Setelah pendirian Kesultanana Demak antara tahun 1490-1518 adalah masa-masa paling sulit bagi Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal (dari Kerajaan Pakuan, Galuh, Majapahit) dan gangguan eksternal dari Portugis yang telah ekspansi di Asean.
Dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia hampir 120 tahun (1569). Dalam perundingan terakhir dengan para pembesar istana Pakuan, Suna Gunung Jati memberikan 2 opsi:
1. Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilahkan tetap tinggal di keraton masing-masing.
2. Bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten-wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan putri-putri raja menerima opsi ke-1, sedangkan pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilik opsi ke-2.
Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy, hingga kini yang terus menjaga angggauta pemukiman, karena keturunan dari 40 pengawal Istana Pakuan. Anggauta yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar. Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke-3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan.
Mereka menolak opsi ke-1 dan ke-2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) namun tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa Istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar