PPC Iklan Blogger Indonesia
Tampilkan postingan dengan label Doa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Doa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Juli 2011

Istishhab

Para Ulama memahami Istishhab dengan berbagai versi, diantaranya, Istishhab diartikan segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

1. Pengertian

'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.

Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yaang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishhab yang dikemukakan para ulama di atas, dipahami bahwa istishhab itu, ialah:

1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

Contoh istishhah

1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.

2. Menurut firman Allah SWT:

Artinya:

"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)

Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.

2. Dasar hukum istishhab

Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, tentulah akan terjadi perselisihan antara A dan C atau akan terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah (batal) dan antara yang halal dengan yang haram.

Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishhab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.

Sebagian besar mengikuti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hambali dan Madzhab Dzahiri berhujjah dengan istishhab, hanya terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, salah seorang ulama Madzhab Hanafi istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru.

Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka istishhab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat undang-undang atau peraturan.

3. Macam-macam istishhab

Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:

a. Istishhab berdasar penetapan akal

Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara' yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.

Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:

1.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)."

2.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan."

3.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan."

b. Istishhab berdasarkan hukum syara'

Sesuai dengan ketetapan syara' bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara' itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara' yang pernah ditetapkan.

Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:

1.

Artinya:

"(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu."

2.

Artinya:

"(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya."

3.

Artinya:

"(Menuru hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya."

Saddudz Dzari\'ah

Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî\\\'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.

1. Pengertian saddudz dzarî\\\'ah

Saddudz dzarî\\\'ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî\\\'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî\\\'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.

Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî\\\'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari\\\'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.

Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

\"\\"\\"\"

Artinya:

"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."

Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.

Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2. Dasar hukum saddudz dzarî\\\'ah

Dasar hukum dari saddudz dzarî\\\'ah ialah aI-Qur\\\'an dan Hadits, yaitu:

a. Firman Allah SWT:

\"\\"\\"\"

Artinya:

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An\\\'âm: 108)

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.

b. Dan firman Allah SWT:

\"\\"\\"\"

Artinya:

"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nûr: 31)

Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

\"\\"\\"\"

Artinya:

"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Obyek saddudz dzarî\\\'ah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:

1. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî\\\'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.

Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:

1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.

Yang no. 1 disebut dzarî\\\'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî\\\'ah dha\\\'ifah (jalan yang lemah).

Madzhab Sahabat

Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, bila pendapat sahabat tersebut diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW.

1. Pengertian

Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah SAW, dan RasululIah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah SAW meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh tabi'in, tabi'it tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?

2. Pendapat-pendapat ulama

Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:

a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah RA:

Artinya:

"Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (HR. Daraquthni)

c. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.

Sedang pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi'iyah, dan didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha'if.

As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.

Sekitar Hukum

Yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.

Menurut bahasa, hukum diartikan:

Artinya:
Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.

Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, hukum adalah:

Artinya:
Titah Allah (atau sabda rasuI) yang mengenal pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan atau larangan, atau semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab, atau syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.

Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda rasul. Apabila disebut hukum syara', maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.

Dengan memperhatikan pengertian hukum sebagaimana tersebut di atas, maka nyatalah bahwa hukum itu ada yang mengandung thalab (tuntutan), ada yang mengandung keterangan sebab, syarat, mani' (pencegah berlakunya hukum), sah, batal, rukhshah dan azimah.

Hukum yang mengandung tuntutan (suruhan atau larangan) dinamai hukum taklify, hukum yang mengandung takhyir (kebolehan mengerjakan dan tidak mengerjakan) dinamai hukum takhyiriy, hukum yang menerangkan sebab, syarat, mani', sah, batal, azimah dan rukhshah dinamai hukum wadI'iy.

Kebanyakan ulama membagi hukum kepada dua jenis saja, yaitu hukum taklify dan hukum wadl'iy. Berikut ini penjelasan masing-masing sebagai berikut:

1. Hukum taklify.

Dari kalangan para ahli Ushul Fiqh diperoleh keterangan, bahwa titah-titah agama yang masuk ke dalam taklify ada empat macam yaitu:

a. Ijab (mewajibkan)

Yaitu titah yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, umpamanya firman Ailah:

Artinya:
Sembahlah olehmu akan Allah. (an-Nisâ': 35)

Bekasan ijab disebut wujuh dan pekerjaan yang dikenai hukum wujub disebut wajib.

b. Nadb (anjuran supaya dikerjakan)

Yaitu titah yang mengandung suruhan yang tidak musti dikerjakan, hanya merupakan anjuran melaksanakannya. Ketidakmustian dikerjakan itu diperoleh dari qarinah diluar suruhan itu, umpamanya firman Allah:

Artinya:
Apabila kamu hutang dengan berjanji akan membayarnya pada ketika yang telah ditentukan, maka tulislah hutang itu. (al-Baqarah: 282)

Suruhan menulis atau membuat keterangan tertulis tidak bersifat musti melainkan merupakan anjuran, sebab pada akhir ayat tersebut Allah berfirman lagi:

Artinya:
Maka jika satu sama lain saling mempercayai, hendaknya si yang dipertaruhkan amanat kepadanya (yang berhutang) menunaikan amanat itu dan hendaklah ia takut kepada Allah. (al-Baqarah: 283)

Titah yang serupa ini disebut nadb bekasannya disebut nadb, dan pekerjaannya disebut mandub atau sunat.

c. Tahrim (mengharamkan)

Yaitu titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, umpamanya firman Allah:

Artinya:

Janganlah kamu mengatakan cis kepada ibu bapakmu (mencibirkan ibu bapakmu), dan janganlah kamu menghardik keduanya. (al-Isrâ': 23)

Titah ini dinamai tahrim, bekasannya disebut muhram, pekerjaannya dinamai haram atau mahdhur.

d. Karahah (membencikan)

Yaitu titah yang mengandung larangan namun tidak musti dijauhi. Ketidakmustian kita menjauhinya itu diperoleh dari qarinah-qarinah yang terdapat di sekelilingnya yang merubah larangan itu dari musti ditinggalkan kepada tidak musti ditinggalkan, umpamanya firman Allah:

Artinya:
Apabila kamu diseru kepada shalat Jum'at di hari Jum'at, maka bersegeralah kamu ke masjid untuk menyebut Allah (mengerjakan shalat Jum'at) dan tinggalkanlah berjual beli. (al-Jumu'ah: 9)

Dalam ayat ini perkataan tinggalkanlah berjual beli, sama artinya dengan jangan kamu berjualan, hanya saja karena larangan berjual beli di sini sebagai sebab di luar dari pekerjaan itu, maka larangan di sini tidak bersifat mengharamkan, melainkan hanya memakruhkan.

Titah semacam ini disebut karohah, bekasannya disebut karihah, pekerjaannya disebut makruh.

Jumhur ahli ushul fiqh tidak membedakan antara titah yang mengandung suruhan yang musti dikerjakan yakni antara titah yang qath'iy dengan titah yang dhanniy, keduanya disebut ijab atau fardl.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa titah yang mengandung suruhan yang musti dikerjakan itu kalau qath'iy disebut fardl, kalau dhonniy disebut ijab.

Titah yang mengandung suruhan yang tidak musti dikerjakan mereka bagi sunnah dan nadb. Titah yang mengandung larangan yang musti dijauhi, kalau qath'iy dinamai tahrim, kalau dhonniy dinamakan karohah tahrim. Yang disebut karahah oleh Jumhur mereka namai karohah tanzih.

Titah-titah yang dikerjakan untuk menyempurnakan hukum-hukum yang wajib semisal adzan, mereka namai sunnah hadyin.

Dengan demikian maka hukum menurut ulama Hanafiyah dibagi kepada delapan macam, yaitu: (1) Fardlu; (2) Ijab; (3) Tahrim; (4) Karahah Tahrim; (5) Karahah Tanzih; (6) Sunnatu Hadyin, (7) Nadb; dan (8) Ibadah.

2. Hukum takhyiry

Hukum takhyiry ialah titah yang memberikan hak memilih atau ibadah, yakni titah yang menerangkan kebolehan kita mengerjakan atau tidak mengerjakan pekerjaan yang dititahkan. Titah itu dinamai ibadah, sedangkan pekerjaannya dinamakan mubah.

3. Hukum Wadl'iy

Al-Amidi dalam kitabnya al-lhkam menerangkan bahwa hukum wadl'iy itu ada tujuh macam, sebagai berikut:

1. Titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib dikerjakan suatu pekejaan, misalnya firman Allah:

Artinya:
Maka barangsiapa menyaksikan (melihat) bulan daripada kamu, maka hendaklah ia berpuasa. (al-Baqarah: 185)

1. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu, misalnya sabda Rasulullah SAW:

Artinya:
Allah tiada menerima shalat salah seorang diantara kamu bila dia berhadats sehingga ia berwudlu.

Berdasarkan hadits tersebut nyatalah bahwa suci dari hadats ditetapkan sebagai syarat bagi diterimanya shalat.

1. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu menghalangi berlakunya (sahnya) sesuatu hukum, umpamanya sabda Rasulallah SAW:

Artinya:
Janganlah seseorang itu menyepi dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertainya.

1. Titah yang menerangkan sahnya suatu pekerjaan, yaitu apabila kita diperintah mengerjakan suatu pekerjaan dan telah memenuhi sebab dan syaratnya serta terlepas dari penghalangnya, yakinlah kita bahwa pekerjaan itu telah menjadi sah, melepaskan diri dari tugas-tugas pelaksanaannya
2. Titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu batal, tidak dipandang sah, tidak dihukum terlepas yang membuatnya dari tugas.
3. Titah yang menetapkan atas para mukallaf, tugas-tugas yang diberatkan sebagai suatu hukum yang umum, bukan karena suatu pengecualian, disebut azimah. Bekasan dari azimah disebut azimah, pekerjaannya disebut azimah.
4. Titah yang memberi pengertian, bahwa hukum yang dimaksudkan itu sebagai ganti dari hukum azimah, yakni yang dikerjakan lantaran dipandang sukar menjalankan yang azimah. Bekasannya disebut rukhshah, pekerjaannya disebut rukhshah pula.

