Dinasti Song (
Hanzi: 宋朝, 
hanyu pinyin: song chao) adalah salah satu dinasti yang memerintah di 
Cina antara tahun 960 sampai dengan tahun 1279 sebelum Cina diinvasi oleh bangsa 
Mongol. Dinasti ini menggantikan periode 
Lima Dinasti dan Sepuluh Negara dan setelah kejatuhannya digantikan oleh 
Dinasti Yuan. Dinasti ini merupakan pemerintahan pertama di dunia yang mencetak 
uang kertas  dan merupakan dinasti Cina pertama yang mendirikan angkatan laut. Dalam  periode pemerintahan dinasti ini pula, untuk pertama kalinya 
bubuk mesiu digunakan dalam peperangan dan 
kompas digunakan untuk menentukan arah utara.
Dinasti Song dibagi ke dalam dua periode berbeda, Song Utara dan Song Selatan. Semasa periode 
Song Utara (
bahasa Tionghoa: 
北宋, 960–1127), ibukota Song terletak di kota Bianjing (sekarang 
Kaifeng) dan dinasti ini mengontrol kebanyakan daerah Cina dalam (daerah 
suku Han bermayoritas). 
Song Selatan (
bahasa Tionghoa: 
南宋, 1127–1279) merujuk pada periode setelah dinasti Song kehilangan kontrol atas Cina Utara yang direbut oleh 
Dinasti Jin. Pada masa periode ini, pemerintahan Song mundur ke selatan 
Sungai Yangtze dan mendirikan ibukota di Lin'an (sekarang 
Hangzhou). Walaupun Dinasti Song telah kehilangan kontrol atas daerah asal kelahiran kebudayaan Cina yang berpusat di sekitar 
Sungai Kuning,  ekonomi Dinasti Song tidaklah jatuh karena 60 persen populasi Cina  berada di daerah kekuasaan Song Selatan dan mayoritas daerah  kekuasaannya merupakan tanah pertanian yang produktif.
[1]  Dinasti Song Selatan meningkatkan kekuatan angkatan lautnya untuk  mempertahankan daerah maritim dinasti Song. Untuk mendesak Jin dan  bangsa 
Mongol,  dinasti Song mengembangkan teknologi militer yang menggunakan bubuk  mesiu. Pada tahun 1234, Dinasti Jin ditaklukkan oleh bangsa Mongol. 
Möngke Khan, 
Khan ke-empat kekaisaran Mongol, meninggal pada tahun 1259 dalam penyerangan ke sebuah kota di 
Chongqing. Saudara lelakinya, 
Kublai Khan  kemudian dinyatakan sebagai Khan yang baru, walaupun klaim ini hanya  diakui oleh sebagian bangsa Mongol di bagian Barat. Pada tahun 1271,  Kubilai Khan dinyatakan sebagai 
Kaisar Cina.
[2]  Setelah peperangan sporadis selama dua dasawarsa, tentara Kubilai Khan  berhasil menaklukkan dinasti Song pada tahun 1279. Cina kemudian  disatukan kembali di bawah 
Dinasti Yuan (1271–1368).
[3]
Populasi Cina meningkat dua kali lipat semasa abad ke-10 dan ke-11.  Pertumbuhan ini didukung oleh perluasan kultivasi padi di Cina tengah  dan selatan, penggunaan bibit beras cepat panen dari Asia selatan dan  tenggara, dan surplus produksi bahan pangan.
[1][4] Sensus Dinasti Song Utara mencatat populasi sekitar 50 juta. Angka ini menyamai populasi Cina pada saat 
Dinasti Han dan 
Dinasti Tang. Data ini diperoleh dari sumber catatan 
Dua Puluh Empat Sejarah (
bahasa Tionghoa: 
二十四史). Namun, diperkirakan bahwa Dinasti Song Utara berpopulasi sekitar 100 juta jiwa.
[5]  Pertumbuhan populasi yang dramatis ini memacu revolusi ekonomi Cina  pramodern. Populasi yang meningkat ini merupakan salah satu penyebab  lepasnya secara perlahan peranan pemerintah pusat dalam mengatur ekonomi  pasar. Populasi yang besar ini juga meningkatkan pentingnya peranan  para bangsawan rendah dalam menjalankan administrasi pemerintahan  tingkat bawah.
Kehidupan sosial semasa Dinasti Song cukup vibran. Elit-elit sosial  saling berkumpul untuk memamerkan dan memperdagangkan karya-karya seni  berharga, masyarakat saling berkumpul dalam festival-festival publik dan  klub-klub privat, dan di kota-kota terdapat daerah perempatan hiburan  yang semarak. Penyebaran ilmu dan literatur didorong oleh penemuan  teknik percetakan blok kayu yang telah ada dan penemuan percetakan  bergerak pada abad ke-11. Teknologi, sains, filsafat, matematika, dan  ilmu teknik pra-modern berkembang dengan pesat pada masa Dinasti Song.  Walaupun institusi seperti ujian pegawai sipil telah ada sejak masa 
Dinasti Sui,  institusi ini menjadi lebih menonjol pada periode Song. Hal inilah yang  menjadi faktor utama bergesernya elit bangsawan menjadi elit birokrat.
Sejarah
Song Utara
Kaisar Song Taizu  (memerintah 960–976) menyatukan Cina dengan menaklukkan berbagai  daerah-daerah kekuasaan semasa pemerintahannya danb mengakhiri  pergolakan periode 
Lima Dinasti dan Sepuluh Negara. Di 
Kaifeng,  ia mendirikan pemerintahan pusat yang kuat. Ia menjaga stabilitas  administrasi negara dengan mempromosikan sistem ujian pegawai sipil  dalam menunjuk pejabat-pejabat birokrat. Selain itu, ia juga memulai  berbagai proyek-proyek yang bertujuan menjamin efisiensi komunikasi di  seluruh kerajaan. Salah satu proyek tersebut adalah pembuatan peta  tiap-tiap provinsi dan kota-kota kerajaan secara mendetail dan  kesemuannya dikumpulkan menjadi satu 
atlas yang besar.
[6] Ia juga mendorong inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mendukung berbagai karya-karya ilmiah seperti pembuatan 
menara jam astronomi yang dibuat oleh insinyur 
Zhang Sixun.
[7]
Kerajaan Song memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan 
Chola di India, 
Fatimid di Mesir, 
Sriwijaya, dan kerajaan-kerjaan mitra dagang lainnya.
[8][9][10][11].  Dari awal sejak didirikannya oleh Taizu, Dinasti Song secara bergantian  terlibat dalam peperangan dan hubungan diplomasi dengan bangsa 
Khitan dari 
Dinasti Liao di Timur Laut dan bangsa 
Tangut dari 
Dinasti Xia Barat di Barat Laut. Dinasti Song menggunakan kekuatan militer dalam usahanya menumpas Dinasti Liao dan merebut kembali 
Enam belas Prefektur, daerah kekuasaan Khitan yang dianggap sebagai bagian dari Cina.
[12]  Namun, tentara Song berhasil didesak oleh tentara Liao yang terlibat  dalam kampanye perang agresif selama bertahun-tahun di daerah utara  Song. Hal ini berhenti pada tahun 1005 dengan ditandatanganinya  perjanjian Shanyuan. Bangsa Cina kemudian dipaksa membayar upeti kepada  bangsa Khitan, walaupun pembayaran upeti ini tidak memberikan dampak  yang besar bagi ekonomi Song karena bangsa Khitan sangat bergantung pada  impor barang dari Dinasti Song.
[13]  Dinasti Song berhasil memenangkan beberapa peperangan dengan bangsa  Tangut pada awal abad ke-11. Kemenangan ini mencapai puncaknya di bawah  arahan Jenderal 
Shen Kuo (1031–1095), yang juga seorang cendekiawan dan negarawan.
[14]  Namun, operasi militer ini pada akhirnya gagal oleh karena salah  seorang rival Shen tidak mematuhi perintah langsung dan daerah yang  berhasil direbut dari Xia Barat pada akhirnya lepas.
[15] Terdapat pula perang yang signifikan melawan 
Dinasti Lý dari 
Vietnam dari tahun 1075 sampai dengan tahun 1077 dikarenakan sengketa wilayah perbatasan dan diputusnya hubungan dagang dengan keajaan 
Đại Việt.
[16] Setelah tentara Lý berhasil memberikan kerusakan parah dalam serangannya di 
Guangxi, komandan Song Guo Kui (1022–1088) kemudian membalas dengan menyerang balik sampai sejauh Thăng Long (sekarang 
Hanoi).
[17]  Oleh karena kerugian besar yang ditanggung oleh kedua belah pihak,  Komandan Lý Thường Kiệt (1019–1105) kemudian menawarkan perjanjian damai  dan mengijinkan kedua belah pihak mundur dari peperangan. Daerah-daerah  yang berhasil direbut oleh Song dan Lý kemudian dikembalikan ke pihak  masing-masing bersama dengan para tahanan perang pada tahun 1082.
[18]
 
