PPC Iklan Blogger Indonesia

Jumat, 22 Juli 2011

HUKUM MENSUCIKAN DAN MENSALATKAN PERCAMPURAN TUBUH JENAZAH MUSLIM DAN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM ASY-SYAFI‘I

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya ini begitu indah, mempesona dan sempurna. Namun sifat dari keindahan dan kesempurnaan itu hanyalah sementara (temporal), tidak kekal dan abadi. Tak pelak lagi, seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, termasuk manusia, akan mengalami peristiwa paripurna kehidupan yang ditandai dengan datangnya ajal. Sehingga pada saat apapun dan dalam kondisi bagaimana pun manusia tidak bisa menghindar dari peristiwa sakral tersebut, sebab ia tidak mampu menentukan kapan ajal itu datang. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt:
قل لوكنتم فى بيوتكم لبرزالذين كتب عليهم القتل الى مضاجعهم وليبتلىالله مافى صدوركم وليمحص مافى قلوبكم(
Sungguh, kematian memang menakutkan. Tetapi, justru penyebab dari kematian itulah yang menjadi persoalan. Terdapat berbagai macam penyebab kasus kematian yang menimpa diri manusia, baik kematian secara normal maupun tidak normal. Di antara penyebab kasus kematian yang tidak normal adalah kecelakaan, kebakaran, peledakan bom dan lain sebagainya dan lebih tragis lagi bila tubuh korban hancur berkeping-keping sehingga tidak mungkin untuk dikenali lagi. Misalnya, kasus Bom Bali yang belum hilang dari ingatan kita yang terjadi begitu dahsyat sehingga ratusan potongan tubuh manusia menjadi hancur lebur dan berbaur berserakan bagai sampah. Akibatnya, identitas jenis kelamin, kewarga-negaraan dan agama masing-masing korban hampir tidak dapat teridentifikasi.
Berangkat dari kasus di atas, di mana mayat-mayat tersebut meninggal dalam keadaan yang tidak wajar dan kondisi tubuh yang tidak normal, dalam artian tubuh korban sudah terpotong-potong, bercampur-lebur dan berserakan bagai sampah sehingga tidak mungkin untuk diidentifikasi lagi, sehingga memunculkan problematika pelik dalam proses pelaksanaan perawatan jena>z\ah tersebut, baik yang berkaitan dengan tata cara pemandian, pengafanan, ataupun pensalatan masing-masing korban, sehingga Isla>m tertantang untuk menghadirkan kontribusi pemikiran guna memberikan solusi terhadap problematika tersebut.
Dalam Isla>m sendiri terdapat silang pendapat antar tokoh maz\hab. Baik Ima>m Abu> H{ani>fah, Ima>m asy-Sya>fi‘i, Ima>m Ma>lik Maupun Ah}mad bin Hanba>l. Namun, di sini penyusun lebih membatasi pembahasan pada pendapat Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i tentang proses pelaksanaan pengurusan jena>z\ah yang “tidak normal”. Lebih spesifik lagi, penyusun ingin membedah kasus pencampuradukan potongan-potongan tubuh mayat yang diduga bahwa di situ terdapat mayat Musli>m dan non-Musli>m dari perspektif kedua tokoh di atas. Dalam hal ini, Ima>m Abu> H{{ani>fah mengatakan bahwa tidak wajib dimandikan dan disalatkan bagi jena>z\ah yang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong atau hilang, kecuali kalau memang kebanyakan anggota tubuhnya atau minimal separuhnya beserta kepalanya diketemukan.2( Hukum ini berlaku pula bagi jena>z\ah yang terpotong-potong dan telah bercampur baur dengan non-Muslim, namun dalam hal memadikannya beliau tetap membolehkan, meskipun tidak seperti memandikan jena>z\ah Muslim.3)
Berbeda dengan Ima>m Abu> Hani>fah, Ima>m asy-Sya>fi‘i mengatakan bahwa jikalau ditemukan mayat manusia terpotong-potong karena peristiwa kebakaran, dimakan binatang atau karena sebab lain, maka wajib hukumnya memandikan mayat tersebut sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh.4) Namun jikalau tidak memungkinkan untuk dimandikan karena adanya kekhawatiran akan lebih memperparah kondisi si mayat misalnya, maka potongan tadi tidak usah dimandikan, akan tetapi cukup ditayammumi. Yang demikian ini bisa dilakukan bila dalam realitasnya potongan tersebut tidak bercampur dengan najis. Lain halnya jika pada tubuh korban masih ditemukan najis dan kondisi mayatnya tidak boleh terkena air, maka ia tidak perlu ditayammumi.5( Kendati demikian, bila ditilik lebih jauh, pendapat Ima>m asy-Sya>fi‘i tersebut mempunyai kesamaan dengan peristiwa bersejarah dari perang Jama>>>>>>l, tepatnya persoalan yang dialami oleh sahabat Abdurrahman, di mana tubuhnya terpotong-potong. Tangannya yang telah terpisah dari jasad dimakan oleh burung Nasar dan dibawa terbang ke Makkah, hingga akhirnya ditemukan oleh sahabat lain yang kemudian pengurusannya diproses sebagaimana layaknya pengurusan mayat biasa, yaitu dikafani, disalati dan dikebumikan.6( Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang bercampur antara Muslim dengan non-Muslim dan tidak bisa dikenali lagi antara keduanya, maka tetaplah wajib dimandikan dan disalatkan. Pendapat ini senada dengan pemikiran Ima>m Ma>lik, Ah}mad bin Hanba>l, Da>wud az}-Z{a>hiri dan Ibn Munzir 7).
Bertolak dari sudut pandang kedua tokoh maz\hab di atas, maka persoalan yang menurut penyusun sangat penting untuk dibahas adalah mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Ima>m Abu> Hani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim yang sudah tidak teridentifikasi lagi? Tanpa melihat apa yang melatar belakangi perbedaan antara keduanya, tentunya tidak akan didapatkan solusi yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dari paparan di atas, penyusun mencoba menelusuri dan membandingkan pandangan dan alasan kedua tokoh tersebut tentang hukum perawatan jena>z\ah yang kondisi tubuhnya tidak wajar ataupun tidak normal dan diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim yang sudah bercampur baur. Kajian ini menjadi menarik sebab mereka sama-sama berasal dari aliran Sunni.8) Di samping itu, mereka juga mempunyai sudut sistem ijtiha>>>>>>>>>>>>>>>>>d yang berbeda dalam melihat permasalahan hukum.9)
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi perbedaan pandangan dalam hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim antara Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i?
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pandangan antara Ima>m Abu> H{ani>>fah dan Ima>m asy-Sya>fi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Menjelaskan mengapa terjadi perbedaan pandangan antara Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim.
b. Menjelaskan persamaan dan perbedaan pendapat antara Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim.
2. Kegunaan Penelitian:
Sebagai sumbangan pemikiran dalam khazanah hukum Islam, khususnya mengenai tata cara perawatan jena>z\ah yang kondisinya tidak wajar ataupun tidak normal (hukum mensucikan/ memandikan dan mensalatkan) dan telah bercampur antara Muslim dengan non-Muslim.
D. Telaah Pustaka
Kajian tentang Hukum Isla>m yang berkaitan dengan perawatan jena>z\ah telah banyak dilakukan dan ditulis orang, namun yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Musli>m dan non-Muslim, sebagai persoalan hukum kontemporer belum ada yang membahasnya secara khusus, apalagi dengan mengkomparasikan pandangan Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i masih jarang penyusun temukan, kalaupun ada maka hanya sebatas ringkasan sederhana di dalam kitab-kitab Fiqh ataupun dalam bentuk makalah/artikel dengan menggunakan kacamata maz\hab mereka sendiri. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Muzani dalam Mukhtas}ar al-Muzanni ‘ala> al-Umm, yang di dalamnya hanya berupa ringkasan-ringkasan pendapat Imam asy-Sya>fi‘i baik yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah musli>m dan non-Musli>m ataupun lainnya.10) Begitu juga dengan Syaikh Niza>m, dalam bukunya yang berjudul al-Fata>wa> al-Hindiyyah fi Maz\\hab al-Ima>m al-a‘z\a>m Abi> Hani>fah, beliau hanya menjelaskan persoalan di atas yang menyangkut hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenaz\ah Muslim dan non-Muslim, hanya sebatas pandangan Imam Abu> H{ani>fah saja dan tidak dijeslaskan bagaimana menurut pandangan Imam asy-Sya>fi‘i. 11) Hal yang sama juga dilakukan oleh Zayn ad-Di>n Ibn Nujaym al-H{anafi> dalam Bah}r ar-Ra>iq, di sini juga hanya sedikit sekali pembahasannya, itupun hanya memaparkan pandangan-pandangan menurut kacamata maz\hab mereka sendiri. Sedangkan dalam skripsi ini, penyusun mencoba menjelaskan persoalan di atas, bukan hanya sebatas memaparkan pandangan Imam asy-Sya>fi‘i ataupun Imam Abu> H{ani>fah saja, melainkan dengan mengkomparasikan pandangan kedua-Nya.
Sedangkan kajian yang bersifat komparatif seringkali terjebak pada keterbatasan media sehingga hanya disinggung secara garis besarnya saja. Seperti yang dilakukan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu‘ fi> Syarh al-Muhaz\z\ab, di dalam bukunya, beliau hanya menjelaskan persoalan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim secara garis besarnya saja, tetapi tidak dijelaskan mengapa beliau menggunakan alasan yang berbeda dengan Imam Abu> H{ani>fah di dalam melihat permasalahan hukum tersebut. 12) Begitu juga yang dilakukan oleh Syams ad-Din as-Sarakhsi> dalam al-Mabsu>t}, beliau hanya menyinggung persoalan di atas dengan tidak memaparkan secara detail alasan-alasan mengapa beliau menggunakan kaidah yang berbeda dalam istidlal hukum dengan Imam Asy-Sya>fi‘i. Hal yang sama juga dilakukan oleh Muh}ammad Jawa>d Mugniyah dalam Fiqh Lima Maz\hab dan lain-lain. Namun Dalam skripsi ini, penyusun mencoba mengkaji secara komparatif dan komprehensif mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Musli>m dan non-Musli>m baik yang berkaitan dengan istidlal hukum yang dipakai maupun alasan-alasan mengapa beliau menggunakan istidlal hukum tersebut.
Kajian secara khusus dan komprehensif mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Musli>m dan non-Musli>m dengan mengkomparasikan pandangan Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i dilakukan oleh TIM Redaksi Tanwirul Afkar dan Ma‘had Aly PP. Salafiyah Sya>fi‘iyah Sukorejo Situbondo dalam Fiqh Rakyat, Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, walaupun di dalam bukunya telah dibahas secara khusus dan komprehensif tetapi beliau tidak menjelaskan mengapa Ima>m Abu> Hani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i mempunyai isitidla>l yang berbeda dalam istinba>t} hukumnya. 13) Oleh karena itu, dalam penelitian ini penyusun mencoba memaparkan dan menganalisis pandangan, dalil serta metode istinba>t} yang digunakan oleh kedua tokoh tersebut. \
E. Kerangka Teoretik
Syari>‘at Isla>m diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar permasalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran berubahnya masa dan berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari‘at Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtiha>d para ulama.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syari>‘at Isla>m dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima di setiap tempat dan setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur‘a>n sehingga mereka tidak melenceng.
Penetapan hukum dalam bentuk yang global dan simpel ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakukan ijtiha>d sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global ini diharapkan hukum Isla>m dapat berlaku sepanjang masa.
Hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Syar‘i sesungguhnya terbagi dalam dua kategori pertama: hukum-hukum dalam kategori qat}‘i>. Artinya, hukum-hukum yang masuk dalam kategori ini telah ditetapkan secara pasti oleh nas}s}, ia tidak membuka peluang untuk dilakukannya tafsi>r maupun ta’wi>l. Dalam disiplin Usu>l Fiqh biasa disebut Syari>‘ah. Kedua: hukum-hukum dalam kategori z{anni> yaitu hukum yang lahir dari derivasi para mujtahid terhadap ayat-ayat hukum tertentu yang masih mengandung kemungkinan untuk ditafsirkan ataupun dita‘wilkan. Kategori ini biasa disebut Fiqh.
Kenyataannya, hampir kebanyakan hukum Islam lahir sebagai hasil dari ijtiha>d ini membuktikan bahwa ayat-ayat yang z}anni> lebih banyak dari ayat-ayat yang qat}‘i>. Artinya, mayoritas ayat-ayat al-Qur‘an pada dasarnya membutuhkan interpretasi¬ tentunya tanpa melupakan aspek historis yang menjadi salah satu faktor penentu bagi suatu hukum yang lahir dari interpretasi tersebut.
Kaitannya dengan tema yang penyusun kaji adalah adanya kontradiksi antara nas}s} al-Qur‘a>n dan al-Hadi>s} yang mewajibkan untuk mensalati kaum Muslim dan mengharamkan untuk mensalati kaum Kuffa>r. Namun dalam persoalan percampuran antara keduanya masih diperlukan interpretasi lebih lanjut.
Dalam menentukan langkah awal penelitian ini penyusun mencoba mengkaji kaidah us}u>liyyah yang erat kaitannya dengan metode stratifikasi istinba>t} yang dipakai oleh kedua tokoh di atas. Selain kaidah us}u>liyyah, penyusun juga mencoba mengkaji ayat-ayat atau dalil-dalil al-Qur’an, h}adis\-h}adis\ serta pendapat-pendapat dari kalangan ulama yang mendukung kedua tokoh tersebut. Kemudian penyusun mencoba untuk melacak sejauh mana persamaan ataupun perbedaan berikut alasan dari kedua tokoh tersebut yang kemudian setelah itu akan ditarik suatu titik temu atau benang merah yang menghubungkan antara keduanya, sehingga diharapkan dapat menjembatani perbedaan yang muncul dari kedua-duanya. Dan pada akhirnya dapat diketahui secara jelas bagaimana mensikapi persoalan yang berkaitan dengan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim tersebut
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah telaah pustaka (library research), yaitu dengan mencari dan menganalisis referensi-referensi primer dan sekunder, di mana obyeknya berupa pendapat dan pemikiran Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i yang tertulis di dalam beberapa kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan kajian ini.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yakni mendeskripsikan atau memaparkan data-data yang berkaitan erat dengan masalah hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim dalam pandangan Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i>. Kemudian menganalisisnya untuk memperoleh sebuah sintesa obyektif yang relevan dengan konteks kekinian. Oleh karena itu, kajian ini sama sekali tidak melakukan pencarian penjelasan atas produk pemikiran Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i>. Dengan kata lain, kajian ini tidak melakukan penghakiman dengan menyalahkan atau membenarkan salah satu pemikiran atas produk pemikiran yang lain. Penilaian tentang salah benarnya dikembalikan pada ahlinya, karena hal ini adalah sebuah hasil ijtiha>d yang dilakukan oleh Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i>.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam pemecahan masalah pada penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan Us}u>l Fiqh. Dalam hal ini, Pendekatan Normatif dan Us}u>l Fiqh dimaksudkan sebagai usaha untuk mendekati masalah yang diteliti berdasarkan aturan, norma, dan kaidah yang sesuai dengan obyek kajian.
4. Pengumpulan Data
Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber datanya adalah pendapat atau pemikiran dari kedua tokoh mujtahid maz\hab (Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m Asy-Sya>fi‘i>) yang ada di beberapa buku dan sudah penyusun temukan. Selanjutnya, data berupa pendapat-pendapat tersebut dinamakan sumber primer, di antaranya: Mukhtas}ar al-Muzanni ‘ala> al-Umm karya Ima>m al-Muzani, al-Majmu’ fi> Syarh al-Muhaz\z\ab karya Ima>m An-Nawa>wi, al-Mabsu>t}{ karya Syams ad-Di>n as-Sarakhsi>>. Sedangkan sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah kajian-kajian yang membahas masalah yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Di antaranya: Fiqh Rakyat, Fiqh Lima Maz\hab, Fiqh Sunnah dan lain sebagainya.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data, penyusun menggunakan metode komparatif yaitu metode yang dipakai untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan pendapat-pendapat tersebut untuk mengetahui persamaan ataupun perbedaan serta mencari kemungkinan titik temu antara pemikiran Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini penyusun membuat topik-topik yang akan dibahas secara sistematik, sebagai berikut:
Dalam BAB pertama skripsi ini penyusun memulainya dengan pendahuluan, bagian ini penting sebagai pijakan berfikir penyusun untuk menganalisis pendapat Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah; pokok masalah; tujuan dan kegunaan; telaah pustaka; kerangka teoretik; metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB kedua membicarakan secara umum tentang jena>z\ah. Dalam bab ini diuraikan tentang pengertian jena>z\ah, hukum perawatan jena>z\ah, kategori jena>z\ah yang boleh dan tidak boleh dimandikan dan disalatkan serta tata-cara memandikan dan menyalatkan jena>z\ah. Pembahasan ini penting sebagai tolok-ukur dalam melihat permasalahan yang akan dikaji
Selanjutnya, di dalam bab ketiga dideskripsikan mengenai pandangan Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i tentang hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim. Bagian ini meliputi dua sub-bab: Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i, yang masing-masing meliputi biografi tokoh dan pandangan tokoh tersebut mengenai hukum mensucikan/memandikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim. Hal ini bertujuan agar dapat diketahui dengan jelas mengenai pendapat kedua tokoh maz\hab tersebut
BAB keempat adalah bagian analisis, di mana penyusun menganalisis pendapat yang telah diuraikan dalam bab terdahulu yang meliputi analisis mengenai istinba>t} hukum yang diterapkan oleh Ima>m Abu> H{ani>fah dan Ima>m asy-Sya>fi‘i serta berbagai letak persamaan dan perbedaan dari kedua tokoh tersebut mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>z\ah Muslim dan non-Muslim.
BAB kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Bab ini merupakan bagian terakhir yang ditutup dengan saran-saran (sumbangsih) agar dapat dijadikan sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya bagi studi-studi yang berkaitan dengan jena>z\ah di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!