Relevansi al-Kitab, Sunnah Dan Syari’ah Dalam Membentuk Peradaban Islam
Oleh: Mouvty Makaarim Al-Ahlaq
 
 
 
“Pada mulanya Islam dianggap hal yang aneh, kemudian ia juga pada  akhirnya juga dianggap aneh. Beruntunglah bagi mereka yang dianggap  aneh! Sahabat bertanya: Siapakah yang dianggap aneh itu wahai Rasul  Allah? Nabi menjawab: Mereka yang berpegang sunnah-ku setelah banyak  orang yang meninggalkannya.” (al-Hadits)
Memperbincangkan Islam sebagai wacana, serasa seperti membongkar  kembali kepustakaan yang terlupakan, terlembagakan, angker dan angkuh.  Islam sebagai proses dinamis telah lama mengalami distorsi, terkukung  pemahaman konservatif yang stagnan, atau terlindas “wacana-wacana  profan” sebagai akibat konsesi sejarah. Pendeknya, berbicara tentang  wacana keislaman adalah “membangunkan” kesetiaan tanpa makna selama  ratusan tahun terhadap tradisi, teks dan ijtihad yang tersakralkan,  butuh tenaga ekstra. Meski demikian, membicarakan Islam adalah  keharusan, sebagai  kajian terhadap peradaban yang tengah diuji  eksistensinya. Islam dalam wajahnya yang siap menghadapi transformasi  sosial.
Tulisan ini bukanlah klaim sebagai “obor” yang mulai  menyalakan  “api” Islam, hanya sebuah kegelisahan menghadapi ketidakpastian sikap  Islam menghadapi masa depan manusia, kerja keras dari “menara gading”,  menatap setiap pelosok pedalaman Islam, menghadirkan pandangan optimis  segelintir MUSLIM yang jeli melihat realitas umat (baca: muslim) sebagai  problema. Dengan segala kekurangannya, Ashgar Ali Engineer (India), Dr.  Hasan Hanafi (Mesir), Dr. Mohammed Arkoun, (Aljazair) Ustad Mahmoud  Mohamed Taha dan muridnya Profesor Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im (Sudan)  rela menjadi “tha’ifah yatafaqqah fi al-Dien”, menentang arus pemahaman  umum kaum muslim yang terjebak dalam desakralisasi teks, pembekuan  fenomena ijtihad, penampikan fakta historis tradisi, hukum dan prinsip  keagamaan, fundamentalisme radikal yang ambigu. Mereka memang terlahir  bukan pada masanya, sehingga harus rela disalahtafsirkan. Buah pikiran  mereka nyaris tidak laku, berbenturan dengan konteks, kultur dan sikap  tertutup –atau bahkan ketidakmauan– untuk membentuk sebuah konsep Islam  yang transformatif.
Deskripsi ini, jelas tidak tuntas menyajikan buah fikiran mereka  –sebab mustahil menyajikan eksperimentasi mendasar dalam bentuk konsep  menjadi sekadar sebuah makalah. Apalagi pekerjaan terberat adalah  mengkaji literatur yang berjumlah sekitar 18 judul buku dalam waktu  singkat –enam hari–. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Realitas Umat Islam?
Dunia Islam
[1]  (Islamicate –menurut Marshall Hodgson Dalam The Venture of Islam) dalam  pandangan Barat terwakili oleh kondisi kaum muslim. Artinya, selama  beberapa dekade, identitas Islam tidak lagi difahami berdasarkan  teks-teks keagamaan, aspek ritual atau konsep keagamaan lainnya, tetapi  semata-mata merujuk pada kondisi riil umat. Islam kontemporer dalam  stereotip (stereotype) Barat adalah “fundamentalisme”
[2]  yang memuat ekstremisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.  Wajah yang –mungkin hanya– diwakili Libya, Saudi Arabia, Pakistan dan  Iran.
Imperealisme dan kolonalisme yang dilegitimasi modernitas adalah  bagian dari transformasi ekstrim westernisasi dan sekularisasi.  Pembangunan yang mengandung “westoxification” –racun Barat–  mengidentikkan semua dengan misi penciptaan manusia beradab, serba  Eropa. Agama menjadi rintangan utama perubahan sosial politik dan  kebudayaan di dunia Islam.
[3] Termasuk fundamentalisme.
Tentu saja, gerakan-gerakan Islam “fundamentalis”, membuat Islam  diperhitungkan di level aksi dan gerakan, seperti yang terjadi di Irak,  Iran, Mesir, Libya, Pakistan, Afganistan, Aljazair dan Palestina. Bagi  Barat, Islam menjadi ancaman monolitik yang sangat berbahaya setelah  runtuhnya komunisme. Yang menjadi pertanyaan, apakah realitas Islam yang  sebenarnya? Kemanakah tradisi intelektual Islam? Sanggupkah Islam  bertahan dengan sikap setengah hati –atau sikap penentangan– menerima  transformasi dan modernisasi? Apakah memang Islam tidak siap menghadapi  masa depan? Insya Allah akan kita diskusikan di sini.
Deskripsi Sejarah Islam-awal dan Perkembangannya
Diakui, kelahiran Islam di Makkah adalah revolusi Muhammad di  berbagai bidang. Dengan bekal wahyu Tuhannya, Muhammad menentang segenap  penindasan, ketidakadilan, penumpukan kekayaan, kecurangan, riba yang  eksploitatif, penyembahan berhala dan perampasan hak asasi. Muhammad  meperjuangkan restrukturisasi masyarakat yang radikal. Namun sayang,  konteks sejarah tidak siap menghadapi elan pembebasan Islam secara  total. Pada masa dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan dinasti lainnya, Islam  menjadi terlembagakan, menjadi feodal, menjadi kekuatan eksploitatif.  Inilah gambaran Asghar Ali Engineer tentang situasi Islam pasca  meninggalnya Muhammad:
“
Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang  konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah dibawah pengaruh atmosfir  tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan  Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresifitas  Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam  dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan  situasional. Generasi berikutnya mengikuti dengan cara yang tidak kritis  dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan hukum syari’ah yang kaku  dan tidak dapat diubah. Sementara itu ulama masa kini –dengan semangat  tidak kritis yang sama– menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh  ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas  abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah  bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah  satu fungsi Tuhan yang esensial adalah rububiyyah yang didefenisikan  oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui  tahapan-tahapan evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan. Jika  kebijaksanaan Ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya  terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang  mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi“
[4]
Ada dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya polarisasi dan  stagnasi di kalangan umat Islam-awal: pertama, diakuinya posisi penguasa  “negara Islam” (sulthan) sebagai khalifah Tuhan, menempati hierarki  sosial paling tinggi, hingga otoritas agama sebagai lembagai independen  menjadi hilang. Agama terjebak dalam konsesi dan legitimasi terhadap  penguasa. Lebih jauh, jarak antara sistem religio-politik dan  sekulerisasi yang dijalankan penguasa menjadi bias.
[5]
Kedua, Syari’ah yang dikompilasikan oleh para teolog zaman Islam-awal  dianggap sebagai corpus, teks suci. Hingga yang terjadi kedaulatan  Tuhan disamakan dengan kedaulatan Ulama. Inisiatif manusia terlupakan,  digantikan dengan keyakinan bahwa para Ulama sudah mengantisipasi  perkembangan yang akan terjadi di masyarakat. Padahal, kalangan Ulama  pun bersepakat, bahwa para fuqaha dalam membuat sebuah keputusan hukum  juga dipengaruhi oleh kondisi zaman dan perkembangan, hingga terjadi  perbedaan mazhab.
[6]  Revisi terhadap rumusan Syari’ah mereka, bukan berarti menolak  kebijaksanaan dan kecerdasan, pengetahuan dan ketulusan hati mereka  dalam memperjuangkan Islam. yang jelas, mereka berfikir dan menulis  dalam konteks zaman mereka sendiri; jikalau mereka berfikir diluar  konteks dan zamannya, maka hasil rumusan mereka tidak berguna. Mereka  juga menyadari keterbatasan pemikiran dan kemungkinan adanya kekeliruan  dalam penarikan kesimpulan; karena itu setelah menyatakan pendapat,  mereka selalu mengucapkan atau menulis wa Allah a’lam bi al-shawab.
[7]
Agama adalah institusi sosial yang khusus –menurut  Emile Durkheim–. Agama mengandung dimensi yang empiris dan tak empiris.
