PPC Iklan Blogger Indonesia

Sabtu, 23 Juli 2011

PUASA DAN PENGENDALIAN DIRI PERSPEKTIF KESEHATAN MENTAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Penegasan Judul
Untuk menghindari adanya salah interpretasi dalam memahami judul skripsi ini, yakni “ Puasa dan Pengendalian Diri Perspektif Kesehatan Mental”, maka perlu kiranya penulis menjeaskan pengertian tersebut:

1.    Puasa
Secara bahasa puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu. Pengertian lain menjelaskan bahwa puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan, satu hari lamanya dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Sedangkan definisi puasa menurut istilah adalah menahan diri, berpantang atau mengendalikan diri dari makan, minum dan bercampur dengan isteri atau suami yang didahului dengan niat dari terbit fajar  sampai matahari tenggelam. Dari pengertian ini menunjukkan dua hal, pertama, menahan nafsu makan, minum dan aktivitas seksual pada siang hari, sebagai syarat minimal puasa. Kedua, puasa harus disertai dengan niat yang ikhlas. Puasa yang sempurna adalah meninggalkan hal-hal yang tercela dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Pengertian puasa yang dimaksud dalam skripsi ini adalah menahan dan mengendalikan diri dari memenuhi potensi-potensi dasar kehidupan manusia, terutama kebutuhan makan minum dan aktivitas seksual di siang hari, serta mengendalikan diri dari sifat-sifat tidak terpuji dan meneladani sifat-sifat Allah SWT.

2.    Pengendalian  Diri
Pengendalian diri adalah menahan diri atau menjaga dari sesuatu yang bersifat merugian atau negatif. Pengendalian diri dapat dicapai dengan mencurahkan segala usaha, kekuatan dan kemampuan dengan penuh kesungguhan dalam menahan atau menjaga diri dari musuh yang ada dalam diri sendiri, yang berupa kecenderungan atau dorongan dari rohani dan jasmani, serta dorongan yang disebabkan oleh hawa nafsu yang hendak menjerumuskan manusia dari perbuatan tidak terpuji.
Jadi, yang dimaksud pengendalian diri dalam skripsi ini adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam menahan dan menjaga diri dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain, baik itu yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Dengan melaksanakan puasa seseorang dapat berusaha untuk lebih bisa mengendalikan diri.

3.    Kesehatan Mental
Kesehatan mental secara terminologis menunjuk pada dua maksud yaitu sebagai disiplin ilmu dan kondisi mental yang normal. Dalam studi ini istilah kesehatan mental dipakai untuk maksud yang kedua, yakni terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertimbangan batin (konflik).
Selain itu, kesehatan mental dapat pula didefinisikan sebagai terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi dan terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
Pengertian lain tentang kesehatan mental perspektif psikologi Islami, sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman “Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan, serta betujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagian dunia dan akhirat. Kesehatan mental yang dimaksud dalam skripsi ini adalah suatu keadaan di mana semua fungsi tubuh dan fungsi jiwa dapat berkoordinasi dengan baik dan normal.
 Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa puasa dan pengendalian diri perspektif kesehatan mental adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menahan dan mengendalikan semua keinginan atau nafsu dasar manusia, terutama yang dapat merugikan dirinya sendiri atau orang lain baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah, sehingga dapat tercipta pribadi yang memiliki jiwa dan raga yang sehat.











B. Latar Belakang Masalah
Di antara karakteristik penting yang terdapat ada hewan dan manusia adalah adanya berbagai dorongan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Dorongan ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan tubuh dan kekurangan atau hilangnya keseimbangan yang terjadi dalam jaringan-jaringan tubuh. Dorongan-dorongan ini mengarahkan tingkah laku individu pada tujuan-tujuan untuk bisa memnuhi berbagai kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan dorongan psikologis atau menutupi kekurangan yang terjadi pada jaringan-jaringan tubuh dan mengendalikannya pada keseimbangan yang ada sebelumnya.
Ditinjau dari sisi fisiologis, ada bermacam hal yang dapat menyebabkan keseimbangan dalam tubuh bisa menjadi goyah. Misalnya, kurangnya zat-zat makanan dalam darah, sedikit air dalam jaringan tubuh, dan kelelahan yang melebihi batas. Oleh karena itu, berbagai dorongan yang muncul dimanfaatkan untuk mengembalikan tubuh pada keseimbangan sebelumnya.
Jadi tubuh manusia dan hewan mempunyai kecenderungan alamiah untuk memelihara suatu kadar keseimbangan dalam dirinya. Jika dalam jangka waktu tertentu seseorang tidak makan dan minum, maka keseimbangan di dalam tubuh orang itu akan mulai goyah. Secara spontan timbullah dorongan yang menuntut dia untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan guna mengembalikan tubuh ke dalam keseimbangan semula. Kegiatan semacam ini sesuai dengan prinsip hemeostatis, yang merupakan prinsip yang terdapat dalam setiap tingkah laku,.
Kegiatan semacam ini secara instinktif (naluriah) ada dalam diri mansuia dan hewan. Hal ini sesuai dengan teori Darwin yang mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan jelas antara manusia dan binatang. Sehingga dalam menerangkan perilaku mansuia diguankan teori naluri, di mana setiap kekuatan biologis bawaan yang mempengaruhi organisme untuk berlaku dengan cara tertentu dalam keadaan yang tepat. Pandangan mekanistik ini berpendapat bahwa perbuatan timbul dari kekuatan internal atau eksternal, di luar kontrol manusia itu sendiri. Hobbes menyatakan bahwa apapun alasan yang diberikan seseorang untuk perilakunya, sebab-sebab terpendam dari semua perilaku itu adalah kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan.
Sementara ditinjau dari sisi psikologis, jiwa yang tidak tenteram karena gelisah, stres dan sebagainya dapat berakibat pada terganggunya sistem kontrol emosi. Maka tidak heran, jika orang yang terlalu stres menanggung beban fikiran cenderung lebih posesif dan temperamental. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh tekanan psikologis yang berat sehingga sulit untuk mengendalikan diri.
Oleh karena itu, insting adalah sejumlah energi psikis, kumpulan dari semua insting-insting yang dipergunakan oleh keseluruhan dari energi psikis yang dipergunakan oleh kepribadian. Dalam hal ini, Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga sistem aspek, yaitu:
1.    Das Es (The Id), yaitu aspek biologis
2.    Das Ich ( The ego), yaitu aspek psikologis
3.    Das Uber Ich (The Super Ego), yaitu aspek sosial.
Ketiga aspek itu masing-masing mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dan dinamika sendiri-sendiri. Namun ketiganya berhubungan erat sehingga sukar untuk memisahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku selalu merupakan hasil kerjasama dari ketiga aspek-aspek itu.
Das Es berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir, termasuk insting-insting, yang kemudian menggerakkan Das Ich dan Ueber Ich Misalnya ketika seseorang merasa lapar, maka timbullah insting untuk makan secara spontan pada dataran Das Es.  Jika insting tidak segera terpenuhi, energi psikis di dalam Das Es dapat mengikat sehingga menimbulkan ketegangan. Sehingga menimbulkan perasaan tidak enak yang tidak dapat dibiarkan oleh Das Es. Karena itu Das Es perlu segera mereduksi energi itu untuk menghasilkan rasa tidak enak itu. Jadi, yang menjadi pedoman dalam berfungsinya Das Es adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, diperlukan sistem lain yaitu Das Ich. Sebagai contoh, Orang yang lapar tidak dapat kenyang hanya membayangkan makanan saja. Dalam hal ini tugas Das Ich untuk merealisasikan keinginan-keinginan itu ke alam kenyataan dengan merencanakan di mana dia akan makan, atau bagaimana cara memenuhinya dan sebagainya. Jadi peran utama Das Ich ialah menjadi perantara antara kebutuhan instingnya dengan keadaan lingkungan, demi kepentingan adanya organisme.
Sedangkan Das Ueber Ich berfungsi menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak susila. Dengan demikian pribadi dapat bertinak sesuai dengan moral masyarakat. Namun tidak jarang Das Es bertentangan dengan Das Ueber Ich. Dalam keadaan seperti ini Das Ich berperan sebagai pemersatu pertentangan-pertentangan das Es dan das ueber Ich.
Konsep serupa juga dapat ditemukan dalam ajaran islam. Di mana Id (Das es) digambarkan sebagai nafsu amarah. Menurut Abd. Al-Karim al-Jali disebut nafsu amarah karena sesuai dengan apa-apa yang datang kepada nafsu ini. Di antaranya pemenuhan syahwat untuk mencari kenikmatan hewani dengan tidak menghiraukan adanya perintah dan larangan. Al Jurjani mengatakan bahwa nafsu amarah adalah nafsu yang cenderung mengikuti kepada tabiat badaniah dan menyuruh menikmati kelezatan-kelezatan dan keinginan-keinginan syahwat yang bersifat psychis dan menarik serta membawa hati kepada jurang kehinaan. Oleh karena itu nafsu amarah merupakan tempat dan sumber akhlak yang buruk.
Sedangkan super ego yang diartikan sebagai pengawas bertindak untuk menghadapi dorongan-dorongan serta mengarahkan ke arah yang baik. Dan Brown menyebutnya sebagai kritikus tertinggi bagi akhlaq. Dalam Islam super ego ini disama artikan dengan keimanan. Dengan adanya unsur keimanan dalam diri manusia, maka setiap dorongan hawa nafsu yang akan membawa kepada kehinaan akan dihalangi agar tidak direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang buruk atau akhlak yang tercela.
Imam Al-Ghazali  mengatakan Akhlak adalah suatu keadaan yang tertanam dalam jiwa, beberapa keinginan kuat yang melahirkan perbuatan secara langsung dan berturut-turut tanpa memerlukan pemikiran-pemikiran, keadaan jiwa itu, adakalanya merupakan sifat alami yang didorong oleh fitrah manusia. Suasana jiwa, adakalanya disebabkan oleh adat istiadat. Misalnya, orang yang membiasakan berkata benar secara terus-menerus, maka jadilah suatu saat akhlak yang tertanam dalam jiwa. Akhlak di sini mencakup perbuatan lahir maupun bathin. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf:33.
üö

ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }‘În/u‘ |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.ÎŽô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍi”t\ム¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß™ br&ur (#qä9qà)s? ’n?tã «!$# $tB Ÿw tbqçHs>÷ès?
Artinya : ” Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."

Ayat di atas menyatakan bahwa Allah mengharamkan segala perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi dalam batin manusia. Rohani manusia sebagaimana jasamaninya dapat pula terkena penyakit. Bahkan penyakit rohani lebih membahayakan. Jika penyakit rohani manusia itu telah mencapai puncaknya, maka terjadilah “Krisis Akhlak”. Kritis akhlak adalah keadaan genting di mana akhlak telah sangat rusak sehingga menyebabkan terjadinya kemerosotan moral dalam kehidupan manusia.
Allah telah mewajibkan kepada umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa. Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 183:
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ

Artinya : ” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada umat islam untuk berpuasa, sebagaimana umat terdahulu yang telah terbiasa berpuasa. Tujuannya tidak lain untuk mencapai derajat taqwa. Definisi taqwa disini sangat luas, bahwa unsur kataqwaan itu sendiri di antaranya adalah memperoleh ketentraman hidup dengan mampu mengendalikan diri dari perbuatan keji dan tercela.
Dari sinilah dapat terlihat suatu keunikan ibadah puasa yang diwajibkan Allah SWT kepada seluruh umat Islam. Orang yang berpuasa memiliki kepekaan yang tinggi untuk menahan diri dari dorongan instinktif seperti makan, minum dan tidak melakukan aktivitas seksual sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Selian itu, orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk bersikap lebih sabar dan menghindari marah.
Hal ini terjadi karena ibadah puasa didasari oleh niat yang tulus iklhas, semata-mata karena Allah SWT. Bahkan puasa ini akan menjaga diri manusia dari dorongan hawa nafsu yang mengajak pada perbuatan tercela pada saat dia sendirian ataupun bersama orang lain. Jika manusia telah mampu mengendalikan hawa nafsu yang tercela, maka ia akan memperoleh ketenangan hidup. Ketenangan hidup merupakan kondisi hidup dengan keadaan rohani (pikiran, perasaan dan kehendak) yang tidak gelisah, tidak kacau, aman dan tenteram. Keadaan diri seseorang yang hidup dalam ketenangan, juga akan membawa suasana tenang, aman dan tenteram bagi masyarakat sekitar. Dengan adanya ketenangan hidup, maka mental yang sehat dapat diraih. Inilah implikasi puasa bagi kesehatan mental manusia.
Pengendalian diri dari dapat mendidik manusia untuk mempunyai kehendak yang kuat, dan kemauan yang teguh. Bukan hanya hawa nafsu saja yang mampu dikendalikan, tetapi juga perilaku dalam kehidupan dalam melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya. Sebagaimana kesabaran dalam menahan lapar, haus dan mencegah hawa nafsu , puasa juga mendidik manusia bersabar dalam menanggung beratnya upaya memperoleh rizki, menderitanya jatuh sakit dan sebagainya.
Dewasa ini, kita sering melihat betapa perilaku manusia tidak lagi mencerminkan sikap dan perilaku manusia yang selayaknya. Pertikaian di mana-mana, saling fitnah dalam berebut kekuasaan, moralitas manusia yang semakin rusak, adalah beberapa bukti nyata bahwa manusia telah kehilangan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya. Puasa dapat menjadi alternatif terapi yang ditawarkan oleh Islam agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsu yang tertanam dalam segala perilakunya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis bermaksud untuk meneliti secara lebih mendalam tentang implikasi ibadah puasa bagi kemampuan pengendalian diri ditinjau dari perspektif kesehatan mental. Penelitian ini akan dipaparkan secara detail dalam skripsi ini yang berjudul “ Puasa Sebagai Pengendalian Diri Perspektif Kesehatan Mental”.

C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini akan dibatasi untuk menjawab beberapa rumusan masalah, di antaranya adalah:
1.    Aspek-aspek pengendalian diri apa saja yang terkadung dalam ibadah puasa?
2.    Bagaimana dinamika kerja aspek-aspek pengendalian diri dari ibadah puasa?
3.    Bagaimana perspektif kesehatan mental terhadap puasa dan pengendalian diri?









D.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.    Untuk mengetahui aspek-aspek pengendalian diri yang terkandung dalam ibadah puasa.
2.    Untuk mengetahui dinamika kerja aspek-aspek pengendalian diri yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah puasa.
3.    Untuk mengetahui pandangan kesehatan mental terhadap puasa dan pengendalian diri.

E.    Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat yang baik bagi beberapa kalangan, di antaranya adalah:
1.    Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan Psikoterapi Islam.
2.    Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan oleh Konselor, Psikoterapis untuk membantu klien dalam menyelesaikan problem yang dialami oleh klien.

F.    Telaah Pustaka
Penelitian tentang puasa telah banyak dilakukan, dan buku-buku yang membahas tentang puasa juga telah banyak diterbitkan.  Penelitian tentang puasa pernah dilakukan oleh Ade Irawan dalam skripsinya berjudul “Puasa Enam Hari Pada Bulan Syawal Dalam Kitab At-Tis’ah”. Hasil penelitiannya berhasil mengungkap dan menguraikan validitas
hadit-hadist tentang puasa enam hari pada bulan syawal dan mengetahui kualitas atau nilai kesahihan matan hadist serta nilai hadist-hadist tentang puasa enam hari bulan syawal.
Penelitian yang lain tentang puasa pernah dilakukan oleh Sri Astutik Zuliyanti dalam skripsinya berjudul “Manfaat puasa bagi kesehatan fisik dan mental (Studi pemikiran Imam Musbikin)”. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa puasa memiliki manfaat yang sangat besar bagi kesehatan fisik dan psikis. Manfaat puasa bagi kesehatan fisik antara lain:
1.    Mencegah penyakit jantung
2.    Penambahan sel darah putih
3.    Menghindarkan penyakit kanker
4.    Menghindarkan penyakit diabetes, dan
5.    Mengurangi pengaruh kecanduan rokok
Sedangkan manfaat puasa bagi kesehatan psikis antara lain:
1.    Meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT
2.    Memupuk kepedulian sosial
3.    Meredam marah
4.    Meningkatkan kecerdasan.
Adapun buku-buku yang mengupas tentang puasa di antaranya adalah buku uang berjudul “ Risalah Puasa ” karangan Jejen Musfah. Dalam buku ini diuraikan tentang faedah puasa yang diharapkan mampu melahirkan keimanan kepada Allah SWT yang telah menciptakan alam raya ini.
Jalaludin Rakhmat juga membahas tentang puasa dalam salah satu bukunya, yaitu “Madrasah Rohani Berguru Pada Illahi di Bulan Suci”. Buku tersebut membahas tentang fungsi puasa sebagaimana madrasah yang mendidik bathin kita untuk menajamkan mata bathin kita agar dapat menembus tirai kegaiban. Menurut Jalaluddin Rahmat, puasa adalah “akademi” yang melatih kita untuk menerbangkan rohani kita agar bisa hinggap dalam pengakuan kasih sayang Tuhan.
Dari beberapa penelitian dan buku-buku yang telah menurut subjektivitas penulis belum ada yang membahas tentang puasa dikaitkan dengan pengendalian diri ditinjau dalam perspektif kesehatan mental. Tema ini masih sangat menarik untuk dikaji karena hingga saat ini masih banyak manusia yang melakukan puasa, tetapi hanya mampu menahan lapar, haus dan menghindari aktivitas seksual di siang hari saja. Sementara hati, fikiran, ucapan, sikap dan perbuatannya belum terkendalikan. Diharapkan dengan penelitian ini, akan menambah informasi yang lebih lengkap tentang kajian puasa, khususnya dengan menggunakan analisa kesehatan mental.

