Pengarang: Hamdan Zoelva;  
Penerbit: Konstitusi Press, Jakarta;  
Cetakan: pertama, Juni 2005;  
Tebal: x+238 halaman.
Sekilas melihat judulnya, terkesan buku  ini seperti tidak membicarakan sistem konstitusi di Indonesia. Terutama  disebabkan pemilihan istilah impeachment yang tidak dikenal dalam sistem  perundangan di Indonesia. Namun, disadari atau tidak proses impeachment  sering terjadi di Indonesia. Menengok ke sejarah, empat dari lima  presiden yang pernah dimiliki Indonesia tidak mampu menyelesaikan masa  jabatannya.  Setidaknya dua diantaranya, Soekarno dan Abdurahman Wahid,  diberhentikan oleh parlemen (MPRS/MPR). Walaupun pemberhentiannya taat  pada konstitusi, namun pemetaan politik dan kepentingan cukup mewarnai  proses pemberhentian kedua presiden tersebut.  Kisah-kisah itu menjadi awalan yang cukup menarik dalam buku ini.  Sejarah pemberhentian presiden pada periode lalu dikisahkan lagi oleh  penulis dalam prespektif hukum dengan sedikit mengeliminasi konteks  politik yang berkembang di dalamnya.Dengan sedikit mereduksi konstelasi  politik yang terjadi di balik penurunan presiden oleh MPR, proses  tersebut menunjukkan tingginya kontrol parlemen atas institusi  kepresidenan. Hal ini setidaknya dapat menjadi modal awal untuk  membangun proses demokratisasi di Indonesia di mana salah satu pilarnya  adalah kontrol terhadap kekuasaan agar tidak mengarah kepada terciptanya  penguasa tungal.* * *Penulis buku ini mempunyai mimpi besar untuk  membangun sebuah mekanisme kontrol terhadap presiden yang lebih sehat  dan tidak hanya tergantung pada konstelasi politik semata. Buku ini  melemparkan kritik mendasar kepada multi-intepretasi atas Pasal  7A UUD  1945. Presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan pada masa  jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan  Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan perlanggaran  hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak  pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti  tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.  (hal 9) Setidaknya terdapat lima jenis pelanggaran hukum yang dapat  “menurunkan” presiden berdasar pasal tersebut. Sayangnya, pemaknaan  terhadap kelima jenis pelanggaran tersebut tidak memiliki bingkai yang  jelas. Selama proses impeachment yang terjadi di Indonesia pemaknaan  terhadap jenis pelanggaran tersebut sangat tergantung kepada konstelasi  politik yang sedang berlangsung.  Sehingga  konstelasi politik di  DPR/MPR yang lebih memegang peranan penting dibandingkan dengan  nilai-nilai keadilan.Ajakan untuk  menggunakan aspek hukum pidana dalam  pemberhentian presiden cukup kuat dirasakan dalam buku ini.  Dalam Pasal  7A terdapat dua alasan presiden diberhentikan. Alasan yang pertama,  karena presiden melakukan pelanggaran hukum, dan yang kedua, dianggap  tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Penulis menggunakan  pendekatan hukum pidana untuk membingkai penafsiran pada alasan yang  pertama. Sedangkan pada alasan kedua, kurang begitu dikupas dalam buku  ini. Agaknya disebabkan terlalu multi intrepretatifnya alasan kedua.  Konstelasi politik dan pemetaan politik di MPR/DPR yang akan lebih  memegang peranan penting untuk memberikan tafsir yang lebih tegas  tentang maksud dari “tidak layak” menjadi presiden.  Pendekatan hukum  pidana menjadi mungkin digunakan untuk membingkai jenis pelanggaran yang  dilakukan presiden berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkan presiden  pada saat pengangkatannya. Berdasar Pasal 9 UUD 1945, presiden yang  bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala  undang-undang dan peraturan , termasuk di dalamnya KUHPidana.  Pelanggaran pidana yang dapat menjadi penyebab pemberhentian presiden  terdiri dari tindakan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,  tindakan pidana berat lainnya dan perbuatan tercela. Penterjemahan  untuk keempat jenis pelanggaran yang pertama cukup dengan gamblang  diuraikan dalam buku ini dengan merujuk pada berbagai undang-undang  terutama undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Sebuah lembaga yang  nantinya akan memegang peranan penting dalam proses pemberhentian  presiden. Pemaknaan terhadap perbuatan tindakan tercela yang dilakukan  oleh presiden memiliki batasan yang cukup luas. Asumsi tindakan tercela   akan terkendala pada bentuk aturan mana yang dapat dijadikan dasar  untuk membingkai tindakan tercela yang dilakukan presiden. Ketiadaan  aturan yang menjelaskan perilaku menjadi salah satu kendalanya.  Pemaknaan terhadap tindakan yang tercela merupakan satu dari banyak tema  diskusi menarik yang ditawarkan buku ini.Melalui pendekatan ini, maka  penyelidikan terhadap pelanggaran pidana yang dilakukan presiden dapat  dilakukan oleh kepolisian. Permasalahannya kemudian adalah  peraturan-peraturan yang mengatur mekanisme tersebut dijalankan. Sisi  positif dari pendekatan ini memungkinkan meminta pertanggunggjawaban  presiden secara lebih menyeluruh. Bentuk pertangungjawaban presiden  tidak hanya berhenti saat presiden turun dari jabatannya tetapi masih  akan diikuti dengan proses lebih lanjut berdasar hukun pidana. Proses  inilah yang sering tidak pernah terjadi di Indonesia. Tuduhan korupsi  ataupun tuduhan berkhiatan terhadap ideologi dan pandangan bangsa yang  jelas-jelas merupakan sebuah tindakan pelanggaran pidana prosesnya  berhenti saat presiden yang bersangkutan mengundurkan diri. * *  *Mekanisme pemberhentian presiden yang mulai berubah pasca revisi UUD  1945 menjadi sorotan lainnya dalam buku ini. Semenjak MPR tak lagi  memegang kekuasaan tertinggi, perubahan yang cukup signifikan terjadi  dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini juga berpengaruh pada  sistem pemberhentian presiden.  Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR  dapat memberhentikan presiden dengan diawali proses pengawasan terhadap  DPR. Apabila DPR menganggap presiden telah melakukan pelanggaran  terhadap undang-udang maka dapat mengajukan usulan pemberhentian  presiden dengan persetujuan 2/3 anggota dewan. Namun sebelumnya haruslah  meminta keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dakwaan yang  diajukan dewan terhadap Presiden. Setelah mendapat keputusan dari MK  barulah proses pengajuan usulan pemberhentian presiden kepada MPR dapat  berlangsung.Pelibatan MK dalam proses pemberhentian presiden tersebut di  satu sisi akan memberikan nilai lebih dalam membangun sistem pengawasan  presiden yang lebih sehat. Pertimbangan hukum memegang peranan penting  dalam pemberhentian presiden. Mekanisme ini dapat menjadi koreksi atas  sistem pengawasan terhadap lembaga eksekutif (presiden) yang selama ini  cenderung bernuansa politis dan tergantung konstelasi politik. Namun,  mekanisme tersebut nantinya akan membawa tantangan tersendiri bagi  institusi baru seperti MK yang juga turut berperan dalam proses  impeachment presiden. Peranan MK terlebih pada pembuktian dari sudut  hukum mengenai benar atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum presiden dan  wakil presiden dan putusannya tidak secara otomatis dapat  memberhentikan presiden dan wakil presiden dari jabatannya. Tetapi  netralitas dan keberpihakan MK kepada hukum dan nilai-nilai kebenaran  keadilan menjadi faktor terpenting yang harus dijaga. Bukan sebuah  keniscayaan, lembaga pertimbangan konstitusi seperti MK dapat terjebak  ke dalam pertarungan politik. * * *Demokratisasi di Indonesia diawali  dengan kisah, tingginya bahkan terlalu kuatnya peranan parlemen dalam  sistem ketatanegaraan di Indonesia. Kuatnya parlemen ini membuat tidak  berimbangnya kekuasaan antara parlemen dengan eksekutif. Sehingga  pertimbangan dari aspek politis lebih mewarnai proses pengawasan  terhadap lembaga kepresidenan alih-alih pertimbangan dari aspek  hukum.Berawal dari pengalaman sejarah tersebut, penegasan dan penguatan  aspek hukum dalam proses pengawasan lembaga ekseklutif ditawarkan oleh  buku ini. Pertimbangan aspek pidana dalam proses pengawasan dan  pemberhentian presiden bukan untuk semata-mata melindungi lembaga  kepresidenan dari intrik politik, tetapi juga mempertegas kembali  nilai-nilai keadilan bagi presiden dan juga legislatif. Pendekatan hukum  pidana juga akan mendorong terjadinya pertanggung-jawaban presiden yang  tak hanya secara politis tetapi juga dalam konteks hukum pidana atas  tindakan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban yang menyeluruh tersebut  sering hilang dalam sejarah pemeberhentian presiden yang dimiliki  indonesia. Sebagian besar pertanggungjawaban presiden berhenti setelah  turunnya presiden dari jabatan. Walaupun secara hukum ketatanegaraan  sudah selesai tetapi dalam kacamata hukum pidana belum selesai. * *  *Check and balances antara tiga lembaga negara menjadi salah satu faktor  penting dalam tatanan pemerintahan yang demokratis. Mekanisme  pengawasan yang dibangun oleh parlemen terhadap eksekutif haruslah juga  mendasarkan pada prinsip yang serupa. Kisah arogansi parlemen di masa  awal demokratisasi Indonesia merupakan sebuah pengalaman yang  dipelajari.  Agaknya, berdasar dari pengalaman empiris ini, Hamdan  zoelva mencoba menggunakan pendekatan legal konstitusional untuk  melaksanakan mekanisme kontrol kekuasaan antara legislatif, yudikatif  dan eksekutif.
Sebuah benang merah yang bisa ditarik adalah pengawasan terhadap  lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk  menegakkan nilai keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit  politik semata. Apabila proses ini terjadi maka sistem politik yang  lebih sehat akan tercipta dan membawa kesejahteraan masyarakat. Dalam  kerangka inilah buku ini memberikan pijakan awal untuk membangun sistem  pengawasan terhadap presiden yang lebih menegakkan nilai-nilai  keadilan.[] sumber: jurnal konstitusi, vol. 2 no. 2 (2006), diresensi  oleh Agus Mulyono.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar