PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 30 Mei 2011

Agama Buddha Dalam Zaman Penjajahan

Pada zaman penjajahan Belanda, di Indonesia hanya dikenal
adanya tiga agama yakni agama Kristen Protestan, Katolik dan Islam
sedangkan agama Buddha tidak disebut-sebut. Hal ini adalah salah
satu sikap Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Dengan demikian
agama Buddha dapat dikatakan sudah sima di bumi Indonesia, tetapi
secara tersirat di dalam hati nurani bangsa Indonesia, agama Buddha
masih tetap terasa antara ada dan tiada.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta
didirikan Perhimpunan Theosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar.
Tujuan dari Theosofi ini mempelajari inti kebjaksanaan semua agama
dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Theosofi
mengajarkan pula kebijaksanaan dari agama Buddha, di mana seluruh
anggota Thesofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari
agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi agama Buddha yang
diberikan di Loji Theosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta,
Surabaya dan sebagainya, agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan
dihayati. Dari sini lahirlah penganut agama Buddha di Indonesia,
yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan
kembali agama Buddha di Indonesia.

Dalam zaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha
untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Khong Hucu dan Lautse dan
usaha mana kemudian lahir Organisasi Sam Kauw Hwee yang bertujuan
untuk mempelajari ketiga ajaran agama dan kepercayaan tersebut. Dari
sini pula kemudian lahir penganut agama Buddha, yang dalam zaman
kemerdekaan agama Buddha bangkit dan berkembang.

Dalam tahun 1932 di Jakarta telah berdiri International
Buddhist Mission Bagian Jawa dengan Yosias van Dienst sebagai Deputy
Director Generalnya. Tahun 1934 telah diangkat A. van der Velde di
Bogor dan J. W. de Wilt di Jakarta masing-masing sebagai Asistant
Director yang membantu Yosias van Dienst.

Setahun sebelum berdirinya International Buddhis Mission
Bagian Jawa, tepatnya tahun 1931, di Jakarta terbit majalah Mustika
Dhamia yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay. Majalah Mustika Dharma
mernuat tentang pelajaran Theosofi, tentang agama Islam, tentang
sari pelajaran dan Yesus, ajaran Krisnamurti, terutama mengenai
ajaran agama Buddha (Buddha Dhamia), Khonghucu dan Lautse. Majalah
Mustika Dharma besar jasanya dalam menyebar luaskan kembali agama
Buddha, sehingga agama Buddha mulai dikenal, dimengerti, dihayati
dan diamalkan dalam kehidupan. Atas prakarsa dari Kwee Tek Hoay
kemudian lahir organisasi Sam Kauw, organisasi yang mempelapori
kebangkitan agama Buddha disamping Perhimpunan Theosofi Indonesia,
dan Pemuda Theosofi Indonesia, setelah Indonesia Merdeka.

Naiada Thera

Tanggal 4 Maret 1934 Narada Thera menginjakkan kakinya di
pelabuhan Tanjung Priok, disambut oleh Yosias van Dienst dan Tjoa
Hin Hoay dan beberapa umat Buddha. Narada Thera adalah bikhhu yang
pertama datang dari luar negeri setelah berselang kira-kira lima
ratus tahun. Narada Thera telah memberikan ceramah agama Buddha di
loji-loji Theosofi dan di Klenteng-klenteng di Bogor, Jakarta,
Yogya, Solo dan Bandung. Di Candi Borobudur pada tanggal 10 Maret
1934 Narada Thera turut hadir dalam upacara penanaman pohon bodhi
yang cangkokannya dibawa oleh lr. Meertenas dari Buddhagaya, India.
Pohon bodhi yang telah tumbuh besar di Candi Borobudur itu kemudian
dimatikan, karena merusak bangunan candi. Duta Besar Srilangka
menyerahkan lagi cangkokan pohon. Pohon bodhi tersebut ditanam di
kawasan luar Candi Borobudur disaksikan oleh Gubernur Supardjo
Rustam. Pohon bodhi dari Duta Besar Srilangka itu adalah cangkokan
dari pohon bodhi yang sampai sekarang masih tumbuh di Anuradhapura
di Srilangka yang dahulu dibawa oleh Raja Mahinda ke Srilangka.