  Sebuah bantal yang berasal dari Dinasti Song Utara abad ke-12
  Selama abad ke-11, persaingan politik yang sengit kemudian memecah  belah anggota-anggota istana kerajaan oleh karena perbedaan pendekatan,  pendapat, dan kebijakan para menteri pejabat dalam menangani ekonomi dan  masyarakat Song yang kompleks. Kanselir 
Fan Zhongyan  (989–1052) yang merupakan seorang idealis, mendapatkan pukulan politik  yang besar ketika ia berusaha melakukan reformasi dalam memperbaiki  sistem perekrutan pejebat, meningkatkan gaji para pegawai rendah, dan  menginisiasi program sponsor yang mengijinkan masyarakat luas  mendapatkan pendidikan.
[19] Setelah Fan dipaksa turun dari jabatannya, 
Wang Anshi (1021–1086) menjadi kanselir baru istana. Dengan dukungan 
Kaisar Shenzong  (1067–1085), Wang Anshi mengkritik habis-habisan sistem pendidikan dan  birokrasi negara. Untuk menyelesaikan apa yang ia lihat sebagai korupsi  dan kelalaian negara, Wang mengimplementasikan sejumlah reformasi yang  disebut sebagai Kebijakan Baru. Reformasi ini meliputi reformasi pajak  tanah, pendirian 
monopoli pemerintah, dukungan terhadap 
milisi-milisi lokal, dan pembuatan standar baru dalam ujian kerajaan.
[20]  Reformasi ini menimbulkan perpecahan politik dalam istana kerajaan.  Kelompok Kebijakan Baru Wang Anshi ditentang oleh golongan 'Konservatif'  yang dipimpin oleh sejarahwan dan Kanselir 
Sima Guang (1019–1086).
[21]  Seketika salah satu golongan menjadi mayoritas dalam kementerian  istana, para pejabat saingan akan diturunkan jabatannya secara paksa dan  diasingkan ke tempat-tempat terpencil di kerajaan.
[20] Salah satu korban persaingan politik yang terkenal ini adalah negawaran dan penyair 
Su Shi (1037–1101). Ia dipenjarakan dan pada akhirnya diasingkan oleh karena mengkritik kebijakan reformasi Wang.
[20]
Manakala politik istana Song terpecah dan terfokus pada masalah  internal, peristiwa besar yang terjadi di Kerajaan Liao pada akhirnya  mendapatkan perhatian Kerajaan Song. Bangsa 
Jurchen yang merupakan suku taklukkan Kerajaan Liao memberontak dan mendirikan kerajaan mereka sendiri, yakni 
Jin Dynasty (1115–1234).
[22] Pejabat Song 
Tong Guan (1054–1126) menganjurkan 
Kaisar Huizong  (1100–1125) membentuk aliansi dengan bangsa Jurchen dan melakukan  operasi militer bersama untuk menaklukkan Dinasti Liao pada tahun 1125.  Namun, buruknya prestasi dan lemahnya kekuatan militer tentara Song  terlihat oleh bangsa Jurchen dan dengan segera mereka keluar dari  aliansi dengan Song. Bangsa Jurchen kemudian menyerang daerah Song pada  tahun 1125 dan 1127. Pada penyerangan tahun 1127, bangsa Jurchen bukan  hanya dapat merebut ibukota Song di Kaifeng, namun juga menawan Kaisar  Huizong yang telah mengundurkan diri, penggantinya 
Qinzong, dan kebanyakan anggota istana.
[22] Kejadian ini terjadi pada tahun Jinkang (
bahasa Tionghoa: 
靖康) dan dikenal sebagai peristiwa 
Penghinaan Jinkang (
bahasa Tionghoa: 
靖康之恥). Tentara Song yang tersisa kemudian bergabung di bawah perintah 
Kaisar Gaozong (1127–1162) yang mengangkat dirinya sebagai Kaisar. Dinasti Song kemudian mundur ke selatan 
Sungai Yangtze dan mendirikan ibukota baru di Lin'an (sekarang 
Hangzhou).  Penaklukan Cina utara oleh bangsa Jurchen dan berpindahnya ibukota dari  Kaifeng ke Lin'an merupakan garis pemisah Dinasti Song Utara dengan  Dinasti Song Selatan.
Song Selatan
 
  Song Selatan pada tahun 1142
  Walaupun telah melemah dan didesak ke selatan, Dinasti Song Selatan  berhasil meningkatkan ekonomi dan mempertahankan eksistensinya melawan  Dinasti Jin. Dinasti Song Selatan memiliki perwira-perwira militer  seperti 
Yue Fei dan 
Han Shizhong. Pemerintah Song juga mensponsori proyek-proyek besar seperti pembuatan kapal, perbaikan 
pelabuhan,  pembangunan menara api dan gudang pelabuhan untuk mendukung perdagangan  maritim luar negeri dan pelabuhan laut internasional seperti 
Quanzhou, 
Guangzhou, dan 
Xiamen, yang menyokong aktivitas perdagangan Cina.
[23][24][25] Untuk melindungi dan mendukung kapal-kapal yang melayari 
Laut Cina Timur dan 
Laut Kuning (menuju 
Korea dan 
Jepang), 
Asia Tenggara, 
Samudera Hindia, dan 
Laut Merah, adalah perlu untuk mendirikan 
angkatan laut resmi.
[26] Dinasti Song oleh karenanya mendirikan angkatan laut permanen pertama Cina pada tahun 1132,
[25] dengan markas besarnya di Dinghai.
[27]  Dengan adanya angkatan laut permanen, Kerajaan Song menjadi siap untuk  menghadapi tentara laut Jin di Sungai Yangtze pada tahun 1161, pada 
Pertempuran Tangdao dan 
Pertempuran Caishi. Dalam pertempuran ini, angkatan laut Song menggunakan kapal perang yang diperlengkapi 
trebuchet untuk melemparkan 
bom mesiu.
[27]  Walaupun armada Jin terdiri dari 70.000 orang dalam 600 kapal perang,  sedangkan tentara Song hanya terdiri dari 3.000 orang dalam 120 kapal  perang,
[28]  tentara Dinasti Song berhasil memenangkan kedua pertempuran ini oleh  karena daya rusak bom yang kuat dan serangan cepat kapal berdayung roda.
[29]  Sejak saat itu, kekuatan angkatan laut sangat ditekankan. Satu abad  setelahnya, angkatan laut Song telah meningkat drastis mencapai 52,000  tentara laut.
[27]  Pemerintah Song menyita sebagian tanah yang dimiliki oleh para  bangsawan untuk meningkatkan pemasukan yang digunakan untuk membiayai  proyek ini. Hal ini kemudian menyebabkan ketidakpuasan dan hilangnya  kesetiaan para tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat Song. Namun hal  ini tidak menghentikan persiapan defensif Song.
[30][31][32]  Permasalahan finansial juga diperparah oleh banyaknya orang kaya yang  menggunakan koneksi pemerintahan untuk mendapatkan status bebas pajak.
[33]
Walaupun Dinasti Song berhasil menahan serang Jin, ancaman besar lainnya muncul di daerah utara Dinasti Jin. Bangsa 
Mongol yang dipimpin oleh 
Jenghis Khan  (memerintah 1206–1227) pada awalnya menyerang Dinasti Jin pada tahun  1205 dan 1209 dalam serangan mendadak di sepanjang perbatasannya. Pada  tahun 1211, tentara Mongol dalam skala besar dikerahkan untuk menginvasi  Jin.
[34] Dinasti Jin kemudian dipaksa untuk tunduk dan membayar upeti kepara bangsa Mongol sebagai negara taklukan (
vassal). Ketika Jin memindahkan ibukotanya secara tiba-tiba dari 
Beijing ke Kaifeng, bangsa Mongol melihatnya sebagai pemberontakan.
[35] Di bawah kepemimpinan 
Ögedei Khan (memerintah 1229–1241), Dinasti Jin dan Dinasti Xia Barat ditaklukkan oleh tentara Mongol.
[35][36] Bangsa Mongol juga menginvasi 
Korea, 
Khalifah Abbasiyah  di Timur Tengah, dan Kievan Rus' di Rusia. Pernah suatu kali bangsa  Mongol beraliansi dengan Song, namun aliansi ini pecah setelah Song  merebut kembali ibukota terdahulu 
Kaifeng, 
Luoyang dan 
Chang'an pada saat keruntuhan Dinasti Jin. Pemimpin Mongol 
Möngke Khan memimpin sebuah operasi militer melawan Song pada tahun 1259, namun meninggal pada tanggal 11 Agustus semasa pertempuran di 
Chongqing.
[37] Kematian Möngke dan berlarut-larutnya krisis kepemimpinan membuat 
Hulagu Khan menarik mundur sebagian besar tentara Mongol dari Timur Tengah. Walaupun Hulagu beraliansi dengan 
Kublai Khan, tentaranya tidak dapat membantu serangan melawan Song oleh karena adanya perang dengan 
Ulus Jochi.
[38]
Kubilai terus melakukan serangan terhadap Song dan berhasil mendapatkan daerah pangkalan di tepi sungai selatan Yangtze.
[39] Kubilai telah bersiap-siap untuk menyerang 
Ezhou, namun perang saudara dengan saudaranya 
Ariq Böke  (saingannya dalam merebut takhta Khan Mongol) memaksa Kubilai  memindahkan sebagian besar tentaranya kembali ke utara. Tanpa keberadaan  Kubilai, tentara Song diperintahkan oleh Kanselir Jia Sidao untuk  melakukan serangan dan berhasil memaksa mundur tentara Mongol ke tepi  sungai utara Yangtze.
[40] Terdapat sedikit bentrokan di perbatasan sampai dengan tahun 1265, ketika Kubilai memenangkan pertempuran di Sichuan.
[41]  Dari tahun 1268 sampai dengan 1273, Kubilai memblokade Sungai Yangtze  dan menggempur Xiangyang. Penggempuran ini merupakan halangan  terakhirnya dalam menginvasi daerah lembah aliran Sungai Yangtze.
[41] Kublai secara resmi mendeklarasikan berdirinya 
Dinasti Yuan pada tahun 1271. Pada tahun 1275, 300.000 tentara Song di bawah Kanselir Jia Sidao dikalahkan oleh Jenderal 
Bayan.
[42] Pada tahun 1276, kebanyakan daerah kekuasaan Song telah direbut oleh tentara Yuan.
[36] Pada 
pertempuran Yamen di 
Delta Sungai Mutiara pada tahun 1279, tentara Yuan yang dipimpin oleh Jenderal 
Zhang Hongfan pada akhirnya berhasil mengakhiri perlawanan Song. Penguasa terakhir Song, 
Kaisar Song Bing, yang masih berumur 11 tahun melakukan bunuh diri bersama-sama dengan pejabat Lu Xiufu (陆秀夫)
[43] dan 800 anggota kerajaan. Di bawah perintah Kubilai, keluarga kerajaan terdahulu Song dibiarkan hidup dan 
Kaisar Song Gongdi yang sebelumnya telah digulingkan diturunkan statusnya menjadi bangsawan Ying (
Ying Guogong 瀛國公), namun pada akhirnya ia diasingkan ke 
Tibet dan menjadi pertapa.
[44]
Masyarakat dan kebudayaan
 
