PPC Iklan Blogger Indonesia

Kamis, 07 Juli 2011

Kembali ke Index Topik Pilihan PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan Seks Memang Sulit, Tapi Harus

Penelitian-penelitian tentang perilaku seks remaja saat ini sungguh memprihatinkan. Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) belum lama ini melansir data, 93 persen anak SMP-SMA di 12 kota besar sudah pernah melakukan hubungan seks. Data dari Departemen Kesehatan juga menyebutkan, separuh penderita HIV/AIDS adalah remaja.
Boro-boro mengajarkan kepada anak kalau orangtuanya sendiri merasa itu bukan sesuatu yang harus disosialisasikan.
-- Sani B Hermawan

Praktik hubungan seks pranikah yang banyak terjadi di kalangan remaja itu, menurut Sani B.Hermawan, psikolog dari Lembaga Konsultasi Daya Insani, antara lain dipengaruhi berbagai hal, namun terutama karena rasa ingin tahu anak yang besar.

"Pada dasarnya anak memang punya rasa ingin tahu besar, ditambah lagi dengan arus informasi yang masuk dan sulit dibendung melalui media digital. Mereka melihat dan ingin punya pengalaman serupa," kata Sani ketika dihubungi Kompas.com, pekan lalu.

Dia menambahkan, selama ini banyak anak yang tumbuh tanpa pendidikan seksual karena orangtua merasa tabu bicara seks dengan anak-anaknya. Banyak pula orangtua takut menjelaskan tentang seks karena khawatir anaknya justru mencoba-coba.

Seks, yang berarti jenis kelamin, menurut Sani, sudah mengalami reduksi makna sebagai sesuatu yang porno atau hubungan kelamin. Hal itu mengakibatkan paradigma orang terhadap kata seks juga salah. Pendidikan seks selalu berkonotasi cara-cara mengajarkan hubungan seksual.

"Boro-boro mengajarkan kepada anak kalau orangtuanya sendiri merasa itu bukan sesuatu yang harus disosialisasikan," imbuh psikolog yang aktif sebagai pembicara mengenai pendidikan seks di berbagai seminar dan sekolah ini.

Padahal, lanjut Sani, jika kita mencoba setia pada asal-usul katanya, pendidikan seks bisa bermakna sangat luas. Konsepnya lebih berorientasi pada identifikasi gender, anatomi, fungsi, hingga kesehatan alat reproduksi. Pendidikan tersebut seharusnya diberikan sejak dini dan disesuaikan dengan tingkat kematangan serta daya tangkap anak.

"Sejak balita, anak sudah bisa diajari tentang perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan, mengapa laki-laki tidak boleh memakai rok, cara duduk, atau cara menggunakan toilet sesuai jenis kelamin. Itu juga pendidikan seks, tapi kita tidak pernah ngeh," paparnya.

"Selain mengenali fungsi alat reproduksi, pendidikan seks juga bermanfaat untuk menghindarkan anak dari pelecehan dan kekerasan seksual.

"Anak harus diajari untuk berkata tidak jika ada orang lain yang menyentuh bagian-bagian tubuhnya. Yang boleh menyentuh hanya orangtua dan dokter ketika memeriksa," katanya.

Penunjang Pendidikan

Seks, menurut Sani, merupakan penunjang pengetahuan lain yang sudah didapatkan anak, seperti ilmu biologi, agama, bimbingan dan konseling, atau tata krama.

"Pada ilmu sains, sebenarnya pendidikan tentang seks sudah ada, tetapi lebih ke arah reproduksi, bukan ke arah bagaimana menjaganya, yaitu bahwa seks itu sesuatu yang punya value. Bila pendidikan seks diajarkan sejak dini, ketika anak belajar tentang reproduksi di kelas 6 SD, anak sudah nyambung," katanya.

Namun, menurut Sani, meskipun saat ini pendidikan seks belum menjadi salah satu mata pelajaran khusus di sekolah, sekolah tetap bisa memberikan pendidikan seks melalui seminar dengan menghadirkan psikolog atau dokter. Pendidikan seks juga bisa dimasukkan dalam sesi bimbingan dan konseling.

"Dengan dasar-dasar pengetahuan tadi, diharapkan anak bisa menjaga dirinya dari sikap-sikap yang tidak sesuai norma," katanya.

Badan kesehatan dunia (WHO) juga menyimpulkan pentingnya pendidikan seks untuk anak. Tanpa itu, angka-angka kawin dan hamil muda, aborsi ilegal, penyimpangan seksual dan penyakit kelamin remaja, serta bentuk penyimpangan seksual di dunia akan semakin meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!