Java Buddhist Association yang telah menerbitkan majalah
Namo Buddhaya dalam bahasa Belanda telah banyak menarik perhatian
dan minat orang-orang Cina, yang pada waktu itu telah banyak
menganut agama lain, dan telah mengganti tradisi serta adat istiadat
leluhurnya dengan kebiasaan Barat. Kemudian tahun 1932 Kwee Tek Hoay
membentuk Sam Kauw Hwee yang anggotanya terdiri dari penganut agama
Buddha, Khonghucu dan Laocu. Sam Kauw Hwee menerbitkan majalah Sam
Kauw Gwat Po dalam bahasa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Sam
Kauw Hwee kehilangan Ketuanya dengan meninggalnya Kwee Tek Hoay
tahun 1952. Sam Kauw Hwee lalu diorganisir kembali dengan masuknya
beberapa organisasi kedalamnya, antara lain Tian Lie Hwee dibawah
pimpinan Ong Tiang Biauw yang kemudian menjadi Bhikkhu Jinaputta.
Sam Kauw Hwee kemudian menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI)
dengan Ketuanya yang pertama adalah The Boan An, yang sekarang
dikenal sebagai Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera. Dalarn
tahun 1962 dibawah pimpinan Drs. Khoe Soe Khiam, GSKI dirubah
namanya menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia dengan majalahnya
bemama Tri Budaya.

Perkembangan Agama Buddha Sejak Kemerdekaan R.I.

Perhimpunan Theosofi y.ang bertujuan untuk membina persaudaraan
universal melalui penghayatan pengetahuan tentang semua agama
termasuk agama Buddha, telah menarik perhatian dan minat orang-orang
Indonesia terpelajar. Dari mempelajari agama Buddha kemudian
timbullah dorongan untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama
Buddha. Dari sinilah bermulanya orang-orang Indonesia terpelajar
mengenal agama Buddha sampai akhirnya menjadi penganut Buddha
Dharma. Orang-orang Indonesia terpelajar yang kemudian menjadi umat
Buddha melalui Theosofi antara lain M.S. Mangunkawatja, Ida Bagus
Jelanti, The Boan An, Drs. Khoe Soe Khiam, Sadono, R.A. Parwati,
Ananda Suyono, I Ketut Tangkas, Slamet Pudjono, Satyadharma, lbu
Jamhir, Ny. Tjoa Hm Hoey, Oka Diputhera dan lain-lainnya. Meskipun
theosofi tidak bertujuan untuk membangkitkan kembali agama Buddha
narnun dari theosofi ini lahir penganut agama Buddha yang kemudian
setelah Indonesia merdeka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama
Buddha di Indonesia. Karena itu baik Perhimpunan Theosofi Indonesia
maupun Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia secara tidak langsung
mempunyai andil yang besar dalam kebangkitan kembali agama Buddha di
Indonesia.

The Boan An yang menjadi pimpinan GSKI dan Perhimpunan
Pemuda Theosofi Indonesia, kemudian ditahbiskan menjadi Bhikkhu di
Burma dengan nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sejak 2500 tahun
Buddha Jayanti, tepatnya tahun 1956 saat kebangkitan kembali agama
Buddha di bumi Indonesia, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita-lah yang
memimpin kebangkitan kembali agama Buddha ke seluruh lndonesia.
Karena itu Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai Pelopor
Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia. Dari bhikkhu
Ashin Jinarakkhita lahir tokoh-tokoh umat Buddha di Indonesia
seperti Sariputra Sadono, K. Karbono, Soemantri MS, Suraji
Ariakertawijaya, Oka Diputhera, I Ketut Tangkas, Ida Bagus Gin dan
pimpinan Buddha lainnya yang sampai sekarang masih aktif dalam
organisasi Buddhis dan ada pula di antaranya telah menjadi Bhikkhu
scperti Ida Bagus Gin vane sekarang dikenal dengan nama Bhikkhu
Girirakkhito.

Jadi dari Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Perhimpunan
Theosofi Indonesia serta Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia lahir
penganut-penganut agama Buddha yang kemudian bersama-sama dengan
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mempelopori kebangkitan kembali agama
Buddha dalam tahun kebangkitannya yakni tahun 1956. Nama-nama yang
mendampingi Bhikkhu Ashin Jmarakkhita dalam mempelopori kebangkitan
kembali agama Buddha dalam era 2500 tahun Buddha Jayanti tahun 1956
antara lain M.S. Mangunkawatja, Sariputra Sadono, Sasanasobhana,
Sosro Utomo, I Ketut Tangkas, Ananda Suyono, R.A. Parwati,
Satyadharma, lbu Jayadevi Djamhir, Pannasiri Go Eng Djan, Ida Bagus
Giri, Drs. Khoe Soe Khiam, Ny. Tjoa Hin Hoey, Harsa Swabodhi,
Krishnaputra, Oka Diputhera dan sebagainya.