G.    Kerangka Teoritik
1.    Tinjauan tentang Puasa dan Pengendalian Diri
Manusia dalam pandangan Islam, tersusun dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Secara jasmaniah, tubuh manusia berasal dari materi dan mempunyai kebutuhan hisab kebendaan. Sedangkan secara rohaniah, tubuh manusia bersifat immaterial dan mempunyai kebutuhan spritual. Jasmani manusia menjadi mediator tempat bersarangnya hawa nafsu, sehingga dapat terbawa pada kejahatan. Sementara rohani yang berasal dari unsur yang suci, maka akan selalu mengajak pada kesucian.
Dalam Islam, manusia sangat memerlukan pelatihan rohani dalam bentuk ritual ibadah. Tujuannya agar manusia selalu ingat kepada Sang penciptanya, Allah SWT dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Keadaan yang senantiasa dekat pada Tuhan dapat mempertajam rasa kesucian yang senantiasa menjadi rem bagi hawa nafsu manusia.
Puasa merupakan suatu ibadah yang dapat memberikan latihan dan pendidikan pada jasmani dan rohani manusia. Latihan ini akan sangat nampak dalam aspek pengendalian diri dari hawa nafsu yang mnegajak pada perbuatan tidak terpuji.
Hal ini sesuai dengan konsep puasayang digunakan oleh Prof.Dr.Ardani (1995 : 252) yang menyebutkan bahwa orang yang berpuasa, menahan nafsu makan, minum dan syahwat dalam jarak waktu yang telah ditentukan. Disamping itu, ia juga harus menahan diri dari tingkah laku dan perbautan yang tercela. Menahan nafsu-nafsu tersebut merupakan latihan spiritual yang akan mempertajam rasa kesucian dan rasa moral. Orang yang berpuasa dianjurkan untuk memperbanyak kebajikan, menyantuni fakir miskin dan orang yang lemah lainnya. Latihan jasmani dan rohani di sini tampaknya terpadu menjadi satu dalam uasah memelihara kesucian rohani, sehingga diharapkan melahirkan orang yang bertaqwa.
Definisi di atas diperkuat oleh hadis yang di riwayatkan dalam Misbah al-syari’ah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Puasa adalah perisai”. Puasa melindungi diri dari kejelekan duniawi dan siksa akhirat. Ketika hendak berpuasa, niatkanlah puasa untuk menahan diri dari dorongan syahwat, dan memutuskan pikiran yang sering dipengaruhi godaan syetan. Sucikan diri dari segala penyakit yang ditimbulkan karena dosa, serta sucikanlah batin dari setiap yang bisa membuat lalai dari berdzikir kepada Allah SWT.
Uraian di atas mengandung makna bahwa dengan puasa kita dihindarkan makanan dan minuman dan berbagai penyakit jasmaniah. Puasa juga merupakan latihan untuk mengandalikan hawa nafsu dan sarana untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Pada saat berpuasa, kita dilatih untuk mengembangkan kepribadian kita. Kita meninggalkan tingkat oral, anal dan genital menuju tingkat rohaniah. Periode oral kita kekang dengan tidak makan dan minum, kitapun mencoba untuk meninggalkan tahap genital dengan mengendalikan nafsu syahwat. Kita berusaha menanggalkan keterikatan pada tubuh dan mulai memperhatikan rohani. Dengan kata lain. ketika berpuasa seseorang akan meninggalkan periode awal atau keinginan-keinginan jasmani atau berupa kehendak dirinya sendiri untuk menempatkan kehendak Allah yang lebih tinggi dari kehendak dirinya.
Substansi dari orang yang berpuasa adalah membelokan keinginan yang bersifat egoisme kepada tujuan yang baik dan berguna. Orang yang berpuasa rela menahan nafsu dan keinginannya untuk mendapatkan sebuah cita-cita yang luhur yaitu menjadi hamba yang bertaqwa. Sebagaimana tertuang dalam firman Allah SWT, QS Al-Baqarah :183 di atas.
Dengan demikian puasa yang dilakukan dengan mengedepankan usaha untuk mengendalikan setiap hawa nafsu, akan memberikan ketenangan hidup seseorang. Di mana ketenangan hidup ini akan berkaitan dengan kesehatan mental. Karena dalam ketenangan, kondisi hidup seseorang dengan keadaan rohani (pikiran, perasaan dan kehendaknya) yang tidak gelisah, tidak kacau, aman dan tenteram atau mencapai suatu keharmonisan dengan dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat.
2.    Tinjauan Tentang Kesehatan Mental
a.    Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental secara terminologis menunjuk pada dua maksud yaitu sebagai disiplin ilmu dan kondisi mental yang normal. Dalam studi ini istilah kesehatan mental dipakai untuk maksud yang kedua, yakni terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertimbangan batin (konflik).
Selain itu, kesehatan mental dapat pula didefinisikan sebagai terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi dan terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
Sedangkan definisi kesehatan mental perspektif psikologi Islami, sebagaimana dikutip oleh Hanna Djumhana Bastaman “Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta betujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagian dunia dan akhirat”.
Federasi kesehatan mental dunia (world federation for mental health) pada saat kongres kesehatan mental di London, 1948 merumuskan pengertian kesehatan mental sebagai kondisi yang memugkinkan adanya perkembangan yang optimal baik secra fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang lain.
b.    Karakteristik Kesehatan Mental
Untuk melihat dan mencermati karakteristik kesehatan mental, pertama-tama perlu dikemukakan gambaran mengenai kehidupan mental yang sehat. Seseorang yang mempunyai kehidupan mental yang sehat umumnya dipandang sebagai pribadi yang normal. Sebaliknya pribadi yang tidak normal biasanya memiliki mental yang tidak sehat. Meskipun antara normalitas dan abnormalitas sangat samar batasnya, karena pola kebiasaan tertentu bisa jadi dipandang abnormal oleh kelompok lain. Namun secara umum batas antara keduanya tetap dapat ditarik.
Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andari, pribadi yang normal dengan mental yang sehat adalah pribadi yang dalam kehidupannya akan bertingkah laku kuat (serasi, tepat) dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, sikap hidup sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan.
Dengan mengutip pendapat Maslow dan Mittelman, Kartini Kartono dan Jenny Andari menyebutkan sebelas ciri mengenai kehidupan mental yang sehat, yaitu:
1.    Memiliki rasa aman yang tepat dan mampu berhubungan dengan orang lain dalam berbagai segi kehidupan.
2.    Memiliki penilaian diri dan wawasan diri yang rasional dengan harga diri yang sedang.
3.    Mempunyai spontanitas dan emosionalitas yang tepat.
4.    Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien tanpa dengan angan-angan yang berlebihan.
5.    Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat dan mampu memuaskannya dengan cara yang sehat.
6.    Mempunyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif hidup yang sehat dan kesadaran tinggi.
7.    Memiliki tujuan hidup yang tepat, yang bisa dicapai dengan kemampuan sendiri.
8.    Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidup.]
9.    Mempunyai kemampuan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya.
10.    Memiliki sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan.
11.    Memiliki integritas dalam kepribadian, yakni kebulatan unsur jasmaniah dan rohaniahnya.
Kesebelas ciri kehidupan mental yang sehat di atas pada dasarnya merupakan kriteria ideal, yang bahkan seorang pribadi normal pun tidak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak semua kriteria atau ciri tersebut. Kartini Kartono dan Jerry Andani lebih menyederhanakan ciri-ciri kehidupan mental yang sehat sebagai berikut:
1.    Integrasi kejiwaan.
2.    Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial.
3.    Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggung jawab sosial.
4.    Efisien dalam menanggapi hidup.
Sementara itu Hanna Djumhana Bastaman mengemukakan karakteristik kesehatan mental sebagai berikut:
1.    Bebas dari gangguan penyakit kejiwaan
2.    Mampu secara luas menyesuaikan diri dengan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
3.    Mampu mengembangkan potensi-potensi pribadi (minat, bakat, sikap dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan.
4.    Beriman dan bertaqwa serta berupaya menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep lain tentang karakteristik kesehatan mental juga diungkapkan oleh Muhammad Mahmud. Menurutnya terdapat delapan macam tanda-tanda kesehatan mental, yaitu:
1.    Kemampuan, ketenangan, dan rileks batin dalam menjalankan kewajiban, baik terhadap dirinya, masyarakat maupun kepada Allah SWT.
2.    Memadai dalam beraktivitas.
3.    Menerima keadaan dirinya dan keadaan orang lain.
4.    Adanya kemampuan untuk melihat atau menjaga diri.
5.    Kemampuan untuk tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap keluarga, sosial maupun agama.
6.    Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat.
7.    Kemampuan individu untuk membuat hubungan sosial baik yang dilandasi sikap saling percaya maupun saling mengisi.
8.    Adanya rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan dalam mensikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.
Menurut Nana Syaoid Sukmadinata, ada tiga komponen utama dalam kesehatan mental, yaitu: memiliki rasa diri berharga, merasa puas akan peranan dalam kehidupannya, dan terjalin baik dengan orang lain. Perasaan diri berharga merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan mental, sebab mendasari kondisi dari komponen-komponen kesehatan mental lainnya. Perasaan diri berharga akan memperkuat keberadaan dirinya dalam kehidupannya. Seorang yang memiliki perasaan diri tidak berharga, tidak akan memiliki ketenangan hidup,  tidak akan memiliki harapan, banyak diliputi perasaan cemas, ragu, hampa dan bentuk ketaktentuan lainnya.
Menurut Trackers ada beberapa alasan mengenai pentingnya perasaan diri berharga, yaitu:
1.    Perasaan diri berharga merupakan landasan bagi penerimaan diri dan penerimaan diri sendiri merupakan bekal bagi penerimaan orang lain. Seseorang memiliki rasa diri berharga karena merasa memiliki kondisi badan, psikis dan perilaku yang baik atau wajar. Dengan kondisi ini, ia berinteraksi dengan wajar pula dengan individu lainnya.
2.    Seseorang yang memiliki rasa diri berharga, memiliki bayangan diri yang posistif, merasa berguna dan dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan ini bukan saja penting bagi keberadaan dirinya tetapi juga bagi interaksi dengan orang lain.
Sementara itu, Organisasi kesehatan dunia (WHO) 1959 memberikan kriterian jiwa atau mental yang sehat adalah sebagai berikut:
1.    Dapat menyesuaikan secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya.
2.    Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
3.    Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4.    Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
5.    Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan.
6.    Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk di kemudian hari.
7.    Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif
8.    Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.


