BAB 1 Aula itu tampak sepi dan juga begitu gelap. Beragam patung dan lukisan yang mengisi ruangan itu seakan menjadi saksi bisu dari sebuah hati yang sedang gundah. Tampak di sudut ruangan, seorang pria yang bertubuh tegap sedang menatap langit melalui jendela ruangan tersebut. Wajahnya yang diterpa sinar rembulan menyiratkan wibawanya. Garis wajah yang keras, mata yang tajam dihiasi dengan kumis hitam lebat dan janggut yang tercukur rapi seakan bisa menggambarkan siapa dirinya. Kegundahan nampak jelas di wajahnya. Sinar matanya nanar menatap rembulan. Meski sudah mengenakan pakaian tidur, jelas pria itu tidak berniat untuk istirahat. &nbs p; “Kurang ajar, beraninya pemuda itu mendustai diriku dan juga putriku!!!!!” pikirannya terus berkecamuk. Pria itu benar-benar marah saat itu. Ingin rasanya saat itu ia melumat tubuh pemuda yang telah berani melarikan putrinya. Pria itu adalah Raja Naga Langit, penguasa kerajaan Bukit Surga. Malam itu, putri kesayangannya pergi dengan seorang pemuda kepercayaannya. Seorang pemuda yang sudah sangat ia percayai sebagai pengawal pribadi putrinya, kini telah menghianati kepercayaannya dan merusak nama baiknya sebagai seorang raja yang begitu ditakuti di seluruh penjuru negeri. Otot-ototnya mengeras dan syarafnya meregang. Dia sudah tak sabar ingin mendengar kabar dari seluruh laskar yang ia tugaskan untuk mencari putrinya. Dia begitu yakin bahwa putrinya tidak akan lari terlalu jauh karena ia sudah melukai pemuda itu cukup parah. &n bsp; Namun perasaannya saat itu begitu galau seakan ada firasat buruk. Suara burung malam yang memecah keheningan sembari mengitari istana seakan memberi isyarat yang benar-benar merisaukan hatinya. Pikirannya kemudian berkelana ke masa-masa indah bersama putri kesayangannya itu. Sang raja baru menyadari bahwa waktu bersama putrinya begitu sedikit. Ia lebih mencurahkan waktunya untuk ambisinya dibandingkan dengan putrinya. Tanpa disadarinya, ada bulir-bulir kristal mulai mengenang di sudut matanya. Ia yang dikenal sebagai raja yang begitu keras dan ambisius, ternyata akhirnya tak mampu menahan perasaan manusiawinya. Kini, bulir bening itu mulai mengalir turun dari sudut-sudut matanya. Lamunannya terhenti saat ia mendengar ada keriuhan di luar aula. Sang raja memang sengaja memerintahkan pengawalnya untuk berjaga di luar balairung istana. Malam itu ia memang ingin sendiri. Seakan tak ingin sisi manusiawinya diketahui oleh para pengawalnya, ia segera menghapus tetes-tetes bening air matanya. Kedudukannya sebagai raja yang dianggap sebagai titisan dewa, telah membuatnya menjadi pribadi yang cenderung untuk menutupi perasaan yang sebenarnya bahkan sisi cinta seorang ayah kepada anaknya sekalipun. Perlahan sang raja menuju singgasananya untuk menerima laporan dari para pengawal yang ia tugaskan untuk mencari putrinya. Ia sangat berharap mendapatkan kabar baik dan bertemu dengan putrinya kembali. Namun saat melihat kepala pasukan dan beberapa pengawal masuk, ia harus sedikit menyimpan kekecewaan di dalam hatinya, karena ia tidak melihat putrinya di situ. “Hamba menghadap tuanku” ucap sang pengawal sambil menghormat sang raja dengan takzim. “Semoga kabar baik yang akan kau berikan padaku” jawab sang raja. “Maafkan hamba tuanku....” jawab sang pengawal dengan suara bergetar. Dari getaran suara pengawalnya, sang raja menangkap sesuatu yang tidak baik mungkin telah terjadi pada putrinya. Namun sang raja tetap berusaha tenang sembari menyembunyikan kerisauan hatinya. &nbs p; “Katakan apa yang sebenarnya terjadi!” ucapnya tegas. “Aku tidak mau kalian menutupi hal yang sebenarnya!” Raja kembali mengulangi pernyataannya dengan nada yang sedikit lebih ditekan sambil menatap tajam kepada seluruh pengawalnya. “Hamba benar-benar minta maaf kepada tuanku karena.....” suara pengawal itu seperti tercekat di tenggorokannya karena menahan rasa takut yang sangat dalam. “Karena apa? Cepat kalian katakan saja. Kalian tidak mau aku murka kan?” kali ini raja sudah mulai kehilangan kesabarannya. “Karena hamba gagal menjalankan tugas yang paduka berikan untuk hamba dan hamba siap menerima hukuman apapun yang paduka berikan buat hamba...” Meski nada suaranya sudah lebih tenang namun getaran suaranya sangat merisaukan hati sang raja bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap putrinya. “Aku tahu bahwa tugasmu memang gagal karena putriku tidak bisa kau bawa ke hadapanku saat ini dan aku pasti akan menghukummu” jawab sang raja yang mulai gusar. “Tuanku, hamba gagal menyelamatkan tuan putri”, kali ini suara sang kepala pengawal begitu lirih. &n bsp; ”Apa maksudmu dengan ucapanmu tadi?” Kali ini suara raja semakin keras karena ia sudah mulai tidak sabar mendengar kabar tentang putri kesayangannya. “Tuanku, tuan putri sudah pergi bersama pemuda itu....” suara sang pengawal kali ini benar-benar bergetar karena menahan perasaan takutnya. &n bsp; &nb sp; “Aku sudah tahu tentang hal itu, yang aku inginkan sekarang hanyalah bagaimana keadaan putriku?” kali ini sang raja benar-benar murka. &n bsp; &nb sp; “Tuanku, tuan putri sudah pergi dengan pemuda itu untuk selamanya...” akhirnya kepala pengawal itu bisa menyampaikan kabar buruk itu. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar