PPC Iklan Blogger Indonesia

Sabtu, 13 Agustus 2011

TINJAUAN KONSTITUSI PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pendahuluan
Usulan Lemhanas mengenai pengangkatan gubernur oleh Presiden tanpa melalui pemilihan telah menimbulkan perdebatan pro dan kontra di tanah air dalam beberapa bulan terkahir. Demikian juga, usulan pemilihan kepala daerah yang efisien yang selalu dikemukakan oleh Wakil Presiden M Yusuf Kalla serta perdebatan antara demokrasi dan kesejahteraan telah menambah daftar panjang masalah aktúal kenegaraan yang perlu kita renungkan secara arif dan bijak.
Beberapa pelaksanaan Pilkada yang menimbulkan masalah di beberapa daerah, seperti kasus kerusuhan dalam pemilihan Bupati Jember 2 tahun lalu, kasus Pilkada Sulsel serta Maluku Utara yang belum kunjung usai sebagai bukti betapa pelaksanaan Pilkada perlu ditinjau kembali. Beberapa masalah ini, menimbulkan rangsangan bagi para akademisi, peneliti serta politisi dan pengamat untuk mencari solusi-solusi baru bagi penyelenggaraan Pilkada yang lebih baik pada masa mendatang. Bagi saya, apapun solusi yang diberikan, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah harus tetap merujuk pada ketentuan konstitusi negara serta prinsip-prinsip demokrasi yang telah kita terima. Mencari model pelaksanaan Pilkada yang ekonomis efisien dan lain-lain harus tetap dalam kedua kerangka dasar itu. Kajian atas masalah ini harus ditinjau dari titik pandang yang sangat elementer yaitu sudut pandang konstitusi dan sudut pandang demokrasi. Kedua sudut pandang ini akan memberikan ruang yang fleksibel tetapi tetap dalam kerangka yang benar untuk mendiskusikan masalah penyempurnaan penyelenggaraan Pilkada.

Aspirasi Konstitusi
Untuk memahami secara utuh amanat konstitusi tentang pemilihan kepala daerah perlu terlebih dahulu memahami posisi daerah dalam pandangan konstitusi kita. Undang-undang dasar kita memberikan arah yang jelas tentang posisi daerah itu. Pasal 18 UUD NRI 1945, menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diantur dengan undang-undang”. Ketentuan ini memberikan arah yang jelas mengenai prinsip negara kesatuan yang kita dianut. Daerah-daerah itu dibentuk (bukan terbentuk sebelum adanya negara yang mencirikan negara federal). Karena itulah UUD menggunakan kata-kata “dibagi atas daerah-daerah…”, seperti juga rumusan asli dari UUD ini (sebelum diubah tahun 2000) yang menggunakan kalimat “pembagian daerah Indonesia terdiri atas…” tidak menggunakan kata-kata “daerah daerah Indonesia terdiri atas” yang menunjukkan sesuatu yang sudah eksis.
Akan tetapi UUD tetap mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Pengakuan UUD ini menunjukan pengakuan negara atas hak keaslian dan asal usul daerah yang patut dihormati. Undang Undang Dasar juga menentukan bahwa pembentukan daerah beserta penyelenggaraan pemerintahannya diatur dalam undang-undang, yang dalam praktiknya terdiri dari undang-undang pembentukan setiap daerah dan undang-undang pemerintahan daerah secara umum serta undang-undang pemerintahan daerah khusus dan istimewa. Pembentukan daerah melalui undang-undang menegaskan kembali bahwa daerah-daerah itu dibentuk bukan terbentuk. UUD tidak mengatur secara jelas pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah Namun secara tegas UUD menentukan bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi – yang seluas-luasnya – dan tugas pembantuan. UUD menyerahkan kepada undang-undang untuk mengatur hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah yang dilaksanakan secara adil dan selaras. Dengan demikian hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah bukan dalam arti pemisahan ataupun pembagian kekuasaan secara vertikal sebagaimana halnya dalam negara federal dalam arti “check and balances”, akan tetapi merupakan hubungan “pemberian kewenangan” oleh pemerintah pusat kepada daerah yang dilakukan melalui undang-undang.
UUD tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Namun Pasal 18 ayat (4) menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan “dipilih secara demokratis”, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000 antara pendapat yang menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagaimana diketahui, pada saat itu sedang berlangsung berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 yang dipilih oleh DPRD. Sebahagian besar proses maupun hasil pemilihan oleh DPRD tersebut mendapatkan protes dari rakyat di daerah yang bersangkutan dengan berbagai alasan. Kondisi inilah yang mendorong para anggota MPR untuk berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat untuk mengurangi protes kepada para anggota DPRD. Pada sisi lain dengan pertimbangan kesiapan berdemokrasi yang tidak sama antar berbagai daerah di Indonesia serta kebutuhan biaya yang besar dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas politik dan pembengkakan anggaran negara, sehingga sebahagian anggota MPR bersikukuh bahwa kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD. Disamping itu, pada saat yang sama terjadi perdebatan sangat tajam tentang cara pemilihan Presiden antara yang menghendaki pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR dengan berbagai variannya, juga turut mempengaruhi perdebatan tentang cara pemilihan kepala daerah ini.
Paling tidak ada dua prinsip yang terkandung dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama; kepala daerah harus “dipilih”, yaitu melalui proses pemilihan dan tidak dimungkinkan untuk langsung diangkat, dan kedua; pemilihan dilakukan secara demokratis. Makna demokratis di sini tidak harus dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui pemilu. Ketika Undang-undang No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah diajukan oleh pemerintahan dan diperdebatkan di DPR[1], tidak ada perdebatan yang mendalam lagi tentang apakah kepala daerah itu dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Hal ini, paling tidak disebabkan oleh dua hal, yaitu telah disepakatinya dalam perubahan ketiga dan keempat UUD 1945 bahwa presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat, dan kedua; dari berbagai penyerapan aspirasi masyarakat di seluruh Indonesia, baik yang dilakukan oleh Tim Departemen Dalam Negeri maupun DPR, diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat. Hanya, yang menjadi perdebatan adalah bagaimana mekanisme pemilihan langsung ini dilakukan di setiap daerah apakah disamakan atau bisa berbeda-beda di masing-masing daerah disesuaikan dengan kondisi dan kekhususan masing-masing daerah. Rumusan akhir UU No.32/2004, menujukkan dengan jelas bahwa mekanisme pemilihan ini lebih banyak diseragamkan dan hanya mengenai cara kampanye dan lain-lain yang bersifat sangat teknis diserahkan kepada daerah melalui KPUD masing-masing. Sedangkan posisi KPUD, dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam kerangka konsep UU No.32/2004 adalah sebagai perangkat daerah yang bersifat independen dan bukan perangkat KPU yang bersifat nasional.[2]

Otonomi Daerah Dalam Tinjauan Historis
Sebagimana diketahui wilayah nusantara sebelum datangnya penjajah Belanda adalah terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Berbagai kerajaan besar seperti Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pernah menguasasi sebagian besar wilayah nusantara, namun setelah kejatuhan dua kerajaan itu berdiri tegak berbagai kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri di seluruh wilayah itu. Akan tetapi sejak pemerintahan penjajah Belanda menancapkan kekuasaan politiknya di wilayah ini, sejak awal telah memberlakukan sistem pemerintahan yang sentralistis di Indonesia (dulu Hindia Belanda), seperti nampak pada Regeringsreglement (RR), atau semacam Undang Undang Dasar bagi Hindia Belanda Tahun 1854. Pilihan sistem pemerintahan yang demikian tentu tidak lepas dari politik yang menguntungkan bagi pemerintahan jajahan yang pada prinsipnya segala urusan pemerintahan dipegang oleh Gubernur Jenderal. Namun pada sisi lain Belanda juga mengakui adanya daerah-daerah swapraja atau desa yang tetap diperbolehkan melangsungkan ketataprajaan berdasarkan adat-istiadatnya asal saja tidak menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintahan jajahan.
Pemerintahan yang sangat sentralistis tersebut menimbulkan penolakan dan banyak perlawanan dari daerah-daerah yang tuntutan agar daerah diberikan kelonggaran mengelola pemerintahan sendiri. Maka pada tahun 1903, pemerintah jajahan membuka kemungkinan untuk membentuk daerah-daerah desentralisasi di Hindia Belanda, khususnya desentralisasi pengaturan keuangan dan pajak dan bukan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Mulai tahun 1906 berdasarkan Besluit Decentralisatie 1904 dan Lokale Raden Ordonantie 1905, Belanda membentuk daerah-daerah desentralisasi yaitu Gemeente-Gemeente (semacam kota) di seluruh wilayah Hindia Belanda,[3] sebagai daerah yang menyelenggarakan pemerintahan lokal yang dipimpin oleh seorang walikota atau burgemeester (sejak tahun 1922 dibentuk dewan pemerintah daerah (college van burgemeesters en wethouders) yang diberi kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan di setiap gemeente bidang pelayanan umum.
Seiring dengan tuntutan pemerintah lokal atas otonomi lebih luas dan kuatnya aliran politik etis di negeri Belanda, maka berdasarkan “Indische Staatsregeling(IS) tahun 1925 dimungkinkan membentuk daerah-daerah dengan otonomi lebih luas lagi yang terdiri dari wilayah-wilayah provinsi dan wilayah-wilayah lain yang bukan provinsi yang sedapat mungkin urusan-urusan rumah tangga daerah dapat diatur dan diurus sendiri oleh daerah. Karena itu sejak tahun 1928 dibentuklah tiga provinsi di Jawa dan Madura, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang meliputi 70 Kabupaten otonom dan 17 kota otonom yang berupa regenschaap dan stadsregenschap, dan semua Gemeente yang dulu diganti dengan daerah kotapraja atau stadsgemeente. Sedangkan diluar Jawa Madura mulai tahun 1938 dibentuk Groupsgemeenteschaap, semacam provinsi di Jawa, dengan keharusan membentuk pemerintahan kolegial. Walaupun demikian tetap saja sistem pemerintahan sentralistis dengan otonomi daerah yang sangat terbatas berlangsung sampai kekuasaan Belanda berakhir di Indonesia. Mulai pada masa ini diperkenalkan mekanisme pemilihan bagi badan-badan perwakilan dan pemerintahan kolegial di daerah-daerah walaupun sangat terbatas karena kepala daerahnya tetap saja ditetapkan oleh pemerintah jajahan.
Disamping daerah-daerah provinsi, regenschap, stadsregenschap serta groupsgemenschap, terdapat pula daerah-daerah yang berpemerintahan sendiri atas dasar peraturan adat, yaitu terdiri dari daerah swapraja, desa dan subak-subak pengairan di Bali yang susunan pemerintahannya diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Di seluruh Indonesia pada masa pemerintahan jajahan ada sekitar 280 swapraja besar dan kecil yang daerahnya merupakan daerah tidak langsung dimana peraturan pemerintah Belanda berdasarkan Pasal 21 IS, hanya berlaku di daerah-daerah tersebut jika dinyatakan secara tegas. Susunan pemerintahan masa Hindia Belanda inilah, nampaknya yang mengilhami pembagian daerah di Indonesia termasuk pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat istimewa sebagaimana tertuang dalam penjelasan UUD 1945. Mekanisme pemilihan kepala daerah dalam daerah-daerah Swapraja itu dilakukan berdasarkan hukum dan kebiasaan di daerah bersangkutan yang pada umumnya dengan cara tradisional.
