Ketika saya dan teman sebaya yang lainnya harus menunggu ibu untuk memotong rambut saya yang telah panjang dan berantakan, maka dia sudah mengenal salon sejak SD. Ketika kami diantara teman sebaya menggunakan baskom kaleng bekas untuk dijadikan kendaraan yang ditarik dengan menggunakan seutas tali dan mengitari kebun dengan bergantian, maka dia sudah menggunakan sepeda mini untuk bermain sepeda sungguhan. Ketika mobil hanya dimiliki oleh dua orang di kampung saya, maka keluarga mereka telah memiliki mobil dan rutin berlibur mengunjungi tempat � tempat wisata di Jakarta sana. Dia memiliki fasilitas lebih daripada kami kebanyakan. Kami pun kecipratan bisa menikmati sebagian fasilitas itu. Menonton Video, mendengarkan lagu anak � anak, atau kami bergantian belajar mengendarai sepeda berkeliling kampung. Saya dan Dia, melewatkan sebagian masa kecil selalu bersama � sama. Selain bertetangga, kami juga satu kelas ketika SD dan SLA. Dia sering bercerita akan kuliah ke Jakarta. Begitu jauhnya cita � cita yang dia inginkan.
Pada suatu ketika kami kelas 2 SLA, bapaknya menghadap Allah SWT. Dari titik itulah kemudian semua seolah amat sangat cepat berubah. Laju perputaran kehidupan terasa jadi sedemikian terasa dahsyat. Keterpurukan ekonomi keluarganya tidak bisa dihindari. Uang pesangon yang lumayan besar dari pekerjaan bapaknya di bank pemerintah tidak bisa dikembangkan dengan baik oleh ibunya. Dan entah sejak kapan, berita miring dari keluarga mereka mulai terdengar begitu jelas dan marak. Tentang Ibunya yang sering dikunjungi oleh beberapa orang lelaki yang bukan muhrimnya dan sekolah adik � adiknya yang tidak bisa diteruskan lebih tinggi lagi. Dan, entah sejak kapan pula saya seolah merasa tidak bisa seakrab dulu dengan dia. Tanpa saya sadari kami sudah jarang mengobrol, jarang bertukar pikiran. Mungkin karena ketidakpedulian saya, maka saya tidak merasa terlalu kehilangan.
Ketika kami sudah mempunyai kehidupan rumah tangga masing � masing, dalam hitungan tahun kedua dia telah bercerai dengan suaminya. Ternyata suaminya selama ini tidak mempunyai pekerjaan, dialah yang bekerja di Jakarta sebagai tenaga administrasi di sebuah pabrik, kemudian rutin setiap satu minggu sekali pulang ke kampungnya untuk mengunjungi suaminya. Alasan itulah sehingga membuatnya merasa lelah teramat sangat dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang seperti itu. Dia mengambil keputusan untuk mengemban status janda. Bercerai dalam usia yang masih sangat muda.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa dia bekerja di Malaysia selama 2 tahun. Ah, mungkin itu pilihan yang tepat baginya untuk saat ini. 2 tahun berselang, ketika dia kembali ke kampung, saya menyempatkan diri untuk bertemu. Walaupun ada keinginan saya untuk mencoba mendekatkan diri kembali dengan kehidupan ketika masa sekolah dulu, namun rasanya suasana yang kami temui tidak secair dulu sebagaimana yang saya harapkan. Untuk selanjutnya, pertemuan kami adalah merupakan pertemuan yang �kebetulan saja� ketika berpapasan di jalan. Sungguh sangat alakadarnya, obrolan saya belum menyentuh menjadi suatu pendekatan layaknya seorang sahabat.
Ketika melewati muka rumahnya untuk berkunjung ke rumah mertua, dari luar saya merasa bahwa dia memperhatikan saya yang tengah menuntun anak � anak dari balik tirai kaca jendela rumahnya. Mungkin, ada sejumlah keinginan yang belum tuntas dia jalani. Tentang kesendirian yang dilalui tanpa suami dan anak. Terkadang saya mempunyai keinginan kuat untuk datang khusus menemuinya, paling tidak menjadi teman untuk bercerita. Ya, suatu saat saya harus mempunyai waktu untuk itu. Saya masih berniat untuk bisa menjadi �temannya� kembali
Hari ini saya melintas didepan rumahnya untuk kesekian kalinya. Sejumlah janji yang tertanam dihati belum sempat saya tunaikan. Saya masih dalam kondisi yang selalu terburu � buru.
�Oh, Yati mau berangkat ke Taiwan, mau kerja� seorang tetangga menjelaskan ketika saya menanyakannya.
�Sekarang ada dimana,Pak ? Sudah berangkat ke Taiwan belum ?� saya mengejar dengan pertanyaan berikutnya.
�Oh, saya kurang tahu, tapi katanya dia di Jakarta dulu ikut latihan 6 bulan, nanti baru berangkat. Ya, disini juga gimana ya, kasihan di rumah terus tidak ada kegiatan.�
Ini bukan berita yang saya harapkan. Selalu saja saya mempunyai alasan untuk belum sempat menemuinya. Saya tidak cukup waktu untuknya, bahkan untuk hanya sekadar mendengar rencana kepergiannya ke negeri orang. Atau sesungguhnya saya takut untuk terlibat dalam segala keluh kesahnya. Sehingga sadar ataupun tidak, saya sudah mengkonversikan kemalasan saya menjadi suatu alasan tentang sebuah kesibukan.
Baginya, jelas ini bukan kepergian yang mudah, karena bekerja diluar sebagai TKW pasti bukanlah cita � cita yang dia dambakan. Tapi nasib berbicara lain, dia harus menghidupkan kembali semangatnya. Mungkin dengan kepergiannya dia akan merasa lebih berarti dan berguna. ketidakpedulian saya akan kondisinya adalah hal yang sangat saya sesali. Padahal, bisa saja ditengah segala rutinitas, saya menyempatkan diri untuk mengajak dan mengenalkannya kepada komunitas pengajian. Jika adalah betul waktu yang menjadi kendala, toh seharusnya saya mencari cara lain, mungkin bisa dengan menitipkannya kepada teman yang lain u
Tampilkan postingan dengan label Hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hikmah. Tampilkan semua postingan
Kamis, 30 Desember 2010
Pertolongan Allah
Ditengah hingar-bingar perhelatan akbar final sepak bola Piala Dunia 2006 di Jerman, saya justru dikejutkan ketika membaca surat kabar di Bandung, tentang hasil Ujian Akhir Nasional (UN) Tingkat SLTA di bulan Juni ini. Begitu pula waktu media massa baik tv, internet, mulai menayangkan hasil-hasil ujian itu, bagi yang telah lulus tentu tidak menjadi persoalan yang pelik bahkan sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun dengan merayakannya lewat konvoi keliling kota atau corat-coret baju seragam. Fenomena yang mengusik saya, ketika ada siswa yang sampai mau bunuh diri, membakar sekolah, mengalami depresi, yang lebih ironis justru ada siswa yang tergolong pandai tidak jadi lulus gara-gara nilai salah satu mata pelajaran UN, tidak sesuai dengan passing grade yang ditetapkan. Yang menjadi pertanyaan saya ada apa dengan pendidikan kita? Tentu kisah ini pelajaran yang harus dicari akar penyebabnya dan solusi pemecahannya.
Sebenarnya kisah ini mengingatkan saya ketika membaca buku best seller di Jepang berjudul �Toto Chan Gadis Cilik di Jendela� karya Tetsuko Kuroyanagi yang mengisahkan tentang konsep sekolah alam, dimana siswanya diberikan kebebasan belajar dalam mengembangkan ilmunya dan dapat langsung diaplikasikan dalam lingkungan sekolah tersebut. Buku itu juga mengisahkan seorang Toto Chan yang selalu mempertanyakan segala sesuatu tentang pendidikan yang sedang digelutinya. Apakah benang kusut pendidikan kita harus belajar dari seorang Toto Chan pikirku dalam hati. Kembali memoriku teringat pada adik ke-3 alias si Thole yang masih imut-imut hingga saat ini untuk seangkatan teman-temannya yang lulus dari SMA tahun 2000 di Bandung waktu itu. Yach kisah tentang hasil UN 2006 ini, sebenarnya sama dengan si bungsu waktu lulus tahun 2000, nilai matematikanya 2,8, jika ada lorong waktu seperti salah satu sinetron di salah satu tv swasta kita, mungkin Thole tidak lulus jika dia lulus tahun 2006 ini pikirku menerawang jauh.
Saya jadi teringat waktu dia lulus, terus berjuang untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dari ikut tes penerimaan UMPTN 2000, program-program D3 di PTN Bandung. Ibarat ikhtiar semua sudah dijalani, hingga akhirnya saat tiba pengumuman, ternyata tidak ada satu pun yang diterima sedangkan teman-temannya banyak yang ketrima di PTN. Tentu dengan usia yang masih remaja belia waktu itu, sekitar 18 tahunan, dia mengalami depresi berat, hingga rambutnya gondrong dan wajahnya terlihat kusut. Saya pun mulai mencari jalan keluar agar adik bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi lagi. Alhamdulillah, waktu itu masih ada penerimaan program D1 pertanahan di suatu institusi pendidikan kedinasan di kota Yogya. Saya luangkan ke kota gudeg waktu itu, untuk mendapatkan brosur dan informasi tentang pendidikan ini. Setelah sampai di Bandung lagi, saya pun terangkan kepada orang tua maupun si bungsu, tentang pendidikan D1 ini, awalnya adik menolak sebab hanya, D1?
Kemudian saya terangkan pada si Thole sembari saya tingkatkan mentalnya yang sedang down waktu itu. Hingga saya tempuh suatu strategi jitu, agar dia mau masuk sekolah itu yakni si Bungsu saya ajak jalan-jalan ke sekolah calon birokrat muda alias STPDN di Jatinangor. Ternyata strategi itu manjur, akhirnya adik mau mengikuti tes dan mengikuti pendidikan selama 1 tahun. Alhamdulilah setelah lulus tahun 2001 walau sempat menganggur 1 tahun karena dalam tes CPNS tahun 2001 tidak masuk. Dalam mengisi kekosongan kegiatan, adik masih diberi kemudahan oleh Allah Swt dalam memanfaatkan jeda waktu selama 1 tahun dengan kesibukan bekerja di institusi swasta. Hingga kembali kemudahan diberikan oleh Yang Maha Kuasa pada adik, seiring ulang tahun kemerdekaan negeri ini pada Agustus 2002. Kabar baik tentang tes CPNS yang berasal dari kakak kelas adik. Sewaktu masih belajar selama 1 tahun adik aktif di DKM masjid kampus, hingga kabar ada tes penerimaan datang dari kakak kelas sekaligus sahabat nya di DKM. Adanya kesempatan dan peluang itu tentu tidak disia-siakannya mengikuti tes lagi. Alhamdullilah, doa orang tua maupun kami sekeluarga dikabulkan oleh Allah, adik diterima menjadi PNS tahun 2003 di salah satu institusi pemerintah dengan penempatan di provinsi Sumatera Selatan. Wajah si bungsu tampak ceria ketika menyampaikan kabar itu kepada orang tua.
Subhanalah, setelah bekerja 1 tahun di Sumsel, bulan Agustus tahun 2004 adik kembali diberikan kemudahan dengan mendapatkan prioritas untuk tugas belajar atas nama lembaga, kembali ke kampus semula di lingkungan agraria/pertanahan di kota Yogya, tentu saya dan keluarga bersyukur akhirnya adik dapat meraih cita-citanya untuk menggapai pendidikan tinggi. Dari kisah ini tentu ada ibroh yang dapat diambil hikmahnya, sebagaimana firman Allah swt dalam (Q.S : Al Insyirah ayat 5-6) : � Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.� Wallahu a�lam bish showab
Sebenarnya kisah ini mengingatkan saya ketika membaca buku best seller di Jepang berjudul �Toto Chan Gadis Cilik di Jendela� karya Tetsuko Kuroyanagi yang mengisahkan tentang konsep sekolah alam, dimana siswanya diberikan kebebasan belajar dalam mengembangkan ilmunya dan dapat langsung diaplikasikan dalam lingkungan sekolah tersebut. Buku itu juga mengisahkan seorang Toto Chan yang selalu mempertanyakan segala sesuatu tentang pendidikan yang sedang digelutinya. Apakah benang kusut pendidikan kita harus belajar dari seorang Toto Chan pikirku dalam hati. Kembali memoriku teringat pada adik ke-3 alias si Thole yang masih imut-imut hingga saat ini untuk seangkatan teman-temannya yang lulus dari SMA tahun 2000 di Bandung waktu itu. Yach kisah tentang hasil UN 2006 ini, sebenarnya sama dengan si bungsu waktu lulus tahun 2000, nilai matematikanya 2,8, jika ada lorong waktu seperti salah satu sinetron di salah satu tv swasta kita, mungkin Thole tidak lulus jika dia lulus tahun 2006 ini pikirku menerawang jauh.
Saya jadi teringat waktu dia lulus, terus berjuang untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dari ikut tes penerimaan UMPTN 2000, program-program D3 di PTN Bandung. Ibarat ikhtiar semua sudah dijalani, hingga akhirnya saat tiba pengumuman, ternyata tidak ada satu pun yang diterima sedangkan teman-temannya banyak yang ketrima di PTN. Tentu dengan usia yang masih remaja belia waktu itu, sekitar 18 tahunan, dia mengalami depresi berat, hingga rambutnya gondrong dan wajahnya terlihat kusut. Saya pun mulai mencari jalan keluar agar adik bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi lagi. Alhamdulillah, waktu itu masih ada penerimaan program D1 pertanahan di suatu institusi pendidikan kedinasan di kota Yogya. Saya luangkan ke kota gudeg waktu itu, untuk mendapatkan brosur dan informasi tentang pendidikan ini. Setelah sampai di Bandung lagi, saya pun terangkan kepada orang tua maupun si bungsu, tentang pendidikan D1 ini, awalnya adik menolak sebab hanya, D1?
Kemudian saya terangkan pada si Thole sembari saya tingkatkan mentalnya yang sedang down waktu itu. Hingga saya tempuh suatu strategi jitu, agar dia mau masuk sekolah itu yakni si Bungsu saya ajak jalan-jalan ke sekolah calon birokrat muda alias STPDN di Jatinangor. Ternyata strategi itu manjur, akhirnya adik mau mengikuti tes dan mengikuti pendidikan selama 1 tahun. Alhamdulilah setelah lulus tahun 2001 walau sempat menganggur 1 tahun karena dalam tes CPNS tahun 2001 tidak masuk. Dalam mengisi kekosongan kegiatan, adik masih diberi kemudahan oleh Allah Swt dalam memanfaatkan jeda waktu selama 1 tahun dengan kesibukan bekerja di institusi swasta. Hingga kembali kemudahan diberikan oleh Yang Maha Kuasa pada adik, seiring ulang tahun kemerdekaan negeri ini pada Agustus 2002. Kabar baik tentang tes CPNS yang berasal dari kakak kelas adik. Sewaktu masih belajar selama 1 tahun adik aktif di DKM masjid kampus, hingga kabar ada tes penerimaan datang dari kakak kelas sekaligus sahabat nya di DKM. Adanya kesempatan dan peluang itu tentu tidak disia-siakannya mengikuti tes lagi. Alhamdullilah, doa orang tua maupun kami sekeluarga dikabulkan oleh Allah, adik diterima menjadi PNS tahun 2003 di salah satu institusi pemerintah dengan penempatan di provinsi Sumatera Selatan. Wajah si bungsu tampak ceria ketika menyampaikan kabar itu kepada orang tua.
Subhanalah, setelah bekerja 1 tahun di Sumsel, bulan Agustus tahun 2004 adik kembali diberikan kemudahan dengan mendapatkan prioritas untuk tugas belajar atas nama lembaga, kembali ke kampus semula di lingkungan agraria/pertanahan di kota Yogya, tentu saya dan keluarga bersyukur akhirnya adik dapat meraih cita-citanya untuk menggapai pendidikan tinggi. Dari kisah ini tentu ada ibroh yang dapat diambil hikmahnya, sebagaimana firman Allah swt dalam (Q.S : Al Insyirah ayat 5-6) : � Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.� Wallahu a�lam bish showab
Kabar Di Hari Sabtu
Sabtu, Pagi 27/Mei/2006 pukul 06.10 WIB, saya sedang mengendarai sepeda motor menuju daerah pinggiran kota Bandung mengantar adik ke-2 yang akan kerja di daerah Kopo. Saya hentikan sepeda motor karena hp aktif, ternyata sms dari si bungsu yang sedang menimba ilmu di kota Yogya. Pesan sms membuat saya agak terkejut karena berisi informasi bahwa di kota Gudeg sedang dilanda gempa dahsyat. Spontan karena khawatir langsung saya telepon balik ke adik di asramanya yang terletak di daerah Godean Sleman.
Beberapa kali saya hubungi ternyata tidak bisa terhubung. Tentunya perasaan menjadi berkecamuk tidak karuan. Saya coba menenangkan hati, kemudian saya balik haluan kembali ke rumah di Kiaracondong. Setiba di rumah, saya aktifkan kembali hp, kembali ada pesan serupa sms dari rekan di Yogya tentang gempa bumi yang membuat warga Yogya dilanda kepanikan.
Pesan singkat itu menggerakkan saya untuk coba sms ke Pak Lik Irawan di Wates, Kulon Progo, Budhe di kota Yogya dan teman akrab alumni SMAN 1 Wates bernama Mardi yang sedang libur panjang di Klaten Jawa Tengah.
Kemudian ringtone hp pun kembali berbunyi, hp pun saya angkat, Mardipun dengan terbata-bata mengisahkan baru saja terjadi Lindhu atau gempa bumi dalam skala richter 5,9 yang melanda Klaten dan sekitarnya. Mardi berkata,� Koyo dhonya wis kiamat, omah podho rusak, okeh korban ne� (Seperti dunia sudah kiamat, rumah banyak yang rusak, korban yang tertimpa reruntuhan rumah banyak yang meninggal).
Pikiran saya pun jadi ikutan tidak menentu jangan-jangan banyak keluarga yang tertimpa musibah gempa ini. Kemudian saya putuskan telepon Pak Lik Irawan, beliaupun menjawab,� Yo bener nang kene yo keroso banget getaran gempa ne, Alhamdullilah kabeh keluarga uga podho selamat, omah yo ora opo-opo.� (Ya benar di sini juga terasa sekali getaran gempa nya, Alhamdulillah semua keluarga sehat semua, rumah juga tidak apa-apa). Kabar serupa juga datang dari keluarga Bude di kota Yogya, akan tetapi sebagaian tembok rumah Bude ada yang retak.
Spontan saya segera mengikuti perkembangan berita gempa di Yogya dengan melihat breaking news di tv, �Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji�uun.� ucap hati saya, terutama saat mendengar banyak korban jatuh di Bantul.
Saya pun mencoba menerawang jauh tentang Bantul, sebab ketika masih tinggal di Wates, ada kenangan yang sampai kini tidak terlupakan. Ya, dulu pernah bersepeda onthel ke Bantul, ternyata sekarang daerah itu benar-benar sedang berduka, sebab rumah banyak yang hancur, penduduk kekurangan bahan makan dan tempat tinggal. Tentu sahabat-sahabat di sana benar-benar membutuhkan pertolongan dari kita semua, pikirku dalam hati.
Ketika siang habis dzuhur, ibu yang tinggal bersama saya di Bandung, berulang kali ingin mengetahui keadaan putra bungsunya di Yogya? Alhamdullilah dengan telepon seluler akhirnya dapat terhubung, dia selamat dari musibah itu. Sembari memberi wejangan padanya, ibu berpesan agar selalu hati-hati dan sempatkan silaturahmi ke rumah Bude Yogya dan keluarga di Wates, tutur beliau.
Tentu musibah gempa bumi di Yogya ini, memberikan hikmah pada kita semua bahwa, �Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.� (QS Al Hadiid [57]: 22)
Selain itu kita juga harus sangat siap dengan berbagai macam ujian hidup ataupun bencana yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja yang dapat saja menimpa kita semua, sehingga alangkah baiknya jika kita senantiasa berlindung diri pada Allah SWT dengan jalan senantiasa berdzikir pada-Nya. Wallahu a�lam bish showab.
Writter Cyber MQ***
Beberapa kali saya hubungi ternyata tidak bisa terhubung. Tentunya perasaan menjadi berkecamuk tidak karuan. Saya coba menenangkan hati, kemudian saya balik haluan kembali ke rumah di Kiaracondong. Setiba di rumah, saya aktifkan kembali hp, kembali ada pesan serupa sms dari rekan di Yogya tentang gempa bumi yang membuat warga Yogya dilanda kepanikan.
Pesan singkat itu menggerakkan saya untuk coba sms ke Pak Lik Irawan di Wates, Kulon Progo, Budhe di kota Yogya dan teman akrab alumni SMAN 1 Wates bernama Mardi yang sedang libur panjang di Klaten Jawa Tengah.
Kemudian ringtone hp pun kembali berbunyi, hp pun saya angkat, Mardipun dengan terbata-bata mengisahkan baru saja terjadi Lindhu atau gempa bumi dalam skala richter 5,9 yang melanda Klaten dan sekitarnya. Mardi berkata,� Koyo dhonya wis kiamat, omah podho rusak, okeh korban ne� (Seperti dunia sudah kiamat, rumah banyak yang rusak, korban yang tertimpa reruntuhan rumah banyak yang meninggal).
Pikiran saya pun jadi ikutan tidak menentu jangan-jangan banyak keluarga yang tertimpa musibah gempa ini. Kemudian saya putuskan telepon Pak Lik Irawan, beliaupun menjawab,� Yo bener nang kene yo keroso banget getaran gempa ne, Alhamdullilah kabeh keluarga uga podho selamat, omah yo ora opo-opo.� (Ya benar di sini juga terasa sekali getaran gempa nya, Alhamdulillah semua keluarga sehat semua, rumah juga tidak apa-apa). Kabar serupa juga datang dari keluarga Bude di kota Yogya, akan tetapi sebagaian tembok rumah Bude ada yang retak.
Spontan saya segera mengikuti perkembangan berita gempa di Yogya dengan melihat breaking news di tv, �Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji�uun.� ucap hati saya, terutama saat mendengar banyak korban jatuh di Bantul.
Saya pun mencoba menerawang jauh tentang Bantul, sebab ketika masih tinggal di Wates, ada kenangan yang sampai kini tidak terlupakan. Ya, dulu pernah bersepeda onthel ke Bantul, ternyata sekarang daerah itu benar-benar sedang berduka, sebab rumah banyak yang hancur, penduduk kekurangan bahan makan dan tempat tinggal. Tentu sahabat-sahabat di sana benar-benar membutuhkan pertolongan dari kita semua, pikirku dalam hati.
Ketika siang habis dzuhur, ibu yang tinggal bersama saya di Bandung, berulang kali ingin mengetahui keadaan putra bungsunya di Yogya? Alhamdullilah dengan telepon seluler akhirnya dapat terhubung, dia selamat dari musibah itu. Sembari memberi wejangan padanya, ibu berpesan agar selalu hati-hati dan sempatkan silaturahmi ke rumah Bude Yogya dan keluarga di Wates, tutur beliau.
Tentu musibah gempa bumi di Yogya ini, memberikan hikmah pada kita semua bahwa, �Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.� (QS Al Hadiid [57]: 22)
Selain itu kita juga harus sangat siap dengan berbagai macam ujian hidup ataupun bencana yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja yang dapat saja menimpa kita semua, sehingga alangkah baiknya jika kita senantiasa berlindung diri pada Allah SWT dengan jalan senantiasa berdzikir pada-Nya. Wallahu a�lam bish showab.
Writter Cyber MQ***
Bayangan Tak Terkejar
Sosoknya adalah sosok yang penuh cinta, kelembutan dan pribadi yang begitu memesona. Jilbab dan gaun gamis yang dikenakan memancarkan sosok muslimah yang ideal dan seorang ibu yang berwibawa. Pada setiap pertemuan, dia tidak akan pernah lupa untuk membuatkan kue. Kue sederhana namun sangat dinanti oleh semua rekan � rekan. Usia kami hampir sama, dan dia sudah memiliki seorang putera. Suaminya bekerja sebagai pegawai biasa, namun dukungan dari ibu mertua sangat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beruntunglah, mertuanya sangat baik dan cukup berada. Mereka bisa tinggal di rumah milik ibu dari suaminya.
Setelah hampir satu tahun tidak mengadakan kontak, kami berjanji untuk bertemu. Dia akan mengadakan survey dan sekaligus bersilaturahmi. Dia duduk dihadapan saya. Senyumnya ramah, tutur katanya halus. Masih seperti dulu. Namun, ada satu yang berubah saat ini. Dia tidak menggunakan gamis seperti biasanya. Dia masih berjilbab, namun untuk ukuran dia yang selama ini saya kenal, saya merasa dia telah berubah. Ups! Saya mencoba menepis prasangka buruk ini. Saya tidak berhak untuk menilai, terlebih sekehendak hati.
�Hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya bekerja untuk anak-anak. Mas tidak bisa menafkahi kami dengan cukup..� Saya sudah bisa menduga alasannya. Namun ada penolakan yang dahsyat pada benak saya. Tadinya saya berpikir dia bekerja di sebuah lembaga riset, karena dia mengatakan akan mengadakan survey atau jajak pendapat terhadap saya.
Namun ternyata, kenapa harus bekerja pada lembaga ini, yang jelas � jelas menjalankan usaha riba ? Pertanyaan itu hanya tercekat dikerongkongan.
Sekarang dia meminta saya untuk menjadi nasabahnya, dia sangat piawai menjelaskan segala keunggulan produknya. �Mbak, secara pribadi sebagai manusia normal, saya tentu ingin mendapatkan produk yang mbak tawarkan karena pendapatan yang akan saya terima sungguh luar biasa. Namun, saya tidak bisa menerimanya, karena ini mengandung unsur riba. Mbak lebih faham tentunya.� saya berusaha memberikan penjelasan tentang penolakan saya secara baik. Saya berharap, dia akan tersadar dengan segala ilmu agama yang pernah dipelajarinya.
Doktrin tentang keunggulan produk dan pembelaan dan sangkalan tentang penjelasan saya membuat saya semakin sedih. Saya terluka, saya merasa kehilangan dia.Sebagai wanita yang juga bekerja, saya sungguh memahami motivasinya untuk membantu ekonomi keluarga. Saya juga mengerti akan kesulitannya. Namun, saya tidak berharap dia untuk seperti ini. Penghasilannya sudah mencapai 20 juta rupiah perbulan, semakin aktif membangun jejaring bisnis, mencari teman baru karena target yang dikejar semakin tinggi. Sementara dia aktif membangun mimpi, anaknya berdua dengan sang bapak, di rumah. Ya, berdua saja.
Saya merasa sakit, sedih, dan marah. Saya sungguh tak berdaya mengejarnya, saya tak sanggup untuk membuatnya kembali seperti dulu, seorang wanita sederhana yang menyejukkan mata. Saya ingin merengkuhnya, memasukkan kembali ke dalam kenangan masa lalu yang terpatri di dalam benak.
Maafkan kami ya Rabb, atas segala kelemahan diri.
Setelah hampir satu tahun tidak mengadakan kontak, kami berjanji untuk bertemu. Dia akan mengadakan survey dan sekaligus bersilaturahmi. Dia duduk dihadapan saya. Senyumnya ramah, tutur katanya halus. Masih seperti dulu. Namun, ada satu yang berubah saat ini. Dia tidak menggunakan gamis seperti biasanya. Dia masih berjilbab, namun untuk ukuran dia yang selama ini saya kenal, saya merasa dia telah berubah. Ups! Saya mencoba menepis prasangka buruk ini. Saya tidak berhak untuk menilai, terlebih sekehendak hati.
�Hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya bekerja untuk anak-anak. Mas tidak bisa menafkahi kami dengan cukup..� Saya sudah bisa menduga alasannya. Namun ada penolakan yang dahsyat pada benak saya. Tadinya saya berpikir dia bekerja di sebuah lembaga riset, karena dia mengatakan akan mengadakan survey atau jajak pendapat terhadap saya.
Namun ternyata, kenapa harus bekerja pada lembaga ini, yang jelas � jelas menjalankan usaha riba ? Pertanyaan itu hanya tercekat dikerongkongan.
Sekarang dia meminta saya untuk menjadi nasabahnya, dia sangat piawai menjelaskan segala keunggulan produknya. �Mbak, secara pribadi sebagai manusia normal, saya tentu ingin mendapatkan produk yang mbak tawarkan karena pendapatan yang akan saya terima sungguh luar biasa. Namun, saya tidak bisa menerimanya, karena ini mengandung unsur riba. Mbak lebih faham tentunya.� saya berusaha memberikan penjelasan tentang penolakan saya secara baik. Saya berharap, dia akan tersadar dengan segala ilmu agama yang pernah dipelajarinya.
Doktrin tentang keunggulan produk dan pembelaan dan sangkalan tentang penjelasan saya membuat saya semakin sedih. Saya terluka, saya merasa kehilangan dia.Sebagai wanita yang juga bekerja, saya sungguh memahami motivasinya untuk membantu ekonomi keluarga. Saya juga mengerti akan kesulitannya. Namun, saya tidak berharap dia untuk seperti ini. Penghasilannya sudah mencapai 20 juta rupiah perbulan, semakin aktif membangun jejaring bisnis, mencari teman baru karena target yang dikejar semakin tinggi. Sementara dia aktif membangun mimpi, anaknya berdua dengan sang bapak, di rumah. Ya, berdua saja.
Saya merasa sakit, sedih, dan marah. Saya sungguh tak berdaya mengejarnya, saya tak sanggup untuk membuatnya kembali seperti dulu, seorang wanita sederhana yang menyejukkan mata. Saya ingin merengkuhnya, memasukkan kembali ke dalam kenangan masa lalu yang terpatri di dalam benak.
Maafkan kami ya Rabb, atas segala kelemahan diri.
Pada Sebuah Kata Tulus
Pagi ini saya berangkat kerja dengan perasaan malas. Terutama bila mengingat jarak tempat kerja yang lumayan jauh.
�Kau harus semangat De, kalau kita semangat dan pekerjaan bisa selesai dengan cepat, kau kan bisa pulang lebih awal. Kita bisa bertemu dirumah lebih cepat juga. Jangan tertinggal dengan orang lain� Suami saya langsung tanggap ketika melihat gerakan saya yang lamban dan tidak bersemangat ketika akan berangkat.
Duh, tiba � tiba saya teringat akan suasana kerja yang tidak kondusif belakangan ini. Saya tidak bersemangat setiap memulai hari. Hal itu semakin terasa setelah beberapa orang teman berhenti dari perusahaan ini dikarenakan berbagai alasan. Belakangan saya terhanyut dengan situasi itu. Sekarang saya tengah rajin membuat peta kompetensi. Dengan begitu saya berharap bisa dapat petunjuk kearah mana karir saya akan berlanjut. Saya tidak ingin tertinggal jika kelak ada perubahan mendadak dari manajemen.
****
Dibawah jembatan penyebrangan yang berfungsi sebagai halte, saya berdiri menunggu bus yang akan membawa saya ketempat bekerja. Debu beterbangan, knalpot mengeluarkan asap yang menyesakkan. Ditengah situasi seperti itu, beberapa orang polisi dengan setia bertugas. Berdiri ditengah keruwetan lalu lintas yang padat berdesakan.
Beberapa menit setelah saya berdiri, lalu lintas diujung jembatan sana sepertinya makin terhambat. Rupanya sebuah mobil angkot tengah memperlambat laju sehingga memperparah kemacetan. Suara klakson bersahut � sahutan melengking tinggi memekakan telinga. Mereka tak sabar meminta jalan.
Entah mengapa, perasaan saya ikut terbawa juga dengan situasi itu. Saya agak kesal melihat kejadian yang bising dan ruwet tersebut. Polisi berjalan menuju sember kemacetan. Saya berfikir : sopir angkot itu pasti akan ditilang. Dan menurut saya itu sudah sewajarnya untuk dilakukan.
Kemudian, mobil angkot itu melaju sangat pelan sekali. Ternyata sopirnya tidak berada pada kemudi. Dia sedang terengah � engah mendorong mobil yang memuat beberapa penumpang wanita. Oh! Ternyata mobil tersebut mogok, dia bukan dengan sengaja membuat kemacetan.
Yang lebih menakjubkan, pak polisi membantu mendorong mobil tersebut dari arah belakang dengan sekuat tenaga. Mereka berdua bekerjasama agar mobil bisa dibawa ketepi. Sementara itu, dibelakang mereka suara klakson masih melengking tinggi, seolah tak perduli dengan kesulitan yang menimpa dihadapannya.
Saya telah salah menduga. Men-genarilisir tentang suatu peristiwa pada prasangka yang negatif. Sopir itu tak sengaja membuat kemacetan, dan polisi tersebut tidaklah hendak memberikan surat tilang. Beliau malah memberikan suatu pertolongan. Kebaikan yang tidak saya duga sebelumnya.
Pada pagi yang ruwet menurut versi saya itu, beliau telah bersedekah dengan tenaganya. Jabatan yang dimilikinya tidaklah mengunci hatinya untuk berlelah � lelah membantu seseorang yang tidak dikenalnya. Tulus! Kata itulah yang tepat dilekatkan pada hatinya. Aha! Mungkin ini yang menjadi penyebab kemalasan saya. Saya harus memeriksa sudut � sudut hati saya. Mungkin kekurang tulusan saya yang menyebabkan saya enggan berangkat ibadah menjemput rizki.
Belakangan ini saya tidak enjoy menjalani hari � hari pada pekerjaan. Saya lebih tertarik mendengarkan gossip tentang karyawan yang sudah keluar dan yang akan keluar. Saya terlarut dalam suasana yang tidak terkendali, dalam kekhawatiran yang seharusnya saya paham untuk menghindarinya. Saya tidak tulus menerima suasana kerja yang tengah berubah. Padahal, kemungkinan besar adalah bukan iklim kerja yang berubah, namun sudut pandang saya tengah mengalami pergeseran.
Saya harus bergerak untuk menggeser sudut pandang saya kepada posisi yang tepat. Meyakinkan kembali kepada tujuan hakikatnya bekerja. Kemudian, saya harus mengawal terus keyakinan itu. Setelah itu, biar Allah memilihkan yang terbaik untuk saya.
�Kau harus semangat De, kalau kita semangat dan pekerjaan bisa selesai dengan cepat, kau kan bisa pulang lebih awal. Kita bisa bertemu dirumah lebih cepat juga. Jangan tertinggal dengan orang lain� Suami saya langsung tanggap ketika melihat gerakan saya yang lamban dan tidak bersemangat ketika akan berangkat.
Duh, tiba � tiba saya teringat akan suasana kerja yang tidak kondusif belakangan ini. Saya tidak bersemangat setiap memulai hari. Hal itu semakin terasa setelah beberapa orang teman berhenti dari perusahaan ini dikarenakan berbagai alasan. Belakangan saya terhanyut dengan situasi itu. Sekarang saya tengah rajin membuat peta kompetensi. Dengan begitu saya berharap bisa dapat petunjuk kearah mana karir saya akan berlanjut. Saya tidak ingin tertinggal jika kelak ada perubahan mendadak dari manajemen.
****
Dibawah jembatan penyebrangan yang berfungsi sebagai halte, saya berdiri menunggu bus yang akan membawa saya ketempat bekerja. Debu beterbangan, knalpot mengeluarkan asap yang menyesakkan. Ditengah situasi seperti itu, beberapa orang polisi dengan setia bertugas. Berdiri ditengah keruwetan lalu lintas yang padat berdesakan.
Beberapa menit setelah saya berdiri, lalu lintas diujung jembatan sana sepertinya makin terhambat. Rupanya sebuah mobil angkot tengah memperlambat laju sehingga memperparah kemacetan. Suara klakson bersahut � sahutan melengking tinggi memekakan telinga. Mereka tak sabar meminta jalan.
Entah mengapa, perasaan saya ikut terbawa juga dengan situasi itu. Saya agak kesal melihat kejadian yang bising dan ruwet tersebut. Polisi berjalan menuju sember kemacetan. Saya berfikir : sopir angkot itu pasti akan ditilang. Dan menurut saya itu sudah sewajarnya untuk dilakukan.
Kemudian, mobil angkot itu melaju sangat pelan sekali. Ternyata sopirnya tidak berada pada kemudi. Dia sedang terengah � engah mendorong mobil yang memuat beberapa penumpang wanita. Oh! Ternyata mobil tersebut mogok, dia bukan dengan sengaja membuat kemacetan.
Yang lebih menakjubkan, pak polisi membantu mendorong mobil tersebut dari arah belakang dengan sekuat tenaga. Mereka berdua bekerjasama agar mobil bisa dibawa ketepi. Sementara itu, dibelakang mereka suara klakson masih melengking tinggi, seolah tak perduli dengan kesulitan yang menimpa dihadapannya.
Saya telah salah menduga. Men-genarilisir tentang suatu peristiwa pada prasangka yang negatif. Sopir itu tak sengaja membuat kemacetan, dan polisi tersebut tidaklah hendak memberikan surat tilang. Beliau malah memberikan suatu pertolongan. Kebaikan yang tidak saya duga sebelumnya.
Pada pagi yang ruwet menurut versi saya itu, beliau telah bersedekah dengan tenaganya. Jabatan yang dimilikinya tidaklah mengunci hatinya untuk berlelah � lelah membantu seseorang yang tidak dikenalnya. Tulus! Kata itulah yang tepat dilekatkan pada hatinya. Aha! Mungkin ini yang menjadi penyebab kemalasan saya. Saya harus memeriksa sudut � sudut hati saya. Mungkin kekurang tulusan saya yang menyebabkan saya enggan berangkat ibadah menjemput rizki.
Belakangan ini saya tidak enjoy menjalani hari � hari pada pekerjaan. Saya lebih tertarik mendengarkan gossip tentang karyawan yang sudah keluar dan yang akan keluar. Saya terlarut dalam suasana yang tidak terkendali, dalam kekhawatiran yang seharusnya saya paham untuk menghindarinya. Saya tidak tulus menerima suasana kerja yang tengah berubah. Padahal, kemungkinan besar adalah bukan iklim kerja yang berubah, namun sudut pandang saya tengah mengalami pergeseran.
Saya harus bergerak untuk menggeser sudut pandang saya kepada posisi yang tepat. Meyakinkan kembali kepada tujuan hakikatnya bekerja. Kemudian, saya harus mengawal terus keyakinan itu. Setelah itu, biar Allah memilihkan yang terbaik untuk saya.
Rabu, 29 Desember 2010
Belajar dari Kisah Hidup Orang Lain
Setiap episode kehidupan tentu akan menghadirkan makna ataupun hikmah yang dapat dipetik. Ada satu kisah ketika saya bertemu dengan sahabat, yang sampai sekarang masih menjadi kenangan yang tak terlupakan. Dua tahun yang lalu sewaktu tinggal di Bandung, kedatangan tamu. Tamu tersebut adalah kakak kelas adik saya, yang sedang tugas belajar di Yogyakarta, Wandi namanya. Ia berasal dari Makasar atau dulu disebut Ujung Pandang. Tingkah lakunya yang sopan dan mudah bergaul, menjadikan saya sangat tertarik untuk berdiskusi dengannya.
Diawali dengan kisahnya setelah lulus sekolah, ia pun bercerita,� Mas setelah lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, sebenarnya saya juga ingin kuliah seperti teman-teman seangkatan. Akan tetapi orang tua mensyaratkan bahwa kemampuan untuk membiayai sekolah cukup sampai SLTA, karena dengan gaji bapak Wandi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan bawah, tentunya untuk membiayai pendidikan tinggi sangat berat, ditambah ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa, � Tutur Wandi sambil menerawang jauh mengingat masa lalunya.�
Ketika orang tua mengatakan hal itu, Wandi pun tak lantas putus asa, ia menyadari bahwa realita kehidupan harus dijalaninya. Kemudian ia putuskan untuk mencari pekerjaan saja, dengan keahliannya yaitu mengajar ngaji. Subhanallah dengan keahliannya itu, ternyata Allah memberikan jalan untuk menjemput rejeki. Dari mengajar anak-anak di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) atau privat yang sudah remaja, dewasa, tidak ketinggalan pula orang tua, dijalaninya sebagai sarana silaturahmi. Wandi jalani semua itu dengan tabah dan tawakal, karena ia menyadari bahwa hal itu sebagai profesinya. Untuk meningkatkan keterampilan dalam bidang komputer, tidak lupa mengikuti kursus Komputer.
Hingga suatu hari sewaktu kursus komputer, ia mendapat brosur lowongan kerja dari suatu instansi pemerintah. Dengan di dorong oleh keinginan untuk meningkatkan taraf hidup, Wandi mendaftar dan mengikuti tes penerimaan pegawai.
Sebelumnya tidak lupa ia minta ijin dan mohon doa restu kedua orang tuanya. Alhamdullilah, ia lulus tes tersebut dan akhirnya diterima menjadi pegawai. Setelah mengabdi selama dua sampai tiga tahunan, akhirnya institusi tempat Wandi bekerja, memberikan kesempatan untuk tugas belajar ke Yogya, tentunya ia tidak menyia-nyikan kesempatan itu. Dalam bersaing untuk tugas belajar di Yogya tersebut, ia harus bersaing juga dengan pegawai-pegawai lainnya dari utusan pegawai masing-masing kantor wilayah perwakilan provinsi seluruh Sulawesi. Alhamdullilah, ia lulus dan berangkat tugas belajar ke kota pendidikan. Suatu cita-cita yang telah lama dipendamnya. Cerita itu diakhirinya, karena ia harus istirahat dahulu, sembari dia berkata, �Mas besok pagi ikut ya?� Wandi ajak mas ke Cianjur, bersilaturahmi ke rumah bapak asuh, tempat dulu saya menginap sewaktu Praktek Kerja Lapangan di Cianjur, sayapun mengangguk tanda setuju.�
Dengan menggunakan bus antar kota, Bandung-Cianjur, kami bertiga : saya, adik bungsu, yang juga kakak kelas Wandi sewaktu pendidikan di Yogya, pergi ke Cianjur. Kurang lebih satu jam kamipun tiba di tempat yang dituju. Setiba di lokasi, Wandi agak lupa rumah bapak asuhnya, kebetulan ia menyebutnya �Bapak Haji.� Dalam hati, saya pikir rumah yang dikunjungi itu bagus dan rapih. Wandipun bertanya ke warga setempat, dengan logat Makasarnya yang tegas, akhirnya kamipun tiba di rumah �Bapak Haji�. Alhamdullilah pak haji masih mengingat Wandi, terlihat dari raut wajahnya tampak usia beliau sudah tujuh puluh hingga delapan puluh tahunan, tetapi tampak beliau masih sehat dan bugar.
Dengan logat Sundanya dia sapa Wandi, walo tetap pakai bahasa Indonesia, karena bapak haji tahu bahwa Wandi, belum faseh bahasa Sunda. �Bagaimana kabarnya, nak?�, baik pak, tutur Wandi. Ternyata rumah pak haji itu sederhana sekali, tidak seperti yang kubayangkan. Diapun bercerita bisa berhaji, karena dengan jalan menabung, diiringi niat yang kuat dan berdoa sehingga diberikan jalan kemudahan oleh Allah Swt, tuturnya kepada kami bertiga.
Alhamdullilah keluarga pak haji menyambut kami selayaknya saudara sendiri, hingga kami dijamu masakan khas Cianjur. Setelah makan siang kamipun berpamitan pulang kembali ke Bandung, pak haji beserta keluarga, merestuinya.
Sebelum berangkat tidak lupa kami mengerjakan sholat dzuhur di salah satu masjid di kota Cianjur. Setiba di Bandung, setelah istirahat terlebih dahulu, malam harinya Wandi berpamitan kepada saya dan keluarga di Bandung, karena kebetulan beberapa hari lagi ia akan wisuda di Yogya. Saya dan keluarga pun melepas Wandi, sambil berpesan,�Jangan lupa kasih kabar ya, setelah tiba Makasar.� Wandi pun menggangguk, sambil melambaikan tangannya dan berjalan menuju setasiun pemberangkatan Kereta Api ke Yogya.�
Diawali dengan kisahnya setelah lulus sekolah, ia pun bercerita,� Mas setelah lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, sebenarnya saya juga ingin kuliah seperti teman-teman seangkatan. Akan tetapi orang tua mensyaratkan bahwa kemampuan untuk membiayai sekolah cukup sampai SLTA, karena dengan gaji bapak Wandi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan bawah, tentunya untuk membiayai pendidikan tinggi sangat berat, ditambah ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa, � Tutur Wandi sambil menerawang jauh mengingat masa lalunya.�
Ketika orang tua mengatakan hal itu, Wandi pun tak lantas putus asa, ia menyadari bahwa realita kehidupan harus dijalaninya. Kemudian ia putuskan untuk mencari pekerjaan saja, dengan keahliannya yaitu mengajar ngaji. Subhanallah dengan keahliannya itu, ternyata Allah memberikan jalan untuk menjemput rejeki. Dari mengajar anak-anak di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) atau privat yang sudah remaja, dewasa, tidak ketinggalan pula orang tua, dijalaninya sebagai sarana silaturahmi. Wandi jalani semua itu dengan tabah dan tawakal, karena ia menyadari bahwa hal itu sebagai profesinya. Untuk meningkatkan keterampilan dalam bidang komputer, tidak lupa mengikuti kursus Komputer.
Hingga suatu hari sewaktu kursus komputer, ia mendapat brosur lowongan kerja dari suatu instansi pemerintah. Dengan di dorong oleh keinginan untuk meningkatkan taraf hidup, Wandi mendaftar dan mengikuti tes penerimaan pegawai.
Sebelumnya tidak lupa ia minta ijin dan mohon doa restu kedua orang tuanya. Alhamdullilah, ia lulus tes tersebut dan akhirnya diterima menjadi pegawai. Setelah mengabdi selama dua sampai tiga tahunan, akhirnya institusi tempat Wandi bekerja, memberikan kesempatan untuk tugas belajar ke Yogya, tentunya ia tidak menyia-nyikan kesempatan itu. Dalam bersaing untuk tugas belajar di Yogya tersebut, ia harus bersaing juga dengan pegawai-pegawai lainnya dari utusan pegawai masing-masing kantor wilayah perwakilan provinsi seluruh Sulawesi. Alhamdullilah, ia lulus dan berangkat tugas belajar ke kota pendidikan. Suatu cita-cita yang telah lama dipendamnya. Cerita itu diakhirinya, karena ia harus istirahat dahulu, sembari dia berkata, �Mas besok pagi ikut ya?� Wandi ajak mas ke Cianjur, bersilaturahmi ke rumah bapak asuh, tempat dulu saya menginap sewaktu Praktek Kerja Lapangan di Cianjur, sayapun mengangguk tanda setuju.�
Dengan menggunakan bus antar kota, Bandung-Cianjur, kami bertiga : saya, adik bungsu, yang juga kakak kelas Wandi sewaktu pendidikan di Yogya, pergi ke Cianjur. Kurang lebih satu jam kamipun tiba di tempat yang dituju. Setiba di lokasi, Wandi agak lupa rumah bapak asuhnya, kebetulan ia menyebutnya �Bapak Haji.� Dalam hati, saya pikir rumah yang dikunjungi itu bagus dan rapih. Wandipun bertanya ke warga setempat, dengan logat Makasarnya yang tegas, akhirnya kamipun tiba di rumah �Bapak Haji�. Alhamdullilah pak haji masih mengingat Wandi, terlihat dari raut wajahnya tampak usia beliau sudah tujuh puluh hingga delapan puluh tahunan, tetapi tampak beliau masih sehat dan bugar.
Dengan logat Sundanya dia sapa Wandi, walo tetap pakai bahasa Indonesia, karena bapak haji tahu bahwa Wandi, belum faseh bahasa Sunda. �Bagaimana kabarnya, nak?�, baik pak, tutur Wandi. Ternyata rumah pak haji itu sederhana sekali, tidak seperti yang kubayangkan. Diapun bercerita bisa berhaji, karena dengan jalan menabung, diiringi niat yang kuat dan berdoa sehingga diberikan jalan kemudahan oleh Allah Swt, tuturnya kepada kami bertiga.
Alhamdullilah keluarga pak haji menyambut kami selayaknya saudara sendiri, hingga kami dijamu masakan khas Cianjur. Setelah makan siang kamipun berpamitan pulang kembali ke Bandung, pak haji beserta keluarga, merestuinya.
Sebelum berangkat tidak lupa kami mengerjakan sholat dzuhur di salah satu masjid di kota Cianjur. Setiba di Bandung, setelah istirahat terlebih dahulu, malam harinya Wandi berpamitan kepada saya dan keluarga di Bandung, karena kebetulan beberapa hari lagi ia akan wisuda di Yogya. Saya dan keluarga pun melepas Wandi, sambil berpesan,�Jangan lupa kasih kabar ya, setelah tiba Makasar.� Wandi pun menggangguk, sambil melambaikan tangannya dan berjalan menuju setasiun pemberangkatan Kereta Api ke Yogya.�
Gadis Kecil Itu..
Angkot ini hampir penuh, mungkin hanya tersisa tempat duduk untuk satu orang lagi. Tepat dihadapan saya, seorang gadis kecil berbaju lusuh dan berambut kusam duduk dengan tenang. Umurnya sekitar 10 tahunan. Rinjing hitam yang dibawanya lumayan besar. Saya menduga dia hanya sendirian saja. Ya, type gadis cilik desa yang terbiasa mandiri.
Angkot masih enggan melaju, berharap masih ada penumpang yang akan naik. Saya sedang memburu waktu dari Pandeglang menuju stasiun Kereta Api Rangkas. Syukurlah dua orang penumpang kemudian naik. Seorang pria sekitar 27 tahunan meminta gadis cilik menggeser duduknya. Karena ruang duduk tidak memadai untuk tambahan dua orang lagi, maka pria tersebut dengan sukarela mengambil inisiatif untuk memangku gadis kecil itu.
Beberapa waktu melaju, saya menikmati pemandangan rimbun pohon hijau dan persawahan. Subhanallah, tempat ini selalu menimbulkan pesona dan gairah bagi saya. Saya merasa hidup dalam kedamaian ketika berada di desa ini. Sampai kemudian seketika saya menyadari, pandangan saya berpapasan pada lelaki yang memangku gadis cilik tersebut. Tatapan pria itu tidak biasa. Entah karena berita tentang pelecehan yang akhir � akhir begitu membetot perhatian, atau karena memang saya tengah mengalami paranoid akan hal itu, saya mencoba membaca wajahnya dengan lebih detail dan seksama lagi.
Saya melihat tatapan matanya adalah tatapan kurang ajar. Senyumnya adalah seringai pelecehan. Darah saya langsung berdesir hebat, saya ingin marah tapi saya tidak bisa menumpahkannya langsung. Karena pelecehan yang dilakukannya bukan ditujukan untuk saya, tapi kepada gadis kecil yang berada dalam pangkuannya. Sekilas tidak akan tercium gelagat aneh tersebut, namun saya melihat gadis kecil itu risih, sebentar-sebentar dia bergerak memperbaiki posisi duduknya. Laki � laki kurang ajar itu leluasa menjalankan aksinya, rinjing besar yang dipangku gadis kecil membuat dia merasa aman. Saya sungguh merasa murka, amarah saya sudah berada dipuncak ubun-ubun, sementara penumpang yang lain tidak menyadari akan kejadian ini.
Dalam hati saya berdo�a dan memohon kepada Allah agar diberi kemudahan untuk menghentikannya. Karena sungguh gadis ini tidak berdaya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Dengan keberanian yang saya kumpulkan, akhirnya saya tarik lengan anak gadis itu. �Kadieu Neng, calik sareng teteh� Beberapa detik kemudian gadis itu telah berpindah berada dipangkuan saya. Laki-laki dihadapan saya kaget, matanya menatap tajam. Saya tak henti berdo�a. �Memangnya anak ini siapanya kamu?� Dia bertanya dengan setengah nada gusar dan kasar. �Ini adik saya, kamu mau apa?� Suara saya tidak kalah galak, berusaha menepis rasa takut. Tak lama pria itu meminta turun, padahal dia telah membayar ongkos penuh menuju Rangkas. Saya bernafas lega, plong rasanya.
Kemudian gadis kecil itu menceritakan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan pria tadi. �Kalau adik bertemu orang seperti itu lagi, teriak aja ya, gak apa � apa pasti banyak yang menolong. Jangan mau kalo dipegang - pegang, kamu harus berani�. Saya mencoba memberikan pemahaman kepadanya. Saya tidak ingin hak nya terlanggar. Dia mengangguk tanda mengerti. �Hati � hati dijalan ya� ada kekhawatiran yang terus menyergap. Sebelum dia turun, saya membekali dia dengan uang ala kadarnya.
Sepanjang sisa perjalanan saya begitu sedih, merasakan betapa rentannya anak � anak tak berdaya itu mengalami tindakan pelecehan. Seringai dan kerendahan moral yang dilakukan pria tersebut membuat hati saya tercabik-cabik. Kemudian berita dimedia tentang tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak membuat saya luka dan pedih.
Saya teringat gadis kecil saya yang tengah tumbuh meniti hidup dengan berjuta harapan. Namun sakit ini tidak hendak saya biarkan bersarang dan membuat lemah adanya. Saya ingin melahirkan generasi yang berani dan tahu bagaimana mempertahankan dan membela harga dirinya.
Saya harus dapat memberi pengarahan yang terbaik dan yang paling penting adalah saya tak hendak melepas setiap kesempatan dengan untaian do�a agar anak � anak kami terselamatkan dunia dan akhirat. Dalam setiap kesempatan, saya mengingatkan gadis kecil saya agar tak lupa terus berdzikir, ketika bermain, ketika diperjalanan menuju pulang dan pergi sekolah, ketika dirumah dan dalam setiap kesempatan yang memungkinkan. Kemudian, saya menitipkan kepada yang maha menguasai setiap mahluk agar Allah yang maha perkasa menjaganya dengan kasih dan sayang-Nya yang tak berbatas..
20 Juli 2006
Nenda_2001@yahoo.com
Angkot masih enggan melaju, berharap masih ada penumpang yang akan naik. Saya sedang memburu waktu dari Pandeglang menuju stasiun Kereta Api Rangkas. Syukurlah dua orang penumpang kemudian naik. Seorang pria sekitar 27 tahunan meminta gadis cilik menggeser duduknya. Karena ruang duduk tidak memadai untuk tambahan dua orang lagi, maka pria tersebut dengan sukarela mengambil inisiatif untuk memangku gadis kecil itu.
Beberapa waktu melaju, saya menikmati pemandangan rimbun pohon hijau dan persawahan. Subhanallah, tempat ini selalu menimbulkan pesona dan gairah bagi saya. Saya merasa hidup dalam kedamaian ketika berada di desa ini. Sampai kemudian seketika saya menyadari, pandangan saya berpapasan pada lelaki yang memangku gadis cilik tersebut. Tatapan pria itu tidak biasa. Entah karena berita tentang pelecehan yang akhir � akhir begitu membetot perhatian, atau karena memang saya tengah mengalami paranoid akan hal itu, saya mencoba membaca wajahnya dengan lebih detail dan seksama lagi.
Saya melihat tatapan matanya adalah tatapan kurang ajar. Senyumnya adalah seringai pelecehan. Darah saya langsung berdesir hebat, saya ingin marah tapi saya tidak bisa menumpahkannya langsung. Karena pelecehan yang dilakukannya bukan ditujukan untuk saya, tapi kepada gadis kecil yang berada dalam pangkuannya. Sekilas tidak akan tercium gelagat aneh tersebut, namun saya melihat gadis kecil itu risih, sebentar-sebentar dia bergerak memperbaiki posisi duduknya. Laki � laki kurang ajar itu leluasa menjalankan aksinya, rinjing besar yang dipangku gadis kecil membuat dia merasa aman. Saya sungguh merasa murka, amarah saya sudah berada dipuncak ubun-ubun, sementara penumpang yang lain tidak menyadari akan kejadian ini.
Dalam hati saya berdo�a dan memohon kepada Allah agar diberi kemudahan untuk menghentikannya. Karena sungguh gadis ini tidak berdaya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Dengan keberanian yang saya kumpulkan, akhirnya saya tarik lengan anak gadis itu. �Kadieu Neng, calik sareng teteh� Beberapa detik kemudian gadis itu telah berpindah berada dipangkuan saya. Laki-laki dihadapan saya kaget, matanya menatap tajam. Saya tak henti berdo�a. �Memangnya anak ini siapanya kamu?� Dia bertanya dengan setengah nada gusar dan kasar. �Ini adik saya, kamu mau apa?� Suara saya tidak kalah galak, berusaha menepis rasa takut. Tak lama pria itu meminta turun, padahal dia telah membayar ongkos penuh menuju Rangkas. Saya bernafas lega, plong rasanya.
Kemudian gadis kecil itu menceritakan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan pria tadi. �Kalau adik bertemu orang seperti itu lagi, teriak aja ya, gak apa � apa pasti banyak yang menolong. Jangan mau kalo dipegang - pegang, kamu harus berani�. Saya mencoba memberikan pemahaman kepadanya. Saya tidak ingin hak nya terlanggar. Dia mengangguk tanda mengerti. �Hati � hati dijalan ya� ada kekhawatiran yang terus menyergap. Sebelum dia turun, saya membekali dia dengan uang ala kadarnya.
Sepanjang sisa perjalanan saya begitu sedih, merasakan betapa rentannya anak � anak tak berdaya itu mengalami tindakan pelecehan. Seringai dan kerendahan moral yang dilakukan pria tersebut membuat hati saya tercabik-cabik. Kemudian berita dimedia tentang tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak membuat saya luka dan pedih.
Saya teringat gadis kecil saya yang tengah tumbuh meniti hidup dengan berjuta harapan. Namun sakit ini tidak hendak saya biarkan bersarang dan membuat lemah adanya. Saya ingin melahirkan generasi yang berani dan tahu bagaimana mempertahankan dan membela harga dirinya.
Saya harus dapat memberi pengarahan yang terbaik dan yang paling penting adalah saya tak hendak melepas setiap kesempatan dengan untaian do�a agar anak � anak kami terselamatkan dunia dan akhirat. Dalam setiap kesempatan, saya mengingatkan gadis kecil saya agar tak lupa terus berdzikir, ketika bermain, ketika diperjalanan menuju pulang dan pergi sekolah, ketika dirumah dan dalam setiap kesempatan yang memungkinkan. Kemudian, saya menitipkan kepada yang maha menguasai setiap mahluk agar Allah yang maha perkasa menjaganya dengan kasih dan sayang-Nya yang tak berbatas..
20 Juli 2006
Nenda_2001@yahoo.com
Bekal di Hari Tua
Dalam perjalanan dengan kereta api dari kota gudeg, Yogyakarta menuju Bandung, saya berdampingan dengan seorang bapak berusia limapuluh tahunan, beliau bernama bapak Budi. Ternyata dia mempunyai kesibukan bekerja di suatu perusahaan di kota Cimahi. Beliau menceritakan tentang kisah-kisah hidupnya yang dapat diambil hikmahnya, selain itu dia menambahkan kisah putranya yang telah bekerja di suatu perusahaan di Kalimantan maupun putrinya yang sedang mencari pekerjaan di kota Bandung.
Yach, dari cerita beliau saya mengambil hikmah bahwa orang tua tentu menginginkan anak-anaknya agar dapat berhasil dalam hidupnya. Yang terkesan bagi saya, ketika terdengar adzan subuh, beliau setelah berwudlu/bertayamum di kereta api, kemudian mengerjakan shalat subuh. Kereta tepat pukul 05.30 pagi WIB berhenti di setasiun kota Bandung. Kamipun bersama-sama keluar menuju beranda setasiun. Saya dijemput adik dengan sepeda motor, bapak Budi menggunakan angkutan kota menuju tempat kerjanya di Cimahi. Kejadian bersama bapak Budi ini terjadi bulan Agustus 2006 yang telah lalu.
Subhanallah, di awal September ini kembali saya bertemu kembali dengan bapak Budi baik dalam perjalanan dengan kereta api menuju kota Yogya, kebetulan saya ada keperluan kembali di kota pendidikan tersebut. Maupun ketika kembali ke Bandung saya pun berjumpa lagi dengan beliau. Bapak Budi ternyata sering melakukan perjalanan pulang pergi dari Bandung ke Yogya, karena di Yogya beliau mempunyai rumah dan keluarga. Tentu dari pertemuan dengan bapak Budi memberikan (ibroh) pelajaran bagi saya bahwa orang tua walaupun telah lanjut usia tentu akan terus memperjuangkan dengan sekuat tenaganya untuk membahagiakan keluarganya baik material maupun spiritrual.
***
Diawali ingin mengetahui kabar sahabat saya yang bekerja di suatu institusi syariah di kota Bandung, telepon seluler pun saya gunakan untuk menghubunginya. Ada suatu kabar yang membuat saya termenung sejenak, ketika dia dengan terbata-bata mengisahkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, ucapku dalam hati. Saya pun kembali mengenang ketika beliau masih hidup. Di usia yang telah senja dan memasuki masa pensiun itu, ayah sahabat saya ini, tidak lupa dengan ibadah wajibnya yaitu melakukan shalat wajib lima waktu di masjid terdekat, diikuti mengikuti majelis taklim. Selain itu beliau senantiasa berbuat kebaikan kepada tetangga-tetangga maupun lingkungannya di tempat tinggal beliau tepat di jantung kota Bandung.
Ketika meninggal dunia pun tetangga-tetangga ayah sahabat saya ini, senantiasa mengenang kebaikan-kebaikan beliau. Hingga sewaktu di kebumikan di daerah kelahiran beliau yaitu di daerah Kadipaten Majalengka, kota yang berjarak limapuluh kilometer dari Bandung, tetangga-tetangga nya mengikuti takziah tersebut. Hikmah kejadian ini, mengingatkan saya pada (Q.S Al Hasyr [59] : 18) yang artinya �Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.�
Yach, dari cerita beliau saya mengambil hikmah bahwa orang tua tentu menginginkan anak-anaknya agar dapat berhasil dalam hidupnya. Yang terkesan bagi saya, ketika terdengar adzan subuh, beliau setelah berwudlu/bertayamum di kereta api, kemudian mengerjakan shalat subuh. Kereta tepat pukul 05.30 pagi WIB berhenti di setasiun kota Bandung. Kamipun bersama-sama keluar menuju beranda setasiun. Saya dijemput adik dengan sepeda motor, bapak Budi menggunakan angkutan kota menuju tempat kerjanya di Cimahi. Kejadian bersama bapak Budi ini terjadi bulan Agustus 2006 yang telah lalu.
Subhanallah, di awal September ini kembali saya bertemu kembali dengan bapak Budi baik dalam perjalanan dengan kereta api menuju kota Yogya, kebetulan saya ada keperluan kembali di kota pendidikan tersebut. Maupun ketika kembali ke Bandung saya pun berjumpa lagi dengan beliau. Bapak Budi ternyata sering melakukan perjalanan pulang pergi dari Bandung ke Yogya, karena di Yogya beliau mempunyai rumah dan keluarga. Tentu dari pertemuan dengan bapak Budi memberikan (ibroh) pelajaran bagi saya bahwa orang tua walaupun telah lanjut usia tentu akan terus memperjuangkan dengan sekuat tenaganya untuk membahagiakan keluarganya baik material maupun spiritrual.
***
Diawali ingin mengetahui kabar sahabat saya yang bekerja di suatu institusi syariah di kota Bandung, telepon seluler pun saya gunakan untuk menghubunginya. Ada suatu kabar yang membuat saya termenung sejenak, ketika dia dengan terbata-bata mengisahkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, ucapku dalam hati. Saya pun kembali mengenang ketika beliau masih hidup. Di usia yang telah senja dan memasuki masa pensiun itu, ayah sahabat saya ini, tidak lupa dengan ibadah wajibnya yaitu melakukan shalat wajib lima waktu di masjid terdekat, diikuti mengikuti majelis taklim. Selain itu beliau senantiasa berbuat kebaikan kepada tetangga-tetangga maupun lingkungannya di tempat tinggal beliau tepat di jantung kota Bandung.
Ketika meninggal dunia pun tetangga-tetangga ayah sahabat saya ini, senantiasa mengenang kebaikan-kebaikan beliau. Hingga sewaktu di kebumikan di daerah kelahiran beliau yaitu di daerah Kadipaten Majalengka, kota yang berjarak limapuluh kilometer dari Bandung, tetangga-tetangga nya mengikuti takziah tersebut. Hikmah kejadian ini, mengingatkan saya pada (Q.S Al Hasyr [59] : 18) yang artinya �Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.�
Sehabis Membaca
SEBENARNYA yang penting bukan seberapa banyak buku yang telah kita lahap, tapi penelaahan kita atas apa yang kita baca,� begitu kata seorang teman. Di lain waktu, saya ngobrol santai dengan kawan kampus yang lain. Ia bertanya, adakah saya menganggarkan uang buat membeli buku dalam sebulan. Setelah saya jawab ia menyampaikan pemikirannya bahwa ia senantiasa ragu untuk membeli sebuah buku yang baru bila bukunya yang lama belum tuntas dibaca. Ia merasa belum yakin apakah ilmu di dalamnya sudah teramalkan, minimal tersampaikan kepada orang lain. Sayang, ia tidak memberi contoh buku apa misalnya, dan saya lupa bertanya.
Ihwal kegemaran membeli dan memiliki buku, dan tentu saja membacanya orang-orang negeri ini jadi menarik buat saya. Mungkin bagus buat bahan penelitian bila saya peneliti. Apalagi bila soal ini dikaitkan dengan nilai human development index (HDI) kita yang rendah, yaitu sebesar 0,697 dan menempati peringkat ke-110 dari 174 negara. Bila data dalam Human Development Report dari UNDP tahun 2005 ini valid, berarti secara umum standar dan kualitas hidup bangsa kita ada di bawah negara lain di kawasan Asia Pasifik, bahkan di ASEAN.
Lantas, bila hendak lanjut dikejar, inikah yang menyebabkan budaya membaca kita masih rendah---yang tercermin dari, misalnya, realitas penerbitan buku di Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika Serikat atau Inggris; pertengahan 1990-an saja masing-masing �negara maju� ini dalam sebulannya mampu menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan negara kita hanya sanggup menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul setiap tahun. Atau sebaliknya, kualitas hidup yang rendahlah, yang merembet pada kemampuan ekonomi, yang jadi biang minimnya budaya membaca. Soal yang rada berpusing ini punya dua kemungkinan: retoris belaka atau benar-benar---meminjam judul sebuah lagu pop---menanti sebuah jawaban.
Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Pesta Buku Bandung. Ada pengalaman membekas bagi saya di gedung Landmark di Jalan Braga itu. Benar-benar �ajaib�, sebuah kalimat tanya yang sama tanpa sengaja saya dengar dari dua orang berbeda, di dua stand buku yang berbeda pula. Dua orang remaja puteri bertanya pada temannya masing-masing saat menimang sebuah buku. Agaknya untuk dihadiahkan bagi seseorang. Dan dua orang ini punya keraguan tertentu. Kalimat tanya itu: �Memang dia senang baca?�
Saya lupa apakah mereka jadi membeli. Tapi bila saya mencoba mengingat-ingat mungkin saya malah tersenyum karena justru yang muncul kembali adalah pertanyaan teman saya di awal tulisan ini. Jadi, bisa saja banyak orang punya buku di rumahnya---dengan membeli atau dari hadiah. Tapi seberapa persenkah koleksi buku itu tuntas terbaca---jangan dululah membicarakan apakah ilmu-ilmu yang berkubang dalam lembar-lembar bisu itu hingga tersampaikan dan teramalkan.
Sekejap sebuah laci di kepala saya terbuka. Suatu waktu saya bertandang ke rumah kawan yang dari mulutnya keluar kalimat pembuka esai ini. Sebuah rumah yang resik, yang dari jendela depannya kita bisa melihat Gunung Cikuray berdiri penuh dari kaki hingga puncaknya. Di sebuah kamar di sana, yang belakangan saya tahu sebagai �ruang belajar� buat siapa saja yang mau, saya mendapati buku-buku berderet dan bertebaran tidak sedikit.
Sungguh, terbukanya arsip-arsip ingatan ini membuat saya jadi merasa tersesat di padang kemungkinan yang seketika menghutan. Walau semestinya di titik ini saya tidak perlu merasa gamang dan rawan: karena kadang hal-hal �sepele� sifatnya memang �ajaib�---seperti rasa payah yang muncul di pertengahan untuk terus memamah buku sampai habis, sehingga kita menyimpannya dulu untuk dibaca kelak dengan keyakinan bahwa nanti buku itu akan �berubah�; atau seperti sehabis membaca ulang sebuah cerita panjang kita tersentak oleh sesuatu di dalamnya yang luput pada pembacaan sebelumnya.***
Ihwal kegemaran membeli dan memiliki buku, dan tentu saja membacanya orang-orang negeri ini jadi menarik buat saya. Mungkin bagus buat bahan penelitian bila saya peneliti. Apalagi bila soal ini dikaitkan dengan nilai human development index (HDI) kita yang rendah, yaitu sebesar 0,697 dan menempati peringkat ke-110 dari 174 negara. Bila data dalam Human Development Report dari UNDP tahun 2005 ini valid, berarti secara umum standar dan kualitas hidup bangsa kita ada di bawah negara lain di kawasan Asia Pasifik, bahkan di ASEAN.
Lantas, bila hendak lanjut dikejar, inikah yang menyebabkan budaya membaca kita masih rendah---yang tercermin dari, misalnya, realitas penerbitan buku di Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika Serikat atau Inggris; pertengahan 1990-an saja masing-masing �negara maju� ini dalam sebulannya mampu menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan negara kita hanya sanggup menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul setiap tahun. Atau sebaliknya, kualitas hidup yang rendahlah, yang merembet pada kemampuan ekonomi, yang jadi biang minimnya budaya membaca. Soal yang rada berpusing ini punya dua kemungkinan: retoris belaka atau benar-benar---meminjam judul sebuah lagu pop---menanti sebuah jawaban.
Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Pesta Buku Bandung. Ada pengalaman membekas bagi saya di gedung Landmark di Jalan Braga itu. Benar-benar �ajaib�, sebuah kalimat tanya yang sama tanpa sengaja saya dengar dari dua orang berbeda, di dua stand buku yang berbeda pula. Dua orang remaja puteri bertanya pada temannya masing-masing saat menimang sebuah buku. Agaknya untuk dihadiahkan bagi seseorang. Dan dua orang ini punya keraguan tertentu. Kalimat tanya itu: �Memang dia senang baca?�
Saya lupa apakah mereka jadi membeli. Tapi bila saya mencoba mengingat-ingat mungkin saya malah tersenyum karena justru yang muncul kembali adalah pertanyaan teman saya di awal tulisan ini. Jadi, bisa saja banyak orang punya buku di rumahnya---dengan membeli atau dari hadiah. Tapi seberapa persenkah koleksi buku itu tuntas terbaca---jangan dululah membicarakan apakah ilmu-ilmu yang berkubang dalam lembar-lembar bisu itu hingga tersampaikan dan teramalkan.
Sekejap sebuah laci di kepala saya terbuka. Suatu waktu saya bertandang ke rumah kawan yang dari mulutnya keluar kalimat pembuka esai ini. Sebuah rumah yang resik, yang dari jendela depannya kita bisa melihat Gunung Cikuray berdiri penuh dari kaki hingga puncaknya. Di sebuah kamar di sana, yang belakangan saya tahu sebagai �ruang belajar� buat siapa saja yang mau, saya mendapati buku-buku berderet dan bertebaran tidak sedikit.
Sungguh, terbukanya arsip-arsip ingatan ini membuat saya jadi merasa tersesat di padang kemungkinan yang seketika menghutan. Walau semestinya di titik ini saya tidak perlu merasa gamang dan rawan: karena kadang hal-hal �sepele� sifatnya memang �ajaib�---seperti rasa payah yang muncul di pertengahan untuk terus memamah buku sampai habis, sehingga kita menyimpannya dulu untuk dibaca kelak dengan keyakinan bahwa nanti buku itu akan �berubah�; atau seperti sehabis membaca ulang sebuah cerita panjang kita tersentak oleh sesuatu di dalamnya yang luput pada pembacaan sebelumnya.***
Selasa, 28 Desember 2010
Maut Menjemput Usai Sabung Ayam
Menjelang Ramadhan tiba, sebagian masyarakat kita kerap memulainya dengan kegiatan silaturahmi keluarga. Aktivitas tersebut ada yang memanfaatkannya sebagai sarana ishlah, saling berma'afan satu sama lain, atau pun untuk sekedar berkumpul saja.
Begitu juga yang keluarga besar kami lakukan. Sabtu (23/9) sore itu, kami sengaja berkumpul di rumah untuk bersilaturahmi setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, saat saya bersama beberapa orang saudara dan kerabat tengah asyik mengobrol di depan rumah, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang nenek berusia sekitar 70 tahun. Setahu saya, wanita lanjut usia ini agak sedikit terganggu jiwanya, sehingga waktu itu awalnya kami tidak terlalu menghiraukan ucapannya. �Waah maenya gara-gara ngadu hayam, kalakah jelema anu maot (Waah, masa gara-gara sabung ayam, malah manusia yang meninggal),� katanya seraya menunjukan jari tangannya ke arah barat desa.
Setelah beberapa lama kami akhirnya menjadi penasaran dengan perkataan sang nenek itu. Bersama ayah mertua, saya pun kemudian berangkat menuju tempat yang ditunjukannya, jaraknya sekira 100 meter dari rumah. Benar saja, setibanya di lokasi ternyata telah berkumpul beberapa orang yang tengah mengelilingi salah seorang pria paruh baya yang telah meninggal dunia. Bapak tersebut hanya dibaringkan di teras sebuah rumah dan ditutupi sehelai kain.
Salah seorang pemuda yang turut menjadi saksi mata menuturkan kepada saya bahwa bapak tersebut tiba-tiba saja terjatuh di perkebunan yang berada di lembah sebrang daerah kami. Kepada sang pemuda, dia mengeluh kecapaian setelah berusaha kabur dari kejaran polisi yang menggerebek arena sabung ayam di desa tetangga. �Tadi mah waktos teu acan pupus, bari ngos-ngosan anjeuna nyarios nuju kabur ti udagan pulisi anu ngagerebeg tempat anjeuna ngiringan ngadu hayam (Sebelum meninggal ia berkata sambil terengah-engah bahwa ia kabur dari kejaran polisi yang menggerebeg tempatnya mengikuti sabung ayam),� katanya.
Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh salah seorang kerabatnya yang juga turut berlari bersama korban karena berusaha kabur dari kejaran polisi. �Si akang mah boga asma jadi pas lumpat jauh satarikna jigana kacapean nepi kapiuhan, ngan teu nyangka bakal tuluy maot (Bapak tersebut memiliki asma, jadi ketika lari cepat dalam jarak yang jauh kemungkinan kecapaian hingga pingsan, namun tidak disangka akhirnya akan meninggal),� tutur dia.
Mendengar kabar kematian tersebut, penduduk desa pun terus berbondong-bondong, mereka penasaran ingin melihat tempat kejadian. Melihat gelombang massa yang kian bertambah, tokoh masyarakat setempat kemudian berinisiatif untuk segera membawa jenasahnya ke rumah keluarganya di desa tetangga. Hingga kini saya sendiri tidak mengetahui apakah aparat keamanan setempat melakukan autopsi atau menyelidiki kasus kematiannya atau tidak.
Maghrib tinggal beberapa menit lagi tiba, namun masyarakat masih banyak yang berkumpul di sudut-sudut desa. Mereka masih ramai membicarakan kasus yang menghebohkan itu. Dari perbincangan mereka pada umumnya mereka menyayangkan kematiannya yang hanya beberapa jam menjelang Ramadhan namun sebelumnya terlibat judi sabung ayam. �Leuh meuni kaduhung pisan, sakedap deui sasih shaum anjeuna pupus saatos ngadu hayam (Sangat disesalkan, sebentar lagi masuk bulan Ramadhan, namun ia harus meninggal seusai sabung ayam),� ujar salah seorang ibu kepada tetangganya. Namun tetangga itu kemudian menjawab : �Mugi-mugi urang mah tau maot jiga kitu, tapi ketang saha anu terang anjeuna kabujeng tobat waktos kabur ti udagan pulisi, anging Pangeran anu terang eta mah (Mudah-mudahan kita tidak meninggal dengan cara seperti itu, namun siapa tahu ia sempat taubat terlebih dahulu saat kabur dari kejaran polisi, hanya Allah-lah yang Tahu).�
Yang menarik, biasanya menjelang sahur di desa kami banyak kelompok remaja dan pemuda yang bermain musik dapur untuk membangunkan sahur. Namun seusai kejadian, aktivitas mereka mendadak lenyap. Dini hari yang biasanya gaduh kini menjadi sepi. Entah kenapa, mungkin mereka takut dengan kejadian beberapa hari lalu. Wallahu a'lam (Indra KH)***
Begitu juga yang keluarga besar kami lakukan. Sabtu (23/9) sore itu, kami sengaja berkumpul di rumah untuk bersilaturahmi setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, saat saya bersama beberapa orang saudara dan kerabat tengah asyik mengobrol di depan rumah, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang nenek berusia sekitar 70 tahun. Setahu saya, wanita lanjut usia ini agak sedikit terganggu jiwanya, sehingga waktu itu awalnya kami tidak terlalu menghiraukan ucapannya. �Waah maenya gara-gara ngadu hayam, kalakah jelema anu maot (Waah, masa gara-gara sabung ayam, malah manusia yang meninggal),� katanya seraya menunjukan jari tangannya ke arah barat desa.
Setelah beberapa lama kami akhirnya menjadi penasaran dengan perkataan sang nenek itu. Bersama ayah mertua, saya pun kemudian berangkat menuju tempat yang ditunjukannya, jaraknya sekira 100 meter dari rumah. Benar saja, setibanya di lokasi ternyata telah berkumpul beberapa orang yang tengah mengelilingi salah seorang pria paruh baya yang telah meninggal dunia. Bapak tersebut hanya dibaringkan di teras sebuah rumah dan ditutupi sehelai kain.
Salah seorang pemuda yang turut menjadi saksi mata menuturkan kepada saya bahwa bapak tersebut tiba-tiba saja terjatuh di perkebunan yang berada di lembah sebrang daerah kami. Kepada sang pemuda, dia mengeluh kecapaian setelah berusaha kabur dari kejaran polisi yang menggerebek arena sabung ayam di desa tetangga. �Tadi mah waktos teu acan pupus, bari ngos-ngosan anjeuna nyarios nuju kabur ti udagan pulisi anu ngagerebeg tempat anjeuna ngiringan ngadu hayam (Sebelum meninggal ia berkata sambil terengah-engah bahwa ia kabur dari kejaran polisi yang menggerebeg tempatnya mengikuti sabung ayam),� katanya.
Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh salah seorang kerabatnya yang juga turut berlari bersama korban karena berusaha kabur dari kejaran polisi. �Si akang mah boga asma jadi pas lumpat jauh satarikna jigana kacapean nepi kapiuhan, ngan teu nyangka bakal tuluy maot (Bapak tersebut memiliki asma, jadi ketika lari cepat dalam jarak yang jauh kemungkinan kecapaian hingga pingsan, namun tidak disangka akhirnya akan meninggal),� tutur dia.
Mendengar kabar kematian tersebut, penduduk desa pun terus berbondong-bondong, mereka penasaran ingin melihat tempat kejadian. Melihat gelombang massa yang kian bertambah, tokoh masyarakat setempat kemudian berinisiatif untuk segera membawa jenasahnya ke rumah keluarganya di desa tetangga. Hingga kini saya sendiri tidak mengetahui apakah aparat keamanan setempat melakukan autopsi atau menyelidiki kasus kematiannya atau tidak.
Maghrib tinggal beberapa menit lagi tiba, namun masyarakat masih banyak yang berkumpul di sudut-sudut desa. Mereka masih ramai membicarakan kasus yang menghebohkan itu. Dari perbincangan mereka pada umumnya mereka menyayangkan kematiannya yang hanya beberapa jam menjelang Ramadhan namun sebelumnya terlibat judi sabung ayam. �Leuh meuni kaduhung pisan, sakedap deui sasih shaum anjeuna pupus saatos ngadu hayam (Sangat disesalkan, sebentar lagi masuk bulan Ramadhan, namun ia harus meninggal seusai sabung ayam),� ujar salah seorang ibu kepada tetangganya. Namun tetangga itu kemudian menjawab : �Mugi-mugi urang mah tau maot jiga kitu, tapi ketang saha anu terang anjeuna kabujeng tobat waktos kabur ti udagan pulisi, anging Pangeran anu terang eta mah (Mudah-mudahan kita tidak meninggal dengan cara seperti itu, namun siapa tahu ia sempat taubat terlebih dahulu saat kabur dari kejaran polisi, hanya Allah-lah yang Tahu).�
Yang menarik, biasanya menjelang sahur di desa kami banyak kelompok remaja dan pemuda yang bermain musik dapur untuk membangunkan sahur. Namun seusai kejadian, aktivitas mereka mendadak lenyap. Dini hari yang biasanya gaduh kini menjadi sepi. Entah kenapa, mungkin mereka takut dengan kejadian beberapa hari lalu. Wallahu a'lam (Indra KH)***
Langganan:
Postingan (Atom)