  Sebuah lukisan abad ke-12 yang memperlihatkan cabang pohon bunga melati.  Gaya lukisan seperti ini sangat populer pada periode Dinasti Song  Selatan
  Zaman pemerintahan Dinasti Song merupakan periode organisasi sosial  dan administrasi yang maju dan rumit. Beberapa kota terbesar di dunia  pada saat itu berada di Cina, dengan Kaifeng dan Hangzhou berpenduduk  lebih dari satu juta jiwa.
[1][45]  Masyarakat menikmati berbagai hiburan di kota-kota dan bergabung ke  dalam berbagai klub-klub sosial. Selain itu, terdapat pula banyak  sekolah dan kuil yang memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan.
[1] Pemerintah Song mendukung bermacam-macam program 
kesejahteraan sosial, meliputi pendirian rumah pensiunan, klinik umum, dan pemakaman bagi orang miskin.
[1] Dinasti Song juga memiliki layanan pos di seluruh negeri yang meniru model 
Dinasti Han. Sistem pelayanan pos ini memperlancar komunikasi di seluruh kerajaan.
[46]
Walaupun wanita berstatus lebih rendah daripada pria (sesuai dengan  etika Konfusius), mereka menikmati banyak hak-hak sosial dan hukum, dan  memegang kekuasaan yang besar di rumah dan di bisnis usaha kecil mereka  sendiri. Seiring dengan semakin sejahteranya masyarakat Song, para orang  tua pengantin perempuan memberikan mas kawin yang semakin besar pula  untuk perkawinannya, dan secara alami para wanita mendapatkan banyak  hak-hak hukum baru dalam kepemilikan tanah dan harta keluarga.
[47] Para wanita juga memiliki status yang setara dengan para pria dalam hal mewarisi harta keluarga
[48]  Terdapat banyak wanita-wanita terdidik yang terkenal dari Dinasti Song,  dan merupakan hal yang umum bagi para wanita untuk mendidik anak  laki-lakinya.
[49][50]  Sebagai contohnya, ibu seorang jenderal, diplomat, ilmuwan, dan  negarawan Shen Kuo mengajari Shen Kuo dasar-dasar strategi perang.
[50] Terdapat pula penulis dan penyair wanita yang terkenal seperti 
Li Qingzhao (1084–1151).
[47]
Pada periode Dinasti Song, agama memiliki peranan yang penting  terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Cina dan literatur-literatur  bertopik spiritual sangatlah populer.
[51] Dewa-dewi 
Taoisme, 
Buddhisme, dan 
Kepercayaan tradisional Tionghoa, beserta roh-roh leluhur disembah dengan memberikan sesajian. Tansen Sen menyatakan bahwa lebih banyak 
Bhikkhu dari 
India yang berkunjung ke Cina semasa Dinasti Song daripada semasa 
Dinasti Tang (618–907).
[52]  Dengan banyaknya pendatang asing yang berkunjung ke Cina untuk  berdagang ataupun berimigrasi tinggal di sana, berbagai agama-agama  asing juga masuk ke Cina. Bangsa-bangsa asing yang ada di Cina pada saat  itu meliputi bangsa Timur Tengah yang beragama muslim, 
Yahudi Kaifeng, dan 
bangsa Persia yang beragama Maniisme.
[53][54]
Masyarakat Song terlibat dalam kehidupan rumah tangga dan sosial yang  vibran dan menikmati berbagai jenis festival publik seperti 
festival Lampion dan 
festival Qingming.  Terdapat perempatan-perempatan hiburan di kota-kota besar yang  menyediakan hiburan sepanjang malam. Terdapat pula dalang boneka, pemain  akrobat, aktor teater, penelan pedang, penjinak ular, pendongeng,  penyanyi dan pemusik, pelacur, dan tempat-tempat untuk berelaksasi  seperti rumah teh, restoran, dan perjamuan besar.
[1][55][56]  Masyarakat berpartisipasi dalam klub-klub sosial dalam jumlah yang  besar, mliputi klub minum teh, klub makanan eksotik, klub kolektor  barang seni dan antik, klub pecinta kuda, klub penyair, dan klub musik.
[1] Drama teater juga sangat populer dikalangan elit dan masyarakat umum, walaupun bahasa yang dituturkan oleh aktor di panggung adalah 
bahasa Cina klasik dan bukanlah bahasa Cina sehari-hari.
[57][58] Empat teater drama terbesar di Kaifeng dapat menampung hingga beberapa ribu penonton per teater.
[59] Terdapat pula permainan catur 
igo dan 
xiangqi yang dimainkan di rumah untuk melewatkan waktu senggang.
Ujian pegawai negeri sipil dan Shenshi (紳士)
 
  Sebuah lukisan Cina abad ke-11
  Semasa periode Dinasti Song, terdapat perhatian dan tekanan yang lebih luas terhadap sistem perekrutan 
pegawai sipil  yang didasarkan pada ujian kerajaan. Hal ini bertujuan untuk menyeleksi  orang-orang yang paling pantas dalam pemerintahan. Sistem pegawai sipil  ini dilembagakan dalam skala kecil semasa 
Dinasti Sui dan 
Tang, namun memasuki periode Song, sistem ini menjadi satu-satunya cara pengangkatan para pejabat dalam pemerintahan.
[60]  Meluasnya teknologi percetakan membantu penyeberaluasan ajaran-ajaran  Konfusius dan mendidik lebih banyak kandidat ujian yang memenuhi syarat.
[61]  Hal ini dapat terlihat pada jumlah peserta ujian yang meningkat dari  30.000 peserta pada awal abad ke-11 menjadi 400.000 peserta pada akhir  abad ke-13 setiap tahunnya.
[61] Sistem ujian pegawai sipil ini mengijinkan 
meritokrasi, 
mobilitas sosial, dan kesetaraan yang lebih luas.
[62]  Berdasarkan statistik Dinasti Song, Edward A. Kracke, Sudō Yoshiyuki,  dan Ho Ping-ti mendukung hipotesis bahwa tidak ada jaminan seseorang  akan mendapatkan kedudukan jabatan yang setara dengan orang tuanya hanya  karena ia merupakan anak, cucu, ataupun cicit dari salah seorang  pejabat di kerajaanya.
[62][63][64]  Robert Hartwell dan Robert P. Hymes mengkritik model hipotesis ini  dengan menyatakan bahwa model ini terlalu menekankan pada peran 
keluarga inti  manakala mengabaikan peranan keluarga jauh dan realitas demografi Song  pada saat itu, yakni bahwa terdapat sejumlah besar pria pada tiap-tiap  generasi yang tidak memiliki anak lelaki yang bertahan hidup.
[63][64]  Banyak pula masyarakat yang merasa terampas haknya oleh apa yang mereka  pandang sebagai sistem birokrasi yang memfavoritkan masyarakat kelas  pemilik tanah yang dapat membiayai pendidikan dengan mudah.
[62] Salah satu kritik terhadap sistem ini datang dari seorang pejabat dan penyair yang terkenal 
Su Shi.  Namun, Su sendiri pun merupakan produk sistem tersebut, seiring dengan  berubahnya identitas, kebiasaan, dan perilaku para pejabat yang menjadi  kurang aristokratik dan menjadi lebih birokratik pada transisi periode  Tang ke Song.
[65]  Pada awal berdirinya dinasti, jabatan-jabatan pemerintahan secara  disproporsional dipegang oleh dua kelompok elit sosial, yaitu kelompok  elit yang memiliki hubungan dengan Kaisar dan kelompok elit profesional  yang menggunkan status klan, koneksi keluarga, dan perkawinan untuk  mengamankan posisi jabatan.
[66]  Pada akhir abad ke-11, kedua kelompok elit tersebut perlahan-lahan  menghilang dan digantikan oleh berbagai keluarga Shenshi (紳士).
[67]
Oleh karena pertumbuhan populasi Cina yang meningkat drastis dan  jumlah pengangkatan pejabat yang terbatas (sekitar 20.000 pejabat aktif  semasa periode Song), golongan 
Shenshi (紳士) mengambil alih tugas-tugas pemerintahan pada tingkat terbawah.
[68]  Selain para pejabat yang diangkat oleh pemerintah, yang menjadi anggota  golongan sosial elit ini adalah para kandidat ujian, para peserta ujian  yang telah lulus tapi belum diangkat, para pengajar, dan  pejabat-pejabat yang telah pensiun.
[69]  Orang-orang yang terpelajar ini mengawasi urusan-urusan daerah lokal  dan mensponsori fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh komunitas lokal  yang diawasi; Hakim-hakim lokal yang diutus oleh pemerintah ke suatu  daerah juga bergantung pada kerjasama dengan beberapa ataupun banyak  kalangan elit 
shenshi daerah tersebut.
[68]  Sebagai contohnya, pemerintah Song -kecuali pada masa pemerintahan  Kaisar Song Huizong- menyisihkan sedikit sekali pendapatan negara untuk  membiayai sekolah-sekolah tingkat prefektur (州-
zhou) dan kabupaten (縣-
xian). Pembiayaan sekolah-sekolah tersebut didapatkan dari pembiayaan privat.
[70]  Terbatasnya peranan pejabat-pejabat pemerintahan ini berbeda dengan  peran pejabat pada periode awal Dinasti Tang (618–907), di mana  pemerintah secara ketat meregulasi pasar dan pemerintahan daerah. Pada  zaman Dinasti Song, pemerintah melepaskan peranannya dalam meregulasi  perdagangan dan sebaliknya bergantung pada anggota 
shenshi untuk mengerjakan tugas-tugas yang diperlukan dalam komunitas lokal.
[68]
 
  Berbagai peralatan keramik dari 
Zhejiang abad ke-13
   
  Roda berputar, sebuah lukisan yang dilukis oleh artis Song Utara Wang Juzheng
  Lihat pula
Catatan kaki
 - ^ a b c d e f g Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 167.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 115
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 76
 
- ^ Brook 1998, hal. 96
 
- ^ Veeck et al. 2007, hal. 103–104
 
- ^ Needham 1986b, hal. 518
 
- ^ Needham 1986c, hal. 469–471
 
- ^ Hall 1985, hal. 23
 
- ^ Sastri 1984, hal. 173, 316
 
- ^ Shen 1996, hal. 158
 
- ^ Brose 2008, hal. 258
 
- ^ Mote 1999, hal. 69.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 154.
 
- ^ Sivin 1995, hal. 8.
 
- ^ Sivin 1995, hal. 9.
 
- ^ Anderson 2008, hal. 207.
 
- ^ Anderson 2008, hal. 208.
 
- ^ Anderson 2008, hal. 208–209.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 163.
 
- ^ a b c Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 164.
 
- ^ Sivin 1995, hal. 3–4.
 
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 165.
 
- ^ Wang 2000, hal. 14.
 
- ^ Sivin 1995, hal. 5.
 
- ^ a b Paludan 1998, hal. 136.
 
- ^ Shen 1996, hal. 159–161.
 
- ^ a b c Needham 1986d, hal. 476.
 
- ^ Levathes 1994, hal. 43–47.
 
- ^ Needham 1986a, hal. 134.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 239.
 
- ^ Embree & Gluck 1997, hal. 385.
 
- ^ Adshead 2004, hal. 90–91.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 80.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 235.
 
- ^ a b Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 236.
 
- ^ a b Needham 1986a, hal. 139.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 240.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 55–56.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 49.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 56.
 
- ^ a b Rossabi 1988, hal. 82.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 88.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 94.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 90.
 
- ^ Fairbank & Goldman 2006, hal. 89.
 
- ^ Needham 1986d, hal. 35.
 
- ^ a b Ebrey 1999, hal. 158.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 170–171.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 71.
 
- ^ a b Sivin 1995, hal. 1.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 172.
 
- ^ Sen 2003, hal. 13.
 
- ^ Gernet 1962, hal. 82–83.
 
- ^ Needham 1986d, hal. 465.
 
- ^ "China", Encyclopædia Britannica, 1 Agustus 2007, diakses pada 28 Juni 2007
 
- ^ Gernet 1962, hal. 222–225.
 
- ^ Gernet 1962, hal. 223.
 
- ^ Rossabi 1988, hal. 162.
 
- ^ West 1997, hal. 76.
 
- ^ Ebrey 1999, hal. 145–146.
 
- ^ a b Ebrey 1999, hal. 147
 
- ^ a b c Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 162.
 
- ^ a b Hartwell 1982, hal. 417–418.
 
- ^ a b Hymes 1986, hal. 35–36.
 
- ^ Ebrey, Walthall & Palais 2006, hal. 159.
 
- ^ Hartwell 1982, hal. 405–413.
 
- ^ Hartwell 1982, hal. 416–420.
 
- ^ a b c Fairbank & Goldman 2006, hal. 106.
 
- ^ Fairbank & Goldman 2006, hal. 101–106.
 
- ^ Yuan 1994, hal. 196–199
 
 Referensi
- Adshead, S. A. M. (2004), T'ang China: The Rise of the East in World History, New York: Palgrave Macmillan, ISBN 1403934568 (hardback).
 
- Anderson, James A.  (2008), "'Treacherous Factions': Shifting Frontier Alliances in the  Breakdown of Sino-Vietnamese Relations on the Eve of the 1075 Border  War", di dalam Wyatt, Don J., Battlefronts Real and Imagined: War, Border, and Identity in the Chinese Middle Period, New York: Palgrave MacMillan, hlm. 191–226, ISBN 9781403960849
 
- Bai, Shouyi (2002), An Outline History of China (edisi ke-Revised), Beijing: Foreign Languages Press, ISBN 7119023470
 
- Bol, Peter K. (2001), "The Rise of Local History: History, Geography, and Culture in Southern Song and Yuan Wuzhou", Harvard Journal of Asiatic Studies 61 (1): 37–76, doi:10.2307/3558587
 
- Brook, Timothy (1998), The Confusions of Pleasure: Culture and Commerce in Ming China, Berkeley: University of California Press, ISBN 9780520221543
 
- Brose, Michael C. (2008), "People in the Middle: Uyghurs in the Northwest Frontier Zone", di dalam Wyatt, Don J., Battlefronts Real and Imagined: War, Border, and Identity in the Chinese Middle Period, New York: Palgrave MacMillan, hlm. 253–289, ISBN 9781403960849
 
- Ebrey, Patricia Buckley; Walthall, Anne; Palais, James B. (2006), East Asia: A Cultural, Social, and Political History, Boston: Houghton Mifflin, ISBN 0618133844
 
- Ebrey, Patricia Buckley (1999), The Cambridge Illustrated History of China, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 052166991X (paperback).
 
- Embree, Ainslie Thomas; Gluck, Carol (1997), Asia in Western and World History: A Guide for Teaching, Armonk: ME Sharpe, ISBN 1563242648
 
- Chan, Alan Kam-leung; Clancey, Gregory K.; Loy, Hui-Chieh (2002), Historical Perspectives on East Asian Science, Technology and Medicine, Singapore: Singapore University Press, ISBN 9971692597
 
- Fairbank, John King; Goldman, Merle (2006) [1992], China: A New History (edisi ke-2nd enlarged), Cambridge; London: The Belknap Press of Harvard University Press, ISBN 0674018281
 
- Fraser, Julius Thomas; Haber, Francis C. (1986), Time, Science, and Society in China and the West, Amherst: University of Massachusetts Press, ISBN 0870234951
 
- Gernet, Jacques (1962), Daily Life in China on the Eve of the Mongol Invasion, 1250-1276, Translated by H. M. Wright, Stanford: Stanford University Press, ISBN 0804707200
 
- Graff, David Andrew; Higham, Robin (2002), A Military History of China, Boulder: Westview Press
 
- Guo, Qinghua (1998), "Yingzao Fashi: Twelfth-Century Chinese Building Manual", Architectural History: Journal of the Society of Architectural Historians of Great Britain 41: 1–13
 
- Hall, Kenneth (1985), Maritime trade and state development in early Southeast Asia, Hawaii: University of Hawaii Press, ISBN 0824809599
 
- Hansen, Valerie (2000), The Open Empire: A History of China to 1600, New York & London: W.W. Norton & Company, ISBN 0393973743
 
- Hargett, James M. (1985), "Some Preliminary Remarks on the Travel Records of the Song Dynasty (960–1279)", Chinese Literature: Essays, Articles, Reviews (CLEAR): hlm. 67–93
 