Masa pemerintahan bala tentara Jepang, membubarkan seluruh susunan pemerintahan daerah yang dibentuk oleh penjajah Belanda dan membagi daerah di Indonesia menjadi tiga wilayah besar yaitu Jawa dan Madura, daerah Pulau Sumatera beribukota di Bukit Tinggi dan Daerah-daerah selebihnya yang bermarkas di Makassar, dengan tetap memusatkan pemerintahan militernya di tingkat keresidenan.
Masal awal kemerdekaan dengan UU No.1/1945 mengenai pembentukan pemerintahan daerah yang terdiri dari Komite Nasional Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah tidak dapat diberlakukan secara baik karena munculnya masa revolusi perang kemerdekaan yang cukup panjang. Sampai lahirnya UUDS 1950, terjadi beberapa pengaturan mengenai pemerintahan daerah yang dikeluarkan Pemerintah NKRI, Pemerintah Belanda maupun negara-negara yang tergabung dalam Negara Indonesia Timur berdasarkan UUD RIS 1949[4] namun tidak ada yang berlaku secara eksis karena perang dan pergoalakan yang terus menerus. Namun demikian dalam suasana revolusi Negara Kesatuan RI yang berpusat di Jogya sempat membentuk daerah-daerah Swatantra dalam wilayahnya, demikian juga di daerah-daerah yang termasuk dalam negara serikat. Pembentukan daerah-daerah oleh NKRI Jogya maupun negara serikat selama masa revolusi kemerdekaan telah memberikan inspirasi yang kuat bagi daerah-daerah untuk menuntut otonomi seluas-luasnya pada masa-masa selanjutnya.
Setelah kembali kepada Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 terjadi berbagai pergolakan di berbagai daerah di Indonesia dalam masa transisional itu. Masa revolusi dan perebutan pengaruh dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah baik oleh RI di Jogya, NIT di Makassar maupun oleh Belanda, mengakibatkan daerah-daerah mengalami suasana romantisme otonomi yang seluas-luasnya dan menuntut pemerintahan pusat untuk memberikan otonomi yang lebih besar. Pemerintahan daerah yang lahir setelah UUDS 1950 sampai dengan UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1955, tetap saja menganut pemerintahan otonomi, namun mengalami pasang surut sesuai dengan corak pemerintahan pusat yang ada.
Masa pemerintahan Orde Baru melalui UU No 5 Tahun 1974, mempraktikan sentralisasi sangat kuat sehingga daerah-daerah hanya mendapat sisa kekuasaan berdasarkan prinsip otonomi yang sangat sempit. Daerah hanyalah menerima instruksi dan pengaturan dari pusat tentang siapa yang akan menjadi kepala daerah walaupun DPRD diberi kewenangan untuk memilih dan mengajukan tiga nama calon kepala daerah. Masa reformasi terkait dengan daerah ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, memberikan momentum otonomi bagi daerah dengan minikmati kebebsan dan otonomi yang sangat luas, bahkan beberapa kalangan menilai pada saat itu negara Indonesia adalah negara kesatuan dengan rasa federal. Otonomi luas yang dinikmati masa reformasi itulah yang hingga sekarang terasa di daerah-daerah di Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa isu otonomi luas dan demokratisasi daerah selalu menjadi perhatian sejak masa penjajahan. Isu ini harus menjadi perhatian penting untuk mengukuhkan negara kesatuan RI. Tuntutan otonomi luas dan demokratisasi bagi dari daerah-daerah, tidak bisa dilepaskan dari latar belakang sejarah terbentuknya Republik Indonesia dari bekas wilayah Hindia Belanda yang sebelumnya merupakan negara-negara kerajaan yang indepnden.
Posisi Daerah Dalam Struktur Pemerintahan Indonesia
Kajian historis maupun konsititusi –UUD NRI 1945- memberikan petunjuk yang jelas bahwa tuntutan daerah-daerah yang ada di Indonesia terhadap pemberian otonomi luas untuk melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri, termasuk urusan pemerintahan berlangsung sejak masa pemerintahan penjajahan Belanda. UU No. 22/1999 yang direvisi dengan UU No.32/2003 menentukan bahwa seluruh kewenangan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Prinsip-prinsip otonomi yang terkandung dalam undang-undang pemerintahan daerah sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan daerah yang diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 18 yang telah diubah. Dari sudut pandang konstitusi, sebenarnya urusan pemerintahan di daerah termasuk mekanisme pemilihan kepala daerah adalah termasuk urusan pemerintahan yang dapat diserahkan kepada daerah.
Dalam kerangka konstitusi, posisi daerah sebagai daerah otonomi tidak dapat dipertentangkan dengan pemerintahan tingkat pusat, karena dalam rangka prinsip susunan negara kesatuan kewenangan daerah adalah kewenangan pemberian atau kewenangan distribusi dari pemerintahan pusat (negara) melalui mekanisme undang-undang. Hubungan antara pusat dan daerah merupakan hubungan yang hirarkis bukanlah hubungan independen. Daerah bukanlah lembaga negara yang kewenangannya secara limitatif dan tersendiri diatur dalam UUD, karena itu kewenangan daerah bukanlah diperoleh karena pembagian atau pemisahan kekuasaan yang bersumber dari UUD. Hal ini tentu berbeda dengan prinsip negara federal dimana daerah memperoleh kewenangannya itu berdasarkan UUD, sehingga mereka mendapat pembagian kewenangan secara vertikal. Karena itu pada hakekatnya, apapun yang ditentukan oleh undang-undang itulah potret pemerintahan daerah. Ruang lingkup urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah termasuk dalam tingkat mana otonomi daerah diberikan apakah kepada provinsi atau kabupaten/ kota adalah ruang kebebasan yang diberikan oleh konstitusi kepada pembentuk undang-undang. Karena itu, daerah dalam hubungannya dengan pemerintah pusat tidak dalam posisi check and balances dalam kerangka teori pembagian kekuasaan.
UUD tidak mengatur bahwa pemerintahan provinsi itu kepanjangan tangan pemerintahan pusat di daerah. Namun karena pertimbangan rentang kendali administrasi pemerintahan oleh pemerintah pusat menjadi sangat besar dan luas jika pemerintah pusat secara langsung mengurus seluruh kabupaten dan kota, maka sebahagian kewenangan itu diserahkan kepada gubernur sebagai kepala daerah provinsi. Dalam posisi inilah gubernur merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang timbul dari undang-undang bukan dari konstitusi. UUD NRI 1945 hanya mengatur secara tegas tentang susunan pemerintahan daerah yang terdiri dari daerah provinsi yang dalam dalam provinsi itu terdiri dari daerah kabupaten dan kota dan penyelenggara urusan pemerintahannya terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD.


Pemilihan Kepala Daerah antara Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat
Sejarah pemerintahan di Indonesia, telah melalui berbagai sistem, mulai dari sistem demokrasi bahkan demokrasi yang sangat liberal sekalipun, sistem otoriter dan bahkan sangat otoriter. Sistem demokrasi liberal pada masa 1950 – 1959 terbukti telah mengabaikan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Hal inilah yang menyebabkan Presiden Soekarno menintrodusir dan menerapkan demokrasi terpimpin dalam masa 1959 – 1965 yang membawa sistem pemerintahan kita menjadi sistem otoriter. Tidak ada perbaikan ekonomi yang dihasilkan karena terus terjadi gejolak sosial yang terus menerus karena sistem otoriter itu sehingga tidak bisa dikendalikan lagi oleh presiden. Pada sisi lain, pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang diselenggarakan dengan cara otoriter dengan semoboyan stabilitas bagi pembangunan ekonomi telah membawa banyak perbaikan bagi pembangunan eknomi dan kesejahteraan rakyat. Namun akhir dari pemerintahan otoriter Orde Baru, hampir saja menjadikan Indonesia hancur karena munculnya gelombang protes dan ketidakpuasan rakyat atas pengekangan kebebasan dan keterbukaan politik oleh pemerintah. Hasil pembangunan ekonomi yang mengagumkan pada masa Orde Baru hancur dalam sesaat, ekonomi Indonesia runtuh.
Terdapat dua pelajaran berharga dari peristiwa di atas, yaitu rakyat Indonesia menolak pemerintahan otoriter dan pada sisi lain dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan rakyat memerlukan stabilitas politik. Sebagai sebuah negara besar yang multi etnik, dengan ragam suku dan agama hanya akan bisa dipertahankan jika ruang kebebasan dan demokrasi dibuka. Partisipasi politik rakyat harus dibuka sehingga rakyat merasa ikut bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara. Berbeda halnya sebuah negara kecil dan homogen, dengan gampang dapat diatur dengan sistem yang tidak harus demokratis. Itulah sebabnya kita tidak mungkin membalikan arah jarum jam perjalan demokrasi dengan memimpikan pemerintahan otoriter yang lebih efisien. Sebaliknya terlalu menonjolkan demokrasi dan kebebasan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dapat terabaikan. Karena biaya bagi kebebasan dan demokrasi dapat menyedot biaya sangat besar yang harus dikeluarkan oleh negara. Karena itu penyelenggaraan demokrasi yang efisien menjadi sangat penting agar pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dapat segera ditingkatkan.
Demokrasi terkait dengan sistem dan penyelenggaraan pemerintahan, sejak dari cara pemilihan, pengelolaan kepemimpinan dan pertanggungjawabannya. Secara ringkas prinsip demokrasi yang paling penting adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena rakyat seluruhnya tidak mungkin memerintah secara bersama sama maka pemimpin dari rakyat yang akan memerintah itu harus dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya masing-maisng. Karena pemerintahan itu untuk rakyat, rakyatpun harus dapat merasakan, menikmati serta mengetahui apa yang dilaksanakan oleh pemimpinnya. Di sinilah pentingnya apa yang disebut prinsip pertanggungjawaban politik (akuntabilitas) dalam pemerintahan. Sebenarnya ukuran paling tinggi dari kwalitas demokrasi manakala terbukti akuntabilitas pemerintahan itu sangat baik dalam arti dirasakan, diketahui dan dipahami oleh rakyat. Dalam makna yang demikianlah arti kedaulatan rakyat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sihingga kita memastikan bahwa demokrasi itu adalah amanat para pendiri negeri ini.
Pada saat sekarang, isu demokrasi merupakan isu yang sudah universal walaupun dengan penerapan dan impelementasi yang berbeda di setiap negara. Sebagian besar negara di dunia mengaku merupakan negara demokrasi. Demokrasi sudah merupakan lambang bagi pemerintahan yang lebih baik dari sistem pemerintahan lainnya, karena demokrasi dianggap memberikan kesempatan bagi setiap orang berpartisipasi dalam menentukan jalannya pemerintahan. Sebagai sebuah sistem yang utuh, demokrasi mengandung prinsip-prinsip yang dapat menjamin tegaknya demokrasi itu sendiri antara lain prinsip persamaan hak, prinsip pemilihan yang jujur, adil, bebas dan rahasia, kebebasan berpendapat, media yang bertanggung jawab serta transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan. Disamping itu demokrasi juga akan bisa tegak dengan baik jika ada sistem hukum yang baik serta peradilan yang imparsial.
Sebuah negara tidak cukup mengklaim sebagai negara demokrasi hanya karena telah melaksanakan pemilihan yang secara terus menerus dan melibatkan masyarakat yang luas. Akan tetapi kwalitas demokrasi harus diukur juga dari prosesnya yang benar serta outputnya apakah membawa perbaikan bagi kehidupan rakyat atau justeru sebaliknya. Jika tidak membawa kebaikan bagi kehidupan rakyat, maka pasti ada yang salah dalam pelaksanaan demokrasi. Sebagai sebuah sistem yang diidealkan, proses demokrasi tidak sekali jadi. Demokrasi tumbuh dan berkembang bersama meningkatnya tingkat pendidikan rakyat, tingkat kesejahteraan dan kesadaran hukum serta etika dari semua komponan bangsa. Dalam masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah demokrasi diartikan sebagai pesta kebebasan berekspresi yang sering tanpa memperhatikan aturan hukum dan etika. Demikian juga dalam masyarakat yang tingkat kesejahteraannya masih rendah demokrasi sering mengalami kegagalan, karena unsur-unsur demokrasi sering terlanggar kelaparan dan kesulitan hidup, sehingga melahirkan output demokrasi yang buruk. Posisi Indonesia yang sekarang ini tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya masih rendah sulit diharapkan prinsip demokrasi berjalan secara baik sebagai sebuah sistem yang utuh. Karena itu jalan terjal sistem demokrasi yang kita lalui masih panjang, dan harus dapat dilakukan dengan kesabaran, toleransi dan tidak sekali jadi.
Demokrasi bukanlah jalan yang memberi jaminan untuk mencapai percepatan tingkat kesejahteraan rakyat, bahkan belum ada bukti bahwa demokrasi mendorong percepatan bagi kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, pemerintahan yang mengabaikan demokrasi kadang-kadang lebih cepat maju dan sejahtera daripada pemerintahan yang sangat demokratis. Akan tetapi jika dijalankan dengan baik, demokrasi akan menjamin stabilitas dan kreativitas rakyat yang akan mendorong tumbuhnya kehidupan ekonomi yang pada akhirnya akan memajukan kesejahteraan rakyat. Demokrasi di Indonesia setelah dimulainya masa reformasi melompat sangat jauh, bahkan lebih jauh dari tingkat pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya. Jika demokrasi tanpa dikelola dengan baik dan pada sisi lain kesejahteraan rakyat tidak juga baik maka disitulah awal hancurnya demokrasi.
Konstitusi kita memberi arah yang sangat jelas dalam menjalankan pemerintahan demokratis, yaitu mulai dari cara pemilihan pejabat-pejabat pemerintahan, mekanisme kontrol sampai dengan mekanisme pertanggunggungjawabannya kepada rakyat. Penilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, pengisian jabatan anggota DPR, DPD serta DPRD melalui pemilihan umum adalah mekanisme demokrasi yang tidak dapat direduksi dalam implementasinya. Sedangkan pemilihan kepala daerah, konstitusi hanya memberikan arah untuk dipilih secara demokratis. Hal ini berarti harus melalui proses pemilihan yang dalam implementasinya dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Atas dasar ketentuan konstitusi tersebut, usulan pengangkatan gubernur langsung oleh presiden tanpa melalui proses pemilihan adalah bertentangan dengan konstitusi walaupun gubernur itu merupakan kepanjangan tangan dari pemrintah pusat. Akan tetapi jika ingin meghemat proses demokrasi melalui perubahan undang-undang, pemilihan gubernur dapat saja dilakukan oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden, sehingga tidak harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan ekspektasi demokrasi yang sangat tinggi. Dengan cara demikian, ruang partrisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya menjadi sangat besar. Ruang bagi rakyat untuk mencari pemimpin yang lebih baik menjadi lebih besar pula. Akan tetapi, karena tingkat pendidikan yang masih rendah dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, sering terjadi keputusan dalam memberi pilihan tidak selalu yang ideal diharapkan akan melahirkan para pemimpin yang baik. Disinilah kelemahan demokrasi, sering tidak bisa dihindari karena yang menang adalah suara mayoritas tanpa peduli terhadap kwalitasnya. Kita tidak mungkin membalikan arah demokrasi yang sudah demikian jauh kepada proses yang tidak demokratis hanya untuk mencari efisiensi dan kecepatan dalam mensejahterakan rakyat. Karena ternyata cara demikian telah terbukti gagal di Indonesia. Tuntutan otonomi daerah tidak lain dari kehendak bagi kehidupan yang lebih demokratis, karena hakekat otonomi adalah demokratisasi dan pemberian kebebasan dan kreativitas daerah untuk maju.
Kesimpulan
Konstitusi memberikan ruang yang luas bagi pembentuk undang-undang untuk mengisi wajah dan bentuk otonomi kepada pemerintah daerah, termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Prinsip yang secara tegas diatur oleh konstitusi adalah kepala daerah itu dipilih secara demokratis, yang dapat dilakukan melalui pemilihan langsung ataupun pemilihan tidak langsung.
Pemilihan gubernur oleh DPRD patut dipertimbangkan untuk menjadi pilihan dalam rangka menghemat proses demokrasi ke depan dengan pertimbangan bahwa posisi gubernur dalam kerangka implementasi konsep administrasi pemerintahan adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah berupa kewenangan yang bersifat koordinatif antara daerah otonomi di tingkat kabupaten dan kota, serta kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Apalagi anggota-anggota DPRD itu seluruhnya terpilih melalui pemilu dari berbagai daerah yang ada di provinsi yang bersangkutan. Pemikiran ini tidak berarti mereduksi daerah provinsi sebagai suatu daerah otonomi, karena daerah provinsi juga tetap diberi kewenangan otonomi disamping kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Mekanisme pemilihan yang demikian dapat menghemat anggaran negara yang cukup besar dan masih berada dalam ruang lingkup dan koridor konstitusi serta masih sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pada sisi lain perlu ditata kembali mekanisme pemilihan umum secara keseluruhan dengan melakukan konsolidasi dan pemisahan antara dua jenis pemilihan yaitu pemilihan pejabat di tingkat nasional dalam satu waktu secara bersamaan dan pemilihan bupati dan walikota serta DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) secara bersamaan dalam waktu yang lain. Sehingga selama lima tahun hanya ada dua pemilihan yaitu pemilihan pejabat di tingkat pusat, yaitu DPR, DPD dan Presiden-Wakil Presiden, dan pemilihan tingkat lokal yaitu pemilihan DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi serta pemilihan Bupati dan Walikota. Pemilu untuk memilih pejabat tingkat nasional dapat dikurangi hanya menjadi dua putaran saja, yaitu putaran pertama untuk pemilu legislatif yang dilangsungkan secara bersamaan dengan pemilihan presiden putaran pertama, sedangkan putaran kedua untuk memilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua jika dalam putaran pertama tidak ada pasangan yang mencapai mayoritas mutlak. Demikian juga Pilkada Bupati Walikota, untuk efisiensi harus dihindari adanya pilkada 2 putaran dengan mempergunakan mekanisme yang sama dengan Pilpres. Mekanisme inipun masih tetap dalam koridor demokrasi dan ketentuan konstitusi.

Wallahu A’lam bissawab



[1] Saya sendiri sebagai anggota DPR yang meweakili Fraksi PBB adalah salah satu anggota Panitia Khusus RUU itu.
[2] Prinsip ini diubah dengan keluarnya UU No.22/2007, tentang Penyelengara Pemilihan Umum, dimana KPUD merupakat bagian dari KPU nasional dalam pemilihan Kepala Daerah.
[3] Selama 1906-1918, gemeente itu antara lain di Jawa: Jakarta, Jatinegara, Bogor, Bandung, Sukabumi, Tjirebon, Semarang, Tegal, Pekalongan, Magelang, Surabaya, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Madiun, Salatiga, di Sumatera yaitu : Medan, Binjai, Tebingtinggi, pematangsiantar, Padang, Sawahlunto, Fort de Kock, dan Palembang. Di Kalintan Indonesia Timur, , yaitu : Banjarmasin, Makasar, Manado dan Ambon.
[4] Paling tidak ada 5 macam UU pemerintahan Daerah pada saat itu, yaitu : UU Pokok Pemerintahan Daerah Swatantra, dari RI Jogya, UU Pemerintahan Otonomi, dari Negara Indonesia Timar di Macasar No. 44/1950, Ordonantie No.17/1946 serta peraturan-peraturan yang berlaku pada masa penjajahan Belanda, yang maíz diberlakukan di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!