PPC Iklan Blogger Indonesia

Kamis, 10 Maret 2011

Urgensi Ilmu Muhibbah dalam Penafsiran Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah hubungan, korelasi yang terjadi antara dua pihak adalah interdepedensi. Pihak pertama mampu membaca dan memahami pihak kedua. Demikian pula pihak kedua, bisa dipahami oleh pihak pertama. Dalam hubungan subjek-objek, subjek dianggap berhasil berkorelasi jika mampu mencerna objek dengan baik. Sementara objek, berhasil tampil dalam bentuk yang understood bagi subjek.
Dalam wacana tafsir, subjek adalah mufassir dan objek adalah al-Qur’an. Hubungan interdepedensi antara keduanya dapat dianggap berhasil jika mufassir mampu membaca dan mencerna al-Qur’an dengan baik. Lebih lanjut, mufassir sebagai subjek memiliki peran yang lebih dominan dibanding al-Qur’an yang berposisi sebagai objek. Hal ini karena al-Qur’an diyakini sebagai objek yang telah siap dan mampu dipahami sebagaimana disinyalir oleh Q.S. al-Qamar 54 : 17/22/32/40, yaitu:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا اْلقـُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِر
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
Menyadari hal ini para pakar tafsir memandang perlu menyediakan seperangkat pisau analisa standar yang musti dimiliki pengkaji-pengkaji al-Qur’an. Seseorang dianggap mampu berinteraksi dengan al-Qur’an secara baik apabila telah memiliki standar kelayakan tersebut. Tanpa memenuhinya, interaksi antar kedua pihak masih diragukan akurasinya, dan hubungan interdepedensi ideal belum terwujud.
Berkaitan dengan hal ini al-Suyu>t}I> menyebutkan lima belas disiplin yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, yaitu :1) Bahasa., 2) Nahwu., 3) al-Tas{ri>f., 4) al-Isytiqa>q., 5) al-Ma‘a>ni>., 6) al-Baya>n., 7) al-Badi>‘., 8) Ilmu Qira’ah., 9) Us{u>l al-Di>n., 10) Ushul Fiqh., 11) Asba>b al-Nuzu>l., 12) Na>sikh-Mansu>kh., 13) Fiqh., 14) Keterangan-keterangan (H{adi>s\-h}adi>s [Ah}a>di>s\]\) yang menjelaskan mujmal-mubayyan ayat., dan 15) Ilmu Mauhibah. Hal yang hampir sama dipaparkan oleh al-Zarqa>ni> dan al-Z|ahabi>.
Jika diamati lebih lanjut, sebenarnya terdapat dua arus utama dalam kelima belas disiplin keilmuan yang menjadi standar kelayakan mufassir di atas, yakni arus keilmuan kasbi> dan arus keilmuan wahbi>. Arus keilmuan kasbi> adalah kelompok disiplin ilmu yang penggaliannya melalui maksimalisasi potensi indra dan daya pikir manusia, yakni akal atau nalar. Sedangkan arus keilmuan wahbi> adalah kelompok disiplin keilmuan yang penggaliannya lebih melalui aplikasi pengetahuan sebagai sebuah tanggung jawab moral, zuhud, dan penjernihan hati. Dengan demikian kelompok kasbi> adalah keempat belas disiplin keilmuan pertama, sedang kelompok wahbi> adalah sisanya, yaitu Ilmu Mauhibah.
Dari fenomena dua arus utama inilah keinginan menyusun skripsi ini muncul. Selama ini dalam berbagai kesempatan perkuliahan, materi-materi Ulumul Qur’an yang notabene adalah pengetahuan pokok bagi mufassir hanya membahas keilmuan-keilmuan yang tergolong kasbi>. Di samping itu, beberapa buku mengenai Ulumul Qur’an juga tidak menyertakan bahasan tentang ilmu ini. Ilmu Mauhibah yang menjadi wakil satu-satunya arus wahbi> belum pernah disinggung. Padahal, jika diteliti, arus ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ada sebuah ayat al-Qur’an, seperti yang diuraikan al-Zarqa>ni>, yang secara tegas memvonis ‘keliru’ (karena dibelokkan oleh Allah) penafsiran seorang ‘mufassir’ yang di hatinya masih menyisakan rasa sombong, yakni:
سَأََصْرِفُ عَنْ آيَاتِىَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى اْلأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
Artinya : “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku”. (Q.S. al A‘ra>f 7: 146)

Di titik inilah Ilmu Mauhibah mendapatkan posisinya sedemikian penting dalam upaya penafsiran al-Qur’an. Ia menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dan menjadi keniscayaan.
