PPC Iklan Blogger Indonesia

Rabu, 29 Desember 2010

Sehabis Membaca

SEBENARNYA yang penting bukan seberapa banyak buku yang telah kita lahap, tapi penelaahan kita atas apa yang kita baca,� begitu kata seorang teman. Di lain waktu, saya ngobrol santai dengan kawan kampus yang lain. Ia bertanya, adakah saya menganggarkan uang buat membeli buku dalam sebulan. Setelah saya jawab ia menyampaikan pemikirannya bahwa ia senantiasa ragu untuk membeli sebuah buku yang baru bila bukunya yang lama belum tuntas dibaca. Ia merasa belum yakin apakah ilmu di dalamnya sudah teramalkan, minimal tersampaikan kepada orang lain. Sayang, ia tidak memberi contoh buku apa misalnya, dan saya lupa bertanya.

Ihwal kegemaran membeli dan memiliki buku, dan tentu saja membacanya orang-orang negeri ini jadi menarik buat saya. Mungkin bagus buat bahan penelitian bila saya peneliti. Apalagi bila soal ini dikaitkan dengan nilai human development index (HDI) kita yang rendah, yaitu sebesar 0,697 dan menempati peringkat ke-110 dari 174 negara. Bila data dalam Human Development Report dari UNDP tahun 2005 ini valid, berarti secara umum standar dan kualitas hidup bangsa kita ada di bawah negara lain di kawasan Asia Pasifik, bahkan di ASEAN.

Lantas, bila hendak lanjut dikejar, inikah yang menyebabkan budaya membaca kita masih rendah---yang tercermin dari, misalnya, realitas penerbitan buku di Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika Serikat atau Inggris; pertengahan 1990-an saja masing-masing �negara maju� ini dalam sebulannya mampu menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan negara kita hanya sanggup menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul setiap tahun. Atau sebaliknya, kualitas hidup yang rendahlah, yang merembet pada kemampuan ekonomi, yang jadi biang minimnya budaya membaca. Soal yang rada berpusing ini punya dua kemungkinan: retoris belaka atau benar-benar---meminjam judul sebuah lagu pop---menanti sebuah jawaban.


Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Pesta Buku Bandung. Ada pengalaman membekas bagi saya di gedung Landmark di Jalan Braga itu. Benar-benar �ajaib�, sebuah kalimat tanya yang sama tanpa sengaja saya dengar dari dua orang berbeda, di dua stand buku yang berbeda pula. Dua orang remaja puteri bertanya pada temannya masing-masing saat menimang sebuah buku. Agaknya untuk dihadiahkan bagi seseorang. Dan dua orang ini punya keraguan tertentu. Kalimat tanya itu: �Memang dia senang baca?�

Saya lupa apakah mereka jadi membeli. Tapi bila saya mencoba mengingat-ingat mungkin saya malah tersenyum karena justru yang muncul kembali adalah pertanyaan teman saya di awal tulisan ini. Jadi, bisa saja banyak orang punya buku di rumahnya---dengan membeli atau dari hadiah. Tapi seberapa persenkah koleksi buku itu tuntas terbaca---jangan dululah membicarakan apakah ilmu-ilmu yang berkubang dalam lembar-lembar bisu itu hingga tersampaikan dan teramalkan.

Sekejap sebuah laci di kepala saya terbuka. Suatu waktu saya bertandang ke rumah kawan yang dari mulutnya keluar kalimat pembuka esai ini. Sebuah rumah yang resik, yang dari jendela depannya kita bisa melihat Gunung Cikuray berdiri penuh dari kaki hingga puncaknya. Di sebuah kamar di sana, yang belakangan saya tahu sebagai �ruang belajar� buat siapa saja yang mau, saya mendapati buku-buku berderet dan bertebaran tidak sedikit.

Sungguh, terbukanya arsip-arsip ingatan ini membuat saya jadi merasa tersesat di padang kemungkinan yang seketika menghutan. Walau semestinya di titik ini saya tidak perlu merasa gamang dan rawan: karena kadang hal-hal �sepele� sifatnya memang �ajaib�---seperti rasa payah yang muncul di pertengahan untuk terus memamah buku sampai habis, sehingga kita menyimpannya dulu untuk dibaca kelak dengan keyakinan bahwa nanti buku itu akan �berubah�; atau seperti sehabis membaca ulang sebuah cerita panjang kita tersentak oleh sesuatu di dalamnya yang luput pada pembacaan sebelumnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!