Senin, 04 Juli 2011

Skala Waktu Perilaku Konsumen

Konsep Ekonomi Islam Adanya hari kiamat dan kehidupan di akhirat membuat kita harus memaksimalkan waktu yang dimiliki dengan berbuat yang terbaik untuk kehidupan dunia, tetapi dengan itu kita juga memiliki pondasi yang kokoh untuk kehidupan akhirat.
Penjelasan

Islam mengaitkan kepercayaan terhadap adanya Hari Kiamat dan kehidupan di akhirat secara ketat dengan kepercayaan terhadap adanya Allah. Hal ini memperluas cakrawala setiap Muslim mengenai waktu setelah terlampauinya kematian. Kehidupan sebelum kematian dan kehidupan sesudah kematian terkait satu sama lain dengan erat sekali dalam urutannya. Hal ini memiliki dua efek sejauh menyangkut perilaku konsumen.

Pertama, akibat dari pemilihan perbuatan itu terdiri dari dua bagian, yakni efek langsung dalam kehidupan di dunia sekarang dan efeknya yang kemudian dalam kehidupan (di akhirat) yang akan datang}. Karena itu manfaat yang diperoleh dari pilihan semacam itu adalah keutuhan nilai-nilai sekarang dari kedua efek ini. Kedua, jumlah manfaat alternatif dari penghasilan seseorang ditingkatkan jumlahnya dengan dimasukkannya semua keuntungan yang akan diperoleh hanya pada kehidupan (di akhirat) yang akan datang.

Beberapa contoh dari manfaat-manfaat alternatif semacam itu adalah pinjaman- pinjaman tanpa bunga (al-qardul hasan), pemberian kepada orang-orang yang miskin dan yang terlantar, memelihara binatang-binatang, menyisihkan sebagian harta untuk kesejahteraan generasi-generasi yang akan datang, peningkatan kehidupan masyarakat meskipun pada saat ia tidak memiliki manfaat langsung bagi individu yang bersangkutan; penyiaran ajaran (da'wah) Islam dan peningkatan amal saleh, dan sebagainya.

Manfaat-manfaat penghasilan semacam itu tidak dimasukkan dalam rasionalisme Max Weber bila manfaat-manfaat itu (dianggap) tidak memiliki manfaat langsung. Jadi, banyak manfaat alternatif dari penghasilan seseorang memiliki kegunaan positif dalam kerangka acuan Islam, meskipun manfaat-manfaatnya dalam kerangka acuan kapitalis dan komunis bisa tidak ada atau bahkan negatif.

Lebih dari itu, menurut ajaran-ajaran Islam, setiap Muslim "wajib mempergunakan sebagian waktunya untuk mengingat Allah, dia harus menyumbangkan sebagian tenaganya untuk menyiarkan kebenaran dan amal saleh," dan harus memanfaatkan: waktu dan usahanya untuk meningkatkan kehidupan spiritual, moral dan ekonomi masyarakat". Hal ini dapat dilakukan hanya dengan mengikhlaskan sebagian tenaga manusia untuk mendapatkan makanan dan barang-barang konsumsi lainnya, karena alternatif lainnya, yakni, sikap masa bodoh, negativisme, dan kelaparan, bertentangan baik dengan sifat manusia maupun dengan ajaran-ajaran Islam.

Cakrawala waktu yang lebih luas ini mempunyai makna bahwa setiap mu'min (Orang yang beriman) seharusnya tidak membatasi dirinya sendiri untuk melaksanakan hal-hal yang manfaat-manfaatnya dapat dia peroleh dalam kehidupan (di dunia) ini. Dia diarahkan sedemikian rupa sehingga dia akan melakukan apa yang baik atau berguna bagi dirinya atau mengekspresikannya dalam istilah-istilah Islami, karena Allah akan memberikan imbalan pahala untuk itu. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: "Bila orang melihat datangnya tanda kehancuran dunia sedangkan dia memiliki tanaman kecil di tangannya dan dia mampu menanamnya di tanah, dia harus melakukannya. Allah akan memberikan imbalan pahala atas perbuatannya itu."

Hukum waris dalam Islam mendukung pandangan luas ini dengan memberikan hak penuh kepada para ahli waris atas tanah milik orang yang mewariskannya. Nabi Muhammad SAW dalam kaitan ini dilaporkan telah memberikan saran agar meninggalkan ahli waris yang kaya, bukan yang miskin. Keberhasilan yang sebenarnya bagi setiap Muslim adalah keberhasilan yang mencakup cakrawala waktu secara utuh, karena usaha yang sama untuk melakukan kebaikanlah yang akan menghasilkan keberhasilan baik dalam kehidupan di dunia ini, dengan segala aspeknya, maupun dalam kehidupan di akhirat kelak. Al-Qur'an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat material maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang berimbang, ia menyatakan:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, sehingga Allah membiarkan mereka merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka agar mereka mau kembali ke jalan yang benar. Katakanlah (Muhammad!): "Berjalanlah di muka bumi dan perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum kamu, bahwa kebanyakan di antara mereka mempersekutukan Tuhan.

