PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 15 Agustus 2011

AKUNTABILITAS REFORMASI SEKTOR KEAMANAN PASKA 1998

Oleh: Mufti Makaarim A.[1]


10 Tahun sudah transisi politik dan pemerintahan Orde Reformasi. Banyak capaian monumental, namun tidak sedikit kritik dan kekecewaan yang menyertainya. Hal serupa terjadi pula pada Reformasi Sektor Keamanan (RSK) dalam 10 tahun terakhir. Publik dengan terpaksa masih harus berpuas diri dengan capaian-capain dan kemenangan-kemenangan kecil ketimbang menerima satu fakta bahwa RSK berjalan komprehensif di tingkatan legislasi, struktur dan kultur serta berpengaruh pada petumbuhan kekuatan pertahanan dan keamanan yang profesional dan tangguh. Rezim kebijakan keamanan dan aktor keamanan pada tingkat tertentu masih menjadi ruang gelap yang tak diketahui publik, ruang tertutup yang sulit diakses publik, dan ‘menakutkan’ bagi rakyat untuk urun rembug dan mengontrol ruang gerak mereka.
Catatan berikut ini secara khusus ditulis terkait dengan kegelisahan akan ketidaktepatan atau bahkan kemandegan RSK paska 1998. Sejumlah data, opini dan analisa yang disampaikan merupakan identifikasi dan refleksi atas capaian, permasalahan dan kecenderungan politisasi dan stagnansi RSK. Secara umum akan digambarkan dinamika institusi keamanan (TNI, Polri dan BIN), otoritas politik sipil (Presiden, Departemen Pertahanan, DPR) serta kapabilitas dalam menghadapi tantangan keamanan kontemporer. Terkait keterbukaan dan akuntabilitas RSK, tulisan ini membahas prasyarat penting bagi terwujudnya reformasi sektor keamanan yang akuntabel berdasarkan prinsip-prinsip good security governance dan tuntutan reformasi 1998.
Ambiguitas Transisi Demokrasi Negara Orde Reformasi

Suatu ketidakpaduan kelembagaan dan organisasi tingkat tinggi –yang ditandai oleh pergantian para pejabat yang sangat sering terjadi, sedikit kesinambungan dalam pembuatan kebijakan, kudeta yang sering terjadi, atau pusat pembuat keputusan yang lemah– dapat menyebabkan terbentuknya kebijakan negara yang tidak tanggap, sekalipun muncul tekanan struktural yang jelas dari mereka yang mengendalikan sumber daya investasi.”

Jeffrey A. Winters, Power in Motion, Modal Berpindah, Modal Berkuasa, (1999: 49)
Kutipan tulisan Winters di atas dengan tepat menggambarkan kondisi aktual pemerintahan dan gerakan reformasi. Walaupun Winters bermaksud menjelaskan problem-problem yang berdimensi ekonomi, namun ilustrasi ini sebenarnya tengah menunjuk pada situasi krisis dan problem umum multi-dimensi di negara kita. Saat ini kita berada dalam satu situasi dimana hampir seluruh ‘kebijakan negara’ yang ada sangat ‘tidak tanggap’ terhadap tekanan publik, krisis sosial, moralitas korup elit politik, bahkan tidak peka terhadap keadilan dan akuntabilitas. Fenomena KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) serta impunitas tampil dengan wajah yang lebih elegan dan halus namun jauh lebih membahayakan, nyaris kontras dengan jargon pro-reformasi dan demokratisasi yang selalu dimanterakan elit politik selama ini.
Isu-isu strategis reformasi dan demokratisasi yang menjadi tuntutan gerakan reformasi 1998 perlahan-lahan menghilang dari concern penyusunan kebijakan. Kepemimpinan eksekutif berganti berkali-kali tanpa terukur maslahatnya, selain menunjukkan kemenangan mereka yang ‘otot’ kekuasaannya sedikit lebih besar, namun tidak jauh lebih baik. Beragam kebijakan bertubrukan dan saling melemahkan, baik antar legislasi di tingkat nasional maupun antara legislasi nasional dan daerah. Dua pemerintahan terakhir (Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono) dengan jelas menunjukkan ‘lemah’nya performance otoritas politik sipil tertinggi di level eksekutif dalam mengambil keputusan-keputusan strategis terkait kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Protes dan reaksi atas kelemahan dan ketidakberpihakan mereka pada kepentingan publik tak jarang disikapi dengan cara-cara lama; represi, pembungkaman melalui jerat hukum dan stigmatisasi.