[8]  Sementara kekuasaan cenderung berbicara melulu tentang realitas. Oleh  karenanya, ketika agama berada dibawah hegemoni negara (penguasa) jelas  akan terlibat penuh dengan pasang-surut realitas, kemungkaran-keadilan  penguasa, atau bahkan melegitimasi kepentingan mereka. Begitu pun  syariah, bukanlah wilayah kebenaran absolut. Syari’ah adalah  kebijaksanaan agama, yang selalu turun kotesktual, rasional dan  mengandung misi rahmat lil-’alamien
Al-Qur’an, al-Sunnah, Syari’ah: Awal Kajian Islam Kontemporer
Setelah kita melacak akar stagnasi umat Islam saat ini, dapat  disimpulkan bahwa sebenarnya ada tiga hal utama yang menjadi arus  perdebatan dalam wacana Islam kontemporer. Pertama, penafsiran kembali  al-Qur’an melampaui tafsir historis ulama terdahulu. Al-Qur’an yang  tidak saja berbicara tentang realitas, ruang dan waktu tertentu saja  karena hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Islam  kontemporer harus membangun tafsir perseptif (al-syu’ury) sehingga  muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia dan sistem  sosial.
[9]
Kedua, reinterpretasi terhadap sunnah. Sunnah yang selama ini  ditafsirkan terdiri dari segala perkataan, tindakan dan persetujuan  Muhammad tidaklah benar. Hanya tindakan personal dan ucapannya yang  merefleksikan suasana hati yang dibimbing Allah-lah yang membentuk  sunnah. Sementara ajaran yang disampaikan kepada pengikutnya yang  didesain untuk mengajarkan masyarakat tentang agama dan persetujuan  tentang prilaku mereka adalah berdasarkan syari’ah. Sunnah berhubungan  dengan praktek pribadi Muhammad, sementara pada syari’ah nabi  menurunkannya dari tingkat praktek pribadinya menuju tingkat kaumnya  untuk mengajari mereka menurut kemampuan mereka dan mengharapkan mereka  bertindak sesuai dengan kapasitasnya. Perbedaan keduannya adalah  perbedaan Pesan –yang mengandung Syari’ah– dan Kenabian –yang mengandung  sunnah–.
[10]  Inilah yang dimaksud dalam jawaban Muhammad –tentang siapa yang  dianggap aneh dalam hadits keanehan kedatangan Islam pada akhir masa–:  “Mereka  yang berpegang teguh pada Sunnah-ku setelah banyak orang yang  meninggalkannya.” Nabi bersabda: “Kami para nabi telah diperintah untuk  mengajar manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka”. –yaitu  Syari’ah yang sangat dipengaruhi oleh kontes dan kondisi masyarakat.
[11]
Ketiga, mencoba mencari formula Syari’ah yang memahami kondisi Islam  kontemporer, yang cenderung mencari pendekatan kemashlahatan (mashalih  mursalah), dengan mengkaji paradigma hukum yang lebih dekat kepada  realitas. Syari’ah yang tidak terpaku pada validitas teks saja, tetapi  penerapannya tidak proporsional dan diskriminatif. Syari’ah yang  dikembalikan pada sumber utamanya, dan keberanian untuk menggunakan akal  secara optimal dalam interpretasi teks (ijtihad) karena teks seharusnya  adalah refleksi atas realitas.
[12]
Al-Qur’an: Khazanah Utama Islam dan Persoalan Reinterpretasi
Makna kata “Qur’an” –bentuk partciple/fi’l al-madi-nya qara’a–  memiliki pengertian lebih dari sekedar membaca, karena tidak  mensyaratkan adanya sebuah teks tertulis ketika pertama kali mengucapkan  wahyu ini.
[13]  Menurut tradisi Muslim, al-Qur’an mulai dikumpulkan saat nabi meninggal  tahun 632, bahkan ketika beliau hidup tampaknya ayat-ayat tertentu  sudah ditulis, kumpulan-kumpulan parsial dibuat dengan bahan yang agak  tidak memuaskan, karena kertas belum dikenal di kalangan orang arab dan  tersedia bagi mereka baru di akhir abad ke-8. Meninggalnya para sahabat  dan perdebatan panjang di kalangan umat Islam mendorong khalifah ketiga,  Utsman, untuk mengumpulkan totalitas wahyu ke dalam satu kompilasi yang  disebut mushaf. Kumpulan ini dinyatakan sempurna, selesai dan tertutup;
[14] menjadi Corpus resmi yang tertutup.
Al-Qur’an sebagai kitab suci, tengah menghadapi dua ujian; Pertama,  dengan terbukukannya al-Qur’an, secara fisik tekstual ia hadir sejajar  dengan buku-buku lainnya, ia menjadi fakta historis. Al-Qur’an terikat  dengan sikap dan respon pembacanya.
[15]  Al-Qur’an mengandung dua gaya bahasa: preskriptif (memerintah,  melarang, mengatur, menetapkan) dan deskriptif (gaya penulisan ilmiah,  demokratis dan terbuka untuk diskusi). Yang akan menjadi persoalan,  sejauh mana Kitab Suci terbuka untuk difahami; seperti apakah  tingkat-tingkat keterbukaan al-Qur’an? Belum lagi persoalan otoritas dan  pendekatan studi terhadap Kitab Suci, misalnya dengan memperhatikan  karakter sastra al-Qur’an –jika semuanya dimungkinkan, maka mau tidak  mau otentisitas al-Qur’an akan diuji sebagaimana sebuah karya ilmiah.  Maka al-Qur’an menjadi sebuah obyek kajian ilmiah dengan perpektif  ilmiah pula. Bukankah ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan budaya  tertentu; menjawab fenomena tertentu; terikat dengan konsep dan  identitas budaya yang mungkin-mungkin semangatnya sudah berubah.
[16]
Fazlurrahman menggambarkan ada tiga pendekatan studi literatur Barat  pada awal zaman modern terhadap al-Qur’an: (1) Usaha mencari pengaruh  Yahudi-Kristen di dalam al-Qur’an; (2) Percobaan membuat rangkaian  kronologis ayat-ayat al-Qur’an; dan (3) Karya yang bertujuan menjelaskan  keseluruhan atau aspek-aspek yang tertentu dalam ajaran al-Qur’an.  Sementara ahli-ahli Muslim sendiri menghadapi dua problem: (1) Mereka  kurang menghayati relevansi al-Qur’an untuk masa sekarang, hingga tidak  dapat menyajikan al-Qur’an untuk memenuhi kebutuhan ummat manusia masa  kini; dan yang lebih penting (2) Mereka kuatir jika penyajian al-Qur’an  yang seperti di atas dalam berbagai hal akan menyimpang dari  pendapat-pendapat yang telah diterima secara tradisional. Sebuah resiko  –menurut Fazlurrahman– yang harus dihadapi dengan ketulusan hati dan  persepsi.
[17]
Kedua, al-Qur’an diuji sebagai dasar hukum positif. Abdullahi Ahmed  An-Na’im misalnya, melihat bahwa al-Qur’an “sebenarnya” terutama lebih  berupaya membangun dasar prilaku umat Islam ketimbang mengekspresikan  standar-standar itu sebagai hak dan kewajiban. Al-Qur’an berisi tingkah  laku yang mendasari masyarakat beradab, seperti tenggang rasa, kejujuran  dan kepercayaan dalam urusan perdagangan, integritas dan kejujuran  dalam peradilan, dan mengkespresikannya sebagai etika keagamaan Islam.  Kecuali untuk beberapa pelanggaran tertentu (hudud dan qisas) Al-Qur’an  tidak menyebutkan konsekuensi hukum tentang berbagai pelanggaran hukum  publiknya. Artinya, “seolah-olah” al-Qur’an bukan mengatur hubungan  manusia dengan sesamanya, tetapi semata-mata hubungan manusia dengan  Tuhannya.
[18] Selanjutnya ia mengatakan:
“
Jadi al-Qur’an bukanlah kumpulan hukum atau bahkan buku hukum…  melainkan sesuatu yang memiliki daya tarik bagi manusia untuk mentaati  hukum Tuhan yang sudah lebih dulu diwahyukan atau mungkin dapat  ditemukan. Namun demikian, salah besar mengabaikan pengaruh al-Qur’an  dalam penciptaan sistem perundang-undangan Islam.”
Adalah Dr. Mohammed Arkoun yang mulai melihat bahwa keseluruhan teks  al-Qur’an yang begitu tertata rapi memiliki fungsi sebagai karya tulis  dan liturgi lisan.
[19]  Arkoun-lah yang mendakwahkan pendekatan filologi dalam melihat  makna-makna teks. Studi kritis –dengan perangkat linguistik kontemporer–  tentang al-Qur’an tidak lain kecuali penyusunan corpus autentik tentang  semua ujaran-ujaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dibawah nama  kebenaran yang diwahyukan (tanzil, wahy). Defenisi ini menekankan  perjalanan dari kata yang  diujarkan kepada kata yang ditulis. Pembukuan  resmi di zaman khalifah Utsman (644-656) yang merupakan totalitas  wahyu, ditulis dalam suasana kacau. Karenanya, Arkoun sangat  menganjurkan kajian filosofis terhadap al-Qur’an, padahal itu berguna  untuk memperkuat fondasi-fondasi ilmiah sejarah mushaf dan teologi  wahyu.