Organisasi Buddhis yang mempersiapkan kebangkitan kembali
agama Buddha di Indonesia adalah International Buddhis Mission
Bagian Jawa dibawah pimpinan Yosias van Dienst, yang banyak mendapat
bantuan dari Perhimpunan Theosofi dan Gabungan Sam Kauw.

Organisasi Buddhis yang mempelopori kebangkitan
danperkembangan agama Buddha di Indonesia sejak tahun 1950-an ialah
Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) yang diketuai oleh
Sariputra Sadono, kemudian oleh Karbono, Soemantri MS, Oka Diputhera
(Sek. Jen) sampai kemudian berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama
Buddha Indonesia (MUABI) yang kemudian menjadi Majelis Upasaka
Pandita Agama Buddhayana Indonesia. Yang membentuk PUUI adalah
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dalam tahun 1954, sebagai pembantunya
dalam menyebarkan agama Buddha di Indonesia.

Kemudian Bhikkhu Ashin Jinarakkhita merestui berdirinya
Perhimpunan Buddhis Indonesia tahun 1958 dengan Ketua Urnunanya
Sariputra Sodono dan Sek. Jen. Sasana Sobhana. Kemudian Ketua Umum
PERBUDHI adalah Soemantri MS dengan Sek. Jen. Oka Diputhera.
Perbudhi kemudian dilebur menjadi Budhi bersama-sama dengan
organisasi Buddhis lainnya.

Dalam tahun 1958 berdiri Sangha Suci Indonesia yang kemudian
ganti nama menjadi Maha Sangha Indonesia. Maha Sangha Indonesia
kemudian pecah melahirkan Sangha Indonesia. Dengan demikian di
Indonesia terdapat dua Sangha yakiri Maha Sangha Indonesia dan
Sangha Indonesia.
Maha Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan
Sangha Indonesia dipimpin oleh Bhikkhu Girirakkhito.

Tahun 1974 atas prakarsa Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Buddha, Gde Pudja MA, telah diadakan perternuan
antara Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Hasil dan
perternuan tersebut melahirkan Sangha Agung Indonesia yakni gabungan
dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia. Sebagai Maha Nyaka
Sangha Agung Indonesia terpilih Sthavira. Ashin Jinarakkhita.

Kemudian setelah Kongres Umat Buddha Indonesia di
Yogyakarta, di Indonesia terdapat tiga kelompok Sangha, yakni Sangha
Agung Indonesia, Sangha Theravada Indonesia dan Sangha Mahayana
Indonesia yang sernuanya tergabung dalam Perwakilan Umat Buddha
Indonesia (WALUBI).

Sangha Mahayana Indonesia dibentuk tahun 1978. Dewasa ini
pengurusnya terdiri atas Bhiksu Dharmasagaro (Ketua Urnum), Bhiksu
Dharmabatama (Ketua 1), Bhiksu Sakyasakti (Ketua II), Bhiksu
Dutavira (Sekretaris Urnum), Bhiksu Dhyanavira (Sekretaris 1) dan
Bhiksu Andhanavira (Sekretaris II). Sangha Mahayana Indonesia inilah
yang, mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana
Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha
Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta
menterjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa
Indonesia.

Mengingat upacara-upacara ritual agama Buddha dewasa ini
urnumnya masih menggunakan aksara Mandarin, maka sejak 1982 Bhiksu
Dutavira dengan tidak mengenal lelah dan dengan kemampuan terbatas
yang dimikinya berusaha mengembalikan bentuk-bentuk upacara dalam
aksara Sansekerta serta bahasa Indonesia. Hal ini telah diterapkan
di II propinsi di Indonesia dengan memperoleh sambutan antusias
sekali, khususnya dari para umat Buddha Mahayana. Apa yang dilakukan
oleh Bhiksu Dutavira selama 4 tahun itu boleh dikatakan semacam
merintis proyek pilot Pusdiklat Mahayana.

Kini dirasa semakin mendesak untuk meningkatkan proyek pilot
tadi dalam bentuk pusdikiat modern yang serba lengkap dan yang
didukung pula oleh para akhli agama Buddha baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Rencana ini telah memperoleh izin prinsip dari
Departemen Agama R.I. cq. Ditjen Bimas Hindhu—Buddha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!