Dengan demikian urgensi penulisan skripsi ini adalah pemaparan kembali konsep Ilmu Mauhibah untuk menunjukkan pentingnya peranan dalam penafsiran al-Qur’an, mengingat mulai terlupakannya keilmuan ini dari materi-materi Ulumul Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Setelah diketahui posisi Ilmu Mauhibah dalam penafsiran, yakni sebagai salah satu pra syarat mufassir bi al-ra’yi> al-mamdu>h} (terpuji, ideal), dan fenomena mulai terlupakannya keilmuan ini dalam wacana Ulumul Qur’an yang ditandai dengan tidak dibahasnya Ilmu Mauhibah dalam perkuliahan matakuliah Ulumul Qur’an dan juga dalam beberapa buku Ulumul Qur’an kontemporer, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana sebenarnya konsep Ilmu Mauhibah?
2. Setelah mengetahui konsepsi Ilmu Mauhibah pada paparan sebelumnya, pertanyaan berikutnya adalah apa yang menyebabkan tokoh-tokoh Ulumul Qur’an awal, terutama al-Suyu>t}I>, merasa perlu memasukkannya dalam salah satu kelompok keilmuan yang harus dimiliki seorang mufassir bi al-ra’yi> ideal, atau dengan kata lain, apa urgensi/kontribusi Ilmu Mauhibah dalam upaya penafsiran al-Qur’an?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
a. Memahami kegunaan Ilmu Mauhibah dalam upaya penafsiran al-Qur’an.
2 Kegunaan
.
a. Sebagai tawaran sekaligus pemicu bagi Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Tafsir Hadis, untuk mencantumkan disiplin keilmuan Mauhibah sebagai salah satu materi pokok Ulumul Qur’an mengingat pentingnya pemahaman jenis keilmuan ini bagi para pengkaji tafsir.
D. Telaah Pustaka
Karya yang memuat tema-tema Ilmu Mauhibah sebagai sebuah perangkat keilmuan pokok dalam penafsiran terdapat pada kitab-kitab Ulumul Qur’an, seperti al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya al-Suyu>t}i>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya al-Zarqa>ni>, dan al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n karya al-Z|ahabi>.
Al-Suyu>t}i dalam kitabnya al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n memaparkan konsep Ilmu Mauhibah dengan menyebutkan bahwa Ilmu Mauhibah adalah ilmu yang diwariskan Allah kepada orang yang mengaplikasikan (mengamalkan) pengetahuan yang ia peroleh. Konsep ini didasarkan hadis Nabi yang beredaksi:
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ الُله عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Orang yang mengamalkan pengetahuan yang diketahuinya, Allah akan memberikan (mewariskan) kepadanya pengetahuan yang belum ia ketahui”.

Al-Suyu>t}I>, menyebut bahwa untuk memperoleh Ilmu Mauhibah seseorang harus melakukan amal (shaleh) dan zuhud.
Dalam penafsiran, keilmuan ini diperlukan guna mengungkap makna ayat berikut rahasia-rahasianya. Mengutip pendapat s}a>h}ib al-Burha>n, yakni al-Zarkasyi>, tanpa ilmu ini makna dan rahasia ayat-ayat-Nya tidak akan terungkap oleh para pengkaji dan pemerhati al-Qur’an.