H.    Metode Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library reseach), yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpusatakaan, seperti: buku-buku, majalah, dokumentasi dan catatan-catatan.
2.    Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenisnya, maka pengumpulan data yang digunakan adalah menelusuri buku-buku yang mendukung analisis bahan penelitian meliputi 2 sumber, yaitu:
a.    Sumber data primer, yaitu sumber atau informasi yang langsung mempunyai wewenang pengumpulan data dalam buku yang bertopik fiqih puasa, psikologi Islam, dan buku keagamaan yang ada kaitan dengan puasa, yaitu "Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Ilmu Kesehatan Mental" karangan Dadang Hawari.
b.    Sumber data sekunder, yaitu sumber informasi yang secara langsung mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi yang ada padanya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan buku-buku umum yang membahas tentang hikmah-hikmah puasa, rahasia puasa, artikel di media massa dan internet, serta buku-buku lain sebagai sumber pendukung antara lain: "Madrasah Ruhaniah Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci" karangan Jalaluddin Rahmat, "Risalah Puasa, Menjadikan Bulan Ramadan sebagai Bulan Penuh Pahala" karangan Jejen Musfah, "Pokok-Pokok Puasa dan Hikmahnya" karangan Muh. Dachlan Arifin.
3.    Metode Analisa Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisa data tersebut. Dalam skripsi ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut:
a.    Deskriptif Analisis, yaitu suatu penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, mengklasifikasikan dan menafsirkan data yang ada.
b.    Analisis isi, yaitu suatu teknik penelitian untuk membuat intervensi-intervensi (kesimpulan) dan validitas data dengan memperhatikan konteksnya. Dalam hal ini diusahakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan ( dari buku, dokumen) yang dilakukan secara objektif dan sistematis.

I.    Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini dapat dilakukan secara runut dan terarah, maka penulisan ini dibagi menjadi lima bab yang disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisikan penegasan istilah-istilah pokok, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, adalah kajian secara umum tentang puasa. Pembahasan didalamnya meliputi tinjauan terhadap kewajiban ibadah puasa, aturan baku pelaksanaan ibadah puasa, syarat dan rukun puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, jenis-jenis puasa, klasifikasi puasa, manfaat puasa, keistimewaan puasa, dan ihsan dan itqan dalam puasa.
Bab ketiga, merupakan jawaban rumusan masalah point pertama dan kedua dalam penelitian ini, yakni tentang aspek-aspek pengendalian diri yang terkandung dalam ibdah puasa.
Bab keempat, merupakan jawaban rumusan masalah point kedua dalam penelitian ini, yakni tentang dinamika kerja aspek-aspek pengendalian diri dari ibadah puasa.
Bab kelima, merupakan jawaban rumusan masalah yang ketiga dalam penelitian ini, yakni perspektif kesehatan mental terhadap puasa dan pengendalian diri. Pembahasannya meliputi Kajian Tentang Nilai-nilai Rohaniah Dalam Puasa, Pengendalian Diri dalam Perspektif Kesehatan Mental, dan Keterkaitan Antara Puasa dan Pengendalian Diri Perspektif Kesehatan Mental.
Bab keenam adalah penutup yang berisikan kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!