PPC Iklan Blogger Indonesia

Sabtu, 01 Januari 2011

Psikologi dlm kehidupan

Pertautan antara ilmu politik dan psikologi memunculkan sub-disiplin baru: psikopolitik atau psikologi politik. Dengannya dapat dipahami, seberapa jauh styledan personality seorang tokoh mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan politiknya. Terlebih lagi kalau tokoh itu seorang lakon yang menduduki peran begitu kompleks dan menentukan seperti presiden, ketua partai politik, atau pejabat penting. Oleh karena itu, dalam telaah psikopolitik, topik yang menyangkut kepemimpinan, seperti suksesi, menjadi primadonanya.
Kebutuhan akan analisis psikopolitik muncul sejalan dengan perkembangan pemikiran atas gejala sosial-kemasyarakatan yang kian berkembang baik dalam ilmu politik maupun psikologi. Pakar pertama yang secara khusus menulis tentang psikopolitik adalah Hans J. Eysenck dalam bukunya berjudul Psychology of Politic yang edisi pertamanya terbit pada tahun 1954. Tinjauan utama dari buku ini adalah tentang perilaku politik --suatu yang menunjuk pada kesadaran dan perhatian seseorang pada beberapa peristiwa di luar dirinya, yang biasa disertai hasrat untuk menyatakan perhatiannya, baik dalam bentuk protes, petisi, keikutsertaan dalam pemilihan umum, pencalonan diri, sampai memegang jabatan.
Adapun permasalahan manusia dalam dunia politik yang pada gilirannya menuntut bentuk pernyataan perilaku itu bersumber pa-da ketidaksempurnaan institusi, di satu pihak; dan kelambanan da-lam menyesuaikan diri dengan kenyataan akibat pelbagai perubahan budaya, teknologi dan politik, di pihak lain. Oleh sebab itu, perilaku politik, setidaknya menurut pandangan William F. Stone dalam The Psychology of Politics (New York: The Free Press, 1974), mencakup seluruh aktivitas seseorang yang ditunjukkan ke arah cara pemecahan masalah-masalah kehidupan sehari-hari secara bersama-sama. Dalam pengertian paling luas, perilaku politik meliputi kontrol atas dan oleh orang lain, yang oleh karenanya menyertakan penca-rian dan penggunaan kekuasaan.
Berhadapan dengan gejala kepemimpinan, kaum "awam", sama halnya dengan psikolog, lebih gemar memperbincangkan tokoh atau pribadi tokoh ketimbang situasi yang melingkupi tokoh itu. Demikianlah yang berlangsung di warung kopi, di kedai indomie rebus atau di gardu ronda. Awam lebih suka ngobrol --kadang mulai sore hingga dini hari-- tentang diri Megawati, Harmoko, Gus Dur, Pak Harto, para menteri, Mbak Tutut, Mas Tommy, Mas Bambang dan para anak pejabat lain, atau dongeng tentang para konglomerat; ketimbang situasi, kondisi, iklim atau struktur ipoleksosbud yang melatarbelakangi unjuk peran mereka. Bagi awam, membicarakan tokoh-tokoh itu lebih kongkrit, lebih keseharian, dan lebih memberi ruang refleksi diskursif, agaknya, ketimbang membicarakan, misal-nya, public morality di kalangan birokrasi pemerintahan.
Dengan fokus serupa, tapi tidak sama, adalah yang diperhatikan para psikolog. Karena landasan telaah mereka adalah personalitas --dipahami sebagai suatu set rampatan tentang predisposisi bertingkahlaku dalam cara tertentu, tanpa memandang situasi atau peran yang sedang disandang pribadi itu-- para psikolog pun cenderung menatap pelaku ketimbang situasi. Namun, ketika gejala yang diamati itu perilaku politik para tokoh, muncul pertanyaan: manakah yang lebih menentukan seorang lakon politik sehingga berperilaku demikian, kualitas pribadi individualitasnyakah atau situasi di mana mereka berada? Dari pertanyaan ini, muncullah psikopolitik, yang pada awalnya mengandalkan teori psikoanalisis, terutama melalui psychobiography, analisis tentang individu yang dianggap khusus.
Adalah Harold Lasswell melalui bukunya Psychopathology and Politic (New York: Viking Press, 1930) yang pertama kali memperkenalkan telaah psikoanalisis dalam dunia politik. Salah satu konstatasi yang terkenal darinya ialah ketika ia menjelaskan motivasi orang yang terjun ke dunia politik. Ia membuktikan, orang menggeluti dunia politik tak lain karena dorongan untuk memuaskan konflik personalitas dalam kehidupan pribadinya. Dengan memasuki dunia yang satu ini, ia dimungkinkan mengatasnamakan perilaku neurotiknya pada kepentingan umum. Dicontohkan, anak muda yang dalam dirinya memendam antagonisme asadar yang begitu kuat terhadap otoritas cenderung menjelmakan konflik neurotik ini ke dalam retorika agung tentang demokrasi dan kesamaan hak.
Daya pikat politik, terutama menyedot perhatian pribadi dengan self-esteem rendah. Permainan kekuasaan dapat mengkompensir perasaan rendah mereka dengan menunjukkan kepada dunia, betapa penting mereka. Jadi, para politisi, apalagi yang haus akan kekuasaan, tak lain adalah mereka yang begitu termotivir oleh perasaan rendah dalam dirinya, dan bukan selalu oleh keprihatinan atas penderitaan "rakyat".
Contoh psikobiografer yang terkenal adalah Mazlish. Karya psikobiografi yang diberinya judul In Search of Nixon: A Psychohistorical Inquiry (New York: Basic Books, 1972) masih tak beringsut jauh dari anggapan sebagaimana dikukuhi Lasswell bahwa para pemimpin politik terjun ke dunia politik karena kecemasan, konflik, dan neurosis tersembunyi mereka belaka. Pribadi presiden Richard Nixon digambarkannya sebagai pribadi yang dikuasai kebutuhan akan krisis semata agar dapat mengatasi ketakutannya akan kematian, yang secara gamblang digambarkan dengan sifat-sifat menonjol seperti curiga, suka mengisolir diri dari dunia sosial, selalu menjumpai kesulitan ketika mengambil keputusan, dan kebutuhan akan musuh secara emosional.
Psikobiografi diatas mengesankan, seolah kajian terhadap para pemimpin politik serba sarat dengan gambaran pribadi yang diliputi rasa tak aman, yang rendah dalam self-esteem, yang dirundung ketidakbahagiaan di masa lalu, dan yang mengalami trauma psikis karena ketidakterpenuhan kebutuhan sosial dan pribadi, meski nampaknya ini semua bukan merupakan pola umum dengan harga mati. Renshon, dalam bukunya Psychological Need and Political Behavior: A Theory of Personality and Political Efficacy (New York: Free Press, 1974) bahkan menyangkal anggapan senada. Ia, misalnya, menemukan bahwa warga negara yang sangat aktif adalah justru mereka yang memiliki self esteem tinggi dan rasa mumpuni yang kuat. Mereka juga terpuaskan baik dalam kebutuhan fisik, ra-sa aman, maupun sosial.
Secara umum, terlepas dari gambaran tentang baik-buruk seorang pemimpin, nampaknya pelbagai analisis psikobiografi dan psikohistori yang pernah ada lebih memfokuskan pada bagaimana suatu kekurangan menciptakan kesulitan bagi para pribadi pemimpin dalam menjalankan tugas politik atau peran tertentu, ketimbang pada penaksiran atas keseluruhan aspek kesehatan mental mereka.
Psikopolitik, mungkin karena beban pendekatan psikologisnya, tidak dapat melepaskan diri dari telaah yang mendasarkan pada tipologi kepribadian para pemimpin. Di Amerika Serikat, berdasarkan hipotesis motif berkuasa dari Lasswell, lahir tipologi kepribadian pertama yang menyodorkan dua dimensi tipologi: (1) dimensi aktif-pasif, dan (2) dimensi positif-negati. Perpotongan antara kedua dimensi ini menghasilkan empat tipe: tipe aktif-positif (seperti Franklin D. Rosevelt, Harry S. Trauman dan John F. Kennedy), tipe aktif-negatif (seperti Woodrow Wilson, Lyndon Johnson, dan Richard M. Nixon), tipe pasif-positif (seperti Warren Harding dan Ronald Reagan), dan tipe pasif-negatif (seperti Calvin Coolidge dan Dwight D. Eisenhower). Selain tipologi ini, ada pula tipe kepribadian lainnya seperti tipe kepemimpinan otoritarian, tipe machiavellian, dan tipe machismo laki-laki.
Sampai di sini, tersirat anggapan bahwa seolah-olah tindakan yang diperbuat para tokoh besar semata disebabkan keluarbiasaan predisposisi kepribadian mereka. Padahal, sejarah mencatat bahwa tokoh politik seperti Soekarno, Gandhi, Kemal Pasha, Hitler, Mussolini, adalah para "anak jaman". Paling tidak, di Amerika Serikat para presiden yang dianggap efektif adalah mereka yang kejaya-annya ditopang situasi khas. Ada pahlawan perang seperti Washington, Jackson, atau Eisenhower. Ada pemangku kepresidenan selama masa perang. Ada yang bebas sama sekali dari skandal. Ada yang menjabat dalam waktu lama. Dan, ada yang terbunuh selagi menduduki kursi kepresidenan. Ini semua menunjukkan, bukan matra personalitas, tetapi situasi di mana para presiden itu berada lah, yang menjadi kunci dari sukses mereka.
Perlu diberi catatan juga, situasi penentu itu bukan melulu situasi spektakuler seperti perang atau revolusi yang menorehkan tinta pada kitab sejarah, tetapi juga evolusi melalui "iklim budaya-sosial-politik" (selanjutnya penulis sebut sebagai kultur politik) yang melingkupi kehidupan seorang tokoh politik. Kultur politik, paling tidak menurut David E. Apter dalam Introduction to Political Analysis (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1977), menggambarkan orientasi berpikir, prioritas kepentingan, cita-cita, dan kebijakan-kebijakan konvensional tentang aspek normatif dari kehidupan yang dianut para tokoh politik. Oleh sebab itu, tokoh sekaliber Soeharto atau Fidel Castro, misalnya, tidak bisa saling dipertukarkan. Meski keduanya sama-sama orang pertama yang berulang kali terpilih kembali sebagai kepala negara, Fidel Castro belum tentu cocok seandainya ia harus menjadi Presiden RI, sama halnya Soeharto belum tentu sanggup menjadi presiden Cuba.
Campbell, dkk. dalam buku mereka, Managerial Behavior, Performance, and Effectiveness(New York: McGraw-Hill, 1970), menyebutkan empat kunci matra dari iklim psikososial yang berlaku bagi organisasi manapun. Pertama, otonomi individu yang meliputi derajat tanggungjawab dan kesempatan berinisiatif. Kedua struktur yang membebani, seperti sejauh mama kedekatan supervisi atas posisi-posisi khusus. Ketiga, orientasi terhadap imbalan, seperti sistem promosi dan orientasi prestasi. Dan keempat, pertimbangan, kehangatan dan dukungan; seperti seberapa besar kemungkinan orang mendapat dukungan dan dorongan dalam menjalankan tugas-pekerjaannya. Konsep yang sama dapat pula diterapkan pada etos atau semangat yang menjiwai kultur dominan dalam suatu masyarakat, ideologi-ideologi yang diberlakukan, dan kaidah-kaidah maupun nilai yang dianut. Ini semua merupakan gambaran signifikan dari lingkungan kultur politik dimana seseorang berada.
Dengan demikian, keempat matra iklim yang membangun kultur politik tersebut bertanggungjawab terhadap cara para anggota budaya mendefinisikan rangsang yang disodorkan pada mereka, batasan atas sepak-terjang dan perilaku mereka, proses pengganjaran dan pemberian imbalan, dan prioritas pada tujuan organisasi yang dicanangkan dan cara yang dimungkinkan untuk meraihnya.
Selain melalui psikobiografi dan psikohistori para tokoh, psikopolitik sebagaimana ditulis Sears, Peplau dan Taylor, dalam salah satu bab berjudul "Political Psychology" dari karya mereka, Social Psychology (California: Prentice-Hall International, 1991), juga menganalisis topik-topik seperti identifikasi kepartaian yang terkait erat dengan sosialisasi dan presistensi sosialisasi politik pada masa pradewasa, pendapat umum dan perilaku voting, pengaruh media massa, dan konfliks internasional.
Dari peta pemahaman tersebut, akhirnya terbersit seleret cakrawala dimana penulis berani meletakkan tiga argumen untuk mengangkat judul "Psikopolitik dan Kultur Politik" pada bunga rampai ini. Pertama, di Indonesia sangat sedikit ditemui hasil telaah atau pun jumlah penulis yang khusus mendalami bidang psikopolitik, baik itu dari kalangan ilmuwan politik maupun psikolog. Kedua, bila pun usaha menulis dan kepenulisan itu beberapa pernah mun-cul, lebih sering dijumpai didalamnya komentar baik dari para pembuat opini politik, pengamat politik maupun pengamat psikososial, yang gemar menyebutkan rangkaian kata manis, seperti "secara psikologis", semata untuk menaruh ornamen pada bagian telaah mereka. Tetapi, pada hemat penulis, jarang dari mereka yang de- ngan sadar menangkap nuansa antara gejala kultural dan gejala psikologis dari suatu tindakan politik. Malahan, tak jarang terjadi kerancuan penggunaan antara keduanya. Gejala psikologis murni dikatakan gejala kultural, dan sebaliknya.
Ketiga, di tanah air tercinta ini telaah psikopolitik kalah laku dibandingkan dengan trik politik in action seperti misalnya, "rerasan politik", debut kebulatan tekad, "earlier campaign" di luar aturan main, atau pemberlakuan logosentrisme seperti dalam trik "kuningisasi". Atau, seandainya saja dalam kultur politik Indonesia dimungkinkan publikasi ilmiah tentang pandangan yang didasarkan pada kajian psikopolitik sekalipun, maka upaya analisis yang berfokus pada kekhasan individual para aktor politik, lewat telaah kepribadian, karakter dan style, niscaya berakhir mengecewakan, kalau tidak mengecohkan. Salah satu sebabnya, kita cenderung memproteksi diri dengan menyebut "tidak etis" atas apa saja yang dapat berimplikasi pada goyahnya status quo, meski itu dilakukan melalui telaah ilmiah (ingat kasus gugatan Probosutejo terhadap disertasi Yahya Muhaimin). Boleh jadi, secara asadar, kita punya semacam penyakit latah untuk memproyeksikan ketakutan irrasional kita akan kemungkinan munculnya analisis yang suatu ketika menjadikan kita sebagai "korbannya".
Tentu saja, bukan karena analisis semacam ini tidak dilandasi konstruk teoritis yang memadai, tetapi karena kenyataan bahwa pengkomunikasian hasil analisisnya, sekali lagi sadar atau asadar, cenderung dimaknakan oleh kubu-kubu politik yang ada lebih sebagai media komunikasi politik mereka. Apalagi ilmuwan-ilmuwan kita, entah mengaku atau tidak, tergabung dalam kubu-kubu. Dan bukanlah setiap parpol memiliki think-tank --para ilmuwan-- yang sangat loyal? Dengan pertimbangan ini, niscaya mutu kajian pun akan ditakar semata berdasarkan logika untung-rugi menurut kubu-kubu tersebut. Konsekuensinya bukan hanya bahwa analisis yang pada mulanya netral itu selanjutnya diperlakukan secara intensional, tetapi juga bahwa tingkat keberhasilan analisis itu sama seperti tingkat keberhasilan seorang pemburu cicak yang merasa terkecoh seketika tahu bahwa yang ia tangkap tak lebih hanya po-tongan ekor cicak yang sedang menggelepar.
Melalui buku bunga rampai yang merupakan hasil seleksi dari sekitar 120 judul artikel opini yang pernah dimuat di media massa maupun jurnal ilmiah sejak awal tahun 1990, dengan 55 judul di antaranya bertemakan psikopolitik, disajikan 32 judul artikel terkelompok dalam bab-bab. Bab Satu, "Isu-isu di batas kritis", mengulas isu-isu laten seperti kecemburuan sosial, disiplin nasional, kepemimpinan, legitimasi tindakan yang eksesif, krisis identitas so-sial, dan isu demokrasi, yang sewaktu-waktu dapat memicu gejolak sosial dalam arti luas. Yang menarik, meski isu-isu itu, pada suhu politik tertentu, menciptakan krisis, belum pernah ada langkah penanganan yang komprehensif dan implementatif. Maka tak meng-herankan, isu-isu itu cenderung timbul-tenggelam silih-berganti berkat tombol kendali yang selalu dijadikan credo: pendekatan keamanan.
Bab Dua, "Realisasi kebajikan dalam kebijakan", mengangkat soal-soal seperti pelaksanaan pembangunan yang cenderung imitatif, pengesampingan modal sosial, kaitan antara kebijakan ekonomi dan gangguan mental masyarakat, unsur budaya yang terlupakan, ketidakefektifan denda, dan masalah perburuhan. Melalui bab ini, dipersoalkan, setiap niat baik belum tentu dapat dirumuskan ke dalam tindakan yang konstruktif-implementatif.
Pada bab Tiga, "Psikopolitik dalam cahaya kultur politik", diketengahkan resultante dari fenomena psikopolitik ketika dibingkai dalam ruang kultur politik yang khas Indonesiawi. Relevan de-ngan bab ini adalah topik-topik, seperti suksesi, "penelitian khusus" (litsus), politik pencekalan, pelarangan-pelarangan, fana- tisme pada pendekatan psikologi tertentu dalam mengatasi soal-soal kemasyarakatan, kultur plesetan dan pembalikan, pengambilan keputusan politik, dan kultur otoritarian dalam kaitannya dengan pelbagai bentuk penyeragaman dalam masyarakat.
Bab Empat, "Logika politik dalam praksis", mengulas macam apa logika yang diberlakukan dalam praksis kehidupan sosial-politik-kemasyarakatan kita. Dari logika yang mendasari anggapan dan tindakan politik seperti prasangka keagamaan, kericuhan Ikadin, pembentukan serikat cendekiawan, program kuningisasi, dan pena-nganan preman dan latar belakangnya; terlihat di sana, dimana pemikiran logis malahan diperlakukan sebagai bentuk penyimpang-an; dan sebaliknya, pemikiran yang sarat kesesatan logis justru dijadikan acuan kebenaran. Seolah berlaku diktum bahwa yang dibenarkan justru yang tidak memenuhi kaidah logis.
Bab Lima, "Pembenaran dan pengkambinghitaman", menyorot kecenderungan pelbagai kalangan untuk memanfaatkan, kalau tidak mengorbankan, pihak-pihak sebagai obyek pembenaran dan pengkambinghitaman, sekaligus. Pihak-pihak itu adalah para pembangkang, kaum muda, kaum remaja, dan tapol.
Tertuangnya awal sebuah niat menjadi suatu bentuk sajian tertulis ini tak lepas dari uluran tangan banyak pihak: Dr. Y. Jangkung Karyantoro, MBA., dan Drs. Muhammad Fauzy, M.Psi. yang dengan pertanyaan-pertanyaan kritis mereka mengajak saya menggali pemahaman saya atas pelbagai gejala sosial-kemasyarakatan; rekan-rekan diskusi saya saat mengambil S3 di UI: Irbaryadi, Ratmoko, Hendro Purnomo, Drs. Sihar Sitanggang, M.Si., Drs. Seger Handoyo, MPsi., Drs. Daniel Purnomo, MPsi., dan Drs. Ariston; para mahasiswa dan sejawat saya di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, serta pribadi-pribadi yang senantiasa membebaskan dan mendewasakan saya: isteriku, Wanti, dan anak-anak tercintaku, Dety dan Dadan. Juga adik-adik yang dengan susah payah mencarikan bahan-bahan untuk saya: Dik Wid dan Dik Cahyo. Masih banyak pihak, yang harus mendapat ucapan terima kasih saya. Namun dalam kesempatan terbatas ini, tidaklah mungkin penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata, penulis berharap, selain sebagai ajakan kepada ilmuwan politik dan ilmuwan sosial lain bersama-sama melakukan kajian lintas disiplin, bunga rampai ini dapat sedikit mengubah imej orang tentang keperananan psikologi di tengah kehidupan sosial-politik-kemasyarakatan, terutama di Indonesia, dimana para psikolog cenderung diidentifikasi sebagai tukang psikotes. Untuk itu, kritik dan saran perbaikan sungguh saya harapkan.
Penulis
E. S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!