Gerakan Pemuda Mahasiswa Dalam Penindasan SJ-SF dan Jalan keluarnya
Jika dilihat dari aspek usia, mereka berjumlah 82,2 juta lebih (2008) dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 228,5 juta lebih yang mengalami kenaikan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sejarah menunjukkan peran penting pemuda dalam gerakan pembebasan nasional, Revolusi Agustus 1945, dan Gerakan Mei 1998.
Di bawah sistem penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal (SJ-SF), masa depan mereka menjadi suram di lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga tidak memberikan tempat bagi pengembangan diri untuk belajar dan bekerja yang benar dan terjamin. Kepentingan sosial-ekonomi mereka sangat berkepentingan terhadap tersedianya lapangan pekerjaan dan pendidikan yang patriotis, ilmiah, demokratis, dan kerakyatan.
Besarnya kelebihan produksi di negara-negara industri yang tidak bisa diputar dalam perdagangan menyebabkan lahirnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami oleh kaum buruh di negeri-negeri imperailis atas nama penghematan. Akan tetapi, usaha penghematan tersebut berujung pada tumpukkan kelebihan barang hasil industri yang tidak terbendung. Keadaan tersebut menyebabkan negara-negara industri imperailis kerap memaksa rakyat di negeri-negeri terjajah dan bergantung untuk membeli kelebihan barang hasil industri negeri-negeri imperialis. Ada tiga kepentingan imperialis terhadap negeri Terjajah/SJ-SF, yaitu: (1) kepentingan untuk menguasai kekayaan alam; (2) kepentingan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah; (3) kepentingan untuk memasarkan atau membuang kelebihan barang dagangannya. Usaha demikian yang dilakukan untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi yang terus-menerus dan usaha itu juga tidak bisa membuat imperialis lepas dari krisisnya.
Kaum kapitalis monopoli atau imperialis mengutak-atik teori dan metode untuk menyelamatkan diri. Untuk itu, mereka meningkatkan intensitas penghisapan terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya dan mengembangkan sikap agresi perang dengan kedok “demokrasi”, “tatanan ekonomi yang berkeadilan” dan “hak asasi manusia (HAM)”. Kekuatan produktif terbaik di dunia ini, klas buruh, di negeri-negeri imperialis dan terjajah/SJ-SF mengalami kehancuran melalui serangkaian PHK, pemotongan upah, dan penambahan jam kerja. Kaum tani semakin kehilangan tanahnya, tercekik riba dan hutang, dan meningkatnya biaya sewa tanah. Sementara itu, borjuasi kecil perkotaan semakin kehilangan uangnya akibat kenaikan harga barang dan pungutan kapitalis birokrat (kabir) setiap hari, sedangkan pelajar dan mahasiswa mengalami masa depan yang suram karena biaya pendidikan yang semakin mahal.
Di bawah dua sistem penghisapan dan penindasan, pemuda Indonesia memiliki masalah umum yang sama dengan rakyat selain masalah khusus utama, yaitu: Pendidikan dan pekerjaan. Masalah umum dan khusus tersebut hanya didapatkan oleh pemuda dari klas-klas tertindas—seperti: buruh, tani, klas menengah—pengusaha dan pedagang menengah—dan borjuasi kecil lainnya—yang bertentangan dengan kaum muda dari klas berkuasa, yakni: borjuasi besar (komprador) dan tuan tanah. Oleh karena itu, pengertian Pemuda Indonesia dalam perjuangan demokratis nasional saat ini adalah mereka yang tertindas oleh dua sistem penindasan: imperialisme dan feodalisme.
Kediktaturan borjuasi besar komprador dan tuan tanah ini lebih memilih memangkas subsidi pada sektor-sektor publik untuk alokasi investasi besar anti rakyat yang menguntungkan imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri. Keadaan demikian membuat angka partisipasi sekolah sangat rendah.
Pada tahun 2008, angka partisipasi sekolah usia 16-18 tahun, untuk laki laki tercatat sejumlah 66,31 persen, sementara perempuan sejumlah 56,82 persen. Sementara itu, anak buruh dan kaum tani—di usia sekolah—yang mendapatkan pendidikan hanya sekitar 20 persen dari seluruh peserta pendidikan formal. Karena itu, banyak anak buruh dan kaum tani hanya mampu bersekolah pada level SD dan SMP saja, bahkan yang tidak tamat karena masalah biaya pendidikan yang mahal. Nasib yang sama dirasakan juga oleh pemuda yang berlatarbelakang borjuasi kecil perkotaan seksi bawah. Akibat dari biaya pendidikan yang tinggi, banyak dari pemuda-pemuda ini tidak sanggup bersekolah, dan kemudian terlibat dalam kegiatan-kegiatan anti-sosial, seperti menggunakan narkoba, terlibat dalam pencurian dan pelacuran, bergabung dengan gang, dan lain-lain.
Masalah sosial ini yang tidak akan pernah terpecahkan telah berlangsung lama sejak negeri ini jatuh dalam dominasi imperialisme dan feodalisme. Ciri khusus penindasan setengah feodal yang berbasis sosial adalah pada monopoli tanah oleh tuan tanah dan borjuasi besar komprador, produksi skala besar pada eksploitasi agraria yang berorientasi ekport, dan ekonomi barang dagangan di sektor agraria; membentuk arah orientasi kebudayaan yang melegitimasi penindasan setengah feodal. Di sisi lain, dominasi imperialisme memasuki wilayah penyelenggaraan pendidikan di dalam negeri sebagai sebuah investasi yang menguntungkan bagi borjuasi besar dan kabir.
Pada lapangan kebudayaan ini, pelajar dan mahasiswa diajarkan dan menerima teori-teori lama yang tidak relevan dengan kondisi sosial di negeri ini. Pengetahuan yang ditransformasilan ditujukan menghasilkan para pekerja tidak terampil untuk mengisi industry-industri manufaktur milik imperialis. Di bidang ilmu sosial, pelajar dan mahasiswa diajarkan ilmu menyesuaikan kebutuhan “globalisasi” melalui peningkatkan SDM yang berlimpah dengan slogan ‘keunggulan komparatif’, yakni sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah, kreatifitas dan kewirausahaan, prefesionalitas ala borjuasi. Selain itu, pelajar dan mahasiswa dipaksakan untuk menerima ‘demokrasi’ ala imperialis dan sarana-sarana demokrasi yang terinstitusionalkan sebagai bentuk masyarakat beradab, tanpa mempersoalkan akar krisis yang menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Dalam menjawab persoalan kemiskinan, hanya jawaban yang diberikan hanya sebatas aspek solidaritas sosial yang semu; persoalan korupsi yang merajalela disempitkan sebagai masalah ahklak; krisis finansial dibatasi sebagai buah spekulasi yang berlebihan; masalah penyakit sosial disimpulkan sebagai kekeringan iman dan jauh dari ajaran agama.
Salah satu keburukan terbesar yang diajarkan oleh nilai-nilai kapitalis dan feodal adalah pemisahan di antara pengetahuan dan pengalaman praktis. Semua pengetahuan yang disebarluaskan oleh klas penindas mengandung kebohongan yang amat merusak dan munafik, kemudian membentuk gambaran palsu masyarakat kapitalis yang dibesar-besarkan sebagai masyarakat yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Dalam sistem pendidikan ini, generasi pemuda dari buruh dan tani tidak mendapatkan pendidikan yang baik dibandingkan mereka yang dididik dalam kepentingan kaum borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda tani dan buruh dilatih dalam cara tertentu untuk menjadi pelayan yang berguna bagi klas penindas sehingga mampu menciptakan keuntungan selama hal tersebut tidak menggangu kedamaian milik imperialis, komprador dan tuan tanah. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa diajarkan untuk menghianati tanah airnya, bersikap anti ilmiah, anti proletariat dan klas pekerja lainnya, serta tidak demokratis.
Pelajar dan mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan kebebasan akademik dan hak demokratis lainnya. Situasi krisis yang berwatak kronis di negeri SJ-SF akan membatasi hak demokratis pelajar/mahasiswa. Kekuasaan fasisme akan semakin bertumbuh seiring dengan krisis kronis yang berkepanjangan sehingga hak-hak politik akan semakin dikekang dan ruang demokratis di lembaga pendidikan tidak akan pernah ada. Pihak kapitalis birokrat akan semakin banyak menciptakan aturan yang membatasi hak politik pelajar/mahasiswa dan tidak segan-segan berlaku keras, seperti memberikan sanksi akademik, drop-out (DO), hingga kriminalisasi setiap tuntutan demokratis, kritik, dan aksi massa.
Kita bisa melihat buah dari sistem pendidikan telah banyak melahirkan pengangguran. Dari 110 juta lebih angkatan kerja (data tahun 2008), hanya 5,5 persen lulusan dari perguruan tinggi, SD ke bawah 58 persen, SMP/SMU 37 persen; yang bisa bekerja di segala sektor dengan status pekerja tetap dan serabutan. Sementara itu, pemuda calon pekerja yang berusia 15-24 tahun sebesar 56 persen adalah pengangguran. Pada tahun 2009, tercatat 4,1 juta, atau sekitar 22,2 persen dari 21,2 juta angkatan kerja menganggur (Bappenas). Angka ini dinilai akan terus melonjak seiring dengan krisis global dan masuknya Indonesia dalam sejumlah kesepakatan perdagangan bebas, termasuk China-Asean Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai berlaku tahun 2010.
Pemuda tani dan buruh semakin sulit untuk mempertahankan hidupnya dengan situasi demikian. Mayoritas pemuda di pedesaan terhisap pada relasi setengah feodal yang membutuhkan tenaga kerja murah dan alat kerja terbelakang semata. Pengetahuan dan kapasitas pekerja—di pedesaan dan perkotaan—dibelengu oleh alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan pekerja terampil dan pengetahuan. Dengan demikian, lapangan pekerjaan hanya dapat menampung sedikit tenaga kerja sehingga terjadi persaingan memperebutkan lapangan pekerjaan yang terbatas yang mengakibatkan mereka menjual tenaga dengan harga murah. Banyak pemuda tani pergi ke kota untuk mencari pekerjaan—buruh pabrik atau pekerja serabutan—untuk memperbaiki nasibnya, tetapi banyak dari mereka kembali ke desa akibat PHK, tak ada lapangan pekerjaan, atau usaha dagang kecil-kecilan yang mengalami kebangkrutan. Keadaan demikian menjadikan banyak pemuda desa—laki-laki dan perempuan—mengadu nasib sebagai buruh migran yang jumlahnya telah mencapai 6 juta lebih dan tersebar di berbagai negeri. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja yang tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi yang bekerja di sektor perkebunan, pertambangan, pekerja rumah tangga, dan pabrik-pabrik.
Penghisapan dan penindasan tersebut menjadikan pemuda tani dan buruh juga mengalami keterbelakangan secara budaya, sama halnya yang dialami pelajar dan mahasiswa. Akan tetapi, keterbelakangan budaya di pedesaan lebih tinggi akibat dominasi politik, ekonomi dan budaya sisa-sisa feodal yang dipertahankan oleh klas-klas reaksi, yakni tuan tanah dan kapitalis birokrat. Untuk menjaga pengaruh dominasi feodalisme, para tuan tanah mempertahankan seperangkat alat kebudayaan yang dibungkus atas nama: “adat dan nilai-nilai luhur nenek moyang” serta agama.
Dari masalah diatas maka Pemuda Indonesia secara khusus mengalami penindasan dua hal, yaitu :
b) Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi penindasan imperialisme dan feodalisme sehingga berwatak pro imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis—seperti: kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dll.
Masalah umum dan khusus—yakni pendidikan dan pekerjaan—menjadikan gerakan pemuda mahasiswa bertalian erat dengan program perjuangan demokratis nasional. Gerakan pemuda mahasiswa harus mengabdi pada tujuan-tujuan perjuangan bersama klas pokok, yakni buruh dan tani, serta rakyat tertindas lainnya untuk mencapai demokrasi, ekonomi, dan kebudayaan yang berwatak anti imperialisme dan feodalisme. Mahasiswa adalah salah satu sektor yang ditempati oleh pemuda secara umum yang memiliki ciri-ciri khusus: dinamis, aktif, dan mobilitas yang tinggi—di sinilah mahasiswa memiliki andil sebagai pemuda untuk menjadi tulang punggung yang penting dari tenaga penggerak perjuangan dalam membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakan jutaan massa rakyat. Tentunya, segala usaha perjuangan pemuda mahasiswa bersandarkan pada persekutuan pokok buruh dan tani, di bawah kepemimpinan klas buruh. Jika gerakan pemuda mahasiswa menentang persekutuan pokok buruh dan tani dibawah kepemimpinan proletariat maka ia berarti melawan perjuangan demokratis nasional.
Aktivis massa pemuda mahasiswa hanya bisa dibuktikan ketika bersedia mengintegrasikan diri dengan buruh, tani, dan lapisan klas tertindas lainnya. Dengan cara demikian pemuda mahasiswa dapat membajakan daya orientasinya di tengah kepungan tindasan politik, penghisapan ekonomi, dan keterbelakangan budaya yang dipelihara dua sistem penindasan yang telah sekarat. Ia hanya akan maju jika menempa cara belajar yang maju yakni memadukan pengetahuan dan pengalaman praktis dalam perjuangan melalui langgam organisasi yang benar, yaitu: memadukan teori dengan praktek, berhubungan erat dengan massa, dan menjalankan kritik-otokritik. Demikianlah cara yang dapat memajukan aspek kebudayaan pada pemuda mahasiswa yang ditandai sikap patriotik, demokratik dan militan.
Krisis kronis yang makin mendalam secara obyektif membangkitkan protes massa dimana-mana akibat penindasan dan penghidupan massa yang makin merosot. Ada tiga macam bentuk yang berkembang di massa saat ini, yaitu: Pertama, gerundelan; Sebuah sikap protes yang dinyatakan secara spontan melalui celetukan dan pembicaraan lepas mengenai ketidakpuasan atas situasi sosial atau kekuasaan yang tidak pro rakyat. Bentuk ini yang paling dominan berkembang di rakyat. Kedua, aksi massa spontan; Sebuah bentuk kesadaran yang lebih baik dari gerundelan dengan ditandai adanya tindakan yang ditujukan pada sasaran protes atau bersikap membangkang secara massal tetapi aksi tersebut bersifat spontan, tidak terorganisasi, dan terpimpin. Jika aksi massa ini tidak terorganisasi dan terpimpin baik maka perlawanan tersebut tidak akan bisa berkesinambungan dengan program yang tepat. Dampaknya gerakan massa itu akan mudah dipukul, mengalami demoralisasi, atau dimanfaatkan oleh klas reaksi. Ketiga, aksi massa yang terorganisasi; Pada tingkat ini, massa telah terorganisasi dengan dipimpin oleh program perjuangan—yang demokratis atau reformis. Jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dua bentuk sebelumnya. Aksi massa yang terorganisasi ini juga masih dibagi menurut keadaannya, orientasinya, dan program perjuangan.
Sebagai bagian dari massa rakyat, banyak pemuda mahasiswa saat ini juga terlibat dalam aksi-aksi massa yang bersifat spontan atau terorganisasi. Penindasan melahirkan perlawanan yang berbuah munculnya organisasi-organisasi massa (ormas) yang memiliki kaum muda yang besar di kalangan klas buruh, tani, pelajar dan mahasiswa, serta kaum miskin kota. Mereka mengajukan tuntutan-tuntutan demokratis—di kampus-kampus, kampung-kampung di kota, desa, pabrik—akibat keadaan hidup yang makin merosot dan tidak ada jaminan terpenuhinya hak-hak sosial ekonomi dan politik, seperti: mendapatkan pekerjaan yang layak, jaminan untuk bertempat tinggal dan perumahan yang layak, pelayanan dan fasilitas publik yang memadai, pendidikan gratis, penurunan harga kebutuhan pokok yang membumbung tinggi, pendidikan gratis dan mudah diakses, jaminan kesehatan yang murah, kenaikan upah, tuntutan mendapatkan tanah bagi tani, kebebasan berorganisasi dan berpendapat, dll.
Hal tersebut adalah situasi yang mengembirakan dan memberikan massa depan perjuangan demokratis nasional yang pasti akan tumbuh dan meluas membakar kesadaran massa. Seperti pepatah yang mengambarkan keadaan itu: “Sekecil-kecilnya percikan api dapat membakar padang ilalang.” Keadaan obyektif ini harus dimanfaatkan pemuda mahasiswa sebaik-baiknya untuk mengorganisasikan diri ke dalam ormas demokratis dalam perjuangan legal demokratis dalam menyokong perjuangan reforma agraria. Perjuangan diarahkan secara intensif, militan, dan terorganisasi untuk bisa membangkitkan, menggorganisasikan dan menggerakan pemuda mahasiswa dan massa rakyat tertindas yang luas serta tersebar. Pekerjaan ideologi, politik dan organisasi menjadi kesatuan yang membimbing arah yang tepat sehingga bisa menarik massa luas, merangkul unsur termaju, dan memblejeti politik klas reaksioner di setiap front perjuangan.
