PPC Iklan Blogger Indonesia

Senin, 01 Agustus 2011

RELASI POLITIK DAN HUKUM DI INDONESIA


Oleh: Mouvty Makaarim al-Akhlaq[2]
“Manusia pada dasarnya dilahirkan bebas.
Kendati demikian, dimana-mana kita melihat mereka terbelenggu.”
JJ Rousseau, Du Contract Social
Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.
Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”.
Hukum dalam Subordinasi Politik
Adalah runtuhnya rezim otoriter Soeharto dan keinginan untuk membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang demokratis yang memunculkan upaya-upaya peninjauan ulang, revisi dan amandemen terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum yang ada. Namun sejarah mencatat bahwa proses lahirnya hukum memang tidak lepas dari sejarah kekuasaan atau politik itu sendiri. Sejak masa Imperium Roma sampai dengan Hitler, Sejak masa Sriwijaya hingga Megawati Sokarnoputri.
Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang dikenal dengan “The Ducth Law of The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk mengintervensi hukum adat yang berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut dugunakan sebagai instrumen kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC misalnya mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua.
Ada lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk “menyempurnakan” hukum sebagai alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama, melakukan kooptasi terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah Agung (MA) sehingga menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua, memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat, membentuk instrumen-instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura-pura, tidak beres dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.[3]
Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Law enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.
Hukum yang Lumpuh dan Dilumpuhkan?
Dalam pandangan Lord Acton, upaya perbaikan hukum secara menyeluruh menyangkut perubahan pada the content of the law, the structure of the law, dan the culture of the law. Persoalannya, di Indonesia perubahan yang dilakukan semata-mata baru pada the content of the law, seperti dengan membuat sebanyak mungkin undang-undang dan peraturan untuk mengatasi persoalan di masyarakat, itu pun seringkali tidak didasarkan pada pembacaan yang sungguh-sungguh atas kebutuhan masyarakat akan undang-undang dan peraturan serta tidak dirumuskan secara partisipatoris (kasus upaya pemaksaan pengesahan undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya misalnya). The structure of the law-nya masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang. Apalagi the culture of the law-nya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum.
Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law erforcement dan hambatan-hambatan politis lainnya. Desakan untuk melakukan pembersihan secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman Wahid, tidak lagi berlanjut seiring dengan jatuhnya Wahid. Upaya Gus Dur justru dihambat dengan berbagai cara, termasuk dengan penggulingan dirinya.
Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak. Dalam konteks transisional, semua upaya tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum demi membebaskan pihak-pihak yang bermasalah sekaligus tetap mempertahankan previledge yang hanya dapat dipetik dalam situasi ketidakpastian (pengadilan mantan presiden Soeharto misalnya. [4]
Penutup: Rule of Law, Somewhere?
Ada proses demoralisasi yang panjang dalam dunia hukum kita. Juga ada masalah sistem yang mendukung munculnya demoralisasi tersebut. Sistem peradilan kolonial yang kita gunakan secara tambal sulam tidak direvisi total pada tataran prinsipil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peradilan yang berkeadilan namun lebih merupakan alat kontrol yang represif. Sehingga barang siapa yang ingin selamat dari jerat hukum, dia akan melakukan upaya-upaya kolusi yang mendorong suburnya demoralisasi.
Dasar dari seluruh permasalahan ini adalah tidak adanya visi, konsep dan strategi dalam masalah penegakan hukum dan keadilan. Tidak ada pendekatan baru dalam membangun image hukum kita kecuali sekadar meneruskan apa yang ditinggalkan rezim masa lalu. Masalah-masalah hukum hanya menjadi isu politik diluar jangkauan kekuasaan hukum.
Dalam pandangan filsuf Yunani Aristoteles, A state exists for the sake of a good life, and not for the sake of life only.[5] Bahwa negara berdiri untuk sebuah kesejahteraan kehidupan, bukan sekadar kehidupan itu sendiri. Untuk sebuah kehidupan yang demokratis, maka rule of law hanya akan terwujud jika rakyat berpartisipasi melakukan apa yang disebut David Bethaam sebagai kegiatan popular control over collective decision-making and equality of rights in the exercise of that control. Disinilah berlaku kontrol yang efektif untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang pada sistem hukum kita.
Wa Allâh al-Muwâfiq ilâ Aqwâm al-Thâriq.
Pengantar Diskusi Politik Hukum di Indonesia, Pelatihan Kader Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cirebon, 19 Oktober 2002


[2] Anggota Presidium Koordinatoriat Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
[3] Bambang Widjajanto, Seandainya Hukum Gagal dan Mengecewakan Masyarakat, dalam Lukas Luwarso & Imran Hasibuan (ed.), Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Pro Patria), 2000, h. 87-88
[4] Mouvty Makaarim A. et. al, Negara Menolak Bertanggungjawab: Laporan Pelanggaran HAM Tahun 2000 (Jakarta: Kontras) 2000, h. 15-16
[5] Michael B. Foster, Masters of Political Thought (London: George G. Harrap & Co. Ltd), 1949, h. 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!