[20]
Defenisi al-Qur’an juga memungkinkan kita untuk mengkaji aspek  kebahasaannya. Kita hendak meneliti proses kebahasaan dan kesusasteraan  manakah yang benar-benar menyebabkan “diskursus”
[21]  al-Qur’an menciptakan persepsi kesadaran yang terpusat pada Tuhan yang  Hidup, Kreatif sekaligus Transenden. Bukankah pada masa Muhammad  orang-orang banyak “ditaklukkan” oleh kualitas sastra al-Qur’an?  “Katakanlah, seumpama manusia dan jin bekerjasama untuk membuat sesuatu  yang sama dengan al-Qur’an, niscaya mereka akan gagal untuk membuat apa  pun juga yang sama dengannya (al-Qur’an) (QS 17:88).Inilah yang dilihat  Arkoun, bahwa apresiasi kebahasaan digunakan al-Qur’an untuk memperbarui  kesadaran keagamaan
[22].
Secara hermeneutik maka sangat beralasan bahwa penafsir pertama  al-Qur’an adalah Muhammad sendiri, dan oleh karenanya posisi Tuhan  sebagai pengarang al-Qur’an telah dijurubicarai oleh Muhammad yang tentu  saja diwarnai oleh bahasa dan tradisi Arab.
[23]  Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa al-Qur’an membuka diri untuk  sebuah ruang penafsiran, sesuai dengan konteks zaman dan tradisi ketika  penafsiran itu ingin menjawab sebuah kondisi masyarakat. Inilah yang  mewarnai ide-ide teolog Islam masa kini. Pembakuan penafsiran untuk masa  tertentu mungkin diperlukan untuk memelihara stabilitas dan kohesi  sosial, tetapi jika penafsiran itu diabsolutkan, tentu bertetangan  dengan jiwa al-Qur’an itu sendiri, seperti komentar dari Komaruddin  Hidayat:
“Absolutisasi atas penafsiran sama halnya dengan memukul lonceng  kematian hermeneutik sehingga al-Qur’an berhenti sebagai mitra dialog  bagi anak manusia dalam mengemban tugasnya menelusuri zamannya. Jika ini  dilakukan terhadap al-Qur’an maka berarti memposisikan al-Qur’an yang  bersifat universal pada posisi marginal atau bahkan dikeluarkan dari  percaturan intertekstualitas yang akan dan tengah berkembang.”
[24]
Dalam kasus interpretasi terhadap al-Qur’an, tentu kita harus  mengkaji sebuah metode yang tepat –dan ruang makalah ini tentu terlalu  sempit untuk membeberkannya. Tetapi paling tidak, dari ide-ide ini kita  bisa menangkap semangat revitalisasi yang terus-menerus menyala, demi  membumikan al-Qur’an.
Al-Sunnah; Pesan Islam Yang Kontroversial
Sebagai teks kedua dalam Islam yang diakui keshahihannya, sunnah  (tradisi profetik), sangat besar perannya dalam membimbing masyarakat.  Karena wahyu selalu membimbing Nabi, maka apa yang ia katakan mendapat  jaminan ontologis. Para sahabat sangat memperhatikan sabda-sabda beliau,  mengumpulkannya dengan keshalihan yang sungguh-sungguh dan  meriwayatkannya kepada generasi berikutnya. Para sahabat dan  pengikut-pengikut selanjutnya (tabi’in) merupakan mata rantai kesaksian  (isnad) yang menjamin keotentikan isi hadits (matan). Sepeninggal Nabi,  sabda-sabda ini menjadi obyek penelitian yang serius sehingga dapat  dikumpulkan dan dibukukan sebagaimana al-Qur’an. Di sini juga terjadi  transisi dari tradisi lisan menuju tradisi tulisan.
[25]
Arkoun melihat, bahwa pada masa pembukuan sunnah (hadits) dan  pengeditannya, terjadi kontroversi yang terus berlanjut antara tiga  masyarakat besar muslim. Kaum Sunni misalnya, mengakui kompilasi Bukhari  (w. 870) dan Muslim (w.875) sebagai dua kompilasi yang otentik. Syi’ah  Itsna Asyariyah menumpukkan mata rantai hadits ini pada Kulaini (w.939)  dan dilengkapi dengan koleksi Ibn Babuyi (w. 991) dan Tusi (w. 1067).  Khawarij hanya menggunakan koleksi Ibn Habib (yang dimulai pada abad  ke-8). Pertentangan dalam mengontrol hadits ini, bermula dari persaingan  kelompok-kelompok tersebut untuk memimpin masyarakat politik muslim  –khilafah atau imamah–, sehingga sarjana-sarjana muslim yang terkenal  sebagai pakar hadits, al-muhadditsuun, mengembangkan ilmu kritik hadits  (musthalah al-hadits), suatu usaha memverifikasi matarantai-matarantai  otoritas secara historis. Sayang, belum pernah ada tinjauan umum  terhadap seluruh kompilasi hadits yang ada, yang akan menyebabkan para  sarjana mampu untuk menghadapi problem yang benar-benar historis dalam  merekontruksi tradisi Islam secara tuntas. Langkah semacam ini mesti  mempersyaratkan suatu perbandingan sitematis terhadap semua isnad dan  semua teks yang dijunjung tinggi dalam tiga arus utama tradisi sehingga  masalah otentisitas dapat dikajiulang dengan sarana-sarana modern  –termasuk komputer untuk menangani teks-teks– dan kritik historis.
[26]
Pada akhirnya, ada semacam rasa putus asa pada segelintir muslim pada  masa berikutnya. Dr. Hassan Hanafi misalnya, lebih memilih melihat  matan (teks) yang rasional dan wajar ketimbang aspek sanad (silsilah  perawi)-nya.
[27] Abdullahi Ahmed An-Na’im pun pesimis, bahwa saat ini kita masih mungkin untuk mengecek keaslian sunnah tersebut.
[28]
Sebagaimana al-Qur’an, sunnah (hadits) memiliki unsur normatif dan  kontekstual. Ketika prilaku Nabi harus mempunyai relevansi dengan  umatnya, maka harus berasal dari tradisi dan sejarah umatnya sendiri,  kontekstual. Dan ketika Nabi harus memberi teladan pada mereka, beliau  mengambil yang normatif. Itu sebabnya al-Qur’an menggambarkan prilaku  nabi sebagai teladan yang paling baik sepanjang masa.
[29]  Sayangnya, ketika fuqaha merumuskan syari’ah, kandungan normatif dalam  al-Qur’an dan sunnah tidak bisa ditangkap. Belum lagi kesulitan  melepaskan membuktikan bahwa sahabat dan ulama tradisonal yang merekam  sunnah tersebut bisa melepaskan elemen kenabian dari ajaran dan fakta  yang diduga bukan dari nabi sendiri.
[30]
Yang jelas, sunnah bukanlah wilayah yang unthinkable –meminjam  istilah Arkoun–, sehingga sudah tidak bisa dipercaya untuk menjawab  tantangan masa depan dunia Islam. Sunnah adalah pesan kedua Islam  –sebagaimana yang diucapkan Mahmoud Mohamed Taha–, berada diperbatasan  penafsiran kita-lah kelanggengannya. Jika kita tidak bijak menyikapi  sunnah, maka kita kembali mundur dan membekukan validitasnya dalam  locker sejarah.
Syari’ah: Tindaklanjut Kebijaksanaan Kitab Suci dan Misi Kenabian
Problematika syari’ah kontemporer lebih berkenaan dengan hukum publik  saja. Secara historis, syari’ah tidak bisa lepas dari prilaku  interpretasi ulama terhadap al-Qur’an dan sunnah, dan semua telah kita  bicarakan pada awal-awal tulisan ini. Maka, kita tidak akan berpanjang  kalam mengungkit  aspek historis, tetapi lebih mengemukakan sikap-sikap  dalam menggunakan syari’ah sebagai perangkat hukum resmi umat Islam.
Inilah yang meyebabkan Abdullahi Ahmed An-Na’im dengan semangat  dekonstruksinya mengajak kita lebih bijaksana dalam menggunakan syari’ah  sebagai perangkat hukum. Ia berpendapat, umat Islam sedunia dapat  menggunakan legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri  dengan identitas Islam, termasuk menerapkan hukum Islam, asal tidak  melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain baik di  dalam maupun di luar komunitas Islam.
[31]  Oleh karena itu, umat Islam harus berhati-hati dalam menggunakan karya  ulama muslim pra-modern awal dan “klasik” dalam masalah-masalah  konstitusional dan politik. Pengaruh situasi sangat erat dengan karya  mereka, misalnya al-Mawardi yang membolehkan perebutan kekuasaan dengan  kekerasan –padahal ini  bertentangan syari’ah– atau Ibn Taimiyah yang  mewajibkan ketaatan terhadap syari’ah, tanpa mempersoalkan ketaatan  seorang pemimpin.
[32]  Sekalipun semua keputusan ulama itu dibolehkan, tetapi resikonya akan  mengambrukkan seluruh suprastruktur sistem peradilan. Ada kesan umat  Islam lebih suka menjaga keutuhan dan kesempurnaan syari’ah dalam teori,  kendati  hal  itu tidak mungkin diterapkan dalam praktek. Bagi orang  Islam, lebih baik jauh dari dosa yang mengerikan untuk menolak atau   mempermasalahkan wahyu ilahiyah, daripada gagal untuk menaatinya.
Salah satu yang menghendaki dan mengkondisikan proses beradaptasi dan  menyesuaikan dengan kehidupan kontemporer adalah adanya realitas negara  bangsa (nation state) modern. Karena konsep negara bangsa tidak  berkembang dari pengalaman sejarah atau tradisi kultural umat Islam,  maka umat Islam mengalami kesulitan mengasimilasikan konsep tersebut.  Harus diakui, bahwa sekularisasi juga memberi keuntungan positif  terhadap Islam, dan jika  syari’ah historis dipaksakan untuk diterapkan,  maka kita akan kehilangan manfaat paling bermakna dari sekularisasi  –seperti standar hak asasi manusia, tidak akan bisa direspon oleh  syari’ah yang tidak memberikan kesamaan konstitusional antar warga  negara (muslim-non muslim). Pada level internasional, syari’ah mensahkan  penggunaan kekuatan agresif untuk menyebarkan Islam dan tidak mengakui  persamaan kedaulatan negara-negara non muslim, dan ini bertentangan  dengan sebagian standar Hak asasi Manusia yang paling fudamental.
[33]
An-Naim meyakini, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja  historis, mereka tidak akan pernah mencapai tingkat keharusan yang  mendesak supaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang. Karenanya,  supremasi syari’ah  harus dijustifikasi, ditinjau ulang berdasarkan  al-Qur’an dan sunnah. Dengan pendekatan “syari’ah demokratik”nya Mahmoud  Mohamed Taha, Na’im mengimpikan pembaharuan syariah yang memadai,  konsisten dengan standar HAM internasional.
[34]
Penutup
Tulisan ini memang tidak tuntas, menyelesaikan dan menyikapi secara  detail semua agenda masa depan Islam. Sesuai dengan judul, tulisan ini  hanya ajakan untuk mempertimbangkan kembali Islam yang rahmatan  lil-’alamin. Kita berhak untuk sepakat atau tidak sepakat, tetapi yang  jelas perhatian mereka terhadap Islam tidak diragukan lagi. Hukum publik  Islam dituntut untuk menyelesaikan problematika distribusi sosial yang  adil dan seimbang, kepekaan terhadap hakikat (esensi) Islam, hak-hak  kesetaraan, diskriminasi, dan lain sebagainya dalam pandangan An-Na’im,  juga yang lainnya.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Jakarta, 28 Februari 1999
[1]  Marshall Hodgson membedakan dunia Islam yang ideal dan riil dengan  istilah Islamic dan Islamicate. Istilah terakhir menggambarkan  pengertian tentang keseluruhan masyarakat dan budaya tempat kaum  muslimin dan keimanannya bergumul dalam tradisi dan adat istiadat selama  berabad-abad. Lihat Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Penerbit  Pustaka Firdaus, cet. I Juli 1995, hal. 152. 
[2]  Sengaja istilah “fundamentalisme” kami beri tanda “, hal ini berkaitan  dengan persepsi fundamentalisme yang berkembang di Barat, dipengaruhi  Protestanisme Amerika. Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary  mendefenisikan fundamentalisme sebagai “sebuah gerakan Protestanisme  abad keduapuluh yang menekankan penafsiran injil secara literal sebagai  hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen”. Lihat John L.  Esposito, The Islamic Treath: Myth or Reality, Oxford University Press,  New York 1992, yang diterjemahkan dengan judul Ancaman Islam: Mitos Atau  Realitas? Penerbit  Mizan, Bandung, Cet. III, 1996, hal. 17.
[3] John L. Esposito, ibid, hal. 19.
[4]  Asghar Ali Engineer, Islam and Its Relevance to Our Age, Institute of  Islamic Studies, Bombay, 1987, diterjemahkan menjadi Islam dan  Pembebasan, LKiS Yogyakarta bekerjasama dengan Pustaka pelajar, cet. I,  hal. 10-11.
[5]  Lihat Mouvty Makaarim al-Akhlaq, PERAN POLITIK AGAMA DALAM NEGARA:  Sebuah Tinjauan Historis, Jurnal Praksis Edisi Perdana/Januari 1999 hal.  3-4.
[6] Lihat Asghar Ali Engineer, ibid hal. 26. Selanjutnya ia mengatakan:
“…
bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya  yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks,  daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan  orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana.  Karena alasan ini Abu Hanifah seringkali terpaksa menggunakan ra’y dan  pertimbangan akal dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan  hukum.”
[7]  Asghar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, C. Hurst. Co. 38 King  Street, London, 1992. Edisi indonesia: Hak-hak Perempuan Dalam Islam,  Yayasan Bentang Budaya, cet. I, 1994, hal. 22.
[8]  K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan  Individu-masyarakat Dalam Cakrawala sejarah Sosiologi, Penerbit PT  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet. IV, 1993, hal. 164.
[9]  Lihat Dr. Hasan Hanafi, Apa Arti Kiri Islam (Madha Ya’ni al-Yasar  al-Islami), dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan   Postmodernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKiS  Yogyakarta, cet.II Januari 1994, hal. 104. Judul asli: Between Modernity  and Postmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi’s Thought: A  Critical Reading
[10]  Lihat catatan pembuka Abdullahi Ahmed An-Na’im, Ustad Mahmoud Taha:  Pemikiran dan Perjuangannya dalam Mahmoud Mohamed Taha, The Second  Message of islam: Syari’ah Demokratik, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi  (eLSAD), Surabaya, cet. I November 1996, hal. 5. Judul asli: The Second  Message of Islam.
[11] ibid, hal. 6.
[12] Hassan Hanafi, ibid hal. 97-98.
[13]  Lihat Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Question, Uncommon  Answers, Edisi Indonesia: Rethinking Islam, LPMI (Lembaga Penterjemah  & Penulis Muslim Indonesia) bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,  Yogyakarta, cet. I, Maret 1996. hal. 46.
[14]  ibid, hal.55-56. Lihat juga Dr. Komarudin Hidayat, MEMAHAMI BAHASA  AGAMA: Sebuah Kajian Hermeneutik, Penerbit Paramadina, cet. I, Oktober  1996, hal. 114
[15] Komarudin Hidayat, op.cit. hal. 76-77.
[16] ibid, hal.104.
[17]  Lihat Fazlurrahman, Tema-tema pokok al-Qur’an, Penerbit Pustaka,  Bandung, cet. I, 1403 H – 1983 M. hal. xi. Judul asli: Mayor Themes of  the Qur’an, Bibliotecha Islamica, Minneapolis, Chicago, 1980.
[18]  Lihat Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syariah: Wacana Kebebasan  Sipil, Hak Asassi Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, LKiS,  Yogyakarta cet. II, Mei 1997, hal. 39-40. Judul Asli: Toward an Islamic  Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law.
[19]  Dr. Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, LPMI & Pustaka Pelajar, cet.  I, September 1996. hal. 5. Judul asli: Arab Thought, S. Chand &  Company (Pvt) LTD, New Delhi 1988.
[20] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, op.cit. hal. 57.
[21]  Dalam defenisi E. Beneviste, suatu diskursus berarti “ujaran-ujaran apa  pun yang mengiplikasikan kehadiran seorang pembicara, pendengar dan  maksud dalam pikiran pembicara untuk mempengaruhi pendengar dengan cara  tertentu.” Lihat Dr. Mohammed Arkoun, _Pemikiran Arab_ op.cit. hal.7
[22] Dr. Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, op.cit. hal. 7.
[23] Komarudin Hidayat, op.cit. hal.151-152.
[24] Ibid. hal. 152-153.
[25] Dr. Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, op. cit. hal. 73.
[26] ibid. hal.73-74.
[27] Dr. Hassan Hanafi, op.cit. hal. 105.
[28] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syari’ah, op.cit. hal. 47.
[29] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, op.cit. hal. 18.
[30] Abdullahi Ahmed An-Naim, op. loc. hal. 45.
[31] Abdullahi Ahmed An-Na’im, op.loc. hal. 3.
[32] ibid, hal. 12-13.
[33] ibid. hal. 18-19.
[34]  Abdulahi Ahmed An-Naim, SYARI’AH DAN HAM: Belajar Dari Sudan, dalam  “Dekontruksi Syari’ah (II): Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, LKiS  Yogyakarta cet. I, 1996, hal. 155-170. Lihat juga An-Na’im, Sekali Lagi,  Reformasi Islam, hal. 109-130. Judul asli: Islamic Law Reform and Human  Right Challenges and Rejoinders_ Editor Tore Lindholm dan Kari Vogt,  Nordic Human Right Publication, Norwegia, 1993