- Hargett, James M. (1996), "Song Dynasty Local Gazetteers and Their Place in The History of Difangzhi Writing", Harvard Journal of Asiatic Studies 56 (2): 405–442, doi:10.2307/2719404
 
- Hartwell, Robert M. (1982), "Demographic, Political, and Social Transformations of China, 750-1550", Harvard Journal of Asiatic Studies 42 (2): 365–442, doi:10.2307/2718941
 
- Hymes, Robert P. (1986), Statesmen and Gentlemen: The Elite of Fu-Chou, Chiang-Hsi, in Northern and Southern Sung, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0521306310
 
- Hsu, Mei-ling (1993), "The Qin Maps: A Clue to Later Chinese Cartographic Development", Imago Mundi 45: 90–100, doi:10.1080/03085699308592766
 
- Levathes, Louise (1994), When China Ruled the Seas, New York: Simon & Schuster, ISBN 0671701584
 
- Lorge, Peter (2005), War, Politics and Society in Early Modern China, 900–1795 (edisi ke-1st), New York: Routledge
 
- McKnight, Brian E. (1992), Law and Order in Sung China, Cambridge: Cambridge University Press
 
- Mohn, Peter (2003), Magnetism in the Solid State: An Introduction, New York: Springer-Verlag, ISBN 3540431837
 
- Mote, F. W. (1999), Imperial China: 900–1800, Harvard: Harvard University Press
 
- Needham, Joseph (1986a), Science and Civilization in China: Volume 1, Introductory Orientations, Taipei: Caves Books
 
- Needham, Joseph (1986b), Science and Civilization in China: Volume 3, Mathematics and the Sciences of the Heavens and the Earth, Taipei: Caves Books
 
- Needham, Joseph (1986c), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 2: Mechanical Engineering, Taipei: Caves Books
 
- Needham, Joseph (1986d), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 3: Civil Engineering and Nautics, Taipei: Caves Books
 
- Needham, Joseph (1986e), Science and Civilization in China: Volume 5, Chemistry and Chemical Technology, Part 7: Military Technology; The Gunpowder Epic, Taipei: Caves Books
 
- Paludan, Ann (1998), Chronicle of the Chinese Emperors, London: Thames & Hudson, ISBN 0500050902
 
- Peers, C. J. (2006), Soldiers of the Dragon: Chinese Armies 1500 BC-AD 1840, Oxford: Osprey Publishing
 
- Rossabi, Morris (1988), Khubilai Khan: His Life and Times, Berkeley: University of California Press, ISBN 0520059131
 
- Rudolph, R. C. (1963), "Preliminary Notes on Sung Archaeology", The Journal of Asian Studies 22 (2): 169–177, doi:10.2307/2050010
 
- Sastri, Nilakanta, K.A. (1984), The CōĻas, Madras: University of Madras
 
- Schafer, Edward H. (1957), "War Elephants in Ancient and Medieval China", Oriens 10 (2): 289–291, doi:10.2307/1579643
 
- Sen, Tansen (2003), Buddhism, Diplomacy, and Trade: The Realignment of Sino-Indian Relations, 600–1400,  Manoa: Asian Interactions and Comparisons, a joint publication of the  University of Hawaii Press and the Association for Asian Studies, ISBN 0824825934
 
- Shen, Fuwei (1996), Cultural flow between China and the outside world, Beijing: Foreign Languages Press, ISBN 711900431X
 
- Sivin, Nathan (1995), Science in Ancient China, Brookfield, Vermont: VARIORUM, Ashgate Publishing
 
- Steinhardt, Nancy Shatzman (1993), "The Tangut Royal Tombs near Yinchuan", Muqarnas: an Annual on Islamic Art and Architecture X: 369–381
 
- Sung, Tz’u (1981), The Washing Away of Wrongs: Forensic Medicine in Thirteenth-Century China, translated by Brian E. McKnight, Ann Arbor: University of Michigan Press, ISBN 0892648007
 
- Temple, Robert (1986), The Genius of China: 3,000 Years of Science, Discovery, and Invention, with a foreword by Joseph Needham, New York: Simon and Schuster, ISBN 0671620282
 
- Veeck, Gregory; Pannell, Clifton W.; Smith, Christopher J.; Huang, Youqin (2007), China's Geography: Globalization and the Dynamics of Political, Economic, and Social Change, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, ISBN 0742554023
 
- Wagner, Donald B. (2001), "The Administration of the Iron Industry in Eleventh-Century China", Journal of the Economic and Social History of the Orient 44: 175–197, doi:10.1163/156852001753731033
 
- Wang, Lianmao (2000), Return to the City of Light: Quanzhou, an eastern city shining with the splendour of medieval culture, Fujian People's Publishing House
 
- West, Stephen H. (1997), "Playing With Food: Performance, Food, and The Aesthetics of Artificiality in The Sung and Yuan", Harvard Journal of Asiatic Studies 57 (1): 67–106, doi:10.2307/2719361
 
- Wright, Arthur F. (1959), Buddhism in Chinese History, Stanford: Stanford University Press
 
- Yuan, Zheng (1994), "Local Government Schools in Sung China: A Reassessment", History of Education Quarterly 34 (2): 193–213, doi:10.2307/369121