PPC Iklan Blogger Indonesia

Selasa, 05 April 2011

Dampak Pendudukan Jepang dalam hal Politik, Ekonomi, Birokrasi, sosial Sumber:

1. Kehidupan Politik
Sejak awal pemerintahannya, Jepang melarang bangsa Indonesia berserikat
dan berkumpul. Oleh karena itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi
pergerakan nasional yang dibentuk pada masa Hindia Belanda, kecuali MIAI.
MIAI kemudian dibubarkan dan digantikan dengan Masyumi.
Para tokoh pergerakan nasional pada masa pendudukan Jepang mengambil
sikap kooperatif. Dengan sikap kooperatif, mereka banyak yang duduk dalam
badan-badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang, seperti Gerakan 3 A,
Putera, dan Cuo Sangi In. Selain itu, pata tokoh pergerakan nasional juga
memanfaatkan kesatuan-kesatuan pertahanan yang telah dibentuk oleh Jepang,
seperti Jawa Hokokai, Heiho, Peta, dan sebagainya. Kebijaksanaan pemerintah
Jepang tersebut bertujuan untuk menarik simpati dan mengerahkan rakyat
Indonesia untuk membantu Jepang dalam perang melawan Sekutu, namun
kenyataannya dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan nasional sehingga lebih
banyak memberikan keuntungan bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pemerintah Jepang berhasil melakukan pengekangan
terhadap berbagai kegiatan pergerakan nasional, namun tidak berhasil mengekang
berkembangnya kesadaran nasional bangsa Indonesia menuju Indonesia
merdeka.

2. Kehidupan Ekonomi
Jepang berusaha untuk mendapatkan dan menguasai sumber-sumber bahan
mentah untuk industri perang. Jepang membagi rencananya dalam dua tahap.
a. Tahap penguasaan, yakni menguasai seluruh kekayaan alam termasuk
kekayaan milik pemerintah Hindia Belanda.
b. Tahap penyusunan kembali struktur ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi
kebutuhan perang. Sesuai dengan tahap ini maka pola ekonomi
perang direncanakan bahwa setiap wilayah harus melaksanakan autarki.
Memasuki tahun 1944 tuntutan kebutuhan pangan dan perang makin
meningkat. Pemerintah Jepang mulai melancarkan kampanye pengerahan barang
dan menambah bahan pangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh
Jawa Hokokai melalui nagyo kumiai (koperasi pertanian), dan instansi pemerintah
lainnya. Pengerahan bahan makanan ini dilakukan dengan cara
penyerahan padi atau hasil panen lainnya kepada pemerintah. Dari jumlah hasil
panen, rakyat hanya boleh memiliki 40 %, 30 % diserahkan kepada pemerintah,
dan 30 % lagi diserahkan lumbung untuk persediaan bibit.
Tindakan pemerintah ini menimbulkan kesengsaraan. Penebangan hutan
(untuk pertanian) menyebabkan bahaya banjir, penyerahan hasil panen dan
romusa menyebabkan rakyat kekurangan makan, kurang gizi, dan stamina
menurun. Akibatnya, bahaya kelaparan melanda di berbagai daerah dan timbul
berbagai penyakit serta angka kematian
meningkat tajam. Bahkan,
kekurangan sandang menyebabkan
sebagian besar rakyat di desa-desa
telah memakai pakaian dari karung
goni atau "bagor", bahkan ada yang
menggunakan lembaran karet.


3. Mobilitas Sosial
Di samping menguras sumber
daya alam, Jepang juga melakukan
eksploitasi tenaga manusia. Hal ini
akan membawa dampak terhadap
mobilitas sosial masyarakat Indonesia.
Puluhan hingga ratusan ribu
penduduk desa yang kuat dikerahkan
untuk romusa membangun sarana
dan prasarana perang, seperti jalan
raya, jembatan, lapangan udara, pelabuhan,
benteng bawah tanah, dan
sebagainya. Mereka dipaksa bekerja
keras (romusa) sepanjang hari tanpa diberi upah, makan pun sangat terbatas.
Akibatnya,banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal ditempat kerja.
Untuk mengerahkan tenaga kerja yang banyak, di tiap-tiap desa dibentuk
panitia pengerahan tenaga yang disebut Rumokyokai. Tugasnya menyiapkan
tenaga sesuai dengan jatah yang ditetapkan. Untuk menghilangkan ketakutan
penduduk dan menutupi rahasia itu maka Jepang menyebut para romusa dengan
sebutan prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja. Menurut catatan sejarah, jumlah
tenaga kerja yang dikirim ke luar Jawa, bahkan ke luar negeri seperti ke Burma,
Malaya, Vietnam, dan Mungthai/Thailand mencapai 300.000 orang.
Pada bulan Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi
(rukun tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masingmasing
terdiri atas 10–20 rumah tangga. Maksud diadakannnya tonarigumi
adalah untuk mengawasi penduduk, mengendalikan, dan memperlancar kewajiban
yang dibebankan kepada mereka. Dengan adanya perang yang makin
mendesak maka tugas yang dilakukan Tonarigumi adalah mengadakan latihan
tentang pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan kabar bohong,
dan mata-mata musuh.


4. Birokrasi
Pada pertengahan tahun 1943, kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik
mulai terdesak, maka Jepang memberi kesempatan kepada bangsa Indonsia
untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Untuk itu pada
tanggal 5 September 1943, Jepang membentuk Badan Pertimbangan
Karesidenan (Syu Sangi Kai) dan Badan Pertimbangan Kota Praja Istimewa
(Syi Sangi In). Banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan-jabatan tinggi
dalam pemerintahan, seperti Prof. Dr. Husein Jayadiningrat sebagai Kepala
Departemen Urusan Agama (1 Oktober 1943) dan pada tanggal 10 November
1943 Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio masing-masing diangkat
menjadi Kepala Pemerintahan (Syikocan) di Jakarta dan Banjarnegara. Di
samping itu, ada enam departemen (bu) dengan gelar sanyo, seperti berikut.
a. Ir. Soekarno, Departemen Urusan Umum (Somubu).
b. Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid, Biro Pendidikan dan Kebudayaan
Departemen Dalam Negeri (Naimubu-Bunkyoku).
c. Dr. Mr. Supomo, Departemen Kehakiman (Shihobu).
d. Mochtar bin Prabu Mangkunegoro, Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e. Mr. Muh. Yamin, Departemen Propaganda (Sendenbu).
f. Prawoto Sumodilogo, Departemen Ekonomi (Sangyobu).
Dengan demikian masa pendudukan Jepang di Indonesia membawa
dampak yang sangat besar dalam birokrasi pemerintahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!