Ratusan juta rakyat Indonesia sontak tersentak, tatkala tahu saudara setanah airnya meregang nyawa di tangan penjagal. Ruyati si anak negeri itu, harus berhadapan dengan hukum qisas yang dianut Saudi Arabia . Ia dinyatakan terbukti melakukan kejahatan pembunuhan, dalam hukum qisas maka nyawa dibayar nyawa.
Lalu apa yang membuat seluruh bangsa ini terpukul dan tersontak secara berbarengan, saat media berlomba mengisi acara beritanya dengan kabar eksekusi pancung seorang Ruyati. Isu perlindungan buruh migran yang disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono dalam konfrensi ILO, empat hari sebelum datangnya kabar eksekusi Ruyati, menjadi persoalan dan sorotan tajam siapapun yang merasa menjadi WNI.
SBY dituding berbohong dan membuat kamuflase atas perlindungan buruh yang dipidatokannya, bahkan applaus standing yang diterima SBY banyak dianggap sebagai kepiawaian SBY mencari Simpati. Benarkah Trouble makernya pada SBY,sebagai Presiden?
Melihat sejarahnya, Indonesia telah puluhan tahun mengirim para Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Negara di jazirah Arab. Hingga saat ini, ada 23 nyawa TKW kita mengantri untuk dipenggal, sambil menunggu proses hukumnya selesai.
Kembali kepada pidato SBY di ILO, presiden asal pacitan itu seperti tertagih janji, dan sialnya dalam waktu singkat, 4 hari usai berpidato Di ILO, esensi pidatonya seperti diruntuhkan. Runtuh oleh fakta seorang Ruyati. Berbagai organisasi masyarakat dan LSM pun angkat bicara dan mempersoalkan pidatonya itu. Media pun tak ketinggalan membuat laporan khusus dan berita features, menyandingkan pidatonya di konfrensi ILO dengan fakta Ruyati. Kita pun disuguhi opini, bahwa presiden gagal memberi perlindungan terhadap warga negaranya.
Saya sepakat jika kegagalan itu terletak pada tidak bekerjanya sistem diplomasi kita, hingga kecolongan tidak mengetahui jadwal eksesusi yang bakal dilakoni Ruyati. Tuntutan Evaluasi kinerja KBRI kita di Saudi, hingga evaluasi kementrian terkait. Termasuk kemenlu dan kemenakertrans, Menjadi lumrah sebagai pelampiasan kekesalan, dari tidak bekerjanya sistem diplomasi tadi dan bobroknya sistem ketenagakerjaan kita yang jauh dari usaha melindungi para buruh migran.
SBY seperti ditampar anak buahnya sendiri, Pidato yang mendapat applaus standing di ILO, dan dibaca tanpa teks itu menjadi bumerang baginya. Isu moratorium TKI pun mencuat kepermukaan, DPR bahkan dengan bulat memutuskan mendesak pemerintah segera membuat moratorium itu kepada Negara-negara yang belum membuat nota kesepahaman dengan Indonesia.
Desakan tersebut mampu membuat SBY untuk menyetujui moratorium TKI non formal ke arab Saudi. Mulai 1 agustus 2011, Pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKI ke arab Saudi selama belum terjalin kerjasama terkait perlindungan TKI dengan Negara arab penghasil minyak terbesar didunia itu. Moratorium bakal terus berlaku sampai MoU Indonesia–Arab Saudi untuk perlindungan TKI ditandatangani dan terbentuknya “joint task force” antar kedua Negara.
Lantas, selesaikah persoalan ini dengan keluarnya moratorium TKI itu? Banyak kalangan menilai, moratorium bukanlah jalan keluar dari permasalahan yang ada. Yang menolak diberlakukannya moratorium bertanya, mampukah Indonesia membuka 1 juta lapangan pekerjaan yang kini sudah terserap di Negara arab itu. Dengan ditariknya para TKI yang ada diarab, dan Indonesia tidak siap dengan lapangan pekerjaan yang ada dinegeri sendiri, maka dianggap akan memunculkan persoalan sosial lain. Banyaknya pengangguran akan juga berdampak pada angka kriminalitas, dan goyahnya stabilitas ekonomi dan politik dinegri sendiri.
Mengingat kembali pidato BJ Habibie pada hari pancasila 1 juni yang lalu, mengingatkan pemerintah untuh merenegoisasi kontrak asing. Ada yang menarik dari pidato mantan presiden BJ Habibie. Pengalihan kekayaan alam Indonesia ke pihak asing di era globalisasi dianggapnya sebagai bentuk VOC gaya baru. SBY merespons hal ini dengan mewacanakan renegosiasi kontrak dengan perusahaan asing.
Mengembalikan sumber daya alam Indonesia untuk kemakmuran rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi Negara kita, sebagaimana termaktub dalam UUD’45 jelas sudah, bahwa ada salah urus terhadap pengelolaan sumber daya alam kita. Bukti banyaknya anak bangsa yang mengadu nasib dinegri orang , yang merupakan efek domino dari salah urusnya sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini.
Kita tidak merasa lagi bisa cari makan dari sumber daya alam yang dimiliki, petani dan nelayan kesulitan menggarap lahan ,juga hasil menangkap ikan yang terus merosot akibat alih fungsi lahan dan tercemarnya laut atau sungai oleh korporasi besar ,dan industri-industri yang sebagian milik asing. Tidak bias dipungkiri hal itu menjadi alasan mereka untuk mencari jalan singkat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jalan singkat itu ditempuh dengan menjadi TKW ke arab Saudi yang di stigma dapat mempercepat merubah status sosial dikampungnya jika kelak kembali dari arab Saudi.
Pidato BJ Habibie begitu luar biasa, mengingatkan hilangnya pancasila dalam diri pemerintah sebagai pengelola Negara. Pemerintah di ingatkan kembali dari sila pertama hingga sila ke 5 bak bocah sekolah dasar. VOC gaya baru yang dilontarkan mantan presiden Indonesia ke 3 ini, alhasil membuat sila ke 5 pun tak pernah mampu diwujudkan oleh pemerintah. Padahal jika pengelolaan sumber daya alam berbasis pancasila guna mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” maka tak akan pernah kita bangga dengan kalimat pahlawan devisa. Tak akan pernah kita bangga mengekspor TKI ke berbagai Negara, karena devisa dapat dihasilkan dengan bekerja di negeri sendiri.
Semoga, makna pancasila, mampu mengenyahkan semua persoalan bangsa. Karena kita sepakat pancasila adalah dasar Negara, dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Semoga terang dapat ditemukan dalam persoalan TKI ini, dengan kembali kepada jatidiri bangsa yang sebenarnya.