Memang, di tengah sejumlah kritik dan kekecewaan, ada pengakuan akan beberapa kemajuan normatif yang tercapai sejak perubahan rezim paska Mei 1998, seperti perubahan sejumlah legislasi, terbentuknya lembaga-lembaga ekstra judisial untuk mengontrol pemerintah, serta ruang partisipasi publik terkait pembuatan kebijakan di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun ada fakta lain yang juga dikritisi publik di tengah capaian-capain tersebut, yaitu lemahnya kapasitas negara dalam memaksimalkan pelaksanaan, pengawasan dan pengevaluasian implementasi pelbagai kebijakan tersebut. Kinerja eksekutif-legislatif-yudikatif dipandang belum berubah secara ekstrim dari apa yang berlaku di masa lalu, terutama dalam hal keberpihakan pada aspirasi publik. Pada kondisi tertentu, sikap elit politik yang berpihak pada kepentingan kelompok dengan mengabaikan kepentingan publik masih terjadi.

Reformasi Sektor Keamanan Paska 1998
Sektor keamanan (security sector) pada dasarnya salah satu elemen dari pilar fundamental pemerintahan, selain sektor ekonomi dan hukum. Dalam negara demokratis yang mensyaratkan adanya pemerintahan yang terpilih lewat mekanisme politik yang terbuka dan rakyat mendapatkan hak-haknya juga dibutuhkan stabilitas dan kepastian terkait dengan jaminan keamanan, pertumbuhan ekonomi –yang mengarah pada kesejahteraan rakyat— serta kepastian dan perlindungan hukum. Karenanya tidak aneh jika paska 1998 sejumlah dukungan atas transisi politik yang bersifat multirateral dan bilateral terkait erat dengan sektor-sektor di atas. Penguatan aktor-aktor keamanan, aparat penegak hukum dan regulasi yang mendukung penyehatan ekonomi menjadi isu-isu dominan dalam berbagai kerjasama internasional berbagai negara dengan pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil Indonesia.
Selain di level negara, kalangan masyarakat sipil (Civil Society) dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)[2] juga berupaya mendorong, mempengaruhi dan mengawasi proses-proses RSK di level institusi keamanan, pemerintah serta parlemen. Mereka mengembangkan wacana RSK, melakukan formulasi dan advokasi legislasi dan kebijakan, mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam proses dan pelaksanaan kebijakan keamanan, serta mengawasi dan menyampaikan komplain atas penyalahgunaan dan penyimpangan kewenangan yang aktor keamanan, pemerintah dan parlemen. Dalam advokasi RSK, OMS menjadi kolektivitas yang kritis terhadap urgensi kebijakan politik (berupa penerimaan, penolakan, pengusulan) yang didukung jejaring lintas kelembagaan, diikat solidaritas dan identitas kolektif, di samping mengkritisi implementasi kebijakan-kebijakan RSK yang dipandang menyimpang dari nilai-nilai demokrasi, melakukan diskusi-diskusi dengan pemegang kebijakan atau menjadi mitra para pembuat kebijakan.
Kebutuhan atas tekanan dan tindakan pemerintah dan masyarakat terkait RSK di level aktor keamanan terkait dengan kecemasan akan kontinuitas praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sementara di level pemerintah dan parlemen, hambatan serius yang tersisa adalah ketidakmampuan dan ketidakmauan (inability and unwillingness) untuk menyempurnakan agenda-agenda RSK sesuai dengan tujuan-tujuan reformasi. Dalam pengamatan publik, aktor keamanan masih mungkin untuk secara diam-diam memainkan peran ganda, sebagai alat pertahanan dan keamanan serta sebagai ‘kelompok politik’ yang patut diperhitungkan dalam barter kekuasaan demi sustainability kekuasaan segolongan elit politik dan kroninya.
Banyak kalangan yang sejak awal menegaskan bahwa kerangka kerja RSK seharusnya menekankan pada pengembalian nilai-nilai demokrasi yang hilang di bawah rezim otoritarian di masa lalu sekaligus penyelarasan nilai-nilai aktual pemerintahan dengan prinsip-prinsip yang dianut peradaban global. Termasuk pemenuhan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan negara dengan perlindungan terhadap warga negara melalui mekanisme hukum, kompensasi dan pemenuhan hak-hak. Namun sayangnya yang cenderung menonjol terjadi justru sebaliknya. Apa yang disebut Huntington sebagai arus balik demokrasi, yang ditandai dengan memudarnya kekuatan pro-perubahan dan menguatnya kembali kelompok-kelompok konservatif lama –terutama dari dari kalangan purnawirawan militer—kian jelas. Pemilu 2009 mendatang misalnya, dalam prediksi banyak kalangan tak lebih dari pertarungan kekuatan-kekuatan lama yang incumbent atau kembali pada panggung politik praktis dengan beban sindrom post-power. Alih-alih semangat peyelarasan nilai yang dibangun pada masa transisi ini dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai universal, kemampuan untuk mencegah dan meminimalisir kembalinya beragam bentuk kekerasan dan brutalisme negara tidak ada. Jutaan korban kekerasan negara yang masih terjadi dan pelanggaran HAM masa lalu kian letih menunggu keadilan dan pemulihan hak-hak mereka.

TNI, POLRI dan BIN
Sampai dengan saat ini komitmen Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam hal cara pandang, tafsir dan implementasi nilai-nilai demokrasi masih sering dipertanyakan. Keraguan dan ketidakpercayaan publik paling tidak dipengaruhi tiga faktor: 1). Tidak terlihat adanya pengaruh nyata dan langsung dari perubahan kebijakan di tingkat legislasi terhadap internal institusi-insitusi keamanan tersebut, misalnya dalam hal penghindaran dari wilayah politik praktis, penghentian keterlibatan dalam praktek bisnis serta konsintensi dan ketaatan dalam menjalankan kebijakan yang disusun otoritas politik sipil; 2). Kontinuitas dari praktek-praktek kekerasan dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana terjadi di masa lalu dan sulitnya meminta pertanggungjawaban hukum yang adil dan akuntabel; serta 3). Kesungguhan membangun mekanisme akuntabilitas dan memperbaiki perfomance melalui perubahan pola pendekatan terhadap masyarakat dan akses informasi tentang dinamika internal institusi-institusi keamanan tersebut.
TNI-Polri-BIN juga belum sepenuhnya membuktikan kepada masyarakat kesungguhan ketundukan mereka pada pemerintahan demokratis dengan supremasi otoritas politik yang bersifat sipil. Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil juga memberikan godaan kepada institusi-institusi ini untuk melakukan tindakan-tindakan mengambil keuntungan politik dan ekonomi atau mendorong mereka untuk tetap menjadi pusat legitimasi bagi siapa pun yang menjadi penguasa politik. Pemerintahan Megawati dan SBY dengan jelas menunjukkan ketergantungan ‘politik’nya kepada kekuatan-kekuatan ini, sehingga tidak mampu memberikan tekanan dan dorongan untuk memastikan arah paradigma dan kinerja institusi-institusi keamanan tersebut konsisten dengan semangat reformasi dan prinsip pemerintahan demokratis. Satu hal yang mengkhawatirkan adalah adanya kesetiaan tentatif kepada pemerintahan sipil yang sah dari aktor-aktor ini yang sangat tergantung pada perkembangan politik sebagaimana ditengarai terjadi pada saat Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid mendapat tekanan politik.
Dalam pengamatan publik, reformasi TNI dan Polri –dahulu keduanya menyatu dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)– yang didorong pemerintah dan parlemen baru menyentuh aspek-aspek normatif payung hukum institusional. Upaya-upaya penegakan hukum atas pelanggaran HAM masa lalu oleh institusi-institusi keamanan tersebut selalu gagal. Perbaikan aspek-aspek struktural seperti reorientasi postur dan strategi pertahanan dan keamanan sesuai dengan orientasi pertahanan Indonesia sebagai negara maritim dan negara demokratis berjalan sangat lamban.  Sementara reformasi BIN masih jauh dari proses karena belum satu pun instrumen hukum baru yang diakomodasi serta perubahan watak institusi badan intelijen stratgeis ini menjadi lebih bersifat sipil. Kepercayaan Publik terhadap institusi TNI, Polri dan BIN pun belum sepenuhnya pulih, seiring dengan masih munculnya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM serta belum adanya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel.
Hal lain yang menjadi indikasi kemunduran RSK adalah masih adanya analisa ancaman yang menempatkan kalangan OMS sebagai salah satu ancaman internal terhadap integritas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama dari kalangan militer. Kalangan TNI masih mempersepsikan bahwa isu-isu HAM dan penegakan hukum terhadap anggota TNI/Polri yang didorong oleh kalangan Ornop HAM merupakan isu-isu ‘pesanan’ kepentingan Barat yang ditujukan untuk memecah belah persatuan dan melemahkan kekuatan TNI. Sebagai reaksi atas perspektif negara yang demikian, beberapa kalangan Ornop HAM pada akhirnya juga bersikap resisten terhadap setiap tindakan negara yang ditengarai mengancam eksistensi kerja-kerja mereka.

Pemerintah dan Parlemen
Di level pemerintah, gejalah kemandegan RSK sudah ditunjukkan oleh elit pemerintahan sejak masa Presiden Megawati. Presiden SBY yang berkuasa saat ini sebagai salah satu petinggi militer ikut mendorong reformasi gradual TNI pada masa-masa aktif di dinas kemiliterean terkesan tidak lagi bersemangat mengambil inisiatif melanjutkan proses-proses RSK ketika telah terpilih menjadi Presiden pada Pemilu 2004. SBY sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia tidak menganggap penting reformasi struktur dan postur TNI, Polri dan BIN sejak masa kampanye. Isu-isu penempatan institusi keamaman di bawah kontrol otoritas politik sipil seperti Departemen Pertahanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, bahkan kontrol parlemen nyaris tidak menjadi concern kampanye politiknya.[3]
Sebagimana terlihat saat ini, SBY memilih untuk membangun loyalitas TNI, Polri dan BIN kepada dirinya ketimbang menciptakan struktur kontrol yang demokratis. Ia berhasil meningkatkan pengaruh dan menjadi sentral legitimasi dari kepentingan-kepentingan institusi-institusi tersebut, menciptakan fragmentasi ketundukan politik para elit aktor keamanan hanya terhadap pemerintahan sipil yang memiliki cara pandang yang sama dengan mereka, dan perlahan-lahan kembali memberi kesempatan ‘berpolitik praktis’ bagi kalangan aktor keamanan.
Sementara parlemen kian sibuk dengan urusan kepentingan politik kelompok dan partai ketimbang mendorong, mengevaluasi, mengawasi dan mengambil sikap terhadap mandegnya pelbagai agenda RSK. Hal ini menjadi salah satu faktor penghalang RSK, baik lantaran ketidakefektifan fungsi-fungsi legislasi dan pengawasannya maupun kecenderungan mereka mendorong dan mendukung legislasi dan kebijakan sektor keamanan yang bertentangan dengan semangat RSK –seperti ketika UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan dengan dukungan mutlak DPR dan Pemerintah, sementara publik menolak penerapan Perpu tersebut karena mengancam kebebasan dan keselamatan hak-hak sipil-politik masyarakat.
Wacana-wacana RSK yang dikembangkan DPR cenderung menjauh dari substansi reformasi yang sesungguhnya, yang pada akhirnya memunculkan satu paradoks dimana isu-isu dan nilai-nilai demokrasi telah diinterpretasi dan diarahkan untuk menjustifikasi pelbagai kepentingan-kepentingan yang jauh dari aspirasi rakyat. Reformasi formal dan simbolik memang terjadi di tangan mereka, namun sangat sarat problematika substansial yang dapat menjadi bumerang politik di kemudian hari terkait dengan keputusan-keputusan kompromistis terhadap kepentingan-kepentingan pro status quo, anti reformasi dan bahkan demokrasi.

Akuntabilitas RSK, Prinsip dan Implementasi
Sektor keamanan (security sector) merujuk pada seluruh organisasi atau institusi yang memiliki otoritas legal untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan warga negara, seperti TNI dan Polri maupun institusi sipil yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pengawasannya, seperti Presiden, Departemen Pertahanan dan Parlemen. termasuk institusi BIN sebagai bagian dari institusi yang memiliki kewenangan strategis di bidang intelligence services.
