PPC Iklan Blogger Indonesia

Jumat, 04 November 2011

Segera Selamatkan Tuti Tursilawati dan Semua BMI Dari Hukuman Mati Cabut UUPPTKILN NO. 39/2004! Berikan Perlindungan Sejati

ALIANSI BMI-HK CABUT UUPPTKILN NO. 39/2004 
Sekretariat: IMWU, 4/F, Flat C, Jardine’s Mansion, 32 Yee Wo Street, Causeway Bay, Hong Kong SAR

Pernyataan Sikap
Segera Selamatkan Tuti Tursilawati dan Semua BMI Dari Hukuman Mati
Cabut UUPPTKILN NO. 39/2004! Berikan Perlindungan Sejati Bagi BMI Diluar Negeri dan Keluarganya! 

Kami Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong yang tergabung dalam Aliansi BMI-HK Cabut UUPPTKILN No. 39/2004 mengecam sikap pasif dan lamban pemerintah Indonesia dalam menyelematkan Tuti Tursilawati dan semua Buruh Migran Indonesia (BMI) di negara-negara penempatan lain yang juga terancam hukuman mati.
Tuti Tursilawati, Buruh Migran Indonesia asal Majalengka-Jawa Barat yang telah divonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung Arab Saudi rencananya akan dieksekusi mati setelah Idul Adha, 4-9 November 2011, karena telah membunuh majikannya dengan menggunakan balok kayu. Seperti halnya Ruyati yang telah dihukum pancung beberapa bulan lalu, Tuti adalah satu dari 303 BMI yang kini terancam hukuman mati diluar negeri dengan pembelaan hukum yang minim.
Tuti korban, bukan pembunuh. Kemiskinan dan tingginya pengangguran yang memaksa Tuti dan jutaan BMI lainnya terpaksa merantau keluar negeri demi menyambung hidup. Hingga kini, Negara tetap gagal menyejahterakan dan menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dengan upah layak sehingga tidak harus jadi TKI diluar negeri. Ironisnya, di tengah tangis kelaparan, pemerintahan SBY-Budiono malah sibuk mereshuffle kabinet menterinya dan menghamburkan dana negara. Tapi sejarah membuktikan reformasi kabinet tanpa keinginan politik kuat pemerintah tidak akan mampu menjawab persoalan rakyat dan derita BMI.
Tuti hanya diekspor tapi tidak dilindungi. Inilah esensi dari UUPPTKILN No. 39/2004. Negara hanya menarget berapa dan kemana TKI harus dikirim tiap tahunnya tapi tidak memikirkan bagaimana TKI teryakinkan perlindungannya mulai berangkat hingga kepulangan. Negara harusnya meyakinkan penyediaan kontrak kerja standar dengan hak-hak standar seperti upah, libur dan hak-hak lainnya mengingat banyak negara penerima tidak mempunyai sistem kontrak kerja resmi, menyediakan pusat-pusat pelayanan dimana semua TKI bisa mengakses dan langsung diberikan konsulat/kedutaan diluar negeri, memfasilitasi kontrak mandiri, mengatur biaya penempatan yang tidak memeras dan bentuk-bentuk perlindungan lain yang dibutuhkan TKI diluar negeri.
Namun, UUPPTKILN justru melegalisasikan penyerahan tanggungjawab penempatan dan perlindungan kepada swasta sedangkan pemerintah tidak peran apapun dalam urusan tersebut. Padahal kenyataan di lapangan membuktikan banyaknya pelanggaran serius terhadap BMI justru lahir dari para calo ini. Hukum pancung adalah salah satu konsekwensi yang ditanggung TKI karena absennya perlindungan pemerintah Indonesia kepada buruh migran.
Tuti tidak harus dan tidak mungkin membunuh majikan jika ketika dia mengalami kesulitan atau haknya dilanggar, dia paham kemana bisa meminta pertolongan dan diberi solusi harus bagaimana baiknya. Namun karena kesemua bantuan tersebut tidak ada, maka Tuti menjadi nekad dan buta. Di negara tujuan seperti Arab dimana buruh migran diperlakukan layaknya budak maka pemerintah Indonesia justru harus melakukan banyak upaya mencegah hal-hal terburuk terjadi dengan terus mengasistensi TKI selama dia bekerja. Dengan ini, hal-hal terburuk seperti membunuh atau dibunuh bisa dicegah.
Menyikapi pemancungan Ruyati, pemerintah Indonesia menjalankan Moratorium TKI ke Arab Saudi tapi toh kini terbukti tidak menjawab persoalan para TKI disana. Kini hidup mati Tuti dan TKI-TKI lainnya sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Tanpa ada niat politik yan yang kuat maka selamanya korban akan terus berjatuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!