Al-Zarqa>ni, penyusun Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, memberikan definisi serupa mengenai konsep Ilmu Mauhibah, yakni bahwa ia adalah ilmu pemberian Allah bagi para aplikator pengetahuan yang dimilikinya. Sebagaimana pula yang terurai di dalam al-Itqa>n, al-Zarqa>ni> juga menekankan bahwa ilmu ini tidak akan diperoleh seseorang yang di hatinya masih diliputi berbagai hijab seperti bid’ah, sombong, hawa nafsu, dan sebagainya . Ini didasarkan firman Allah pada Q.S. al-A‘ra>f 7 : 146, yakni:
سَأََصْرِفُ عَنْ آيَاتِىَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى اْلأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”

Sementara itu, M. H{usain al-Z|ahabi>, setelah melakukan pemaparan konsep yang sama dengan al-Suyu>t}I>, menambahkan dasar pijakan konsepnya dengan ayat Q.S. al-Baqarah 2: 282, yakni:
واتَّقُوْا الله وَيُعَلِّمُكُمُ الله
“dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu”
Musa Asy’arie dalam bukunya, Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berpikir, membahas definisi yang senada dengan konsep di atas. Ilmu Mauhibah (dalam paparannya disebut ladunni> atau h}ud}u>ri>) adalah ilmu yang proses perolehannya melalui proses pencerahan oleh hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb. Dengan hadirnya cahaya Ilahi itu semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas, dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-seakan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini Tuhan bertindak sebagai pengajarnya. Kemungkinan proses pencerahan ini didasarkan pada Q.S. al-Baqarah 2: 31 dan Q.S. al-‘Alaq 96: 3-5, yakni:
وَعَلَّمَ آدمَ اْلأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلى اْلمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِؤُنِي بِأَسْمَاءِ هؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ. قَالُوْا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ اْلعَلِيْمُ اْلحَكِيْمُ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”

إِقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأكْرَمُ . الذِّي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Adapun cara memperolehnya, Musa Asy’ari memberikan keterangan bahwa seseorang yang hendak mendapatkan Ilmu H{ud}u>ri> harus membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ke titik nol, sehingga ia berdiri di hadapan Tuhan seperti seorang murid berhadapan dengan gurunya. Tuhan kemudian hadir membukakan pintu kebenaran dan manusia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran. Dan ketika ia keluar, maka ia menjadi menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya. Selain itu, orang yang sedang berproses membersihkan qalb dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ke titik nol musti memiliki keikhlasan total demi mencapainya.
Al-Gaza>li> dalam karyanya al-Risa>la>t al-Ladunniyyah yang diterjemahkan oleh M. Yaniyullah dengan judul Ilmu Laduni menyebutkan bahwa Ilmu Ladunni adalah rahasia-rahasia cahaya ilham. Ia akan menjadi ada setelah adanya pelurusan sebagaimana firman Allah Q.S. al-Syams 91: 7, yakni:
وَنفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)”.
Al-Gaza>li> meyebutkan bahwa ada tiga cara guna memperoleh Ilmu Ladunni>. Pertama, ilmu tersebut diperoleh karena mendapat anugerah keberuntungan dari Allah. Kedua, ilmu tersebut diperoleh melalui jalan riya>d}ah (muja>hadah atau latihan) yang benar, proses mura>qabah (ber-ih}sa>n, memposisikan diri untuk seakan-akan melihat Allah ketika beribadah, atau, jika tidak, tetap ingat bahwa ia selalu diawasi oleh Allah) yang benar. Ketiga, ilmu diperoleh melaui tafakkur (berpikir). Khusus untuk riya>d}ah, al-Gaza>li> menyebutkan bahwa inti riya>d}ah ada tiga hal (tahap), yaitu takhalli> (melepaskan qalbu dari sifat-sifat tercela), tah}alli> (menghiasi kalbu dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli> (membukakan tabir ketuhanan ke dalam qalbu).
Mehdi Ha’iri Yazdi memaparkan konsep Ilmu Mauhibah (beliau menyebutnya Ilmu H}ud}u>ri>) dengan mengambil dan mendasarkan prinsipnya pada pendapat Syihabuddin Suhrawardi dan Shadruddin Syirazi (Mulla Shadra) sebagai penerusnya. Bagi Suhrawardi, orang tidak bisa memiliki pengetahuan orang lain yang berada di luar realitas dirinya sendiri sebelum masuk dan mendalami pengetahuan tentang kediriannya sendiri yang tak lain adalah Ilmu H{ud}u>ri>. Ciri utama dari ilmu ini dikemukakan oleh Mulla Shadra, yaitu swa objektivitas, yakni apa yang sesungguhnya diketahui oleh subyek yang mengetahui dan apa yang sesungguhnya eksis dalam sendirinya adalah satu dan sama. Ini berarti semacam upaya untuk memahami diri sendiri, upaya membersihkan diri, dan upaya mengenal hakikat. Seseorang yang mengenal (hakikat) dirinya, ia mengenal Tuhannya. Seseorang yang mengenal Tuhannya, terbuka hatinya atas segala hal.
Sementara itu Yunasril Ali menyebutkan bahwa Ilmu Ladunni> adalah pengetahuan langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu, tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru. Kata “ladun” dalam bahasa Arab berarti di sisi. Term ini terdapat misalnya dalam Q.S. al-Kahfi 18: 65, yakni:
فوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةًً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّاعِلْمًا
“ lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”
Ayat ini mengkisahkan peristiwa yang terjadi antara Nabi Khid}ir dan Nabi Mu>sa>. Dalam ayat tersebut ada perkataan لَدُنَّاعِلْمًا مِنْ وعَلَّمْنَاهُ. Atas dasar ini muncullah istilah Ilmu Ladunni>. Menurutnya, ilmu ini bisa diperoleh siapa saja, asal ia berhasil memenuhi syarat-syaratnya yang di antaranya adalah membersihkan hati dan mensucikan jiwa.
Demikian paparan konsep Ilmu Mauhibah. Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa Ilmu Mauhibah adalah sejenis pengetahuan langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru. Ilmu ini diperoleh jika seseorang telah berhasil membersihkan jiwa dan hatinya serta mengamalkan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam penafsiran, ilmu ini memiliki peran vital untuk membuka makna dan rahasia ayat-ayat-Nya.
Dengan menyebut data-data di atas, posisi penelitian dan penulisan adalah pemaparan konsep Ilmu Mauhibah secara lebih kaya dengan mencantumkan berbagai informasi yang berkaitan dengannya serta mengulas asumsi yang terbangun hingga menjadikan ilmu ini menduduki posisi yang penting dalam upaya penafsiran. Hal ini dilakukan mengingat mulai dilupakan dan ditinggalkannya keilmuan ini dalam wacana Ulumul Qur’an.
E. Metode Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan berupa penelitian pustaka (Library Research), sehingga metode pengumpulan data berupa penghimpunan data-data yang terdapat pada buku dan bahan pustaka lainnya. Pustaka primer terdiri dari kitab-kitab Ulumul Qur’an, sedangkan literatur sekunder terdiri dari buku-buku tasawuf, filsafat, dan hermenetik serta bahan pustaka lain yang mendukung.
Adapun metode yang digunakan adalah metode Deskriptif Analitis, yakni mengumpulkan data-data dan menguraikan dengan rinci untuk kemudian dianalisa hubungan, posisi, dan urgensinya. Deskriptif berarti penelitian yang dalam pemecahan masalahnya menggunakan cara menuturkan, menganalisa, dan menginterpretasi. Jadi penelitian ini adalah meliputi analisa dan interpretasi data tentang arti data itu.
Pendekatan yang digunakan, terutama ketika mengurai dan menjelaskan butir-butir urgensi Ilmu Mauhibah, adalah pendekatan Filosofis, terutama Filsafat Konkrit model Skolastik yang bersifat Sintetis-Deduktif.
F. Sistematika Pembahasan
Pembahasan diawali bab satu berupa Pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan-kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan, sehingga dapat diketahui tata kerja dan tahapan penyusunan skripsi ini.
Bab dua mengulas seputar konsep Ilmu Mauhibah meliputi definisi dan fungsi, disusul dengan mengurai tentang cara memperoleh Ilmu Mauhibah. Uraian konsep dan fungsi Ilmu Mauhibah menjadi basis dan pijakan awal rumusan dan teori untuk digunakan pada pembahasan berikutnya, yakni kontribusi keilmuan ini dalam upaya penafsiran. Sedangkan uraian mengenai cara memperoleh Ilmu Mauhibah dimaksudkan untuk mengidentifikasi tata cara dan tahapan perolehannya berikut orang yang berpeluang mendapatkannya disertai ciri-ciri orang yang berhasil memperoleh ilmu ini.
Bab tiga, setelah mengurai konsepsi dan identitas Ilmu Mauhibah pada bab sebelumnya, bab ini hendak menjelaskan tahapan fungsionalnya berkait dengan upaya penafsiran. Bab ini mencoba memaparkan tentang sejauh mana kontribusi Ilmu Mauhibah terhadap penafsiran al-Qur’an. Bahasan ini meliputi uraian tentang hakikat dan konsepsi tafsir berikut peluang penafsirannya secara ra’yi> sebagai pijakan dan gambaran tentang wilayah yang dapat dimasuki tata kerja Ilmu Mauhibah. Setelah itu kemudian memaparkan kontribusi yang dapat diberikan dalam upaya penafsiran, baik terhadap teks maupun mufassir.
Setelah mengetahui secara detail pergulatan kontribusi Ilmu Mauhibah dalam penafsiran, pada bab empat penyusun mengakhiri bahasan dengan Penutup. Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan saran dari uraian skripsi di atas. Kesimpulan berisi pokok-pokok bahasan yang dihasilkan dari penyusunan skripsi. Saran berisi anjuran dan pesan bagi peminat Ulumul Qur’an khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Selain itu ditujukan pula kepada pihak Fakultas berkait dengan usulan untuk mempertimbangkan keilmuan ini menjadi salah satu bahan penting dalam silabus Ulumul Qur’an khususnya dan Filsafat Ilmu pada umumnya mengingat fungsi dan urgensinya yang begitu vital dan signifikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!