Sedangkan RSK adalah seluruh upaya yang telah dan sedang dilakukan oleh aktor manapun yang memiliki tujuan mentransformasi kebijakan-kebijakan dan institusi-insitusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru yang demokratis, sebagai institusi profesional, subjek dari supremasi sipil, akuntabel dan menghormati HAM.[4] Dorongan adanya institusi keamanan yang bertanggungjawab dan akuntabel yang menjadi tujuan RSK merupakan syarat penting untuk mereduksi resiko munculnya konflik, memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh warga negara dan menciptakan iklim positif bagi bagi pembangunan yang sustainable, terutama untuk negara-negara yang menghadapi transisi politik seperti Indonesia.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa RSK dan konsistensi pelaksanaannya menjadi penting. Pertama, ekses buruk dari rezim militer dan lemahnya kotrol dari otoritas politik sipil telah menjadi penyebab keterpurukan politik dan ekonomi selama 32 tahun masa pemerintahan rezim Orde Baru. Kedua, kebutuhan akan kekuatan pertahanan dan keamanan yang kuat, akuntabel dan selaras dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Dan ketiga, adanya perubahan konstalasi geo-politik internasional dan tumbuhnya nilai-nilai universal baru yang harus diadopsi oleh negara-negara demokratis agar dapat menjadi bagian dari peradaban kontemporer yang mengacu pada pilar keamanan, ekonomi dan HAM yang dikenal dengan konsep human security. Paska perang dingin, secara fundamental paradigma keamanan yang berpusat pada keamanan negara (state centered-security) bergeser menjadi berpusat pada keamanan individu (human security)
Ketiga landasan di atas membutuhkan legitimasi politik berupa legislasi dan justifikasi kosntitusi, struktur yang efektif dan mekanisme kontrol yang baik, serta perbaikan sistem pendidikan dan pengetahuan yang didukung dengan mekanisme reward dan punishment sejak berlakukanya penerapan seluruh agenda-agenda RSK. Semua argumentasi dasar RSK dan mekanisme pendukungnya menjadi bagian yang tidak terpisah dari konsep (blueprint) pertahanan dan keamanan yang disusun parlemen dan pemerintah, yang lebih lanjut dijabarkan menjadi buku putih yang menjelaskan agenda-agenda jangka pendek dan menengah oleh departemen terkait dan dirumuskan mekanisme pelaksanaannya oleh institusi-institusi keamanan di tingkat operasional.
Sejauh ini konsep yang demikian belum berjalan. Para elit politik masih menempatkan petimbangan politik tentatif dengan menempatkan sektor keamanan sebagai variabel penting ketika terjadi krisis politik, sehingga wacana-wacana seperti pembubaran komando territorial, penempatan kedudukan Panglima TNI dan Kepala Polri di bawah seorang Menteri serta pengawasan intelijen oleh satu isntitusi yang legitimated terhambat. Tidak heran jika kemudian terjadi pembangkangan terhadap otoritas sipil, seperti dalam kasus penolakan sejumlah purnawirawan TNI untuk memenuhi panggilan Komnas HAM. Kedudukan panglima TNI dan Kepala Polri yang langsung di bawah Presiden dan setara dengan Menteri di Kabinet menyebabkan mereka selalu terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Karenannya upaya mendorong RSK nampaknya membutuhkan energi lebih besar, terutama untuk mengawal dan mengawasi pelbagai kebijakan dan kinerja pemerintah dalam menjalankannya. Dan peran dari masyarakat sipil hanya akan efektif bila tersedia mekanisme pengambilan keputusan dan pelaksanaan legislasi dan kebijakan yang transparan dan akuntabel. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mewujudkan mekanisme yang trasnparan dan akuntabel tersebut?
Beberapa hal berikut dapat dijadikan sebagai patokan atau tolok ukur untuk mewujudkan satu mekanisme yang transparan dan akuntabel di sektor keamanan.
Pertama, adanya blueprint atau kajian strategis (strategic review) di bidang pertahanan dan keamanan yang dibahas secara terbuka antara pemerintah dan parlemen. Sejauh ini Departemen Pertahanan sudah menerbitkan strategic defense review dan buku putih pertahanan. Persoalannya kemudian adalah seberapa terbuka dan partispipatoris pembahasannya, mengingat substansi dari kedua dokumen tersebut masih sangat konservatif, tidak mencerminkan konsistensi dengan prinsip negara demokrasi yang berbasi pada perlindungan warga negara serta memasukkan model-model analisa lama yang tidak relevan dan bertentangan dengan semangat reformasi. Kebijakan-kebijakan ini semacam ini seharusnya memperhatikan unsur-unsur akuntabilitas seperti ketepatan, kejelasan dan kemudahan untuk diakses publik, baik pada saat penyusunan maupun penerapannya.
Kedua, politik masih menjadi kunci dari RSK. Ketegasan  presiden dan parlemen terpilih menjadi kunci bagi kelanggengan refromasi di sektor ini. Sejumlah pengamat dengan tegas menyatakan bahwa kunci dari perubahan sangat tergantung pada keputusan strategis yang dikeluarkan istana negara, bukan lagi pada tekanan politik yang selalu diabaikan pemerintah. Konstitusi dan undang-undang menegaskan status supremasi sipil sebagai sikap korektif kolektif terhadap kebijakan politik otoritarian di masa lalu. TNI menjadi pihak yang loyal pada kepentingan negara, bukan kekuatan yang independen atau netral dan tidak membuat tafsir sendiri tentang kepentingan negara. Militer misalnya, menjadi alat negara yang tunduk pada supremasi otoritas politik sipil dengan alasan sebagaimana dikatakan Winston Churcill, “Perang adalah hal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal.” Profesionalisme militer bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan negara di bawah pimpinan otoritas demokratik. Militer didesain untuk membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk menjawab pertanyaan, “Apakah lebih baik memerangi atau berdamai dengan negara tersebut?” Politisi sipil-lah yang mengambil keputusan (dan dapat mendengar masukan dari para jenderal) dan mempertanggungjawabkannya secara konstitusional. Artinya, di level ini peran ini menegaskan kekuatan orotitas politik sipil penjadi penting.
Ketiga, perubahan kebijakan di sektor keamanan yang sangat dipengaruhi kebijakan makro suatu negara. Saat ini telah terbentuk sejumlah legislasi yang sebenarnya bisa mendorong perbaikan di sektor keamanan, seperti UU Pengadilan HAM dan Pemberantasan Korupsi. Juga sejumlah mekanisme ekstra-judisial seperti Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ombudsman. Sejauh ini legislasi dan peran lembag-lembaga tersebut belum dapat memenuhi harapan dalam hal turut mempengaruhi perubahan di internal isntitusi keamanan dan dianggap sebagai bagian dari agenda RSK. Maka penting untuk mendorong efektifitas dari mekanisme dan legislasi ini. Mekanisme internal seperti peradilan militer dan pengadilan disipliner hanya dapat diberlakukan untuk pelanggaran-pelanggaran militer dan gelar operasi yang tidak berhubungan dengan tindak pidana umum, perdata umum dan pelanggaran berat HAM.
Keempat, efektifitas dan komprehensifitas fungsi-fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan oleh DPR. Fungsi legislasi yang dijalankan penting untuk memastikan kepastian hukum atas fungsi, peran dan tugas pokok institusi keamanan dan sebagai payung hukum di tingkat operasional atas tindakan yang diperbolehkan atau dilarang dan bagaimana mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Sementara fungsi anggaran menjadi salah satu mekanisme untuk memperkuat status otoritas politik sipil, meminimalisir belanja-belanja yang tidak akuntabel dan sesuai dengan perencanaan serta sebagai bentuk minimalisasi aktivitas self-financing yang berujung pada otonomi militer dari pelabagai kontrol politik. Sedangkan fungsi pengawasan terkait dengan kebutuhan untuk melakukan review terhadap kebijakan dan legislasi yang sudah ada, penetapan amandemen atau penyusunan kebijakan baru, serta perubahan secara fundamental postur dan struktur institusi keamanan sebagai imbas dari perubahan sikap politik negara.
Kelima, seberapa serius agenda kompensasi dan pemenuhan kebutuhan di internal insitusi keamanan, terutama terkait perbaikan pendidikan, kesejahteraan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista), dengan memperhatikan asas proporsionalitas dan kapabilitas negara. Memang tidak bijak memaksakan negara untuk memprioritas pemenuhan ini ditengah kebutuhan di sektor lain yang juga signifikan, karena hajat akan anggaran militer misalnya, selalu dipertentangkan dengan urgensi serupa untuk anggaran pendidikan, kesehatan dan pembangunan. Namun mengabaikan ini sama sekali juga tidak dapat dibenarkan, karena komitmen perubahan yang diberikan institusi keamanan sehingga mereka kehilangan sejumlah keistimewaan pada masa lalu patut diapresiasi dan diperhatikan. Di sisi lain pemenuhan ini juga diharapkan memberi pengaruh pada peningkatan profesionalitas dan dapat meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan di lapangan.
Keenam, penguatan internal institusi keamanan berupa landasan hukum, kode etik, mekanisme transparansi dan akuntabilitas, serta organisasi dan manajemen. Landasan hukum yang dimaksud adalah legislasi dan kebijakan yang diakui dan disahkan negara dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negaran demokrasi dan tata pemerintahan yang baik, serta dapat dituntut tanggunggugatnya. Sementara kode etik adalah seperangkat aturan yang menunjukkan profesionalisme dan integritas, berupa perintah dan larangan, standar dan mekanisme untuk aktivitas penggunaan kekerasan dalam kondisi tertentu. Transparansi dan akuntabilitas aktor keamanan meliputi pertanggunjawaban terhadap publik, parlemen, pemerintah dan hukum. Sedangkan organisasi dan manajemen meliputi relasi structural dengan otoritas politik sipil yang powerful, efektif dan efisien terkait dengan rantai komando, aturan pengawasan, komposisi, hak-hak dan tugas serta pelatihan dan pengembangan sumber daya.


Penutup
Reformasi yang seharusnya menjadi pintu masuk bagi penataan ulang fungsi, tugas dan kewenangan aktor-aktor keamanan serta penguatan dan penyesuaian legislasi, struktur, dan kultur institusi keamanan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan tuntutan publik. Berbeda dengan revolusi, tentu gradasi dan substansi transisi dan perubahan dalam reformasi cenderung mengandung sikap kompromi terhadap nilai-nilai lama yang masih melekat dan nilai-nilai baru yang tidak diakomodir secara total atau dilaksanakan secara langsung dan tegas.
Pada satu sisi kondisi ini bisa jadi menguntungkan karena transisi politik tidak dengan serta merta mengakibatkan gejolak dan goncangan stabilitas yang mempengaruhi iklim politik, social dan ekonomi. Namun di sisi lain, kondisi ini juga menjadi ancaman bagi demokratisasi mengingat eksistensi elemen-lemen masa lalu –aktor dan kebijakan—yang berpotensi menghambat bahkan menghentikan agenda-agenda reformasi. Sampai hari ini elemen-elemen itulaha yang menjadi ‘duri dalam daging’ menggango dan menodai gerakan reformasi.
Sebagaimana sektor-sektor negara lainnya, sektor keamanan juga menhadapi masalah serupa. Faktanya, sampai dengan 10 tahun reformasi, capaian menyeluruh RSK masih jauh dari harapan. Di level legislasi, publik cukup terhibur dengan terbitnya legislasi yang mengatur TNI dan Polri dan menanti legislasi terkait BIN. Dalam hal struktur, masih dibutuhkan waktu dan pekerjaan untuk memastikan perombakan system lama yang terus berlanjut. Apalagi di tingkat kultur, tantangan berat masih menghadang dan hanya dapat diubah dengan kepastian sikap politik elit dan aktor-aktor keamanan.
Residu persoalan seperti isu pelanggaran HAM, kesejahteraan, peralatan, anggaran, bisnis dan ketundukan total pada otoritas politik sipil menambah rentetan agenda RSK yang tak terselesaikan sampai dengan hari ini. Maka pertanyaan yang sulit untuk dijawab akan selalu muncul di benak publik, quo vadis reformasi sektor keamanan kita?
Daftar Pustaka
Aleksius Jemadu (Ed.), Praktek-praktek Intelijen dan Pengawasan Demokratis-Pandangan Praktisi (Jakarta: DCAF- FES, 2007)
Anas S. Saidi & Jaleswari Pramodhawardani (Ed.), Military Without Militarism, Suara dari Daerah (Jakarta: Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2001)
Andi Widjajanto, Msc., MS, (Ed.), Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, (Jakarta: Propatria Institute, 2004),
Anneke Osse, Understanding Policing: a Resource for Human Rights Activists (Amsterdam: Amnesty International Netherlands, 2006
Clem McCartney, Martina Fischer dan Oliver Wils, Security Sector Reform, Potentials and Challenges for Conflict Transformation (Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management, 2004)
Dian Kartika Sari (Ed.), Reformasi Ekonomi Pertahanan di Indonesia (Jakarta: INFID & Pacivis UI, 2006)
Dwi Ardhanariswari & Yandry K Kasim (Ed.), Sistem Keamanan Nasional Indonesia: Aktor, Regulasi dan Mekanisme Koordinasi (Jakarta: Pacivis UI, 2008)
Hans Born & Ian Leigh, Mendorong Akuntabilitas Intelijen: Dasar Hukum dan Praktik Terbaik dari Pengawasan Intelijen (Jakarta: DCAF, FES, 2007)
Jeffrey A. Winters, Power in Motion, Modal Berpindah, Modal Berkuasa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999)
Lance Castles, pengantar buku ABRI dan Kekerasan (Yogyakarta: Interfidei) Februari 1999
Mufti Makaarim A. & Sri Yunanto, Efektifitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 (Jakarta: Institute for Defense Security and Peace Studies, 2008).
Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE), Buku Panduan Mekanisme Demokratis Perpolisian (Vienna: OSCE, Lesperssi, DCAF, 2006)
T Hari Prihatono (Koord.), Keamanan Nasional: Kebutuhan Membangun Perspektif Integratif Versus Pembiaran Politik dan Kebijakan (Jakarta: Propatria & FES, 2007)
Tim Imparsial, Menuju TNI Profesional Tidak Berbisnis dan Tidak Berpolitik (Perjalanan Advokasi RUU TNI) (Jakarta: Imparsial, LSPP, Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, 2005)
Tim Penulis, Reformasi TNI: Siapa Peduli? Hubungan Sipil-Militer di Kodan IX/Udayana (Jakarta: The Ridep Institute & FES, 2002)
Willem F. van Eekelen, Dimensi Parlemen dalam Pengadaan Pertahanan, Persyaratan, Produksi, Kerjasama dan Akuisisi (Jakarta: Lesperss-DCAF, 2005)

[1] Mufti Makaarim A., Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), mantan Sekjen Federasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban TIndak Kekerasan (Kontras) Periode 2004-2007 [2] Masyarakat sipil (civil society) atau organisasi masyarakat sipil (OMS) di sini adalah setiap aktor non-pemerintah yang independen, individu maupun organisasi yang sungguh-sungguh mempromosikan gagasan-gagasan demokratik dalam RSK dalam bentuk melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan, mulia dari institusi keamanan, lembaga legislatif dan lembaga negara lainnya seperti Departemen Pertahanan. Defenisi ini mencakup kalangan akademisi, tokoh masyarakat, komunitas, sosial ataupun adat, juga aktivis dari kalangan non government organizations (NGO).
[3] Bahkan dalam 100 hari pertama pemerintahan SBY-JK, tidak ada agenda prioritas yang mencolok terkait dengan RSK, jauh berbeda dengan pemerintahan Gus Dur yang sejak awal sudah langsung ‘mengobok-obok sektor keamanan. Banyak kalangan kemudian menduga bahwa latar belakang SBY sebagai militer-lah yang yang menjadi penyebabnya. Terkait kepolisian, SBY tidak segera mengesahkan Komisi Kepolisian Nasional dimana usulan calon-calonnya sudah diajukan Polri. Penggantian Panglima TNI yang sudah memasuki usia pension dan diwacanakan sejak pemerintahan Megawati memakan waktu penundaan yang cukup lama.
[4] Secara konseptual, Reformasi Sektor Keamanan (RSK) atau Security Sector Reform (SSR) diartikan sebagai “..the transformation of the security system which includes all the actors, their roles, responsibilities and actions, so that it is managed and operated in a manner that is more consistent with democratic norms and sound principles of good governance, and thus contributes to a well-functioning security framework.” Lihat Herbert Wulf, Security Sector Reform in Developing and Transitional Countries, dalam Clem McCartney, Martina Fischer dan Oliver Wils, Security Sector Reform, Potentials and Challenges for Conflict Transformation (Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management, 2004) h. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!