Sejarah telah menunjukkan peran penting pemuda mahasiswa dalam perjuangan massa. Gerakan Mei 1998 yang dimotori mahasiswa berhasil menjatuhkan kediktaturan fasisme Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun. Walaupun tuntutan mahasiswa adalah reformasi yang bersifat borjuasi tetapi telah memberikan syarat-syarat bagi tumbuh berkembangnya gerakan proletariat dan klas tertindas lainnya dalam aksi-aksi terbuka dan berani serta munculnya banyak ormas yang tampil terbuka. Gerakan Mei 1998 memang tidak bersandarkan program perjuangan demokratis nasional dan keterlibatan klas-klas pokok, buruh dan tani, sehingga buah kemenangan itu diambil oleh kepemimpinan klik-klik komprador anti Soeharto dan beberapa kelompok reformis. Akan tetapi, ia merupakan buah dari segala perjuangan massa yang dipelopori pemuda mahasiswa selama puluhan tahun melalui aktivitas bawah tanah organisasi-organisasi tingkat kampus dan kota yang selalu menghadapi represi politik. Dari hasil otokritik pemuda dan mahasiswa terhadap kegagalan Gerakan Mei 1998 maka beberapa aktivis pemuda melakukan pembetulan dengan mengintegrasikan dirinya ke massa buruh dan tani untuk membangun kekuatan dari kedua klas pokok tersebut. Hasil pekerjaan itu telah melahirkan ormas-ormas buruh, tani, pemuda/mahasiswa, dan perempuan yang berwatak demokratis-nasional. Hasil tempaan itu telah melahirkan beberapa aktivis massa dari kalangan pemuda/mahasiswa, buruh, tani yang menyatukan diri—di lapangan ideologi, politik dan organisasi—dalam organisasi pelopor yang berideologi klas buruh dan mengobarkan perjuangan demokratik nasional, dan bersandarkan disiplin baja klas buruh.
Demikian juga, peranan pemuda sangat besar dalam gerakan pembebasan nasional pada masa awal abad 20 dengan terbentuknya ormas-ormas (SI, serikat buruh dan tani) dan partai. Sebagian pemuda—intelektual, buruh dan tani—yang ditempa dalam perjuangan revolusioner melawan kolonialisme Belanda membangun organisasi detasemen tertinggi klas buruh, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 23 Mei 1920. PKI adalah organisasi pertama yang memiliki program perjuangan pembebasan nasional yang konkret dan bersandarkan ideologi klas buruh, dan juga Partai yang pertama kali dan satu-satunya yang memimpin perjuangan rakyat bersenjata nasional (1926) pada masa itu. PKI adalah anak zaman yang lahir dari masa kapitalisme berada pada tahap tertinggi yang sekarat (imperialisme) dan revolusi proletariat dunia yang telah ditandai dengan kemenangan Revolusi Besar Proletariat Oktober di Rusia (1918).
Selain sebagai tenaga muda yang progresif, mereka memiliki peranan penting dalam berkobarnya Revolusi Agustus 1945, baik menjadi anggota dari laskar-laskar rakyat ataupun organisasi-organisasi massa lainnya—seperti organisasi massa buruh, dan lainnya. Peranan pemuda dalam sejarah perkembangan Indonesia dari waktu-ke waktu sangat aktif dan menentukan.
Oleh karena itu, gerakan pemuda mahasiswa demokratis harus membangun organisasi pemuda mahasiswa sejati yang mengobarkan perjuangan demokratis di perjuangan legal-demokratis. Dalam perjuangan demokratis nasional di Indonesia, pemuda mahasiswa harus menjadi komponen yang aktif. Gerakan pemuda demokratis adalah gerakan yang berbasiskan oleh aliansi dasar kelas buruh dan kaum tani dengan pimpinan proletariat. Hanya dengan demikian bisa membawa pemuda mahasiswa dan massa rakyat luas keluar dari penghisapan dan penindasan yang menyebabkan krisis kronis yang berkepanjangan di negeri kita.
11. Pemberantasan korupsi di dalam dunia pendidikan
12. Pemberantasan buta huruf, dll.
Sementara secara umum perjuangan gerakan pemuda mahasiswa secara strategis dijabarkan sebagai berikut:
1.) Ekonomi
2.) Politik
3.) Budaya
- I. Pendahuluan
Jika dilihat dari aspek usia, mereka berjumlah 82,2 juta lebih (2008) dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 228,5 juta lebih yang mengalami kenaikan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sejarah menunjukkan peran penting pemuda dalam gerakan pembebasan nasional, Revolusi Agustus 1945, dan Gerakan Mei 1998.
Di bawah sistem penindasan Setengah Jajahan- Setengah Feodal (SJ-SF), masa depan mereka menjadi suram di lapangan ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga tidak memberikan tempat bagi pengembangan diri untuk belajar dan bekerja yang benar dan terjamin. Kepentingan sosial-ekonomi mereka sangat berkepentingan terhadap tersedianya lapangan pekerjaan dan pendidikan yang patriotis, ilmiah, demokratis, dan kerakyatan.
- II. Problem Umum dan Khusus Pemuda Mahasiswa
- A. Keadaan umum pemuda
Besarnya kelebihan produksi di negara-negara industri yang tidak bisa diputar dalam perdagangan menyebabkan lahirnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami oleh kaum buruh di negeri-negeri imperailis atas nama penghematan. Akan tetapi, usaha penghematan tersebut berujung pada tumpukkan kelebihan barang hasil industri yang tidak terbendung. Keadaan tersebut menyebabkan negara-negara industri imperailis kerap memaksa rakyat di negeri-negeri terjajah dan bergantung untuk membeli kelebihan barang hasil industri negeri-negeri imperialis. Ada tiga kepentingan imperialis terhadap negeri Terjajah/SJ-SF, yaitu: (1) kepentingan untuk menguasai kekayaan alam; (2) kepentingan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah yang berlimpah; (3) kepentingan untuk memasarkan atau membuang kelebihan barang dagangannya. Usaha demikian yang dilakukan untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi yang terus-menerus dan usaha itu juga tidak bisa membuat imperialis lepas dari krisisnya.
Kaum kapitalis monopoli atau imperialis mengutak-atik teori dan metode untuk menyelamatkan diri. Untuk itu, mereka meningkatkan intensitas penghisapan terhadap klas buruh dan rakyat pekerja lainnya dan mengembangkan sikap agresi perang dengan kedok “demokrasi”, “tatanan ekonomi yang berkeadilan” dan “hak asasi manusia (HAM)”. Kekuatan produktif terbaik di dunia ini, klas buruh, di negeri-negeri imperialis dan terjajah/SJ-SF mengalami kehancuran melalui serangkaian PHK, pemotongan upah, dan penambahan jam kerja. Kaum tani semakin kehilangan tanahnya, tercekik riba dan hutang, dan meningkatnya biaya sewa tanah. Sementara itu, borjuasi kecil perkotaan semakin kehilangan uangnya akibat kenaikan harga barang dan pungutan kapitalis birokrat (kabir) setiap hari, sedangkan pelajar dan mahasiswa mengalami masa depan yang suram karena biaya pendidikan yang semakin mahal.
Di bawah dua sistem penghisapan dan penindasan, pemuda Indonesia memiliki masalah umum yang sama dengan rakyat selain masalah khusus utama, yaitu: Pendidikan dan pekerjaan. Masalah umum dan khusus tersebut hanya didapatkan oleh pemuda dari klas-klas tertindas—seperti: buruh, tani, klas menengah—pengusaha dan pedagang menengah—dan borjuasi kecil lainnya—yang bertentangan dengan kaum muda dari klas berkuasa, yakni: borjuasi besar (komprador) dan tuan tanah. Oleh karena itu, pengertian Pemuda Indonesia dalam perjuangan demokratis nasional saat ini adalah mereka yang tertindas oleh dua sistem penindasan: imperialisme dan feodalisme.
- B. Hancurnya tenaga produktif Indonesia
Kediktaturan borjuasi besar komprador dan tuan tanah ini lebih memilih memangkas subsidi pada sektor-sektor publik untuk alokasi investasi besar anti rakyat yang menguntungkan imperialis dan kaki tangannya di dalam negeri. Keadaan demikian membuat angka partisipasi sekolah sangat rendah.
Pada tahun 2008, angka partisipasi sekolah usia 16-18 tahun, untuk laki laki tercatat sejumlah 66,31 persen, sementara perempuan sejumlah 56,82 persen. Sementara itu, anak buruh dan kaum tani—di usia sekolah—yang mendapatkan pendidikan hanya sekitar 20 persen dari seluruh peserta pendidikan formal. Karena itu, banyak anak buruh dan kaum tani hanya mampu bersekolah pada level SD dan SMP saja, bahkan yang tidak tamat karena masalah biaya pendidikan yang mahal. Nasib yang sama dirasakan juga oleh pemuda yang berlatarbelakang borjuasi kecil perkotaan seksi bawah. Akibat dari biaya pendidikan yang tinggi, banyak dari pemuda-pemuda ini tidak sanggup bersekolah, dan kemudian terlibat dalam kegiatan-kegiatan anti-sosial, seperti menggunakan narkoba, terlibat dalam pencurian dan pelacuran, bergabung dengan gang, dan lain-lain.
- C. Problem Khusus pemuda mahasiswa
Masalah sosial ini yang tidak akan pernah terpecahkan telah berlangsung lama sejak negeri ini jatuh dalam dominasi imperialisme dan feodalisme. Ciri khusus penindasan setengah feodal yang berbasis sosial adalah pada monopoli tanah oleh tuan tanah dan borjuasi besar komprador, produksi skala besar pada eksploitasi agraria yang berorientasi ekport, dan ekonomi barang dagangan di sektor agraria; membentuk arah orientasi kebudayaan yang melegitimasi penindasan setengah feodal. Di sisi lain, dominasi imperialisme memasuki wilayah penyelenggaraan pendidikan di dalam negeri sebagai sebuah investasi yang menguntungkan bagi borjuasi besar dan kabir.
Pada lapangan kebudayaan ini, pelajar dan mahasiswa diajarkan dan menerima teori-teori lama yang tidak relevan dengan kondisi sosial di negeri ini. Pengetahuan yang ditransformasilan ditujukan menghasilkan para pekerja tidak terampil untuk mengisi industry-industri manufaktur milik imperialis. Di bidang ilmu sosial, pelajar dan mahasiswa diajarkan ilmu menyesuaikan kebutuhan “globalisasi” melalui peningkatkan SDM yang berlimpah dengan slogan ‘keunggulan komparatif’, yakni sumber agraria dan tenaga kerja yang melimpah, kreatifitas dan kewirausahaan, prefesionalitas ala borjuasi. Selain itu, pelajar dan mahasiswa dipaksakan untuk menerima ‘demokrasi’ ala imperialis dan sarana-sarana demokrasi yang terinstitusionalkan sebagai bentuk masyarakat beradab, tanpa mempersoalkan akar krisis yang menyebabkan kehancuran masyarakatnya. Dalam menjawab persoalan kemiskinan, hanya jawaban yang diberikan hanya sebatas aspek solidaritas sosial yang semu; persoalan korupsi yang merajalela disempitkan sebagai masalah ahklak; krisis finansial dibatasi sebagai buah spekulasi yang berlebihan; masalah penyakit sosial disimpulkan sebagai kekeringan iman dan jauh dari ajaran agama.
Salah satu keburukan terbesar yang diajarkan oleh nilai-nilai kapitalis dan feodal adalah pemisahan di antara pengetahuan dan pengalaman praktis. Semua pengetahuan yang disebarluaskan oleh klas penindas mengandung kebohongan yang amat merusak dan munafik, kemudian membentuk gambaran palsu masyarakat kapitalis yang dibesar-besarkan sebagai masyarakat yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Dalam sistem pendidikan ini, generasi pemuda dari buruh dan tani tidak mendapatkan pendidikan yang baik dibandingkan mereka yang dididik dalam kepentingan kaum borjuasi besar dan tuan tanah. Pemuda tani dan buruh dilatih dalam cara tertentu untuk menjadi pelayan yang berguna bagi klas penindas sehingga mampu menciptakan keuntungan selama hal tersebut tidak menggangu kedamaian milik imperialis, komprador dan tuan tanah. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa diajarkan untuk menghianati tanah airnya, bersikap anti ilmiah, anti proletariat dan klas pekerja lainnya, serta tidak demokratis.
Pelajar dan mahasiswa tidak akan pernah mendapatkan kebebasan akademik dan hak demokratis lainnya. Situasi krisis yang berwatak kronis di negeri SJ-SF akan membatasi hak demokratis pelajar/mahasiswa. Kekuasaan fasisme akan semakin bertumbuh seiring dengan krisis kronis yang berkepanjangan sehingga hak-hak politik akan semakin dikekang dan ruang demokratis di lembaga pendidikan tidak akan pernah ada. Pihak kapitalis birokrat akan semakin banyak menciptakan aturan yang membatasi hak politik pelajar/mahasiswa dan tidak segan-segan berlaku keras, seperti memberikan sanksi akademik, drop-out (DO), hingga kriminalisasi setiap tuntutan demokratis, kritik, dan aksi massa.
Kita bisa melihat buah dari sistem pendidikan telah banyak melahirkan pengangguran. Dari 110 juta lebih angkatan kerja (data tahun 2008), hanya 5,5 persen lulusan dari perguruan tinggi, SD ke bawah 58 persen, SMP/SMU 37 persen; yang bisa bekerja di segala sektor dengan status pekerja tetap dan serabutan. Sementara itu, pemuda calon pekerja yang berusia 15-24 tahun sebesar 56 persen adalah pengangguran. Pada tahun 2009, tercatat 4,1 juta, atau sekitar 22,2 persen dari 21,2 juta angkatan kerja menganggur (Bappenas). Angka ini dinilai akan terus melonjak seiring dengan krisis global dan masuknya Indonesia dalam sejumlah kesepakatan perdagangan bebas, termasuk China-Asean Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai berlaku tahun 2010.
Pemuda tani dan buruh semakin sulit untuk mempertahankan hidupnya dengan situasi demikian. Mayoritas pemuda di pedesaan terhisap pada relasi setengah feodal yang membutuhkan tenaga kerja murah dan alat kerja terbelakang semata. Pengetahuan dan kapasitas pekerja—di pedesaan dan perkotaan—dibelengu oleh alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan pekerja terampil dan pengetahuan. Dengan demikian, lapangan pekerjaan hanya dapat menampung sedikit tenaga kerja sehingga terjadi persaingan memperebutkan lapangan pekerjaan yang terbatas yang mengakibatkan mereka menjual tenaga dengan harga murah. Banyak pemuda tani pergi ke kota untuk mencari pekerjaan—buruh pabrik atau pekerja serabutan—untuk memperbaiki nasibnya, tetapi banyak dari mereka kembali ke desa akibat PHK, tak ada lapangan pekerjaan, atau usaha dagang kecil-kecilan yang mengalami kebangkrutan. Keadaan demikian menjadikan banyak pemuda desa—laki-laki dan perempuan—mengadu nasib sebagai buruh migran yang jumlahnya telah mencapai 6 juta lebih dan tersebar di berbagai negeri. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja yang tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi yang bekerja di sektor perkebunan, pertambangan, pekerja rumah tangga, dan pabrik-pabrik.
Penghisapan dan penindasan tersebut menjadikan pemuda tani dan buruh juga mengalami keterbelakangan secara budaya, sama halnya yang dialami pelajar dan mahasiswa. Akan tetapi, keterbelakangan budaya di pedesaan lebih tinggi akibat dominasi politik, ekonomi dan budaya sisa-sisa feodal yang dipertahankan oleh klas-klas reaksi, yakni tuan tanah dan kapitalis birokrat. Untuk menjaga pengaruh dominasi feodalisme, para tuan tanah mempertahankan seperangkat alat kebudayaan yang dibungkus atas nama: “adat dan nilai-nilai luhur nenek moyang” serta agama.
Dari masalah diatas maka Pemuda Indonesia secara khusus mengalami penindasan dua hal, yaitu :
- Lapangan ekonomi; Tidak mendapatkan pekerjaan yang layak dan tetap sehingga banyak kekuatan produktif pemuda menjadi pengangguran dan sebagian hanya terserap di pekerjaan serabutan.
- Lapangan kebudayaan:
b) Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi penindasan imperialisme dan feodalisme sehingga berwatak pro imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis—seperti: kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dll.
- III. Orientasi dan Peranan Gerakan Pemuda Mahasiswa Dalam Perjuangan Demokratis Nasional
Masalah umum dan khusus—yakni pendidikan dan pekerjaan—menjadikan gerakan pemuda mahasiswa bertalian erat dengan program perjuangan demokratis nasional. Gerakan pemuda mahasiswa harus mengabdi pada tujuan-tujuan perjuangan bersama klas pokok, yakni buruh dan tani, serta rakyat tertindas lainnya untuk mencapai demokrasi, ekonomi, dan kebudayaan yang berwatak anti imperialisme dan feodalisme. Mahasiswa adalah salah satu sektor yang ditempati oleh pemuda secara umum yang memiliki ciri-ciri khusus: dinamis, aktif, dan mobilitas yang tinggi—di sinilah mahasiswa memiliki andil sebagai pemuda untuk menjadi tulang punggung yang penting dari tenaga penggerak perjuangan dalam membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakan jutaan massa rakyat. Tentunya, segala usaha perjuangan pemuda mahasiswa bersandarkan pada persekutuan pokok buruh dan tani, di bawah kepemimpinan klas buruh. Jika gerakan pemuda mahasiswa menentang persekutuan pokok buruh dan tani dibawah kepemimpinan proletariat maka ia berarti melawan perjuangan demokratis nasional.
Aktivis massa pemuda mahasiswa hanya bisa dibuktikan ketika bersedia mengintegrasikan diri dengan buruh, tani, dan lapisan klas tertindas lainnya. Dengan cara demikian pemuda mahasiswa dapat membajakan daya orientasinya di tengah kepungan tindasan politik, penghisapan ekonomi, dan keterbelakangan budaya yang dipelihara dua sistem penindasan yang telah sekarat. Ia hanya akan maju jika menempa cara belajar yang maju yakni memadukan pengetahuan dan pengalaman praktis dalam perjuangan melalui langgam organisasi yang benar, yaitu: memadukan teori dengan praktek, berhubungan erat dengan massa, dan menjalankan kritik-otokritik. Demikianlah cara yang dapat memajukan aspek kebudayaan pada pemuda mahasiswa yang ditandai sikap patriotik, demokratik dan militan.
Krisis kronis yang makin mendalam secara obyektif membangkitkan protes massa dimana-mana akibat penindasan dan penghidupan massa yang makin merosot. Ada tiga macam bentuk yang berkembang di massa saat ini, yaitu: Pertama, gerundelan; Sebuah sikap protes yang dinyatakan secara spontan melalui celetukan dan pembicaraan lepas mengenai ketidakpuasan atas situasi sosial atau kekuasaan yang tidak pro rakyat. Bentuk ini yang paling dominan berkembang di rakyat. Kedua, aksi massa spontan; Sebuah bentuk kesadaran yang lebih baik dari gerundelan dengan ditandai adanya tindakan yang ditujukan pada sasaran protes atau bersikap membangkang secara massal tetapi aksi tersebut bersifat spontan, tidak terorganisasi, dan terpimpin. Jika aksi massa ini tidak terorganisasi dan terpimpin baik maka perlawanan tersebut tidak akan bisa berkesinambungan dengan program yang tepat. Dampaknya gerakan massa itu akan mudah dipukul, mengalami demoralisasi, atau dimanfaatkan oleh klas reaksi. Ketiga, aksi massa yang terorganisasi; Pada tingkat ini, massa telah terorganisasi dengan dipimpin oleh program perjuangan—yang demokratis atau reformis. Jumlahnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dua bentuk sebelumnya. Aksi massa yang terorganisasi ini juga masih dibagi menurut keadaannya, orientasinya, dan program perjuangan.
Sebagai bagian dari massa rakyat, banyak pemuda mahasiswa saat ini juga terlibat dalam aksi-aksi massa yang bersifat spontan atau terorganisasi. Penindasan melahirkan perlawanan yang berbuah munculnya organisasi-organisasi massa (ormas) yang memiliki kaum muda yang besar di kalangan klas buruh, tani, pelajar dan mahasiswa, serta kaum miskin kota. Mereka mengajukan tuntutan-tuntutan demokratis—di kampus-kampus, kampung-kampung di kota, desa, pabrik—akibat keadaan hidup yang makin merosot dan tidak ada jaminan terpenuhinya hak-hak sosial ekonomi dan politik, seperti: mendapatkan pekerjaan yang layak, jaminan untuk bertempat tinggal dan perumahan yang layak, pelayanan dan fasilitas publik yang memadai, pendidikan gratis, penurunan harga kebutuhan pokok yang membumbung tinggi, pendidikan gratis dan mudah diakses, jaminan kesehatan yang murah, kenaikan upah, tuntutan mendapatkan tanah bagi tani, kebebasan berorganisasi dan berpendapat, dll.
Hal tersebut adalah situasi yang mengembirakan dan memberikan massa depan perjuangan demokratis nasional yang pasti akan tumbuh dan meluas membakar kesadaran massa. Seperti pepatah yang mengambarkan keadaan itu: “Sekecil-kecilnya percikan api dapat membakar padang ilalang.” Keadaan obyektif ini harus dimanfaatkan pemuda mahasiswa sebaik-baiknya untuk mengorganisasikan diri ke dalam ormas demokratis dalam perjuangan legal demokratis dalam menyokong perjuangan reforma agraria. Perjuangan diarahkan secara intensif, militan, dan terorganisasi untuk bisa membangkitkan, menggorganisasikan dan menggerakan pemuda mahasiswa dan massa rakyat tertindas yang luas serta tersebar. Pekerjaan ideologi, politik dan organisasi menjadi kesatuan yang membimbing arah yang tepat sehingga bisa menarik massa luas, merangkul unsur termaju, dan memblejeti politik klas reaksioner di setiap front perjuangan.
Sejarah telah menunjukkan peran penting pemuda mahasiswa dalam perjuangan massa. Gerakan Mei 1998 yang dimotori mahasiswa berhasil menjatuhkan kediktaturan fasisme Soeharto yang telah berkuasa 30 tahun. Walaupun tuntutan mahasiswa adalah reformasi yang bersifat borjuasi tetapi telah memberikan syarat-syarat bagi tumbuh berkembangnya gerakan proletariat dan klas tertindas lainnya dalam aksi-aksi terbuka dan berani serta munculnya banyak ormas yang tampil terbuka. Gerakan Mei 1998 memang tidak bersandarkan program perjuangan demokratis nasional dan keterlibatan klas-klas pokok, buruh dan tani, sehingga buah kemenangan itu diambil oleh kepemimpinan klik-klik komprador anti Soeharto dan beberapa kelompok reformis. Akan tetapi, ia merupakan buah dari segala perjuangan massa yang dipelopori pemuda mahasiswa selama puluhan tahun melalui aktivitas bawah tanah organisasi-organisasi tingkat kampus dan kota yang selalu menghadapi represi politik. Dari hasil otokritik pemuda dan mahasiswa terhadap kegagalan Gerakan Mei 1998 maka beberapa aktivis pemuda melakukan pembetulan dengan mengintegrasikan dirinya ke massa buruh dan tani untuk membangun kekuatan dari kedua klas pokok tersebut. Hasil pekerjaan itu telah melahirkan ormas-ormas buruh, tani, pemuda/mahasiswa, dan perempuan yang berwatak demokratis-nasional. Hasil tempaan itu telah melahirkan beberapa aktivis massa dari kalangan pemuda/mahasiswa, buruh, tani yang menyatukan diri—di lapangan ideologi, politik dan organisasi—dalam organisasi pelopor yang berideologi klas buruh dan mengobarkan perjuangan demokratik nasional, dan bersandarkan disiplin baja klas buruh.
Demikian juga, peranan pemuda sangat besar dalam gerakan pembebasan nasional pada masa awal abad 20 dengan terbentuknya ormas-ormas (SI, serikat buruh dan tani) dan partai. Sebagian pemuda—intelektual, buruh dan tani—yang ditempa dalam perjuangan revolusioner melawan kolonialisme Belanda membangun organisasi detasemen tertinggi klas buruh, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 23 Mei 1920. PKI adalah organisasi pertama yang memiliki program perjuangan pembebasan nasional yang konkret dan bersandarkan ideologi klas buruh, dan juga Partai yang pertama kali dan satu-satunya yang memimpin perjuangan rakyat bersenjata nasional (1926) pada masa itu. PKI adalah anak zaman yang lahir dari masa kapitalisme berada pada tahap tertinggi yang sekarat (imperialisme) dan revolusi proletariat dunia yang telah ditandai dengan kemenangan Revolusi Besar Proletariat Oktober di Rusia (1918).
Selain sebagai tenaga muda yang progresif, mereka memiliki peranan penting dalam berkobarnya Revolusi Agustus 1945, baik menjadi anggota dari laskar-laskar rakyat ataupun organisasi-organisasi massa lainnya—seperti organisasi massa buruh, dan lainnya. Peranan pemuda dalam sejarah perkembangan Indonesia dari waktu-ke waktu sangat aktif dan menentukan.
Oleh karena itu, gerakan pemuda mahasiswa demokratis harus membangun organisasi pemuda mahasiswa sejati yang mengobarkan perjuangan demokratis di perjuangan legal-demokratis. Dalam perjuangan demokratis nasional di Indonesia, pemuda mahasiswa harus menjadi komponen yang aktif. Gerakan pemuda demokratis adalah gerakan yang berbasiskan oleh aliansi dasar kelas buruh dan kaum tani dengan pimpinan proletariat. Hanya dengan demikian bisa membawa pemuda mahasiswa dan massa rakyat luas keluar dari penghisapan dan penindasan yang menyebabkan krisis kronis yang berkepanjangan di negeri kita.
- IV. Tuntutan Perjuangan dari Gerakan Pemuda Mahasiswa
- Biaya kuliah murah
- Peningkatan fasilitas pendidikan di kampus
- Kebebasan berpendapat dan berorganisasi di kampus
- Penghentian represifitas terhadap mahasiswa
- Pemberantasan segala bentuk pungutan liar di kampus
- Pelibatan mahasiswa secara menyeluruh dalam menentukan kebijakan kampus
- Transparansi pengelolaan dana operasional kampus
- Peningkatan kesejahteraan dosen, karyawan dan guru
- Pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia
11. Pemberantasan korupsi di dalam dunia pendidikan
12. Pemberantasan buta huruf, dll.
Sementara secara umum perjuangan gerakan pemuda mahasiswa secara strategis dijabarkan sebagai berikut:
1.) Ekonomi
- Berjuang untuk mendapatkan hak-hak sosial ekonomi di dalam kampus.
- Berjuang untuk mendapatkan jaminan pekerjaan yang tetap dan penghidupan yang layak serta melawan segala bentuk diskriminasi—jenis kelamin, ras, suku bangsa, dan agama—dalam bekerja.
- Memperjuangkan perbaikan kondisi kerja dan penghidupan yang layak bagi kelas buruh. Yaitu: menaikkan upah buruh sesuai dengan kondisi ekonomi yang ada, menuntut pelaksanaan 8 jam kerja sehari, dan pemenuhan tunjangan dari keuntungan yang diambil oleh para kapitalis.
- Menuntut diselenggarakannya land reform yang sejati dan terlibat aktif dalam perjuangan reforma agraria di pedesaan.
- Menuntut segara dilaksanakan pembangunan industri nasional yang selama ini dikuasai oleh imperialis dan borjuis komprador, dan melaksanakan pembangunan industri yang berbasis pada kepentingan nasional.
2.) Politik
- Melawan segala bentuk kebijakan birokrasi di kampus yang tidak berpihak pada mahasiswa
- Melawan segala bentuk kebijakan pemerintah reaksioner yang dikuasai oleh diktator bersama borjuis besar dan tuan tanah yang pada hakekatnya boneka imperialis.
- Turut serta dalam pembangunan Ormas Rakyat Indonesia yang berwatak demokratis nasional, sebagai front rakyat anti-imperialis dan anti-feodal dengan aliansi dasar buruh-tani di bawah pimpinan proletariat.
- Berjuang untuk mendapatkan kesempatan yang luas dalam lapangan politik.
3.) Budaya
- Mendorong terciptanya sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat.
- Berjuang mendapatkan kesempatan pendidikan yang terjangkau di setiap level pendidikan bagi seluruh klas tertindas
- Mendukung, memprogandakan, dan mengembangkan kebudayaan patriotik, demokratis, ilmiah dan kerakyatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar