HAM yang sebenarnya sudah ada dalam ketetapan MPR dan undang-undang dicantumkan kembali dalam Perubahan UUD ini.Sebagian besar anggota PAH I dan pada akhirnya disepakati secara bulat bahwa ketentuan mengenai HAM ini perlu dicantumkan secara lengkap dalam UUD dan tidak cukup hanya diatur dalam ketetapan MPR dan undang-undang, dengan pertimbangan bahwa HAM adalah sesuatu yang sangat prinsip bagi jaminan terselenggaranya sebuah negara hukum, seperti apa yang telah dikutip oleh Pak Alber dari pendapat Stahl bahwa penghormatan terhadap HAM adalah salah satu ciri atau prinsip negara hukum.
Kedua; Terjadi perdebatan panjang mengenai adanya kecurigaan dari sebagian anggota MPR bahkan sebagian anggota masyarakat kita bahwa konsep HAM yang bersumber dari barat, tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip koletivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, karena HAM yang berasal dari barat  mengandung nilai-nilai kebebasan yang berdasarkan individualisme. Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
- untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan
- untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1)  dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.
Ketiga; Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.
Keempat; Pasal-pasal lainnya mengenai HAM disetujui dengan tanpa perdebatan yang lama dan termasuk pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang disetujui dengan mulus dibanding dengan perubahan pasal yang lainnya. Hanya ketiga soal itulah yang menjadi perdebatan panjang atas sepuluh pasal mengenai HAM ini di MPR pada saat itu.           Selanjutnya saya sependapat dengan Pak Albert bahwa ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Bidang Legislasi

Terkait dengan implementasi HAM, ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam pembentukan perundang-undangan yaitu pertama berkaitan dengan proses dan kedua berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan.
Kedua; sehubungan dengan substansi peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.  Karena itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD 1945.
Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM.
Saya kurang setuju dengan langkah meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai HAM. Penerimaan konvensi atau perjanjian internasional lainnya dalam bentuk ratifikasi kadang-kadang menimbulkan masalah dalam implementasi karena tidak seluruh ketentuan-ketentuan dalam konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut  bangsa Indonesia. Akan lebih baik jika proses penerimaan nilai-nilai HAM itu melalui proses internalisasi pada saat pembentukan undang-undang terkait. Penerimaan dalam bentuk ratifikasi hanya dapat dilakukan dalam hal-hal sangat urgen terkait dengan kepentingan nasional yang mendesak dan setalah dilakukan kajian menyeluruh.
Demikian juga pandangan agar dilakukan penyelidikan dan pengkajian secara khusus terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang tidak sejalan dengan HAM sesuai usul Pak Albert, menurut saya tidaklah mendesak. Karena pengujian dan peninjauan terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya akan hidup dengan sendirinya dan terus menerus dilakukan oleh masyarakat sipil melalui mekanisme pengujian undang-undang. Disini pulalah peranan KOMNAS HAM sangat diharapkan untuk mengkaji perundang-perundangan yang tidak sejalan dengan HAM itu untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan. Jadi proses legislasi sekarang ini tidak lagi monopoli DPR dan Pemerintah (khususnya untuk menyatakan tidak berlakunya satu atau bagian dari satu undang-undang), tetapi juga oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian besar permohonan pengujian terhadap undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi hingga sekarang ini didasarkan pada ketentuan pasal-pasal HAM itu. Karena itu, dalam setiap pembentukan undang-undang pemerintah dan DPR harus memperhatikan dengan seksama ketentuan-ketentuan HAM yang diatur dalam UUD 1945, agar tidak menimbulkan masalah yang komplek ketika jika Mahkmah Konstitusi menyatakan tidak berlakuanya suatu undang-undang karena bertentangan dengan konstitusi.

Masalah Implementasi
Jika dibandingkan dengan implementasi hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial dan ekonomi jauh lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara atas haknya yang dijamin konstitusi.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan dirasakan adanya pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasn dan pelarangan atas peleksanaan hak, yang dapat segera direhabilitasi dengan mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi atau peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi melalui legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasn yang secara tegas dilakukan yang melanggar hak-hak sosial eknomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih banyak meminta perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk implemntasinya. Misalnya hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-hak yang implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Disinilah peranan masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak tersebut menjadi sangat penting.  Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan dari pemerintah, karena pemerintah selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab karena komplesitas masalah yang dihadapi.

Penyelasaian Pelanggaran HAM Berat
Saya sependapat dengan pandangan Pak Albert bahwa peradilan terhadap pelanggaran HAM berat harus berdasarkan keadilan hukum atau justice according to law. Apalagi sekarang ini pelanggaran HAM berat adalah termasuk pelanggaran atas huku pidana internasional yang dapat menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dan suka atau tidak suka masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan serta mengadili perkara tersebut, Karena itu, ketika sebuah perkara pelanggaran HAM berat dibawa kepada pengadilan, maka peradilan HAM kita harus bekerja secara professional dan tidak memutuskan perkara-perkara tersebut dengan pertimbangan politik dan kompromi serta impunity.
Walaupun demikian, dengan adanya undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang kita miliki, penyelesaian perkara-perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak selalu harus dengan proses ajudikasi berdasarkan prinsip-prinsip aliran Kantian. Kita juga perlu mempertimbangan penyelesaian non-ajudikasi dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengikuti prinsip-prinsip utilitarian dari Jeremy Bentham, dengan mempertimbangkan kesatuan nasional dan keseimbangan (equalibrum).
Saya tidak sependapat dengan pandangan Pak Albert bahwa DPR tidak dapat melakukan interpretasi politik dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Menurut pandangan kami, secara prinsip suatu pelanggaran pidana tidak dapat diadili secara retroaktif, akan tetapi dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal pelanggaran HAM berat prinsip pemberlakuan surut itu dimungkin dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Disinilah asal usul lahirnya Pasal 43 ayat (2) UU No.26 Tahun 2000, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan suatu kasus pelanggaran HAM berat yang berlaku surut. Dengan penyerahan kewenangan pengusulan ini kepada DPR, berarti penyerahan kepada institusi politik yang tidak bisa dihindari akan melakukan interpretasi politik. Jadi menurut kami, pemebentuk undang-undang dengan sengaja memberikan peluang interpretasi politik apakah layak atau tidak layak suatu pelanggaran HAM berat masa lalu diajukan ke pengadilan HAM.

Terkahir saya berkesimpulan bahwa masih banyak yang harus kita lakukan dalam rangka implementasi HAM dalam UUD ini, akan tetapi saya yakin bahwa dengan perangkat yang disediakan oleh UUD saya selalu optmis bahwa ke depan impelementasi HAM di Indonesia akan terus lebih baik walupun harus dengan proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai kondisi dan situasi masyarakat.

Disampaikan untuk Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2005, Komisi Hukum Nasional tanggal 21-22 November 2005, sebagai Pembahas pandangan DR. Albert Hasibuan, SH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!