Setelah Rasulullah saw., para sahabat tentu saja adalah contoh terbaik  dalam hal pengorbanan. Mereka adalah generasi yang sangat memahami bahwa  pengorbanan di jalan Allah adalah perwujudan dari cintanya yang sejati  kepada-Nya.
Di antara yang dituntut dari seorang Mukmin, terlebihlagi pengemban  dakwah, adalah pengorbanan di jalan Allah, yakni berkorban demi tegaknya  agama Allah.
Kita mungkin pernah mendengar bagaimana ‘Singa Allah’ Khalid bin Walid,  panglima perang yang gagah-berani, dengan penuh kebanggaan berkata, “Aku  lebih menyukai malam yang sangat dingin dan bersalju, di tengah-tengah  pasukan yang akan menyerang musuh pada pagi hari, daripada menikmati  indahnya malam pengantin bersama wanita yang aku cintai atau aku  dikabari dengan kelahiran anak laki-laki.” (HR al-Mubarak dan Abu  Nu‘aim).
Kita pun mungkin ingat, bagaimana Utsman bin Madz‘un lebih rela dicukil  matanya setelah menolak berada dalam perlindungan orang musyrik dan  lebih memilih berada dalam perlindungan Allah. Ketika itu, pamannya,  Walid bin Mughirah, berkata kepadanya, “Wahai keponakanku, dulu matamu  sehat dan tidak seperti ini, karena engkau berada dalam perlindungan  yang kuat.” Dengan lantang Ibn Madz‘un menjawab, “Demi Allah, mataku  yang sehat perlu merasakan apa yang juga pernah dirasakan mata-mata yang  lain di jalan Allah. Aku berada dalam perlindungan yang lebih kuat  darimu. (HR Abu Nu‘aim).
Sahabat lain, Haram bin Milham, pernah tertusuk tombak dalam peperangan.  Tombak itu lalu dicabut. Darah pun mengucur dari tubuhnya. Akan tetapi,  ia malah berkata, “Demi Allah, aku beruntung!” (HR al-Bukhari, Muslim,  dan Ahmad).
Umair bin Abi Waqash, adik Sa‘ad bin Abi Waqash, saat Perang Badar,  ia—yang baru berusia 16 tahun—berusaha menyelinap diam-diam ke barisan  pasukan kaum Muslim untuk ikut berperang. Ia takut dipulangkan oleh  Rasul karena usianya yang masih terlalu muda. Namun, ketika Rasul tahu  keinginan dan semangatnya, beliau pun mengizinkannya. Umair pun dengan  gembira segera berlari menuju medan perang hingga terbunuh sebagai  syahid. (HR al-Hakim dan Ibn Sa‘ad).
Sultan Salahuddin al-Ayyubi, generasi yang lebih belakangan, begitu  cintanya berkorban di jalan Allah, ia lebih menikmati kehidupan di kemah  di tengah-tengah padang pasir ketimbang hidup enak di istana. Para  sejarahwan menulis, “Setiap pembicaraan Sultan selalu berkisar di  seputar jihad dan mujahidin. Ia selalu mengamati senjatanya dan lebih  senang hidup di kemah di tengah-tengah padang pasir.”
Demikianlah sekilas dan sedikit contoh dari generasi terbaik umat ini  pada masa lalu. Mereka bukan saja orang-orang yang siap dan rela  berkorban, tetapi generasi yang selalu merindukan dan bahkan menikmati  pengorbanan di jalan Allah lebih daripada mencintai diri mereka sendiri.  Ingat, semua contoh di atas adalah orang-orang yang rela mengorbankan  sesuatu yang paling berharga dari diri mereka, yakni jiwa mereka.
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mempertaruhkan kehidupan kita di  jalan Allah? Jika sudah, berapa bagian harta kita yang telah kita  infakkan di jalan Allah dibandingkan dengan yang kita keluarkan untuk  anggaran BBM mobil kita setiap harinya? Berapa banyak pula waktu,  tenaga, dan pikiran yang telah kita habiskan di jalan Allah dibandingkan  dengan yang telah kita habiskan untuk memenuhi kebutuhan duniawi kita? 
Ingatlah, Islam senantiasa menunggu pegorbanan setiap Muslim. Ingatlah  pula, tegaknya Islam pada masa lalu dalam wujud Daulah Islam di Madinah  telah menguras begitu banyak keringat, airmata, bahkan darah kaum  Muslim; menyita begitu banyak harta mereka; dan mengorbankan begitu  banyak jiwa mereka. Karena itu, tegaknya kembali Islam dalam wujud  Khilafah Islamiyah yang kita cita-citakan juga membutuhkan pengorbanan  yang serupa dengan pengorbanan generasi Muslim pada masa lalu.  Pengorbanan yang sama dilakukan oleh generasi Muslim pada masa Khulafaur  Rasyidin dan para khalifah setelahnya hingga kekuasaan Islam semakin  meluas, menguasai hampir dua pertiga wilayah dunia. 
Jelaslah, Islam membutuhkan pengorbanan kita. Semakin banyak kita  berkorban, semakin dekat kita pada kemenangan. Sebaliknya, semakin  sedikit kita berkorban, semakin jauh pula kita meraih kemenangan. 
Karena itu, jauhkanlah sikap bahwa kita telah cukup banyak berkorban  hanya karena kita telah menjadi bagian dari pengemban dakwah, di  tengah-tengah banyaknya kaum Muslim yang tidak berdakwah. Janganlah pula  kita berpikir bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas ‘sampingan’ dan  temporer yang bisa kita lakukan setelah kita memenuhi seluruh kebutuhan  kita dan hanya pada saat-saat tertentu saja. Bukankah Rasul saw. sendiri  menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk berdakwah? Bukankah  Rasulullah melibatkan diri dalam lebih dari 70 kali peperangan selama  hidupnya? Bukankah Ammar bin Yasir masih ikut berperang di jalan Allah  dalam usia 90 tahun—meskipun rambutnya telah beruban, tubuhnya telah  melemah, dan tulang-tulangnya telah merapuh? Bukankah pula Abu Sufyan  masih terus bersemangat memotivasi pasukan kaum Muslim dalam peperangan  dalam usia 70 tahun?
Karena itu, kita berharap, tidak ada lagi pengemban dakwah yang malah  tidak lagi aktif berdakwah setelah lulus kuliah, setelah menikah,  setelah punya anak, ataupun setelah disibukkan oleh kerja mencari nafkah  atau berbisnis. Kita pun berharap, kita yang mengklaim sebagai  pengemban dakwah, dan berada di barisan dakwah paling depan, sejatinya  tidak merasa telah cukup berkorban dengan hanya menghadiri halaqah,  membayar infak rutin, atau berlangganan bulletin saja; sementara di luar  itu kita tidak berdakwah, atau berdakwah secara minimalis. Sebab,  mungkinkah dengan ‘pengorbanan’ seperti ini Khilafah Islam akan bisa  ditegakkan kembali oleh para pengembannya?!


Tidak ada komentar:
Posting Komentar