...Barangsiapa kafir dia sendirilah yang menanggung akibat dari kekafirannya, dan barangsiapa beramal saleh sebenarnya mereka sendiri juga yang menyiapkan tempat yang menyenangkan.

...Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka yang mau mengikuti petunjuk-Ku itu tidak akan tersesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan mereka di hari kiamat dalam keadaan buta.

Dan sudah aku (Nabi Nuh) katakan kepada mereka: "Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Dia akan menurunkan hujan lebat dari langit untukmu dan memperbanyak jumlah harta dan anak-anakmu dan akan menjadikan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.

Al-hakim

Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasuI-Nya.
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/kum AlIah ialah para rasuI-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.

Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara' itulah yang menjadi hakim sesudah rasuI dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.

Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasuI dibangkit. Golongan Mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasuI dibangkit, akaI manusia itulah yang menjadi hakim, karena akaI manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.

OIeh karena itu mukalIaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oIeh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.

Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.

Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.

Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Tuhan:

Artinya:
Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. (al An'âm: 57)

Diantara dalil yang menguatkan pendapat jumhur ialah firman Allah:

Artinya:
Dan tidaklah Kami menyiksa sesuatu umat sehingga Kami bangkitkan seorang rasul. (al-Isrâ': 15)

Diantara dalil yang dipergunakan oleh golongan Mu'tazilah ialah firman Allah:

Artinya:
Katakanlah olehmu, tidak bersamaan dengan yang buruk dengan yang baik. (al-Mâidah: 100)

Sebagaimana terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah menyiksa manusia lantaran menyalahi rasul sebelum sampai kepada mereka seruan rasul-rasul itu dengan cara yang semestinya, demikian pula ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hisab dan pembalasan umum secara adil diberikan juga berdasarkan bekasan-bekasan amal pada jiwa menurut petunjuk akal.

Mengenai soal apakah hukum-hukum Allah itu disyari'atkan harus sesuai dengan kemaslahatan hamba atau tidak, seluruh ulama sepakat bahwa hukum-hukum Allah itu bersesuaian dengan kemaslahatan hamba.

Mahkum Bihi

Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.

Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.

Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.

Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.

1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.

Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.

Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:

1. Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia kehendaki.
2. Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.

Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.

Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.

Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.

Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.

1. Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
2. Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
3. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
4. Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
5. Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
6. Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.

Firman Allah:

Artinya:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)

Kewajiban memilih salah satu diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.

1. Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
2. Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
3. Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.

2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.

Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.

Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."

Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamai tathawwu'.

Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).

Mereka membagi sunnat kepada dua macam:

1. Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.
2. Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.

Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:

1. Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
2. Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.

3. Haram dan pengertiannya.

Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."

Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:

1. Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
2. Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang dhanniy, disebut karahah tahrim.

4. Makruh dan definisinya.

Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila mengerjakannya."

Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."

Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.

5. Mubah dan penjelasannya.

Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.

Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."

Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:

1. Berdasarkan penerangan syara;
1. Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
2. Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
2. Tidak adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.

6. Sebab dan pengertiannya.

Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.

Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."

Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.

7. Syarat dan hakikat.

Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."

Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.

Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.

1. Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.
Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
2. Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya.
Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah.
Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.

8. Mani' dan penjelasannya.

Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.

Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.

Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.

Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:

1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
2. Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
3. Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
4. Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
5. Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.

9. Azimah dan rukhshah.

Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.

1. Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
2. Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.
Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.

10. Sah dan batal

Lafadh sah mempunyai dua arti:

1. Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
2. Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.

Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.

Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.

Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
2. Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.

Minggu, 03 Juli 2011

Mahkum Fihi

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:

1. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
2. Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.
3. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
4. Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan nadzar.
5. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:
1. Nadzar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
2. Pokok bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.

Disamping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:

1. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
2. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
3. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk di bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
1. Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.
2. Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara akal, tidak diragukan lagi tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama, karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa bukanlah syara' bermaksud memberatkan mukallaf itu dengan beban yang sangat menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah yang terjadi.
4. Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang yang bernadzar puasa dengan berdiri di bawah terik matahari agar menyempurnakan puasanya dan mencegah berdiri di bawah terik matahari.

Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada beberapa macam, yaitu:

1. Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata.
Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu.
Hal itu terbagi kepada beberapa bagian:
1. Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti iman, shalat, shaum, haji, umrah dan jihad.
2. Pekerjaan ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya lantaran orang lain, seperti nafkah.
3. Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian ibadat, seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari hasil tanah 'usyur.
4. Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan, seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita mengerjakan tanah itu.
5. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang, seperti 1/5 (seperlima) dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai ibadat kita.
6. Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan.
7. Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.
8. Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan ibadah, karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah, umpamanya puasa, memerdekakan budak dan disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah itu lantaran berbuat kesalahan.
2. Pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata.
Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, merniliki barang yang kita beli dan sebagainya.
3. Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah lebih kuat.
Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.
4. Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat.
Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diat saja atau memaafkan saja.

Sumber Hukum

Sumber hukum syara' ialah dalil-dalil syar'iyah (al-Adillatusy Syar'iyah) yang daripadanya diistinbathkan hukum-hukum syar'iyah.

Yang dimaksud dengan diistimbathkan ialah menentukan/mencarikan hukum bagi sesuatu dari suatu dalil.

Kata al-Adillah () jama' (plural) dari kata dalil, yang menurut bahasa berarti petunjuk kepada sesuatu. Sedang menurut istilah ialah sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syar'i yang 'amali. Artinya dapat menunjuk dan mengatur kepada bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syar'i dengan cara yang tepat dan benar.

Adillah ada dua macam. Yang pertama satu kelompok yang semua jumhur sepakat, sedang kelompok yang lainnya ialah yang terhadap hal tersebut para jumhur ulama berbeda-beda sikapnya. Kelompok yang mereka sepakati yaitu al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas.

Secara singkat al-Adillah itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Dalil itu ada yang berupa wahyu dan ada pula yang bukan wahyu. Yang berupa wahyu yaitu yang dibaca (matluwwun) dan yang tidak dibaca (ghairu matluwwin). Yang matluw ialah al-Qur'an sedang yang ghairu matluw ialah as-Sunnah. Yang bukan wahyu, apabila itu merupakan pendapat (ar-Ra'yu) para mujtahidin, dinamakan aI-Ijma', sedang apabila ia berupa kesesuaian sesuatu dengan sesuatu yang lain, karena bersekutunya di dalam 'illat () dinamakan aI-Qiyas.

Landasan dalil-dalil tersebut ialah hadits tentang Mu'az bin Jabal ketika diutus oleh Nabi Muhammad SAW sebagai hakim () di Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu'adz "Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap suatu perkara yan datang kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutskan dengan KitabulIah." Nabi bertanya, "Kalau engkau tidak mendapatinya di dalam KitabuIIah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutus berdasar Sunnah Rasul." Nabi bertanya, "Kalau disitu juga tidak ada?" Mua'dz menjawab, "Saya akan berijtihad berdasar pendapatku dan saya tidak akan lengah." Nabi pun menepuk dada Mu'adz dan berkata "AlhamduIillah yang telah memberi taufik utusan RasululIah sesuai dengan apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya."

Baik dinukil haditsnya sebagai berikut:

"Abu Bakar RA, ketika beliau masih hidup, apabila terdapat sesuatu perkara beliau melihat dulu pada al-Qur'an, apabila di situ tidak terdapat dan beliau mengetahui di dalam as-Sunnah terdapat, beliau akan memutus berdasar as-Sunnah itu, dan apabila di situ tidak ada, beliau menghimpun tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih, kemudian beliau bermusyawarah dengan mereka. Seperti itu pula yang dilakukan oleh Umar, para sahabat dan semua orang Islam mengakui khiththah ini."

Berdasarkan semua ini, maka al-Adillah (dalil-dalil) itu ada yang naqliyah (yang dinukil) dan ada yang aqliyah (berdasarkkan fikiran). Yang naqli itu yaitu al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijma' dan al-'Urf, Syari'at orang-orang sebelum kita, dan madzhab Shahabi. Sedang yang aqli yaitu al-Qiyas, al-Mashalihal Mursalah, al-Istihsan dan aI-Istishhab. Semua ini memerlukan kepada yang lain. Bagaimanapun ijtihad, hal itu terjadi atas landasan akal yang sehat dan juga berdasarkan naqli, sedang pada yang naqli itu tidak dapat tidak harus dilakukan perenungan, pemikiran dan pandangan yang sehat.

Al-Qur'an, as-Sunnah dan al-Ijma' merupakan sumber-sumber hukum yang berdiri sendiri, maksudnya apabila dibandingkan dengan al-Qiyas, tentu sangat berlainan. Sebab al-Qiyas itu menjadi sumber apabila terdapat sumbernya di dalam al-Kitab, as-Sunnah dan al-Ijma' dan juga memerlukan mengetahui 'illat hukum dari sesuatu yang asli. Tegasnya, sumber hukum yang berdiri sendiri sebagai sesuatu yang asli adalah al-Qur'an dan as-Sunnah. Setelah itu menempati urutan berikutnya al-Ijma' dan al-Qiyas. Imam asy-Syafi'iy menamakan aI-Qiyas juga dengan al-Ijtihad.

As-Sunnah

Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW, atau juga lawan dari bid'ah.

Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:

Artinya:

"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."

Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:

Artinya:

"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan."

Demikian menurut Dr. Muh. Adib Sholeh, atau menurut Syaikh Muhammad al-Khudlari:

Artinya:

"Apa yang datang dinukil dari Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan."

1. Kehujjahan as-Sunnah.

Berulang-uIang Allah memerintahkan kita di daIam al-Qur'an agar kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya. Misalnya saja firman Allah yang berbunyi:

Artinya:

"Katakanlah, taatlah engkau sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya." (Ali Imran: 32)

Artinya:

"Siapa yang taat kepada rasul berarti taat kepada Allah." (an-Nisâ': 80)

Artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu, apabia engkau sekalian berselisih, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya." (an-Nisâ': 59)

Artinya:

"Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki mukmin dan juga tidak pantas bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya memutus sesuatu untuk melakukan suatu pilihan." (al-Ahzab: 36)

Demikian pula di dalam surat yang lain Allah berfirman:

Artinya:

"Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam diri mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kami berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisâ': 65)

Juga Allah berfirman:

Artinya:

"Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, terimalah ia, dan apa yang dilarang olehnya atasmu, tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)

Ayat-ayat itu jelas mewajibkan kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

Ijma' para sahabat juga menentukan demikian. Mereka, sesudah Rasulullah wafat, melakukan ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan juga ketentuan as-Sunnah. Dan ini nampak jelas dalam tindakan para Khulafaur Rasyidin.

Abu Bakar apabila tidak hafal dan mengetahui dalam sunnah, beliau keluar mencari sahabat-sahabat yang lain menanyakan, apakah mereka mengetahui sunnah Nabi atas masalah yang sedang dihadapi itu? Bila ada, sunnah itulah yang digunakan untuk memutuskan. Demikian pula Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat yang lain dan para tabi'in serta tabi'it tabi'in selanjutnya.

Di samping itu di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada as-Sunnah.

Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:

Artinya:

"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)

Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

Karena itu, as-Sunnah, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam wajib mentaatinya.

Apabila kita teliti, as-Sunnah terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.

Hal ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.

2. Pembagian Sunnah menurut sanad.

Sunnah dilihat dari sudut sanad dibagi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Golongan Hanafi menambahkan satu lagi, yaitu masyhur atau juga dinamakan mustafidl.

Sunnah yang mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong atau dusta. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang banyak, jujur serta berbeda-bedanya keadaan serta lingkungan mereka. Dari kelompok ini, kemudian sampai juga kepada kelompok yang lain, yang sepadan dan setingkat keadaannya dengan kelompok yang terdahulu, dan kemudian sampailah kepada kita. Mereka, kelompok perawi ini diketahui menurut kebiasaannya, tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kedustaan, mereka jujur dan terpercaya.

Sunnah ahad ialah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir. Dari seorang perawi ini diriwayatkan oleh seorang perawi yang seperti dia dan sampai kepada kita dengan sanad tingkatan-tingkatannya ahad, bukan merupakan kelompok yang merupakan tingkatannya itu mutawatir. Hadits-hadits yang demikian biasanya disebut juga dengan Khabarul wahid.

Sunnah yang masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua orang atau sekelompok sahabat Rasulullah yang tidak sampai pada kelompok tawatir (perawi hadits mutawatir), kemudian kelompok dari kelompok-kelompok tawatir itu meriwayatkan hadits atau sunnah tersebut dari satu orang perawi ini atau beberapa orang perawi. Dan dari kelompok ini diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan dengannya, sehingga sampai kepada kita dengan sanad yang kelompok pertamanya mendengar dari Rasulullah, atau menyaksikan perbuatannya oleh seorang atau dua orang, akan tetapi mereka ini tidak sampai kepada tingkatan tawatir, dan semua tingkatannya itu adalah kelompok-kelompok tawatir. Termasuk di dalam tingkatan ini ialah sebagian hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab atau Abdullah bin Mas'ud atau Abu Bakar. Kemudian salah seorang dari mereka diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bermufakat untuk melakukan kedustaan. Contohnya:

Artinya:

"Amalan itu lantaran niat atau karena niat.", atau

Artinya: "Islam ditegakkan di atas lima sendi."

Perbedaan antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah yang masyhurah ialah yang mutawatir setiap lingkungan mata rantai sanadnya terdiri dari kelompok tawatir, sejak awal menerima dari Rasulullah hingga sampai kepada kita, sedang yang masyhur lingkungan mata rantai sanadnya yang pertama bukanlah sekelompok diantara kelompok-kelompok tawatir, bahkan diterimanya oleh seorang atau dua orang atau sekelompok yang tidak sampai kepada tingkatan tawatir. Hanya saja keseluruhan lingkungan itu merupakan kelompok tawatir.

2. Tentang qath'i dan dhanni

Dari datangnya sunnah mutawatirah, itu pasti qath'i datang dari Rasulullah SAW, karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan itu menimbulkan ketetapan dan kepastian tentang sahnya berita tersebut. Sedang sunnah yang masyhurah, pasti datangnya dari sahabat yang telah menerimanya dari Rasulullah karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan dan penukilan dari para sahabat mereka, akan tetapi hal itu tidak pasti datangnya dari Rasulullah karena yang pertama kali menerimanya bukanlah kelompok tawatir. Karena itu kelompok Hanafiyah menganggap sunnah masyhur ini sebagai sunnah yang mutawatirah. Mereka berpendapat bahwa tingkatan sunnah masyhurah ini antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah ahad.

Sunnah ahad adalah dhanni, sebab sanadnya tidak mendatangkan kepastian. Dapat diterima sebagai pasti apabila ada syarat-syaratnya memenuhi. (Misalnya perawinya dewasa, Islam, adil dan teliti).

Dari segi pengertian (dalalah) ketiga macam sunnah itu kadang-kadang pasti dalalahnya, apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk dita'wil, kadang-kadang dhanni dalalahnya apabila nashnya mungkin untuk dita'wilkan. Semua ini merupakan hujjah yang harus diamalkan.

Sunnah Rasulullah, ditinjau dari perbuatan beliau dibagi atas sunnah qauliyyah, fi'liyyah dan taqririyyah.

Yang dimaksud dengan sunnah qauliyyah ialah ucapan Nabi tentang sesuatu, sunnah fi'liyyah ialah perbuatan dan tindakan Nabi, dan sunnah taqririyyah itu ialah pengakuan, persetujuan atau sikap diamnya Nabi atas sesuatu perbuatan orang lain, sedangkan beliau mengetahuinya.

Ada pula yang menyebutkan sunnah hamiyah, yaitu sesuatu yang ingin dilakukan oleh Nabi, tetapi belum sampai beliau lakukan.

Sunnah kadang-kadang disebut juga dengan hadits atau khabar. Karena itu sudah umum juga disebut hadits mutawatir atau khabar mutawatir, hadits atau khabar ahad dan selanjutnya.

Sunnah-sunnah Rasulullah itu wajib kita laksanakan, menjadi hujjah bagi umat Islam, apabila ia keluar dan datang dari Rasulullah dalam kualitas beliau sebagai rasul, sebagai utusan Allah yang membawa syari'at, dan yang dengannya bertujuan membentuk hukum atau syari'at Islam Karena Nabi Muhammad SAW itu juga adalah manusia, sehingga bagaimana beliau duduk, bagaimana beliau tidur dan seumpamannya, tidaklah menjadi hujjah bagi kita. Disamping itu ada pula sunnah atau perbuatan yang khusus bagi Nabi, dan untuk itu kita tidak melakukannya, seperti isterinya lebih dari empat. Umat Islam tidak boleh melakukan perkawinan lebih dari empat orang isteri.

Hadits atau khabar ahad tersebut, menurut jumlah orang perawinya, dibagi pada sunnah yang masyhurah, atau hadits mutawatir, aziz dan gharib.

Dikatakan masyhur atau musta'fidl, apabila diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tingkatannya tidak mutawatir. Hadits yang masyhur ini ada yag shahih, dan ada pula yang tidak shahih.

Hadits aziz ialah yang diriwayatkan oleh dua, sekalipun dalam satu tingkatan, meskipun sesudah itu diriwayatkan oleh orang banyak.

Hadits gharib ialah hadits yang diriwayatkan oleh perseorangan. Disamping pembagian tersebut, ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi kepada hadits shahih, hasan dan dha'if.

Hadits shahih ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dari permulaan sampai akhir diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti (dhabith) dari sesamanya pula dan di dalamnya tidak terdapat keganjilan (syadz) dan juga tidak terdapat 'illat di dalamnya.

Adapun hadits hasan, ialah hadits yang sanadnya bersambung-sambung dan diriwayatkan oleh orang yang adil, sekalipun ketelitiannya kurang, dan tidak mengandung keganjilan, serta tidak mengandung 'illat. Hadits ini dijadikan hujjah.

Hadits dla'if ialah hadits yang tingkatannya kurang dari tingkatan hadits hasan. Hadits ini bermacam-macam tingkatan kelemahannya. Hadits dla'if tidak dapat menjadi hujjah di dalam menetapkan hukum.

Imam Nawawi berkata, para ulama berpendapat hadits dla'if itu bisa digunakan untuk beramal apabila ia berisi keutamaan-keutamaan amalan. Asal untuk amalan tersebut sudah ada hadits yang lain yang shahih atau hasan yang menerangkan boleh beramal dengan amalan tersebut. Jadi dengan demikian, hadits yang dla'if ini hanya mengikuti saja kepada hadits yang shahih yang telah ada.

Termasuk di dalam pengertian hadits dla'if ialah hadits mursal, munqathi', mu'dhal, mu'allaq dan ma'lul.

Hadits mursal ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi'. Jadi akhir sanad, yaitu sahabat tidak disebutkan.

Imam asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat hadits ini tidak bisa menjadi hujjah, karena kemungkinan seorang tabi' itu meriwayatkannya dari semua tabi' .Tetapi Abu Hanifah berpendapat dapat menjadi hujjah, karena tabi' itu termasuk di dalam angkatan yang dipuji oleh Rasulullah.

Disamping itu asy-Syafi'i memberikan syarat dalam menerima hadits mursal, yaitu apabila yang meriwayatkan seorang tabi'in besar, orang kepercayaan yang lain juga meriwayatkannya, ada hadits mursal yang lain yang sama, ada perkataan sahabat yang sesuai dengannya, dan hadits mursal itu sesuai pula dengan fatwa sebagian besar para ahli ilmu, apabila disebutlah nama perawi yang ditinggalkan, tidak akan disebut majhul dan juga perawi tidak akan dibenci. Akan tetapi, bagaimanapun hadits mursal tidaklah mempunyai kekuatan yang sama dengan hadits musnad.

Hadits munqathi' ialah hadits yang seorang perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak menjadi hujjah.

Hadits mu'dlal ialah hadits yang dua perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak dapat menjadi hujjah.

Hadits mu'allaq ialah hadits yang tidak disebutkan atau dibuang permulaan sanadnya, bukan permulaan atau akhirnya. Hadits ini dla'if, kecuali apabila diriwayatkan dengan cara yang pasti dan mantap. Apabila ia diriwayatkan dengan pasti dan mantap, menjadilah ia sama dengan hadits yang shahih.

Hadits ma'lul hadits yang mempunyai cacat yang dapat diketahui dari berbagai pemeriksaan dari berbagai jalan atau memang ada qarinah-qarinah yang menunjukkan demikian.

Mengetahui cacat dan cela hadits ('illat) amatlah penting. Hal ini untuk mengetahui kedudukan hadits. Karena itu 'ulumul hadits adalah penting untuk dipelajari untuk menghindarkan diri dari penggunaan hadits yang tidak dapat diterima.

Sabtu, 02 Juli 2011

Kerjasama

Konsep Ekonomi Islam Baik dalam masalah-masalah spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial, Nabi Muhammad SAW, menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai landasan masyarakat Islam dan merupakan inti penampilannya.
Penjelasan

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama adalah tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada para pemeluknya agar memperhatikan bahwa perbuatan baik ('amal sâlih) bagi masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik-baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Qur'an dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri. Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi mereka sebagai hak milik bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam. Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada sanak keluarga dalam keluarga besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain, karena berbuat baik (ber'amal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam). Kerukunan hidup dengan tetangga sangat sering ditekankan baik dalam Al-Qur'an maupun Sunnah; di sini kita juga melihat penampilan kepedulian sosial lain yang ditanamkan oleh Islam. Dan akhirnya, kesadaran, kepedulian dan kesiapan untuk melayani dan berkorban di saat diperlukan demi kebaikan masyarakat keseluruhan amat sangat ditekankan.

Ajaran-ajaran Islam pada umumnya dan terutama ayat-ayat Al-Qur'an berulang-ulang menekankan nilai kerjasama dan kerja kolektif. Kerjasama dengan tujuan beramal saleh adalah perintah Allah yang dinyatakan dalam Al-Qur'an. Baik dalam masalah-masalah spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial, Nabi SAW menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai landasan masyarakat Islam dan merupakan inti penampilannya. Beliau mengatakan:

Kamu melihat orang-orang mukmin, dalam kaitannya dengan rasa cinta timbal-balik diantara mereka, rasa syukur dan keinginan-keinginannya, merupakan satu tubuh, sehingga bila salah satu bagian dalam keadaan sakit, seluruh tubuh akan jatuh sakit merasakan payah dan demam.

Kadang-kadang kerjasama memerlukan pendistribusian kembali penghasilan dan kekayaan; Nabi menghimbau pendistribusian kembali semacam itu dengan memuji Al-Asy'ariyyîn, sambil bersabda:

BiIa Al-Asy'ariyyîn mengalami kekurangan pangan di kala pergi berperang atau bila mereka berada di kota dan persediaan pangan mereka menipis, mereka mengumpulkan semua milik mereka di satu tempat dan membaginya dalam jumlah yang sama diantara mereka sendiri. Mereka adalah (kelompok) milik saya sendiri dan saya pun milik mereka.

Dalam rangka memperkuat orientasi sosial umat Muslim, Islam memperkenalkan konsep kewajiban-kewajiban kolektif yang membawa tanggung jawab individual. Dalam Fiqh Islam konsep ini disebut Fardu Kifâyah. Konsep tersebut menekankan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan menuntut upaya individual untuk memenuhinya, karena hal itu menuntut setiap individu untuk bertanggung jawab selama kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi. Fardu Kifâyah mempunyai pengertian bahwa dalam kaitannya dengan bidang-bidang usaha atau ilmu pengetahuan yang penting bagi kesejahteraan umat Muslim, sudah cukup bila bidang-bidang tersebut dilaksanakan oleh beberapa orang anggota umat itu; tetapi hingga tugas itu benar-benar dilaksanakan oleh orang-orang tertentu itu semua orang dalam komunitas yang bersangkutan secara individual bertanggung jawab kepada dan bisa dituntut oleh Allah SWT. Sebagai konsekuensinya, M.N. Siddîqî mengingkari koordinasi kegiatan-kegiatan ekonomik yang dilakukan secara tidak sadar oleh suatu "konsistensi keputusan-keputusan individual yang diambil secara otomatik" dan oleh "tangan tersembunyi untuk melakukan kegiatan membabi buta secara terpadu untuk memproduksi hasil-hasil yang ideal." Dia menyatakan:

Islam tidak menampilkan filsafat semacam itu. Ia menuntut upaya-upaya sadar untuk meraih tujuan-tujuan yang diinginkan, di mana perlu dengan meramalkan kondisi persoalan-persoalan yang secara otomatik muncul. Ia menuntut pendistribusian kembali kekayaan dan menuntut pembentukan lembaga-lembaga tetap untuk melakukan pendistribusian kembali itu. Ia tidak pernah menganggap setiap bentuk perdagangan, kontrak-kontrak dagang, pemanfaatan tanah dan usaha-usaha produktif sebagai hal-hal yang sah hanya karena secara otomatik terujud dan "wajar". Bahkan ia menuntut pengawasan secara cermat terhadap setiap kegiatan, dengan mengesampingkan semua bentuk yang bertentangan dengan kepentingan sosial dan membawa akibat-akibat yang tidak diinginkan.
morzing.com dunia humor dan amazing!