PPC Iklan Blogger Indonesia

Jumat, 31 Desember 2010

Menjadi Minoritas di tengah Mayoritas

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 1 Maret 2004, kami diundang untuk mengikuti Local Women Conference, ini menjadi satu hal yang terhitung baru bagi kami, setelah beberapa lama tidak bersentuhan dengan dunia wanita diluar (dt) yang terbilang sarat dengan hiruk pikuk duniawi, namun mengalami percepatan yang luar biasa. Yang terbayang saat itu, sebuah konferensi besar, yang membicarakan tentang kesetaraan, gender, dan pengakuan hak dengan para orator yang cerdas dan pintar dalam berretorika dan berdiplomasi, memperjuangkan suara perempuan di tingkat parlemen, sebagai wakil penyambung lidah aspirasi perempuan, dalam penentuan kebijakan� yang disana terdapat orang pintar-pintar, merencanakan sebuah agenda agar wanita bisa eksis di sector public, termasuk didalamnya bisa berperan di tatanan legislatif�dan subhanallah�banyak hal yang dapat kami ambil pelajaran.o:p>

Wanita, Makhluk yang unik�itulah kesan penulis, saat mengikuti konferensi tersebut, mengapa..? di berbagai forum katakanlah di acara seminar, lokakarya atau konferensi atau acara lainnya yang nota bene heterogen, wanita selalu menjadi makhluk minoritas yang jarang bersuara, dan andaikan bersuarapun tidak banyak jumlahnya, hanya segelintir orang saja, namun tatkala acara tersebut khusus diadakan untuk perempuan atau muslimah (Homogen), subhanalloh� ide-ide kreatif itu muncul ke permukaan dengan maksimal, nyaris semua wanita bersuara, bahkan berebut, ini tidak hanya di lingkup besar, bahkan lingkup kecil sekalipun, teringat beberapa pekan lalu kami mengadakan Pelatihan Ekonomi Rumah Tangga Islam, yang memang khusus diadakan untuk muslimah dan kaum ibu, itupun sama, nyaris tidak ada satupun peserta yang tidak ikut berpendapat, padahal jika di acara yang notabene heterogen, terbilang jarang sekali berpendapat, seolah ada nerveus kolektif, sehingga semacam ada sebuah beban psikologis yang refleks muncul, tatkala menjadi kaum minoritas, yang bukan hanya tak mampu mengungkapkan ide-ide, namun nyaris menumpulkan akal kritis, bahkan mungkin terbayang idepun tidak, walau tidak semua wanita mengalami hal demikian, namun tidak bisa kita pungkiri sebagian kita, mengalami hal yang sama. Tidak ada hal yang Allah ciptakan dengan sia-sia, satu sisi perempuan dengan "keterbatasannya" itulah yang membuat perempuan kurang eksis dalam perannya dibanding pria, konon hal itu disebabkan karena wanita lebih menyukai kerja kolektif dibanding pria, walau terkesan "keroyokan" tidak gentle (karena wanita memang dicipta dengan accessories kelembutan), atau kasarnya pengecut,� namun hal itu justru sebenarnya sesuai dengan apa yang diisyaratkan dalam Al Qur'an, bahwa Allah lebih menyukai hal yang dilakukan berjamaah, lihatlah lebah, walau makhluk kecil, namun mampu menghasilkan karya besar yang luar biasa. Maha Suci Allah yang telah mengatur potensi makhluknya sesuai dengan proporsi dan kapasitasnya.

Menjadi kaum minoritas (dalam perannya di sector public, instansi, organisasi atau partai) di tengah pertumbuhan penduduk yang mayoritas (hasil sensus jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki), memang menjadi beban tersendiri yang seharusnya menjadi motivasi untuk lebih gigih dalam meng-up grade diri dan mempotensikan diri, bukan untuk merasa di maklumi (dianggap maklum) karena kita perempuan atau karena budaya timur yang seperti itu (biasanya perempuan seperti itu). Tidak dipungkiri memang, bahwa budaya partiarkhi (dimana dominasi peran dan kebijakan ada pada kaum laki-laki) di Indonesia masih sangat kuat, sehingga banyak kata "tabu" tatkala ada peran perempuan di sector yang didominasi peran laki-laki (sector penentu kebijakan, legislatif, atau organisasi lainnya). Saudariku� perempuan dicipta Allah bukan hanya sekedar untuk menjadi buruh pabrik (karena mayoritas buruh pabrik perempuan), bukan pula untuk sekedar menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang sering menjadi korban kekerasan para majikan, bukan pula dicipta sekedar untuk menjadi seorang istri yang hanya melayani sang suami ansich�tak lebih dari itu� tidak tergerakkah kita untuk membantu kaum sesama kita yang mengalami keterpurukan dan ketertindasan oleh ekonomi, oleh system, oleh budaya, oleh suami yang kurang memposisikan istrinya sebagai orang yang harus dimuliakan, dibantu, diberi pendidikan yang layak, di motivasi untuk menjadi perempuan yang tangguh dalam kelembutannya sebagai ibu peradaban, pendidik pertama manusia� bukankah hal itu juga dilakukan Rosul pada Khadijah, Aisyah dan istri-istri yang lainnya�? Waalahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!