Tidak  ada pengujian undang-undang yang tanpa batas, walaupun oleh Mahkamah  Konstitusi sekalipun. Dalam melakukan pengujian atas undang-undang  terhadap Undang-Undang Dasar Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh ketentuan  konstitusi (Undang-Undang Dasar) itu sendiri, prinsip-prinsip hukum  umum (general prinples of law)[1] serta undang-undang yang berlaku.
UUD  NRI Tahun 1945, memberikan kewenangan kepada Mahkamah Mahkamah  Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar  (Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945). Bagaimana hukum acara pengujian itu  dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, UUD menyerahkan hal itu untuk diatur  oleh undang-undang. Dengan demikian undang-undang yang mengatur  Mahkamah Konstitusi sepanjang mengenai hukum acara Mahkamah Konstitusi  bekedudukan setara dengan konstitusi dan Mahkamah Konstitusi wajib  tunduk pada pembatasan-pembatasan undang-undang itu.
Pasal  50 UU MK, menentukan bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk  diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD NRI  Tahun 1945. Persoalannya, apakah ketentuan pasal ini mengandung  pembatasan yang sejalan dengan UUD ataukah bertentangan dengan UUD.
 Pasal  24C UUD NRI Tahun 1945 tidak memberikan pembatasan atas undang-undang  mana saja yang boleh dan tidak boleh diuji oleh Mahkamah Konstitusi.  Pembatasan dalam menguji suatu undang undang terhadap Undang-Undang  Dasar oleh ketentuan Undang Undang Dasar hanya dapat ditarik dari  pemahaman dan penafsiran atas seluruh ketentuan UUD itu sendiri.  Memperhatikan ketentuan pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945, secara  tegas menentukan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim  konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahakamah  Konstitusi diatur dengan undang-undang. Dengan dasar ketentuan ini  dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi tunduk pada hukum acara yang  ditentukan oleh undang-undang. Apakah pasal 50 UU MK, adalah lingkup  hukum acara ataukah sudah masuk pada hukum materil.
Hukum  acara adalah hukum yang diadakan untuk menegakkan hukum materil yang  mengandung prosedur dan tatacara penegakkan hukum materil. Pasal 50 UU  MK, ditempatkan pada bagian hukum acara mengenai pengujian undang-undang  terhadap UUD. Untuk menilai substansi pasal 50 apakah termasuk bidang  hukum acara atau sudah masuk bidang hukum materiil tergantung dari segi  mana kita akan melihatnya. Jika kita akan memandang bahwa hukum acara  itu diperlukan untuk menegakkan hukum materil secara adil dan untuk  memenuhi kepastian dan ketertiban hukum maka dapat saja kita masukkan  substansi pasa 50 itu ke dalam bidang hukum acara. Sebaliknya jika kita  memandang bahwa hukum acara hanya semata-mata mengatur prosedur dan  mekanisme penegakkan hukum materil maka pasal 50 itu dapat dianggap  sudah keluar dari substansi hukum acara dan sudah masuk wialayah hukum  materil.
Lalu  mengapa pembentuk undang-undang memasukkan substansi pasal itu dalam  hukum acara MK. Hal ini terkait dengan penafsiran pembentuk  undang-undang terhadap Undang Undang Dasar bahwa suatu undang-undang  yang telah lahir sebelum perubahan UUD, tidaklah adil untuk diuji dengan  ketentuan UUD yang lahir kemudian untuk memenuhi prinsip tidak berlaku  surutnya suatu ketentuan hukum yang baru. Disinilah dua prinsip hukum  yang dapat membatasi dalam menguji UU terhadap UUD yaitu prinsip keadilan dan   prinsip kepastian hukum.  Untuk menguji suatu undang-undang yang telah lahir sebelum perubahan  UUD haruslah diuji dalam kerangka UUD yang berlaku pada saat itu dan  tidak dpt diuji dengan UUD yang lahir kemudian. Karena itulah aturan  peralihan UUD menentukan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang  ada masih tertap berlaku sepanjang belum diadakan yang baru. Dengan  demikian untuk merevieuw undang-undang yang lahir sebelum perubahan UUD tidaklah dapat dilakukan dengan mekanisme constitusional revieuw oleh MK akan tetapi melalui legislative revieuw yang dilakukan oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Disinilah prinsip kepastian hukum serta prinsip tidak berlakunya surutnya suatu ketentuan hukum harus diterapkan. Pada sisi lain memberikan peluang untuk melakukan constitusional review  terhadap undang-undang sebelum Perubahan UUD, dapat mengakibatkan  bertumpuknya pekerjaan MK untuk menerima permohonan pengujian terhadap  berbagai perundang-undangan yang lahir sejak jaman Belanda, termasuk  seluruh pasal KUH Pidana, KUH Perdata dan lain-lain yang sangat banyak.
Disamping  itu undang-undang dapat saja memberikan pembatasan terhadap hak dan  kebebasan setiap orang dengan pertimbangan untuk menghormati hak dan  kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan karena  pertimbangan moral, agama dan ketertiban umum dalam masyarakat  demokratis. Hal ini berarti bahwa pembatasan atas kebebasan setiap orang  untuk mengajukan permohonan pengujian terhadap suatu undang-undang  adalah sah-sah saja dan tidak perlu dipertentangkan dengan UUD, manakala  pembatasan itu untuk memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan  pertimbangan moral, nilai-nilai agama serta ketertiban umum atau untuk  menghormati hak asasi orang lain.
Pembatasan  yang diatur dalam pasal 50 UU MK itu dimaksudkan hanya semata-mata  untuk memenuhi tuntatan yang adil sesuai dengan pertimbangan untuk  mengakkan ketertiban umum, yaitu agar supaya tidak memberikan peluang  yang terlalu bebas untuk menguji seluruh undang-undang tanpa batas untuk  menghindari potensi menumpuknya perkara yang akan diajukan kepada MK.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar