Kita pun bertanya-tanya, bagaimana proses konsolidasi demokrasi diwujudkan, apabila institusi demokrasi seperti parlemen tak punya agenda yang sama? Dari pemerintah (sebagai eksekutif) pun, kita tak dapat berharap banyak. Presiden Megawati Soekarnoputri belakangan ini sering membuat pernyataan yang berisi dukungan terhadap Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP MPR) untuk melanjutkan amandemen. Namun PDI-P, sebagai 'kepanjangan tangan' pemerintah, tak kunjung mengeluarkan 'statemen tunggal' apakah mendukung sepenuhnya amandemen keempat atau menghentikan sama sekali.
Rapuhnya Konsolidasi Demokrasi di Tanah Air
Oleh : Moh. Samsul Arifin
Menurut Samuel P.Huntington (1991), sebelum 1974 (gelombang kedua demokratisasi), konsolidasi demokrasi selalu sulit dijalankan di sebuah negara yang baru ''membebaskan'' diri dari sistem otoriter. Dalam beberapa kasus, baru elite terbatas yang memimpin demokratisasi dan bahkan mereka tampaknya menghindari reformasi berskala luas, apalagi jika mesti menyentuh konstitusi. Ada petunjuk gelombang demokratisasi dipertahankan dalam level ''demokrasi intensitas rendah''. Ketika demokratisasi menginjak gelombang ketiga, ditandai dengan runtuhnya rezim fasis di Portugal (1974) dan dipertegas oleh transisi demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989. Demokrasi mencatatkan percepatan-percepatan yang dramatis. Pada dekade 1990-an, demokrasi telah menjadi kata kunci dalam bahasa politik di seluruh dunia.
Sebagai wacana, ia kemudian tampil menjadi ciri penting untuk memahami perkembangan politik di sebagian besar belahan dunia.
Sejak 1974, setidaknya tercatat 39 negara (27,5%) yang mengklaim telah menggunakan sistem demokrasi. Pada 1995, 117 negara menyatakan diri mereka sebagai negara demokrasi (51,3% dari 191 negara). Boleh dikata, demokrasi telah menyapu seluruh dunia sejak dari Eropa Selatan hingga Amerika Latin, negara-negara komunis dan sebagian besar Uni Soviet, serta negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia.
Kenyataan tersebut, pada gilirannya meningkatkan tekanan dari kalangan elite, rakyat, dan masyarakat internasional untuk berlangsungnya transisi dari rezim nondemokratis menuju rezim demokratis. Indonesia menginjakkan kaki ke sebuah sistem demokratis baru pada 1998, sehingga membutuhkan stamina tinggi agar demokrasi tersebut dapat dikonsolidasikan pada derajat yang lebih lebar dan luas.
Jalan untuk menuju demokrasi sangat beragam. Namun berdasarkan temuan Juan J.Linz dan Alfred Stepan (2001), yang paling berhasil adalah seperti yang digambarkan dalam ungkapan Spanyol, reforma-pactada ruptura-pactada (reformasi dan pemutusan hubungan dengan masa lalu yang 'dirundingkan'). Model demikian ditemukan dalam kasus Spanyol, dalam beberapa transisi di Amerika Latin (uruguay dan Brazil), dalam perundingan-perundingan meja-bundar di beberapa negara Eropa Timur (Hongaria dan Polandia), serta di Taiwan, dan sebagian di Korea Selatan.
Untuk sebuah negara seperti Indonesi, praktis ruptura-pactada sulit dilakukan. Pertama, struktur elite belum berubah secara signifikan. Masih banyaknya sisa-sisa kekuatan lama yang menjadi ''penumpang'' di antara barisan civil society (ormas keagamaan, dan lain-lain), masyarakat politik (parpol), birokrasi pemerintah, institusi hukum (pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung) serta masyarakat ekonomi (konglomerat) membuat model ini kurang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.
Padahal lima kekuatan itu ditambah dengan supremasi hukum (dalam kerangka Rechsstaat) merupakan syarat bagi demokrasi yang terkonsolidasi.
Kedua, budaya politik bangsa ini yang tak mampu mengenyahkan masa lalu. Dalam terminologi politik rekonsiliasi, seperti didengungkan berungkali oleh mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid hingga Presiden Megawati Soekarnoputri, kekuatan lama seolah mendapat justifikasi untuk turut serta membangun kehidupan demokratis. Ibaratnya, di negeri ini, sisa-sisa kekuatan lama masih diberi ruang untuk mengupayakan kehidupan demokratis, meskipun mereka pada masa lalu (ketika menjadi bagian dari rezim lama) telah menghambat demokrasi itu sendiri.
Proses di Persimpangan
Apabila dua faktor kita komparasikan dengan arus politik di parlemen, di satu sisi, kekuatan reformis tak punya agenda yang sama dalam mengemudikan reformasi. Di sisi lain, sisa-sisa kekuatan lama terus bergerilya memotong agenda-agenda politik kekuatan reformis yang memang kurang mampu dirundingkan tersebut. Maka proses transisi di negeri ini benar-benar ada di persimpangan jalan. Kita boleh membusungkan dada, karena kehidupan politik telah berubah banyak, tetapi kenikmatan itu boleh jadi sekadar oase, karena angin politik yang tak tentu arahnya.
Upaya Gerakan Nurani Parlemen (GNP) yang cukup berhasil dalam mempengaruhi agenda kekuatan reformis di parlemen, khususnya para anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan (FUG), dapat disebut sebagai petunjuk sahih bahwa di dalam institusi tersebut tak punya kesepahaman dalam menentukan skala prioritas untuk menggerakkan demokrasi lebih luas. Kita pun bertanya-tanya, bagaimana proses konsolidasi demokrasi diwujudkan, apabila institusi demokrasi seperti parlemen tak punya agenda yang sama? Dari pemerintah (sebagai eksekutif) pun, kita tak dapat berharap banyak. Presiden Megawati Soekarnoputri belakangan ini sering membuat pernyataan yang berisi dukungan terhadap Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP MPR) untuk melanjutkan amandemen. Namun pernyataan itu terkesan sebagai retorika semata setelah PDI-P, sebagai 'kepanjangan tangan' pemerintah, tak kunjung mengeluarkan 'statemen tunggal' apakah mendukung sepenuhnya amandemen keempat atau menghentikan sama sekali. Yang kita dengar, justru sikap mereka seperti mengambang: ada di posisi mendukung dan menolak sekaligus. Meskipun PAH I BP MPR sedang tur melakukan uji sahih mengenai perubahan UUD 1945 yang mereka rencanakan tak urung proses amandemen diliputi ketidakpastian-ketidakpastian.
Di tengah ketidakpastian itu, rupanya ada upaya dari pihak-pihak tertentu berusaha mencairkan situasi dengan membuat kesepakatan-kesepakatan informal di luar parlemen. Ditilik dari niatnya, apa yang dilakukan itu terbilang positif, meski ada tudingan pertemuan itu justru kontraproduktif, karena berpeluang menciptakan persekongkolan politik di luar agenda-agenda yang yang telah ditetapkan di parlemen.
Dalam sejarah kebebasan politik negeri ini yang baru seumur jagung, pertemuan-pertemuan seperti digalang Amien Rais misalnya, sering ditumpangi agenda-agenda ekstra-parlementer. Poros Tengah contohnya, yang berhasil mengantar KH Abdurrahman Wahid ke kursi presiden merupakan kaukus politik yang dibentuk dari pertemuan informal seperti itu. Peristiwa ini, tercatat sebagai hal paling unik yang justru 'mencederai' logika Pemilihan Umum demokratis 1999. Saat itu pemenang Pemilu (bukan mayoritas politik), PDI-P kandas dalam usahanya merebut RI 1 oleh sebuah kaukus politik jangka pendek yang anehnya dilegitimasi oleh konstitusi negara.
Demikian pula, 'Pertemuan Kebagusan' (di Kediaman Megawati Soekarnoputri Juli 2001) berhasil menyatukan kekuatan politik di parlemen untuk menggusur KH Abdurrahman Wahid dari kursi presiden pada SI MPR 2001. Kita sangat bersyukur jika pertemuan tokoh-tokoh itu, bermaksud menyatukan pendapat mengenai urgensi amandemen UUD 1945 dilanjutkan. Namun, jika pertemuan reguler ini bermuara pada 'persekongkolan', konsolidasi demokrasi di negeri ini akan jauh panggang dari api. Sebab, seperti diwanti-wanti oleh Prof. R. William Liddle (1998), di Indonesia, benih-benih 'demokrasi kaum penjahat' telah ditanamkan, kebanyakan selama periode Soeharto atau sebelumnya, serta beberapa kali sejak era reforrmasi, di ladang-ladang yang subur dan dirawat dengan baik.
'Demokrasi kaum jahat' bukanlah demokrasi yang hakiki. Justru, ia merupakan manipulasi demokrasi oleh segelintir elite untuk menangguk keuntungan di tengah kehausan publik akan demokrasi yang sejati. Pada era Orde Lama, Sukarno memformulasi demokrasi itu sebagai 'Demokrasi Terpimpin'. Di era Orde Baru, ia bernama 'Demokrasi Pancasila'. Dua nama gemerlap yang di tataran empiris mewujud dalam bentuk otoritarianisme.
Penulis, pemerhati masalah sosial-politik. Aktivis Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar