PPC Iklan Blogger Indonesia
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana Khusus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Pidana Khusus. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Mei 2011

Hukum Pidana KhususThis is a featured page

A. Pengertian Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan : “ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri” UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

B. Dasar hukum dan kekhususan.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002. Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Hk. Administrasi Ø Hk. Pidana Ekonomi ( UU No 7 Drt 1955). Ø
UU Hk Pidana > KUHPM
UU Pidana Ø TP. Korupsi; /> UU lain Ø TP. Narkotika Ø TP Terorisme
Hk. TP. Khusus
Hubungan : Hk. TP Khusus – Hk Pidana Umum : Hk. Pidana Umum – Hk. TP.Pid Khusus
Ps 103 KUHP
Melengkapi

Perundang-undangan Pidana :
  1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
  2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum

Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi.
    1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
    2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
    3. UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
    4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum administrasi ( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan). Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
C. Kekhususan T.P. Khusus. Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.
1. Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil. (Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs) 1.1. Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs) 1.2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang) 1.3. Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ket. khs) 1.4. Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs) 1.5. Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara. (ket.khs) 1.6. Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs). 1.7. Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus). 1.8. Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang) 1.9. Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs) 1.10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu.(ket.khs) 1.11. Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs) 1.12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs) 1.13. Tindak pidananya dapat bersifat politik ( ket.khs). 1.14. Dapat pula berlaku asas retro active 2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal. 1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3] 2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain; 3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi. 4. Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara; 5. Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE); 6. Dianutnya Peradilan In absentia; 7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank; 8. Dianut Pembuktian terbalik; 9. Larangan menyebutkan identitas pelapor; 10. Perlunya pegawai penghubung; 11. Dianut TTS dan TT D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh : UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus. Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus : 1. Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955) 2. Tindak pidana Korupsi 3. Tindak Pidana Terorisme. Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi. ad 1. Hukum Pidana Ekonomi I. Pengertian, dan dasar Hukum UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955[4] tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan ten-tang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP). II. Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain..Menurut Andi Hamzah[5] kekhususan yang dimaksud adalah: a. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah- ubah; b. Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum); c. Peradilan in absentia; Peradilan in absentia berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962. d. Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi; e. Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran; f. Perluasan berlakunya hukum pidana g. Penyelesaian di luar acara (schikking).[6] h. Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Menurut Ps 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi. i. Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa dan Panitera umum. j. Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. k. Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi
III. Perumusan Tindak Pidana Ekonomi Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e[7] sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi. Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok. Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan Ps 1 sub 3e. Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps 32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e. Tindak pidana berdasarkan Ps 26. Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut[8] (selanjutnya disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini. Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah : a.Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1). b.Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1) c. Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1). Tindak Pidana berdasarkan Pasal 32 Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan : a. pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c; d. tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8; e. suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10; f. tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28 g. atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas. Rumusan lengkap Ps 32 sbb: Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas. Menurut pembuat UU yang dimuat dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan.

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33

Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955. Rumusan secara lengkap sbb: Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini. Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
  1. menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
  2. tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhacdap :
    1. tagihan-tagihan;
    2. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib;
    3. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.
Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam Ps 399 KUHP. Ps 399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :
  1. ... menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta bendanya;
  2. memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
  3. menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
  4. tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...
Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.
  1. UU No 8 Prp tahun 1962 LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
  2. UU No 9 Prp tahun 1962 LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga;
  3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.
IV. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum. Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48. Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi fungsinya ada. Menurut Ps 36 seorang Hakim atau Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[9]. Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps 35 ayat (1). V. Badan-Badan Pegawai Penghubung. Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya menyebabkan timbul per-bedaan pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung. Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan persetujuan Menteri Kehakiman. Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia. Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps 120 jo Ps 180 KUHAP. VI.Tindakan Tatatertib Sementara Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu, syarat, waktu, tujuan dan tindakan yang harus dilakukan pengambilan tindakan tatatertib sementara. Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:
  1. ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
  2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka

Waktu pengambilan tindakan tetatertib sementara

  1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
  2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)
Tujuan pengambilan tindakan tetatertib sementara
  1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
  2. supaya tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapatdisita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.
Tindakan Melaksanakan Tindakan Tetatertib Sementara
  1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
  2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan, dibawah pengampuan
  3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tatateretib Sementara Apabila hakim telah menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan : a. memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa.
b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas da -sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa. Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim. Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut : a. oleh hakim karena jabatannya b. atas tuntutan jaksa c. atas permohonan terdakwa. Mengingat tindakan tatatertib sementara kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar, maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan: a. tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib. b. dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat. Uang pengganti kerugian itu dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.

VII. Sanksi

Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955. Tindakan tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila hakim tidak menentukan lain.[10]. Sanksai pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu. Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan. 1. UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah. 2. UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi[11], tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun [12] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu : a. memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya; b. menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara; c. melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat). 3. UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif. BERSAMBUNG KE TPK 1

[1] Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana materil dan juga formal.
[2] . Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutanTindak Pidana Korupsi., dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
[3] Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
[4] UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
[5] Andi Hamzah. 1983. Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga Jakarta hlm 25- 42.
[6] Schikking setrelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi. Akan tetapi ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan diatur dalam Ps 82 KUHP sepanjang ancaman pidananya denda saja.
[7] Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke 1., demikian juga sub 2e dibaca sub ke 2 dst. Tindak pidana yang terdapat dalam Ps 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan terakhir setelah Stb No 240 tahun 1882 “Rechtenordonantie” dicabut oleh UU No 10 tahun 1995 dan UU No 11 tahun 1995. Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea. Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e . Lalu cari yang mana tindak pidana itu yang telah dicabut dan UU mana yang mencabutnya.
[8] Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya sama dengan penyidik dalam KUHAP.
[9] RI merdeka baru sepuluh tahun. Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.
[10] Lihat buku Pengantar Hukum Pidana Ekonomi oleh R.Wiyono hlm 92-100. Sedangkan sanksi pidana tambahan lihat hlm 85-92.
[11] Ketentuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada waktu itu adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/0134/1958..
[12] Berarti menganut sanksi pidana minimum khusus.

Hukum Pidana Khusus?

  Pengertian umum: aturan pidana di luar KUHP yang mengatur tentang tindak pidana tertentu
  Pengertian khusus: aturan pidana di luar KUHP yang mengatur tentang tindak pidana tertentu, dilakukan oleh orang tertentu, dan mempunyai hukum acara (formil) tertentu


Ø  Pengertian Korupsi
  Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
  Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Ø  Potret Korupsi di Indonesia
  Indonesia masih dicap sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia
  Indeks korupsi di Indonesia mulai beranjak naik (dalam arti korupsi mulai berkurang) setelah usaha keras dari KPK sebagai salah satu amanat reformasi
  Korupsi menggunakan istilah beragam: uang tip, angpao, uang administrasi, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uan ketok, uang kopi, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang lelah, dll.

Ø  Sebab-sebab Korupsi >> (BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi)
  Aspek Individu Pelaku (sifat tamak, moral kurang kuat, penghasilan kurang, kebutuhan mendesak, konsumtif, malas bekerja, ajaran agama kurang diterapkan)
  Aspek Organisasi (kurangnya keteladanan pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi)
  Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada (nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi, masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi, masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi, masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif)
  Aspek Perundang-undangan (menguntungkan pihak tertentu, kualitas kurang memadai, kurangnya sosialisasi, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang

Ø  Akibat Korupsi
  Demokrasi : korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal dan normal.
  Ekonomi: korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
  Kesejahteraan umum negara: korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas.

Ø  Lingkup Korupsi
  lembaga peradilan/yudikatif
  lembaga eksekutif
  lembaga legislatif
  lembaga non-pemerintah
  masyarakat

Ø  Bentuk-bentuk Korupsi Penyuapan (bribery)
  sebuah perbuatan criminal
  melibatkan sejumlah pemberian kepada seseorang
  penerima pemberian mengubah perilakunya
  bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab
Sifat suap :
  Transaktif
            Pemberi dan penerima suap sepakat melakukan tindakan penyuapan demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan oleh kedua belah pihak
  Berlangsung Secara Rahasia
            Penyuap dan penerima suap berjanji bertemu di suatu tempat secara rahasia.
  Tanpa Tanda Terima, shg sulit dibuktikan

Penggelapan, Pemalsuan/penggelembungan
  Membuat laporan fiktif mengenai pengeluaran dana tertentu
  Menaikkan jumlah penerima dana bantuan berkali lipat dari jumlah aslinya.

Hadiah (Gratifikasi)
  Berbeda dengan korupsi atau suap
  Bersifat terbuka dan bukan rahasia
  Tidak menyebabkan pelanggaran tugas, hak publik maupun pemerintah
  Bukan penggelapan dana pemerintah/negara atau pemerasan publik

Hadiah menjadi korupsi bila:
  Hadiah tersebut disalahgunakan dan menjadi lahan subur “pemerasan” oknum
  Berpengaruh pada perubahan kebijakan/keputusan atau tanggungjawab penerima
  Pemberi hadiah memiliki self interest untuk mengeruk keuntungan jangka panjang
  Dalam UU No. 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa penerima hadiah harus melaporkan ke KPK selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima hadiah
  Dalam rangka menghindarkan pejabat dari penyalahgunaan hadiah yang diberikan pengusaha, KPK melarang pejabat menerima hadiah parcel untuk hari-hari besar dan keagamaan.

Nepotisme (nephos, nephew = keponakan)
  Memilih keluarga atau teman dekat dalam penentuan jabatan
  Hanya berdasarkan pertimbangan kekerabatan
  Tidak berdasarkan pertimbangan kemampuan

Masa Pemberantasan Korupsi (Berdasarkan Aturan Per-UU-an)
  Masa 1945 - 1957
  Masa 1957 - 1960
  Masa 1960 - 1971
  Masa 1971 - 1999
  Masa 1999 - sekarang
  Masa 1945 - 1957
  Korupsi belum dianggap sebagai ancaman negara yang membahayakan.
  Tahun 1956, kasus korupsi mulai menguat dengan diangkatnya kasus korupsi di media cetak oleh Muchtar Lubis dan Rosihan Anwar, namun keduanya malah dipenjara (1961).
  Dasar hukum yang digunakan adalah KUHP terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negeri (ambtenaar), yaitu pada Bab XXVIII Buku Kedua KUHP.

Ø  Masa 1957 - 1960
  Korupsi dirasakan sudah mulai menguat dalam tubuh pemerintahan.
  Nasionalisasi perusahaan asing dianggap sebagai titik awal korupsi di Indonesia.
  Dasar hukum pemberantasan korupsi dengan menggunakan peraturan-peraturan militer, yaitu:
            Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 (tata kerja menerobos kemacetan memberantas korupsi)
Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/08/1957 (pemilikan harta benda)
Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 (penyitaan harta benda hasil korupsi, pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan korupsi)
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AD No. PRT/PEPERPU/031/1958
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf AL No. PRT/z.1/I/7/1958
Ø  Masa 1960 - 1971
  Dasar hukumnya dengan UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
  Menambah perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP
  Kegagalan UU No. 24 Prp Tahun 1960
  Masih ada perbuatan yang merugikan keuangan negara tetapi tidak ada perumusannya dalam UU sehingga tidak dipidana.
  Pelaku korupsi hanya pegawai negeri
  Sistem pembuktian yang lama dan menyulitkan

Ø  Masa 1971 - 1999
  UU No. 24 Prp Tahun 1960 diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971
  Perluasan perumusan tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dan UU sebelumnya.
  Perumusan tindak pidana korupsi dengan delik materiel
  Percobaan dan permufakatan jahat dianggap sebagai delik selesai

Ø  Masa 1999 - sekarang
  Menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
  Menyempurnakan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU 3/1971 (korupsi aktif dan korupsi pasif)
  Penegasan perumusan tindak pidana korupsi dengan delik formil

Ø  Memperluas pengertian pegawai negeri Per-UU-an lain yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia
  TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
  Instruksi Presiden No. 30 Tahun 1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
  Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
  Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara
  Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan  Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara
  Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaa Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi;
  Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  Keputusan Presiden No. 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana korupsi
  Keputusan Presiden No. 45 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi Administrasi dan Finansial Sekretariat Jendral Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Ke Komisi Pemberantasan Korupsi
  Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
  Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
  Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi)
  Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Undang-undang Mutual Legal Assistence (UU MLA)

Ø  Karakteristik UU TPK 31/99
(Romli Atmasasmita)
  Merumuskan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, bukan delik materiel, sehingga pengembalian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa, melainkan hanya merupakan faktor yang meringankan pidana;
  Mencantumkan korporasi, di samping perorangan sebagai subyek hukum;
  Mencantumkan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang (balanced burden of proof);
  Mencantumkan yurisdiksi ke luar batas teritorial atau extrateritorial jurisdiction;
  Undang-undang ini mencantumkan ancaman pidana minimum di samping ancaman pidana maksimum;
  Mencantumkan ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan dalam hal-hal tertentu
  Mengatur tentang pembekuan rekening tersangka/terdakwa (freezing) yang dapat dilanjutkan dengan penyitaan (seizure);
  Mencantumkan tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi
  Mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang independen, terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.

Ø  Aspek Pidana dalam UU Korupsi
  Jenis pidana yang diancamkan mati, penjara seumur hidup, penjara waktu tertentu (1 – 20 th), denda (50 juta – 1 M).
  Pidana mati dapat dijatuhkan (Pasal 2) jika korupsi dilakukan dalam hal tertentu, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, krismon, atau pengulangan korupsi.
  Ketentuan pidana telah mengenal pidana minimal khusus dan maksimal khusus, sebagai batasan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku. Ketentuan ini baru karena dalam KUHP hanya mengenal pidana maksimal umum dan minimal umum.
  Pidana bagi percobaan, permufakatan jahat, pembantuan tidak ada pengurangan 1/3 sebagaimana dalam KUHP, akan tetapi dipidana sama seperti pelakunya (Pasal 15 dan 16).
  Pidana tambahan (Pasal 18) : perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan usaha, pencabutan hak.
  Adanya pidana penyitaan harta benda pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan.
  Dikenal adanya pidana penjara pengganti jika terdakwa tidak mampu membayarkan pidana pembayaran uang pengganti dengan maksimum tidak melebihi pidana pokoknya.
  Pidana denda bagi pelaku korporasi diperberat dengan ditambah 1/3 dari pidana denda pokok untuk pelaku orang/manusia (Pasal 20).

Ø  Tindak Pidana Korupsi
  1. Memperkaya diri
  2. Menyalahgunakan kewenangan
  3. Memberi/menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri
  4. Memberi/menjanjikan sesuatu kepada hakim
  5. Perbuatan Curang
  6. Penggelapan barang/surat berharga
  7. Memalsukan buku atau daftar
  8. Menghancurkan barang bukti
  9. Menerima hadiah atau janji
  10. Menerima hadiah atau janji
  11. Gratifikasi

Ø  Tindak Pidana terkait dengan Tindak Pidana Korupsi
  Merintangi, menggagalkan penyidikan, penuntutan, persidangan tindak pidana korupsi
  Memberikan keterangan palsu
  Membuka rahasia pelapor

Ø  Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Korupsi
  Perluasan pengertian pegawai negeri (Pasal 1)
  Korporasi sebagai salah satu sobyek hukum  (Pasal 1 dan 20) di samping ada orang perorangan (naturlijk persoon). Korporasi bermakna lebih luas daripada badan hukum (rechtelijk persoon)
  Jika terdakwa korupsi meninggal dunia, dapat dilanjutkan dengan gugatan perdata kepada ahli waris (Pasal 33 dan 34)
  Aspek semi pembuktian terbalik (Pasal 37)

Ø  Lembaga-lembaga Anti Korupsi :
ü  Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani (masa Arde Lama). Namun karena kuatnya reaksi dari pejabat korup, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.
ü  Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963)
ü  Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani
ü  Tim Pemberantas Korupsi (Keppres No. 228/1967)
ü  Komite Anti Korupsi/KAK (1967)
ü  Tim Komisi Empat (Keppres No. 12/1970)
ü  Tim OPSTIB (Inpres No. 9/1977)
ü  Tim Pemberantas Korupsi (1982)
ü  Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara/KPKPN (Keppres 127/1999)
ü  Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/TGTPK (PP 19/2000)
ü  Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK (UU 30/2002)

  Tugas KPK
§  Koordinasi
§  Supervisi
§  Penyelidikan, penyidikan, penuntutan TP Korupsi
§  Pencegahan korupsi
§  Monitor penyelenggaraan negara
  Kewenangan KPK
§  mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
§  menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
§  meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
§  melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
§  meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
§  Pengambilalihan Kasus Korupsi ke KPK
§  Laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti
§  Penanganan berlarut-larut
§  Penanganan justru untuk melindungi pelaku korupsi
§  Penanganan mengandung unsur korupsi
§  Ada hambatan karena campur tangan eksekutif, yuikatif, legislatif
§  Keadaan lain yang mengakibatkan penanganan menjadi sulit
§  Sasaran KPK
§  Melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara
§  Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat

  Kewenangan KPK terkait penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
§  Menyadap dan merekam
§  Mencekal
§  Meminta keterangan keadaan keuangan
§  Memblokir rekening
§  Memerintahkan kepada pimpinan tersangka untuk memberhentikan sementara
§  Meminta data kekayaan dan perpajakan tersangka
§  Menghentikan transaksi keuangan
§  Minta bantuan Interpol
§  Minta bantuan polisi atau lembaga lain
§  Ancaman Pemberantasan Korupsi Saat Ini
§  RUU Pengadilan Tipikor diperlemah (eksistensi dan perekrutan hakim ad hoc-nya)
§  Upaya penghapusan KPK
§  Upaya sistematis mengurangi kewenangan KPK (mis. penyadapan ditentangkan dengan HAM)
§  Upaya judicial review UU KPK (7X)
§  Kasus Cicak dan Buaya?
  What next ?
§  Publikasi/laporan umum tentang hasil pengembalian kerugian negara (KPK-Depkeu)
§  Upaya pencegahan (sosial-struktural-keagamaan)
morzing.com dunia humor dan amazing!