PPC Iklan Blogger Indonesia

Minggu, 02 Januari 2011

PRINSIP-PRINSIP SURABAYA MENGENAI TRANSITIONAL JUSTICE DI INDONESIA (dokumen kerja)


A. KONTEKS

Prinsip-prinsip Surabaya merupakan hasil Lokakarya Nasional Komnas HAM ke VI yang diselenggarakan bekerjasama dengan Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, di Surabaya pada tanggal 21-24 Nopember 2000. Lokakarya dengan tema "Transitional Justice Menentukan Kualitas Demokrasi Indonesia di Masa Depan" diselenggarakan dengan dua subtema utama yaitu "Transitional Justice atas hak-hak sipil dan politik' dan 'Transitional Justice atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya'. Masing-masing subtema dibicarakan dalam tiga (3) sesi.

Untuk sub tema pertama
(A) terdiri dari sesi "Transtional Justice atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan", "Transitional Justice atas Kekerasan Terhadap Perempuan", dan "Transitional Justice atas Diskriminasi Ras, Etnis, dan Agama". Subtema kedua
(B) juga dipanelkan dalam tiga sesi, masing-masing membicarakan ihwal "Transitional Justice atas Hak Keadilan Sosial", "Transitional Justice atas Hak atas Tanah", dan "Transitional Justice atas Hak-Hak Buruh". Hasil dari proses Lokakarya Nasional, yang terdiri dari wakil-wakil pemerintah, termasuk TNI dan kepolisian, lembaga non-pemerintah, dan perguruan tinggi, merumuskan prinsip-prinsip di bawah ini.

Paradigma Transitional Justice yang menjadi kesepakatan peserta adalah redefinisi keadilan dari keadilan distributif menjadi keadilan komutatif. Dalam konsep itu maka keadilan dirumuskan ulang lewat wacana dan kesepakatan bersama. Dalam tataran praktis-oprasional, Transitional Justice merupakan tindakan mewujudkan keadilan di masa transisi atas pelanggaran HAM masa lampau. Keadilan tatap menjadi nilai yang universal dan abadi. Sedangkan yang bertransisi adalah kenyataan-kenyataan kontekstual dan konkrit, yaitu transisi dari rezim otoriter ke rezom demokratik. Pelanggaran HAM yang telah mengakibatkan ketidak-adilan ini bersumber pada hubungan kekuasaan atau relasi sosial yang timpang.

Pelanggaran HAM dapat mencakup pelanggaran hak-hak asasi sipil dan politik dan pelanggaran hak-hak asasi sosial, ekonomi dan budaya. Di satu pihak pembedaan ini, sebagaimana pula disepakati secara internasional di Wina 1993, tidak untuk dipertentangkan. Di pihak lain, upaya perwujudan keadilan untuk perkara-perkara tertentu memiliki kekhususan-kekhususan. Oleh karena itu terdapat prinsip-prinsip transitional justice yang berlaku umum baik bagi pelanggaran HAM sipol maupun ekosok dan, yang berlaku khusus misalnya untuk kekerasan terhadap perempuan atau keadilan sosial.

B. PRINSIP

Tujuh (7) prinsip dasar yang harus melandasi setiap upaya perwujudan keadilan di masa transisi, yaitu:

1. Penghormatan pada martabat manusia yang berpusat dan berpihak pada korban-korban pelanggaran HAM masa lampau.1
2. Peran serta aktif korban pelanggaran HAM baik dalam menentukan mekanisme Transitional Justice maupun merumuskan arti keadilan itu sendiri. Disamping itu, keterlibatan korban merupakan bagian integral dari upaya pemulihan kehidupan korban dan tercegahnya terulangnya kembali peristiwa yang melanggar hak dan martabat manusia.2
3. Adanya pertanggung-jawaban rezim otokratik, baik secara individual para pejabatnya termasuk di dalamnya pemberi perintah atau pelanggaran HAM yang bersifat pembiaran (by ommission), maupun secara institusional dengan tujuan menghindari terjadinya impunitas.3
4. Keterbukaan dimana dapat dimonitor oleh dan dipertang-gungjawabkan secara publik.
5. Pencegahan terulangnya kembali pelanggaran HAM (non-reccurence).4
6. Pengakuan secara terbuka oleh negara dan pelaku akan adanya pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau.
7. Pemulihan kembali hak-hak asasi korban yang telah dirampas.

Disamping prinsip-prinsip dasar ini, terdapat pula prinsip-prinsip yang berlaku khusus atas kejahatan atau pelanggaran hak-hak asasi tertentu, seperti:


a. Secara khusus Transitional Justice harus menghormati kerentanan-kerentanan perempuan yang menjadi korban kekerasan.
b. Segala upaya legal untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan harus menerapkan asas retroaktif.
c. Ketiadaan aturan hukum formil yang menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dapat menjadi alasan untuk membiarkan pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia bebas dari tanggung jawab hukum, moral maupun sosial.
d. Memberlakukan hukum kebiasaan internasional berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
e. Transitional Justice yang menyangkut keadilan sosial harus melandaskan pada prinsip mendahulukan mereka yang tidak beruntung dalam proses pengambilan keputusan; seperti petani, masyarakat adat, nelayan, dan buruh (formal maupun informal) dan secara khusus memberi perhatian lebih pada perempuan dan anak-anak.

C. MEKANISME

Wadah atau mekanisme untuk mewujudkan keadilan dalam masa transisi harus:
1. Mengandung (a) pengungkapan kebenaran (truth) atau kesalahan (wrong); (b) pengakuan dan penyesalan pelaku akan kesalahannya; (c) penghukuman terhadap pelaku; (d) pemulihan hak korban.5
2. Berbentuk mekanisme (a) legal dengan cara pembentukan pengadilan ad-hoc HAM atau memanfaatkan peradilan internasional maupun (b) non-legal dengan komisi-komisi tertentu, baik komisi kebenaran dan rekonsiliasi maupun komisi kebenaran dan keadilan.
3. Berlandaskan pada instrumen hak-hak asasi manusia internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional yang sesuai dengan hak-hak asasi manusia unversal.

Perwujudan keadilan atas perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran-pelanggaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya memerlukan mekanisme tersendiri sebagai berikut:

a. adanya aturan tersendiri bagi perlindungan korban dan saksi dari kekerasan terhadap perempuan;
b. mekanisme pengungkapan kekerasan terhadap perempuan; terutama dalam hal pengambilan kesaksian dan verifikasi mensyaratkan (a) anggota tim adalah perempuan dan peka terhadap kesulitan mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan, (b) tim memiliki wewenagn subpoena dan penyitaan arsip, (c) pengambilan kesaksian dapat dilakukan secara tertulis dalam sidang terbuka maupun tertutup, (d) korban berhak untuk memilih bentuk kesaksian dan (e) korban berhak diwakilkan dalam pemberian kesaksian.
c. perlu pertemuan antara petani, penguasa tanah dan pemerintah mengenai reforma agraria;
d. pembentukan komisi diskriminasi ras, etnis dan agama serta komisi perburuhan.

-000- 19/12/00

REKOMENDASI-REKOMENDASI
LOKAKARYA NASIONAL HAM 2000


Untuk mencapai pemulihan secara penuh dan sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran di masa yang akan datang, maka peserta mengajukan rekomendasi yang juga dilihat sebagai reparasi-reparasi berikut ini:

a. reformasi peraturan perundang-undangan dengan (1) pencabutan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif (60 buah) termasuk pasal 6 (2) dan 26 UUD 1945; dan yang mengabaikan hak-hak buruh (misalnya UU No.21/2000 dam UU No. 25/1997), (2) meratifikasi ICCPR, ICESCR, ILO Convention no. 169 dan Statuta Roma. (3) menyusun undang-undang mengenai anti diskriminasi, perlindungan saksi dan kebebasan atas informasi;
b. menempatkan pemenuhan hak asasi manusia sebagai paradigma pembangunan;
c. mewujudkan dan melindungi HAM melalui human development;
d. merombak sistem neo military fascism;
e. melakukan proteksi terhadap masyarakat marginal;
f. mewajibkan perusahaan mengalokasi dana untuk komunitas-komunitas miskin;
g. meningkatkan akuntabilitas pemerintah;
h. menyelesaikan atau mengusut tuntas kasus-kasus: kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto (kasus-kasus Mei 1998, pembantaian 1965, Aceh, Irian Jaya/Papua dan Marsinah);
i. pembersihan aparat-aparat yang melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia seperti tindakan diskriminasi dan korupsi (sebagai pelanggaran hak-hak sosial ekonomi);
j. moratorium pemberian izin eksploitasi sumber daya alam;
k. pembatasan intervensi negara dalam urusan-urusan agama.

Rekomendasi-rekomendasi lain yang berkenaan dengan Komnas HAM

1. menindaklanjuti lokakarya nasional ini dengan melakukan joint action plan
2. mengadakan 'komisi khusus' yang menangani persoalan kepemilikan sumber daya alam
3. diseminiasi atau sosialisasi hasil-hasil lokakarya nasional
4. bekerjasama dengan berbagai pihak melakukan langkah-langkah konkrit untuk memerangi diskriminasi ras, etnis dan agama.

-000- 19/12/00
1 Dalam konteks perburuhan maka korbannya adalah buruh sedangkan dalam konflik pertanahan korbannya mencakup masy adat, petani dan alam itu sendiri. Dari semua persoalan ini perempuan dan anak-anak mengalami korban berganda.
2 Dalam konteks perburuhan maka korbannya adalah buruh sedangkan dalam konflik pertanahan korbannya mencakup masy adat, petani dan alam itu sendiri. Dari semua persoalan ini perempuan dan anak-anak mengalami korban berganda.
3 Secara individual berarti jelas nama maupun wajah dari pelanggar HAM tersebut. Secara institusional mencakup institusi-institusi negara dan bukan negara yang selama ini menjadi pendukung pelanggaran HAM.
4 Upaya perwujudan keadilan di masa transisi ini harus dilakukan agar kejadian yang sama tidak terulang kembali dan karenanya juga tidak menciptakan ketidak-adilan baru. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya konkrit yang mencegah pelanggaran HAM di masa depan.
5 Misalnya, pengungkapan kebenaran bisa dilakukan dengan cara fact finding dan atau dengan membebaskan adanya penelusuran ulang sejarah. Penghukuman terhadap pelaku tidak harus dilakukan secara legal tapi juga dapat berupa hukuman sosial (dilakukan dengan pengakuan di hadapan publik) maupun administrasi (pemecatan dari jabatan publik). Disamping itu cakupan pemulihan hak korban meliputi pemulihan secara individual maupun secara sosial, dalam bentuk restitusi, rehabilitasi maupun kompensasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!