Indonesia yang dahulu dikenal sebagai "Untaian zamrud di Katulistiwa", kini berserakan. Negara Kesatuan Republik Indonesia tercerai berai, bagaikan Uni Soviet, bahkan ada kemungkinan seperti Yugoslavia.
Ibukota Riau bisa dipertahankan, walaupun lebih satu batalyon TNI tewas dalam pertempuran penumpasan gerakan separatis Riau Merdeka di Pakanbaru, 3 Februari 2010. Korban di pihak Riau Merdeka lebih dari 2 batalyon pasukan bersenjata, sedangkan korban di kalangan sipil belum sempat dihitung, namun semua rumah sakit dipenuhi oleh korban pertempuran, sampai di lorong-lorongnya.
Upaya mempertahankan Riau adalah masalah yang sangat kritis bagi Indonesia, setelah Provinsi Irian Jaya berhasil memerdekakan diri pada tahun 2008. Dari laporan resmi Departemen Pertahanan, Gerakan Papua Merdeka mendapat dukungan dana dari Freeport, untuk membeli senjata dan logistik. Sedangkan Provinsi Aceh telah memisahkan diri tahun 2005, setelah konflik bersenjata yang menelan puluhan ribu anggota militer maupun penduduk sipil.
Riau dan Kalimantan Timur adalah ladang minyak, sumber dana Indonesia untuk mempertahankan roda pemerintahan di Jakarta, melalui penjualan di pasar gelap. Indonesia mengalami kesulitan menjual minyaknya, karena hampir semua negara maju melakukan pemboikotan, akibat pemerintah di Jakarta tidak bisa mengendalikan pelanggaran hak asasi manusia di mana-mana. Jika Riau sampai berhasil memisahkan diri, maka Kalimantan Timur juga akan jatuh pula. Ketegangan politik Kalimantan Timur sudah mencapai titik kritis.
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai "Untaian zamrud di Katulistiwa", kini berserakan. Negara Kesatuan Republik Indonesia tercerai berai, bagaikan Uni Soviet, bahkan ada kemungkinan seperti Yugoslavia.
Upaya mempertahankan Riau adalah masalah yang sangat kritis bagi Indonesia, setelah Provinsi Irian Jaya berhasil memerdekakan diri pada tahun 2008. Dari laporan resmi Departemen Pertahanan, Gerakan Papua Merdeka mendapat dukungan dana dari Freeport, untuk membeli senjata dan logistik. Sedangkan Provinsi Aceh telah memisahkan diri tahun 2005, setelah konflik bersenjata yang menelan puluhan ribu anggota militer maupun penduduk sipil.
Riau dan Kalimantan Timur adalah ladang minyak, sumber dana Indonesia untuk mempertahankan roda pemerintahan di Jakarta, melalui penjualan di pasar gelap. Indonesia mengalami kesulitan menjual minyaknya, karena hampir semua negara maju melakukan pemboikotan, akibat pemerintah di Jakarta tidak bisa mengendalikan pelanggaran hak asasi manusia di mana-mana. Jika Riau sampai berhasil memisahkan diri, maka Kalimantan Timur juga akan jatuh pula. Ketegangan politik Kalimantan Timur sudah mencapai titik kritis.
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai "Untaian zamrud di Katulistiwa", kini berserakan. Negara Kesatuan Republik Indonesia tercerai berai, bagaikan Uni Soviet, bahkan ada kemungkinan seperti Yugoslavia.
Beralih menjadi tertutup
Indonesia kini menjadi negara paling labil dan miskin di dunia, dan nomor satu dalam korupsi, yang pemerintahnya menerapkan kebijakan politik yang tertutup. UU Pers 40/1999 dicabut dan diganti dengan UU Pers baru yang menutup kemerdekaan pers. Semua pers yang masih terbit di bawah kontrol yang ketat oleh pemerintah, bahkan para aparat pemerintah tidak segan-segan melakukan sensor langsung di kantor-kantor koran di Indonesia. Radio dan televisi, baik milik pemerintah maupun swasta, hanya menjadi media propaganda pemerintah. Bahkan Internet Service Provider dikontrol pula, sehingga arus informasi via internet pun bisa dideteksi oleh pemerintah.
Indonesia menjadi negara tertutup, setelah terjadinya kudeta berdarah yang dilakukan oleh pihak militer tujuh tahun lalu. Presiden Abdurrahman Wahib ditembak saat melakukan shalat Iedul Fitri, oleh aktivis Muslim fundamentalis, yang disusul kekacauan dan mendorong militer melakukan kudeta. Kejadian ini mengingatkan peristiwa gugurnya Mahatma Gandhi di India yang gugur dibunuh oleh pengikut Hindu yang ekstrem. Gabungan kekuatan militer dan Muslim fundamentalis ini melakukan operasi sapu bersih terhadap lawan-lawan politiknya, dan belasan ribu ulama di kalangan NU dibunuh, bahkan banyak orang yang memperkirakan korban dari kalangan NU mencapai puluhan ribu orang. Pembantaian para ulama seperti ini pernah dilakukan Amangkurat I, pada masa Kerajaan Mataram.
Alasan resmi yang diungkapkan rezim militer adalah Indonesia perlu diselamatkan dari disintegrasi, karena Presiden Abdurrahman Wahid terlalu membuka kebebasan masyarakat. Tiada hari tanpa demonstrasi di seluruh kota besar di Indonesia, di antaranya adalah makin menggejalanya tuntutan untuk memisahkan diri. Kelompok-kelompok ini terkadang dilengkapi oleh kekuatan bersenjata, dan di antaranya dianggap mengganggu keamanan penduduk. Seringkali terjadi kerusuhan yang sudah tidak bisa diatasi oleh polisi, sehingga militer perlu diturunkan. Hal ini mengakibatkan kalangan militer jengkel, karena mereka merasa dianggap sebagai pemadam kebakaran saja. Kejengkelan militer ini pernah terjadi pada akhir tahun 1950-an, sehingga Jenderal Nasution memperkenalkan konsep dwi fungsi ABRI.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid memang mengalami kesulitan di dalam memperbaiki ekonomi Indonesia, karena keadaan ekonomi peninggalan Orde Baru sudah sedemikian parahnya. Jumlah orang miskin "baru" akibat PHK, membuat kelompok masyarakat yang resah, dan secara sporadis menimbulkan kekacauan yang makin memperparah ekonomi masyarakat.
Salah satu penyebab kelemahan pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah karena perhatiannya terpecah akibat retaknya partai-partai poros tengah yang pernah mendukungnya, sehingga sebagian konsentrasinya dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuatan pendukungnya, terhadap ancaman mosi tidak percaya dari sebagian anggota DPR, walaupun ancaman itu belum resmi suara partai-partai anggota DPR tersebut, dan belum sampai ke tingkat MPR.
Indonesia menjadi negara tertutup, setelah terjadinya kudeta berdarah yang dilakukan oleh pihak militer tujuh tahun lalu. Presiden Abdurrahman Wahib ditembak saat melakukan shalat Iedul Fitri, oleh aktivis Muslim fundamentalis, yang disusul kekacauan dan mendorong militer melakukan kudeta. Kejadian ini mengingatkan peristiwa gugurnya Mahatma Gandhi di India yang gugur dibunuh oleh pengikut Hindu yang ekstrem. Gabungan kekuatan militer dan Muslim fundamentalis ini melakukan operasi sapu bersih terhadap lawan-lawan politiknya, dan belasan ribu ulama di kalangan NU dibunuh, bahkan banyak orang yang memperkirakan korban dari kalangan NU mencapai puluhan ribu orang. Pembantaian para ulama seperti ini pernah dilakukan Amangkurat I, pada masa Kerajaan Mataram.
Alasan resmi yang diungkapkan rezim militer adalah Indonesia perlu diselamatkan dari disintegrasi, karena Presiden Abdurrahman Wahid terlalu membuka kebebasan masyarakat. Tiada hari tanpa demonstrasi di seluruh kota besar di Indonesia, di antaranya adalah makin menggejalanya tuntutan untuk memisahkan diri. Kelompok-kelompok ini terkadang dilengkapi oleh kekuatan bersenjata, dan di antaranya dianggap mengganggu keamanan penduduk. Seringkali terjadi kerusuhan yang sudah tidak bisa diatasi oleh polisi, sehingga militer perlu diturunkan. Hal ini mengakibatkan kalangan militer jengkel, karena mereka merasa dianggap sebagai pemadam kebakaran saja. Kejengkelan militer ini pernah terjadi pada akhir tahun 1950-an, sehingga Jenderal Nasution memperkenalkan konsep dwi fungsi ABRI.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid memang mengalami kesulitan di dalam memperbaiki ekonomi Indonesia, karena keadaan ekonomi peninggalan Orde Baru sudah sedemikian parahnya. Jumlah orang miskin "baru" akibat PHK, membuat kelompok masyarakat yang resah, dan secara sporadis menimbulkan kekacauan yang makin memperparah ekonomi masyarakat.
Salah satu penyebab kelemahan pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah karena perhatiannya terpecah akibat retaknya partai-partai poros tengah yang pernah mendukungnya, sehingga sebagian konsentrasinya dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuatan pendukungnya, terhadap ancaman mosi tidak percaya dari sebagian anggota DPR, walaupun ancaman itu belum resmi suara partai-partai anggota DPR tersebut, dan belum sampai ke tingkat MPR.
Kudeta kontra kudeta
Kudeta yang terjadi tahun 2003 itu ternyata mengundang kudeta lainnya pada tahun 2007, sehingga pemerintahan Jakarta tidak bisa berbuat apa-apa ketika Gerakan Papua Merdeka memproklamasikan Irian Jaya menjadi Papua Merdeka tahun 2008. Perhatian pemerintahan Jakarta terpusat pada memenangkan pertempuran di kota-kota besar lainnya, untuk menumpas rezim militer lama.
Sejak tahun 2007, pemerintah Jakarta melakukan kebijakan yang tertutup dan represif. Hampir tiap hari pengadilan mengadili para aktivis dari kampus dan lembaga swadaya masyarakat, dan mereka biasanya dijatuhi hukuman penjara yang lama. Secara terang-terangan pemerintah melakukan intervensi kepada pengadilan, dan menekan pers untuk memburuk-burukkan nama para aktivis tersebut. Banyak LSM bubar, sebagian karena pemimpinnya masuk penjara, dan sebagian lainnya karena ketakutan. LBH memang tidak dilarang, tapi tak satupun kasus yang dibelanya bisa dimenangkan. LBH dipertahankan hanya sebagai etalase bagi orang luar negeri, bahwa di Indonesia masih ada supremasi hukum.
Kebijakan politik pemerintah yang represif ini mematikan partisipasi rakyat. Masyarakat berada dalam ketakutan dan apatis. Gairah masyarakat untuk melakukan inisiatif dalam bidang apa pun nyaris tidak ada, karena jika inisiatif itu membuat rezim militer tidak berkenan, maka nasib buruk akan menimpa para inisiatornya. Masyarakat menunggu tuntunan pemerintah. Aparat di bawah menunggu perintah atasannya, demikian seterusnya.
Tingkat pelanggaran terhadap hak asasi manusia baik yang berat maupun ringan sudah tidak terhitung lagi, tapi tidak bisa diketahui umum. Tak satupun media yang berani menyiarkan. Sejak 2003, setelah kudeta berdarah penggulingan pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah 500 media cetak dilarang terbit, dan lebih dari seratus orang wartawan meninggal setelah dianiaya, dan 200 wartawan masih berada dalam penjara.
Sejak tahun 2007, pemerintah Jakarta melakukan kebijakan yang tertutup dan represif. Hampir tiap hari pengadilan mengadili para aktivis dari kampus dan lembaga swadaya masyarakat, dan mereka biasanya dijatuhi hukuman penjara yang lama. Secara terang-terangan pemerintah melakukan intervensi kepada pengadilan, dan menekan pers untuk memburuk-burukkan nama para aktivis tersebut. Banyak LSM bubar, sebagian karena pemimpinnya masuk penjara, dan sebagian lainnya karena ketakutan. LBH memang tidak dilarang, tapi tak satupun kasus yang dibelanya bisa dimenangkan. LBH dipertahankan hanya sebagai etalase bagi orang luar negeri, bahwa di Indonesia masih ada supremasi hukum.
Kebijakan politik pemerintah yang represif ini mematikan partisipasi rakyat. Masyarakat berada dalam ketakutan dan apatis. Gairah masyarakat untuk melakukan inisiatif dalam bidang apa pun nyaris tidak ada, karena jika inisiatif itu membuat rezim militer tidak berkenan, maka nasib buruk akan menimpa para inisiatornya. Masyarakat menunggu tuntunan pemerintah. Aparat di bawah menunggu perintah atasannya, demikian seterusnya.
Tingkat pelanggaran terhadap hak asasi manusia baik yang berat maupun ringan sudah tidak terhitung lagi, tapi tidak bisa diketahui umum. Tak satupun media yang berani menyiarkan. Sejak 2003, setelah kudeta berdarah penggulingan pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah 500 media cetak dilarang terbit, dan lebih dari seratus orang wartawan meninggal setelah dianiaya, dan 200 wartawan masih berada dalam penjara.
Kemiskinan merajalela
Dampak kebijakan politik represif ini membuat Indonesia dikucilkan dari pergaulan dunia. Nyaris tak satupun investor masuk ke Indonesia, kecuali investor yang hanya mau menghisap kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran dirinya. Jakarta Stock Exchange tinggal cerita. Pabrik yang bangkrut tak terhitung lagi. Kemiskinan merajalela di seluruh pelosok Indonesia. Yang menyedihkan Indonesia tidak bisa utang lagi, selain tidak dipercaya karena tidak mampu mencicil, juga karena pelanggaran HAM di Indonesia. Industri turisme lumpuh total, banyak hotel-hotel mewah berubah menjadi "rumah hantu".
Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan beras murah. Pemerintah mewajibkan para petani menanam padi, walaupun sesungguhnya tanaman palawija atau tanaman lain lebih menguntungkan. Suplai beras yang dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan dengan sangat drastis, mendorong Departemen Pertanian mewajibkan kepada setiap petani yang memiliki tanah di atas 0,5 hektar untuk menanam padi dengan varietas yang ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan ini menimbulkan protes petani Sulawesi Selatan karena mereka tidak dapat menanam komoditas sawit yang merupakan unggulan Sulawesi Selatan. Akan tetapi, protes ini kemudian berhasil dipatahkan oleh kehadiran satu kompi pasukan anti huru hara yang didatangkan dari Makassar.
Kebijakan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan. Oleh karena produksi beras dalam negeri tidak mencukupi, pemerintah mendatangkan beras dari luar negeri, dan menukarnya dengan minyak dan gas bumi, dan menjualnya dengan harga murah, separoh dari harga beras di pasar internasional. Petani tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menjual berasnya sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah. Mereka tidak bisa mengekspor berasnya, karena dituduh sebagai orang yang tidak cinta tanah air.
PLN, PDAM dan Telkom mengalami kerugian yang luar biasa, karena harganya dipatok sangat rendah. Untuk menghindari kerugian yang terlalu besar maka PLN sering melakukan pemadaman listrik, dan PDAM dengan sengaja memacetkan saluran air. Sebagai kompensasi, pemerintah diam-diam selalu mencetak uang baru, sehingga uang yang beredar bertambah banyak, dan melambunglah inflasi.
Kehausan pemerintah akan devisa untuk membiayai belanja rutin dan penumpasan pemberontakan, membuat pemerintah mengeksploitasi hutan secara habis-habisan. Kekayaan hutan di beberapa pulau di Indonesia telah diserahkan pegelolaannya kepada perusahaan negara untuk dieksploitasi. Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir penerimaan negara dari eksploitasi tersebut mencapai milyaran dollar AS. Kebijakan ini telah menimbulkan berbagai konflik antara perusahaan negara pemegang HPH dengan penduduk lokal yang memang merasa bahwa sumber daya hutan tersebut merupakan miliknya. Bahkan, di beberapa lokasi penebangan hutan telah terjadi pembakaran beberapa bangunan tempat beroperasinya perusahaan negara tersebut. Isu ini kemudian telah menyebarkan kebencian penduduk lokal terhadap pemegang HPH yang didukung dan difasilitasi oleh pemerintah pusat.
Di provinsi lain konflik terjadi akibat adanya penambangan secara besar-besaran oleh beberapa perusahaan asing patungan dengan BUMN yang mengeksploitasi tambang batubara di beberapa kepulauan kecil di sekitar Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Di Samarainda dikabarkan penduduk lokal telah melakukan demonstrasi di kantor Gubernur yang menuntut pelarangan perusahaan yang dikelola oleh pemilik perusahaan yang bukan putra daerah.
Kemiskinan ini disertai dengan kekurangan gizi bagi para anak-anak balita. Jarang sekali koran memuat kematian anak-anak balita akibat kelaparan atau kekurangan gizi, karena terlalu seringnya peristiwa itu sehingga dianggap tidak layak muat. Dalam pada itu para pejabat pemerintah hidup dalam kemewahan yang luar biasa, karena memperoleh dukungan dari para pemimpin proyek yang memperoleh monopoli.
Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan beras murah. Pemerintah mewajibkan para petani menanam padi, walaupun sesungguhnya tanaman palawija atau tanaman lain lebih menguntungkan. Suplai beras yang dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan dengan sangat drastis, mendorong Departemen Pertanian mewajibkan kepada setiap petani yang memiliki tanah di atas 0,5 hektar untuk menanam padi dengan varietas yang ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan ini menimbulkan protes petani Sulawesi Selatan karena mereka tidak dapat menanam komoditas sawit yang merupakan unggulan Sulawesi Selatan. Akan tetapi, protes ini kemudian berhasil dipatahkan oleh kehadiran satu kompi pasukan anti huru hara yang didatangkan dari Makassar.
Kebijakan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan. Oleh karena produksi beras dalam negeri tidak mencukupi, pemerintah mendatangkan beras dari luar negeri, dan menukarnya dengan minyak dan gas bumi, dan menjualnya dengan harga murah, separoh dari harga beras di pasar internasional. Petani tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menjual berasnya sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah. Mereka tidak bisa mengekspor berasnya, karena dituduh sebagai orang yang tidak cinta tanah air.
PLN, PDAM dan Telkom mengalami kerugian yang luar biasa, karena harganya dipatok sangat rendah. Untuk menghindari kerugian yang terlalu besar maka PLN sering melakukan pemadaman listrik, dan PDAM dengan sengaja memacetkan saluran air. Sebagai kompensasi, pemerintah diam-diam selalu mencetak uang baru, sehingga uang yang beredar bertambah banyak, dan melambunglah inflasi.
Kehausan pemerintah akan devisa untuk membiayai belanja rutin dan penumpasan pemberontakan, membuat pemerintah mengeksploitasi hutan secara habis-habisan. Kekayaan hutan di beberapa pulau di Indonesia telah diserahkan pegelolaannya kepada perusahaan negara untuk dieksploitasi. Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir penerimaan negara dari eksploitasi tersebut mencapai milyaran dollar AS. Kebijakan ini telah menimbulkan berbagai konflik antara perusahaan negara pemegang HPH dengan penduduk lokal yang memang merasa bahwa sumber daya hutan tersebut merupakan miliknya. Bahkan, di beberapa lokasi penebangan hutan telah terjadi pembakaran beberapa bangunan tempat beroperasinya perusahaan negara tersebut. Isu ini kemudian telah menyebarkan kebencian penduduk lokal terhadap pemegang HPH yang didukung dan difasilitasi oleh pemerintah pusat.
Di provinsi lain konflik terjadi akibat adanya penambangan secara besar-besaran oleh beberapa perusahaan asing patungan dengan BUMN yang mengeksploitasi tambang batubara di beberapa kepulauan kecil di sekitar Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Di Samarainda dikabarkan penduduk lokal telah melakukan demonstrasi di kantor Gubernur yang menuntut pelarangan perusahaan yang dikelola oleh pemilik perusahaan yang bukan putra daerah.
Kemiskinan ini disertai dengan kekurangan gizi bagi para anak-anak balita. Jarang sekali koran memuat kematian anak-anak balita akibat kelaparan atau kekurangan gizi, karena terlalu seringnya peristiwa itu sehingga dianggap tidak layak muat. Dalam pada itu para pejabat pemerintah hidup dalam kemewahan yang luar biasa, karena memperoleh dukungan dari para pemimpin proyek yang memperoleh monopoli.
Suasana tidak aman
Kemiskinan yang demikian parah mengakibatkan kriminalitas makin meningkat. Ibu-ibu di perdesaan hati-hati jika menanak nasi. Mereka menjaganya dengan cermat, karena jika mereka lengah, ada kemungkinan nasi yang ditanaknya diambil oleh tetangganya. Pencurian buah pisang, ketela pohon, ikan di kolam, sudah tidak terhitung lagi.
Yang lebih mengerikan adalah di kota-kota besar. Tidak jarang belanjaan ibu-ibu dirampas orang. Terkadang ibu-ibu itu menyerahkannya dengan rasa takut. Terkadang ada yang berani melawan, dan orang itu malah memukulinya, atau sebaliknya orang-orang di sekitarnya menangkap perampas belanjaan itu dan kemudian membakar perampas itu hidup-hidup.
Kelompok pedagang keturunan Tionghoa selalu merogoh kantungnya untuk membayar preman untuk menjaga keamanan toko dan diri keluarganya, tapi terkadang mereka menjadi korban penjarahan. Kebencian terhadap pedagang Tionghoa ini bukan hanya dipicu oleh kesenjangan kaya-miskin, tetapi sudah menjadi kebencian ras.
Korban akibat primordialisme terjadi di mana-mana. Orang Madura di Sambas nekat, walaupun mereka kalah dalam jumlah tapi tetap melawan, karena tidak ada tempat untuk lari lagi. Ambon yang terobek oleh konflik agama pada tahun 1998, masih terus berlanjut hingga kini. Program Keluarga Berencana berhasil karena tingkat pertumbuhan turun menjadi 1,8% per tahun, karena korban kerusuhan atau kelaparan.
Seminggu yang lalu, 27 Januari 2010, kakek Amat dari Losari bertekuk lutut di kuburan cucunya yang tewas akibat tawuran antara Losari Jawa Tengah dengan Losari Jawa Barat. Ia adalah orang tua yang masih mengingat dongeng dari leluhurnya, bahwa Losari Jawa Tengah dan Jawa Barat dahulu berasal dari satu kabuyutan. Tak terbayangkan olehnya, bahwa satu kabuyutan yang dipisahkan oleh batas provinsi saling bunuh membunuh, hanya karena salah seorang pemuda tidak dipinjami gitar.
Yang lebih mengerikan adalah di kota-kota besar. Tidak jarang belanjaan ibu-ibu dirampas orang. Terkadang ibu-ibu itu menyerahkannya dengan rasa takut. Terkadang ada yang berani melawan, dan orang itu malah memukulinya, atau sebaliknya orang-orang di sekitarnya menangkap perampas belanjaan itu dan kemudian membakar perampas itu hidup-hidup.
Kelompok pedagang keturunan Tionghoa selalu merogoh kantungnya untuk membayar preman untuk menjaga keamanan toko dan diri keluarganya, tapi terkadang mereka menjadi korban penjarahan. Kebencian terhadap pedagang Tionghoa ini bukan hanya dipicu oleh kesenjangan kaya-miskin, tetapi sudah menjadi kebencian ras.
Korban akibat primordialisme terjadi di mana-mana. Orang Madura di Sambas nekat, walaupun mereka kalah dalam jumlah tapi tetap melawan, karena tidak ada tempat untuk lari lagi. Ambon yang terobek oleh konflik agama pada tahun 1998, masih terus berlanjut hingga kini. Program Keluarga Berencana berhasil karena tingkat pertumbuhan turun menjadi 1,8% per tahun, karena korban kerusuhan atau kelaparan.
Seminggu yang lalu, 27 Januari 2010, kakek Amat dari Losari bertekuk lutut di kuburan cucunya yang tewas akibat tawuran antara Losari Jawa Tengah dengan Losari Jawa Barat. Ia adalah orang tua yang masih mengingat dongeng dari leluhurnya, bahwa Losari Jawa Tengah dan Jawa Barat dahulu berasal dari satu kabuyutan. Tak terbayangkan olehnya, bahwa satu kabuyutan yang dipisahkan oleh batas provinsi saling bunuh membunuh, hanya karena salah seorang pemuda tidak dipinjami gitar.
Skenario 2
Riak Tangis di Nusa Damai
Pandangan-pandangan yang semula inklusif dan terbuka, pelan-pelan berganti menjadi tertutup. Para pembantunya menciptakan peraturan perundangan yang membuat sistem politik yang tertutup. Pemerintah menyerahkan kebijakan ekonomi kepada para pelakunya, atau dipandang dari sisi lain, para pengusaha mendikte pemerintah untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kepentingan pengusaha.
Presiden Republik Indonesia meresmikan kawasan industri di pinggir kota Pakanbaru, Riau, pertengahan bulan Maret 2010, dengan penjagaan yang sangat ketat, dan aturan protokoler yang kaku. Hal ini dikarenakan sebulan yang lalu terjadi kerusuhan sosial di tengah kota Pakanbaru. Menurut ahli ekonomi dan ahli sosiologi, kerusuhan itu disebabkan oleh kecemburuan sosial, antara suku Jawa dengan suku Melayu. Jurang antara kaya dan miskin sangat lebar.
Riau yang semula merupakan salah satu provinsi termiskin pada zaman rezim Orde Baru, menjadi provinsi yang kaya raya, sejak otonomi daerah dan pembagian keuangan daerah dengan pusat diberlakukan oleh Pemerintahan Gus Dur, tahun 2001. Provinsi kaya lainnya adalah Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Selatan, dan Irian Jaya.
Para pejabat Riau menjadi orang-orang kaya yang luar biasa, gaya hidup mereka bagaikan raja-raja minyak Timur Tengah. Dengan kekayaannya itu, mereka bisa merekrut para ahli dari P. Jawa dengan mudahnya. Begitu melihat 'gula', tanpa disuruh banyak penduduk Jawa mencari nafkah di Riau. Mereka adalah pekerja keras, ulet, dan taat pada atasan, dengan demikian mereka disenangi oleh para pejabat Riau, yang kemudian membuat suku Jawa menjadi kelas menengah yang kuat di Riau. Sementara itu masyarakat Riau yang merasa kaya, kalah keras dan ulet dalam bekerja, sehingga mereka tertinggal oleh suku Jawa. Keadaan inilah yang membuat kerusuhan di Pakanbaru.
Kerugian akibat kerusuhan itu sangat mahal, nyaris mencapai satu triliun rupiah, dan yang sangat pahit adalah jumlah korban jiwa yang mencapai 15 orang tewas. Kerusuhan segera bisa diatasi oleh tindakan represif militer. Para pemimpin dari kelompok yang bertikai ditangkap, dan pers membela tindakan militer.
Kerusuhan-kerusuhan seperti ini sering sekali terjadi di seluruh pelosok Nusantara, dengan berbagai macam alasan, antara lain karena jurang kaya-miskin, konflik antaragama seperti di Ambon dan sekitarnya yang belum reda, walaupun telah lebih dari 10 tahun, maupun konflik antar suku dan golongan. Penyebab utama kerusuhan itu pada umumnya karena setiap kelompok merasa benar sendiri. Namun kerusuhan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena segera ditindas oleh kekuatan militer.
Riau yang semula merupakan salah satu provinsi termiskin pada zaman rezim Orde Baru, menjadi provinsi yang kaya raya, sejak otonomi daerah dan pembagian keuangan daerah dengan pusat diberlakukan oleh Pemerintahan Gus Dur, tahun 2001. Provinsi kaya lainnya adalah Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Selatan, dan Irian Jaya.
Para pejabat Riau menjadi orang-orang kaya yang luar biasa, gaya hidup mereka bagaikan raja-raja minyak Timur Tengah. Dengan kekayaannya itu, mereka bisa merekrut para ahli dari P. Jawa dengan mudahnya. Begitu melihat 'gula', tanpa disuruh banyak penduduk Jawa mencari nafkah di Riau. Mereka adalah pekerja keras, ulet, dan taat pada atasan, dengan demikian mereka disenangi oleh para pejabat Riau, yang kemudian membuat suku Jawa menjadi kelas menengah yang kuat di Riau. Sementara itu masyarakat Riau yang merasa kaya, kalah keras dan ulet dalam bekerja, sehingga mereka tertinggal oleh suku Jawa. Keadaan inilah yang membuat kerusuhan di Pakanbaru.
Kerugian akibat kerusuhan itu sangat mahal, nyaris mencapai satu triliun rupiah, dan yang sangat pahit adalah jumlah korban jiwa yang mencapai 15 orang tewas. Kerusuhan segera bisa diatasi oleh tindakan represif militer. Para pemimpin dari kelompok yang bertikai ditangkap, dan pers membela tindakan militer.
Kerusuhan-kerusuhan seperti ini sering sekali terjadi di seluruh pelosok Nusantara, dengan berbagai macam alasan, antara lain karena jurang kaya-miskin, konflik antaragama seperti di Ambon dan sekitarnya yang belum reda, walaupun telah lebih dari 10 tahun, maupun konflik antar suku dan golongan. Penyebab utama kerusuhan itu pada umumnya karena setiap kelompok merasa benar sendiri. Namun kerusuhan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena segera ditindas oleh kekuatan militer.
Mengurangi kemerdekaan pers
Kekuatan militer kembali berkuasa, karena para politisi pada saat pemerintahan Gus Dur berkesimpulan bahwa keterbukaan yang diberikan pemerintah hanya membawa kebisingan yang tidak produktif. Semua orang merasa ahli dan merasa benar. Mereka memperjuangkan gagasannya, bukan hanya melalui polemik terbuka, tapi lebih sering dengan mengerahkan kekuatan massa untuk demonstrasi.
Kemerdekaan pers pun digunakan secara liar. Memang ada koran-koran yang profesional, tapi yang banyak adalah koran yang mencari sensasi. Koran-koran sensasi ini dilengkapi dengan wartawan yang suka memelintir berita, sehingga informasi yang beredar tidak akurat dan tidak lengkap. Yang merepotkan adalah, informasi yang rendah mutunya itu terkadang dipakai landasan untuk mengambil keputusan. Akibatnya keadaan menjadi tambah runyam.
Berkali-kali Gus Dur mengritik pers dan memintanya agar meningkatkan profesionalismenya. Namun, Gus Dur tidak mengambil tindakan walau namanya dicemarkan, dengan alasan pers sedang belajar, wajar kalau ada yang kurang benar dan kurang baik. Tanpa kemerdekaan bukan hanya partisipasi rakyat tidak bisa dikembangkan, tapi juga mengancam penegakkan hak asasi manusia.
Gus Dur yang kampiun demokrasi sebelum menjadi presiden masih bersikap toleran, tetapi sebagian menteri dan pengusaha swasta tidak sabar. Oleh karena merasa kesal mereka akhirnya menuntut pers ke pengadilan dengan menggunakan pasal-pasal KUHP. Satu persatu penerbit diajukan ke pengadilan dengan ancaman hukuman kurungan, dan denda ganti rugi yang besar sekali.
Beberapa penerbit mulai jera, sebagian lagi menuntut KUHP dicabut dan diganti, sedangkan para pejabat selalu menggunakan KUHP sebagai perisainya. Lama kelamaan para penerbit mengendalikan wartawannya untuk lebih berhati-hati. Akibatnya suara kritis tidak terdengar terlalu keras, para editor diminta oleh penerbitnya untuk memilih kata-kata yang pantas dalam melakukan kritik. Bahasa media semakin halus, eufimisme kembali menjadi mode.
Tindakan ini digunakan para pengusaha dan pejabat untuk menekan pers lebih jauh, sambil memperlambat proses penggantian KUHP. Beberapa koran bangkrut, demikian pula radio dan station televisi swasta, karena dituntut ganti rugi akibat pencemaran nama baik, dan dipailitkan. Ada juga yang dituduh melanggar kesusilaan karena memuat cerita atau gambar yang dianggap pornografi. Pengusaha dan birokrat mendorong kekuatan agama di kampus-kampus untuk melakukan demonstrasi, dan menuntut majalah atau koran yang dianggap menyebarkan pornografi.
Kemerdekaan pers pun digunakan secara liar. Memang ada koran-koran yang profesional, tapi yang banyak adalah koran yang mencari sensasi. Koran-koran sensasi ini dilengkapi dengan wartawan yang suka memelintir berita, sehingga informasi yang beredar tidak akurat dan tidak lengkap. Yang merepotkan adalah, informasi yang rendah mutunya itu terkadang dipakai landasan untuk mengambil keputusan. Akibatnya keadaan menjadi tambah runyam.
Berkali-kali Gus Dur mengritik pers dan memintanya agar meningkatkan profesionalismenya. Namun, Gus Dur tidak mengambil tindakan walau namanya dicemarkan, dengan alasan pers sedang belajar, wajar kalau ada yang kurang benar dan kurang baik. Tanpa kemerdekaan bukan hanya partisipasi rakyat tidak bisa dikembangkan, tapi juga mengancam penegakkan hak asasi manusia.
Gus Dur yang kampiun demokrasi sebelum menjadi presiden masih bersikap toleran, tetapi sebagian menteri dan pengusaha swasta tidak sabar. Oleh karena merasa kesal mereka akhirnya menuntut pers ke pengadilan dengan menggunakan pasal-pasal KUHP. Satu persatu penerbit diajukan ke pengadilan dengan ancaman hukuman kurungan, dan denda ganti rugi yang besar sekali.
Beberapa penerbit mulai jera, sebagian lagi menuntut KUHP dicabut dan diganti, sedangkan para pejabat selalu menggunakan KUHP sebagai perisainya. Lama kelamaan para penerbit mengendalikan wartawannya untuk lebih berhati-hati. Akibatnya suara kritis tidak terdengar terlalu keras, para editor diminta oleh penerbitnya untuk memilih kata-kata yang pantas dalam melakukan kritik. Bahasa media semakin halus, eufimisme kembali menjadi mode.
Tindakan ini digunakan para pengusaha dan pejabat untuk menekan pers lebih jauh, sambil memperlambat proses penggantian KUHP. Beberapa koran bangkrut, demikian pula radio dan station televisi swasta, karena dituntut ganti rugi akibat pencemaran nama baik, dan dipailitkan. Ada juga yang dituduh melanggar kesusilaan karena memuat cerita atau gambar yang dianggap pornografi. Pengusaha dan birokrat mendorong kekuatan agama di kampus-kampus untuk melakukan demonstrasi, dan menuntut majalah atau koran yang dianggap menyebarkan pornografi.
Kestabilan untuk Pertumbuhan
Hasil pengadilan yang menyudutkan pers, digunakan para pengusaha dan pejabat untuk lebih menekan kemerdekaan pers. Alasan klise muncul lagi, yaitu budaya Indonesia tidak sama atau belum sama dengan budaya negara-negara Barat, sehingga pelaksanaan kemerdekaan pers membuat ketidakstabilan. Jika hal itu dilanjutkan terus, maka proses pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan dengan baik, padahal masyarakat miskin memerlukan perbaikan ekonomi sesegera mungkin.
Kalangan pengusaha dan birokrat menawarkan trade off, yaitu meminta pemerintah untuk mengurangi intervensi di bidang ekonomi, agar pertumbuhan bisa dipacu lebih cepat. Dan agar pembangunan ekonomi tidak terganggu, maka kemerdekaan pers dikurangi, agar tidak menimbulkan ketidakstabilan.
Dunia media massa makin kecut, ada satu dua media yang berusaha mempertahankan idealismenya, tapi dengan mudah dipatahkan oleh negosiasi pengusaha pemasang iklan dengan penerbit. Ujungnya UU no 40/1999 tentang Pers direvisi, dengan memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk "sedikit" membina profesionalismenya.
Begitu pers bisa dijinakkan, maka kritik dan kecaman kepada pemerintah makin jarang terdengar, dan sebagai gantinya adalah puji-pujian kepada Presiden. Gus Dur dikultuskan sebagai juru selamat bangsa. Ia adalah orang suci, wali, yang jauh dari kesalahan. Semua menteri mulai mencium tangannya bila bersalaman, bahkan yang mengejutkan Ketua MPR Prof. Dr. Amien Rais pun mencium tangan Gus Dur.
Kalangan pengusaha dan birokrat menawarkan trade off, yaitu meminta pemerintah untuk mengurangi intervensi di bidang ekonomi, agar pertumbuhan bisa dipacu lebih cepat. Dan agar pembangunan ekonomi tidak terganggu, maka kemerdekaan pers dikurangi, agar tidak menimbulkan ketidakstabilan.
Dunia media massa makin kecut, ada satu dua media yang berusaha mempertahankan idealismenya, tapi dengan mudah dipatahkan oleh negosiasi pengusaha pemasang iklan dengan penerbit. Ujungnya UU no 40/1999 tentang Pers direvisi, dengan memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk "sedikit" membina profesionalismenya.
Begitu pers bisa dijinakkan, maka kritik dan kecaman kepada pemerintah makin jarang terdengar, dan sebagai gantinya adalah puji-pujian kepada Presiden. Gus Dur dikultuskan sebagai juru selamat bangsa. Ia adalah orang suci, wali, yang jauh dari kesalahan. Semua menteri mulai mencium tangannya bila bersalaman, bahkan yang mengejutkan Ketua MPR Prof. Dr. Amien Rais pun mencium tangan Gus Dur.
Ekonomi makin membaik
Puja-puji kepada Gus Dur semakin memuncak, dan tahun 2004 ia maju menjadi Presiden, dan terpilih. Pandangan-pandangannya yang inklusif dan terbuka, pelan-pelan berganti menjadi tertutup. Para pembantunya menciptakan peraturan perundangan yang membuat sistem politik yang tertutup. Pemerintah menyerahkan kebijakan ekonomi kepada para pelakunya, atau dipandang dari sisi lain, para pengusaha mendikte pemerintah untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kepentingan pengusaha.
Di sisi lain, ekonomi Indonesia makin membaik. Pertumbuhan antara tahun 2000-2003 mencapai 5%, dengan tingkat inflasi 4%. Nilai dolar AS relatif stabil, yaitu Rp6.000,-. Indek Harga Saham Gabungan mencapai 1100. Investasi langsung berdatangan. Pendapatan per kapita melonjak sampai US$1500. Indonesia dianggap sebagai mukjizat ekonomi dunia.
Para pengusaha dan pejabat berkolusi dengan baik, dan tidak didengar rakyat, karena media tak menyiarkannya. Segala kritik diterbangkan angin lalu. Jika produk yang dihasilkan kurang bisa bersaing, maka untuk mendongkraknya diciptakan peraturan yang menguras sumber daya alam, dan kontrol terhadap teknologi yang tidak ramah lingkungan dikendorkan. Akibatnya pencemaran lingkungan terjadi di mana-mana. Untuk meningkatkan keunggulan komparatif, maka pengusaha dibantu pejabat mempromosikan tenaga kerja murah, sehingga produk Indonesia bisa dijual lebih murah daripada pesaingnya di pasar internasional. Inilah efisiensi yang paling mudah dilaksanakan.
Kritik luar negeri terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan menggaji buruh secara murah, dengan mudah dibantah, bahwa gaji itu sesuai dengan living cost di Indonesia. Barang dan jasa di Indonesia relatif murah. Oleh karena kebijakan media massa tertutup, maka perizinan wartawan asing ke Indonesia dipersulit, sehingga kenyataan di Indonesia sulit terdengar di luar negeri.
Di sisi lain, ekonomi Indonesia makin membaik. Pertumbuhan antara tahun 2000-2003 mencapai 5%, dengan tingkat inflasi 4%. Nilai dolar AS relatif stabil, yaitu Rp6.000,-. Indek Harga Saham Gabungan mencapai 1100. Investasi langsung berdatangan. Pendapatan per kapita melonjak sampai US$1500. Indonesia dianggap sebagai mukjizat ekonomi dunia.
Para pengusaha dan pejabat berkolusi dengan baik, dan tidak didengar rakyat, karena media tak menyiarkannya. Segala kritik diterbangkan angin lalu. Jika produk yang dihasilkan kurang bisa bersaing, maka untuk mendongkraknya diciptakan peraturan yang menguras sumber daya alam, dan kontrol terhadap teknologi yang tidak ramah lingkungan dikendorkan. Akibatnya pencemaran lingkungan terjadi di mana-mana. Untuk meningkatkan keunggulan komparatif, maka pengusaha dibantu pejabat mempromosikan tenaga kerja murah, sehingga produk Indonesia bisa dijual lebih murah daripada pesaingnya di pasar internasional. Inilah efisiensi yang paling mudah dilaksanakan.
Kritik luar negeri terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan menggaji buruh secara murah, dengan mudah dibantah, bahwa gaji itu sesuai dengan living cost di Indonesia. Barang dan jasa di Indonesia relatif murah. Oleh karena kebijakan media massa tertutup, maka perizinan wartawan asing ke Indonesia dipersulit, sehingga kenyataan di Indonesia sulit terdengar di luar negeri.
Ketimpangan dan ketertutupan
Secara nasional ekonomi Indonesia sangat bagus, tapi begitu banyak rakyat miskin di perkotaan dan perdesaan. Rakyat miskin ini tak memperoleh informasi yang memadai, maka hampir setiap keputusan hidup yang diambilnya mengalami kesalahan, dan makin mempermiskin kehidupannya. Dalam keadaan itu maka partisipasi mereka dalam kehidupan ekonomi dan terutama dalam bidang politik semakin kecil.
Kekurangan informasi ini juga membuat mereka menggantungkan kepada para pemimpinnya. Apa yang dikatakan pemimpin tidak pernah diuji kebenarannya, karena tidak ada sarana untuk itu, dan langsung ditaati. Akibatnya muncullah aliran-aliran primordial yang seringkali bertentangan satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang terjadi bentrok berdarah. Dan setiap konflik horisontal terjadi, militer selalu menumpasnya dengan tegas, dan sebagai hadiahnya, kekuasaan militer semakin kuat.
Ketidakpuasan rakyat akibat kecemburuan ekonomi sering memicu letupan-letupan sosial, baik berupa kerusuhan etnis antara keturunan Cina dengan pribumi, atau antaretnik pribumi. Bahkan beberapa politisi daerah yang tersingkir dari percaturan daerah mengobarkan kebencian, dan mendorong rakyat untuk memisahkan diri dari Indonesia. Semua tindakan ini tanpa ragu-ragu ditindas oleh kekuatan militer. Berapa banyak orang yang tewas tidak diketahui dengan pasti. Korban-korban lain pun tidak diketahui. Media massa tidak ada satu pun yang memuatnya, kecuali berita resmi yang dikeluarkan pihak militer.
Gejolak-gejolak ini mendorong pemerintah mengeluarkan UU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang memberi keleluasaan yang luar biasa bagi pihak militer, termasuk mengontrol aliran informasi dan menangkap siapa pun yang dianggap mengancam negara. Untuk menjaga negara, militer meminta tambahan anggaran belanja untuk persenjataan dan personel. Kekuatan militer pada akhir rezim Orde Baru hanya sekitar 500.000 orang, berkembang menjadi 1.500.000 juta orang di tahun 2009.
Kekurangan informasi ini juga membuat mereka menggantungkan kepada para pemimpinnya. Apa yang dikatakan pemimpin tidak pernah diuji kebenarannya, karena tidak ada sarana untuk itu, dan langsung ditaati. Akibatnya muncullah aliran-aliran primordial yang seringkali bertentangan satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang terjadi bentrok berdarah. Dan setiap konflik horisontal terjadi, militer selalu menumpasnya dengan tegas, dan sebagai hadiahnya, kekuasaan militer semakin kuat.
Ketidakpuasan rakyat akibat kecemburuan ekonomi sering memicu letupan-letupan sosial, baik berupa kerusuhan etnis antara keturunan Cina dengan pribumi, atau antaretnik pribumi. Bahkan beberapa politisi daerah yang tersingkir dari percaturan daerah mengobarkan kebencian, dan mendorong rakyat untuk memisahkan diri dari Indonesia. Semua tindakan ini tanpa ragu-ragu ditindas oleh kekuatan militer. Berapa banyak orang yang tewas tidak diketahui dengan pasti. Korban-korban lain pun tidak diketahui. Media massa tidak ada satu pun yang memuatnya, kecuali berita resmi yang dikeluarkan pihak militer.
Gejolak-gejolak ini mendorong pemerintah mengeluarkan UU tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang memberi keleluasaan yang luar biasa bagi pihak militer, termasuk mengontrol aliran informasi dan menangkap siapa pun yang dianggap mengancam negara. Untuk menjaga negara, militer meminta tambahan anggaran belanja untuk persenjataan dan personel. Kekuatan militer pada akhir rezim Orde Baru hanya sekitar 500.000 orang, berkembang menjadi 1.500.000 juta orang di tahun 2009.
Gus Dur Menjadi Presiden RI Ketiga Kali
Hubungan antara Presiden dengan militer makin dekat. Kekuatan oposisi dipinggirkan. Penjara kembali dipenuhi tahanan politik, walaupun hukuman yang dijatuhkan pengadilan adalah masalah kejahatan. DPR kembali berada di bawah bayang-bayang eksekutif lagi, demikian lupa MPR. Peraturan perundangan yang melanggengkan kekuasaan ditetapkan lagi, dan puncaknya adalah pencabutan Ketetapan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden hanya dua periode saja. Ketetapan MPR yang baru memberi kesempatan bagi Presiden untuk memangku jabatan lebih dari dua periode, dalam hal ini Gus Dur mempunyai peluang untuk menjadi Presiden lagi.
Bisik-bisik kembali merebak, bahwa rezim Gus Dur itu sama dan sebangun dengan rezim Suharto yang selalu melanggengkan kekuasaan. Korupsi bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi menyebar ke tiap daerah tingkat dua seluruh Indonesia. Namun tak satu pun media yang menyiarkannya, karena media juga dikontrol dengan ketat.
Mahasiswa tidak turun ke jalan lagi. Orang-orang tua mengendalikan anak-anaknya agar tidak turun ke jalan, unjuk rasa. "Benar, masyarakat kita tertutup, partisipasi rakyat menurun dan diganti dengan mobilisasi politik, kebebasan individu sangat berkurang, tapi sebagai gantinya keadaan ekonomi nasional sangat membaik. Oleh karena itu cepatlah lulus, dan mendapat pekerjaan yang baik, sehingga tidak terjerumus ke jurang kemiskinan yang mengerikan," kata orang tua kepada anaknya yang menjadi mahasiswa. "Jangan engkau keluhkan tidak adanya kemerdekaan, karena ekonomi kita baik. Engkau boleh menyindir bahwa kita bagaikan Garuda yang sedang menangis di dalam sangkar, tapi ingat sangkar kita terbuat dari emas. Kita memang menangis, tapi keadaan relatif makmur dan damai. Ini adalah pilihan kita, karena sulit sekali untuk meraih keadaan yang ideal," tambah orang tua itu.
Orang tua itu menambahkan, anda boleh memperjuangkan kemerdekaan, membangun masyarakat terbuka, dan meningkatkan partisipasi rakyat, asal jangan sampai menggoncangkan keadaan ekonomi yang demikian baiknya. Krisis moneter tahun 1997-1998 adalah pelajaran pahit, dan jangan diulangi lagi. Apapun boleh anda lakukan asal jangan mengganggu kesejahteraan yang kita miliki, agar kita jauh dari kemiskinan.
Lalu, bagaimana cara menjelaskan nasib orang miskin yang jumlahnya sangat banyak. Oh, mereka adalah orang yang sedang mendapat ujian Tuhan dengan diberi nasib sebagai orang miskin. Tuhan memang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ada malam, ada siang. Ada pria, ada wanita. Ada kaya, ada miskin. Bagaimana dengan kemiskinan struktural? Boleh jadi memang ada, dan silahkan anda diskusikan, sebagai intellectual exercises.
Bisik-bisik kembali merebak, bahwa rezim Gus Dur itu sama dan sebangun dengan rezim Suharto yang selalu melanggengkan kekuasaan. Korupsi bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi menyebar ke tiap daerah tingkat dua seluruh Indonesia. Namun tak satu pun media yang menyiarkannya, karena media juga dikontrol dengan ketat.
Mahasiswa tidak turun ke jalan lagi. Orang-orang tua mengendalikan anak-anaknya agar tidak turun ke jalan, unjuk rasa. "Benar, masyarakat kita tertutup, partisipasi rakyat menurun dan diganti dengan mobilisasi politik, kebebasan individu sangat berkurang, tapi sebagai gantinya keadaan ekonomi nasional sangat membaik. Oleh karena itu cepatlah lulus, dan mendapat pekerjaan yang baik, sehingga tidak terjerumus ke jurang kemiskinan yang mengerikan," kata orang tua kepada anaknya yang menjadi mahasiswa. "Jangan engkau keluhkan tidak adanya kemerdekaan, karena ekonomi kita baik. Engkau boleh menyindir bahwa kita bagaikan Garuda yang sedang menangis di dalam sangkar, tapi ingat sangkar kita terbuat dari emas. Kita memang menangis, tapi keadaan relatif makmur dan damai. Ini adalah pilihan kita, karena sulit sekali untuk meraih keadaan yang ideal," tambah orang tua itu.
Orang tua itu menambahkan, anda boleh memperjuangkan kemerdekaan, membangun masyarakat terbuka, dan meningkatkan partisipasi rakyat, asal jangan sampai menggoncangkan keadaan ekonomi yang demikian baiknya. Krisis moneter tahun 1997-1998 adalah pelajaran pahit, dan jangan diulangi lagi. Apapun boleh anda lakukan asal jangan mengganggu kesejahteraan yang kita miliki, agar kita jauh dari kemiskinan.
Lalu, bagaimana cara menjelaskan nasib orang miskin yang jumlahnya sangat banyak. Oh, mereka adalah orang yang sedang mendapat ujian Tuhan dengan diberi nasib sebagai orang miskin. Tuhan memang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ada malam, ada siang. Ada pria, ada wanita. Ada kaya, ada miskin. Bagaimana dengan kemiskinan struktural? Boleh jadi memang ada, dan silahkan anda diskusikan, sebagai intellectual exercises.
Boikot internasional
Salah satu penunjang ekonomi Indonesia pada dekade pertama abad 21 adalah maraknya industri pariwisata. Kunjungan wisatawan manca negara membanjir, sehingga memasukkan devisa yang besar. Dari jutaan wisatawan itu menyusup satu-dua wartawan untuk melakukan peliputan secara terselubung. Cara seperti ini terpaksa dilakukan, karena izin wartawan asing dipersulit untuk masuk ke Indonesia.
Sejak awal tahun 2009, laporan buruk tentang Indonesia merebak di seluruh dunia. Isu yang menyebar di luar negeri adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada buruh di Indonesia. Mereka digaji rendah agar produk Indonesia dijual murah di pasar dunia. Hak rakyat untuk tahu yang merupakan bagian dari HAM juga dihambat. Itu adalah ujung gunung es dari pelanggaran HAM, yang akarnya sulit diungkap, antara lain penangkapan dan penculikan para aktivis. Lebih sulit lagi mengungkap penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga negara. Isu lain adalah pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri dan eksploitasi sumber daya alam semena-mena.
Pertengahan tahun 2009, aktivis HAM dan lingkungan di dunia melancarkan aksi boikot terhadap produk-produk Indonesia. Mereka juga menuntut agar para investor menarik modalnya dari Indonesia. Kampanye lain yang tak kalah pedasnya adalah menghimbau wisatawan untuk tidak berkunjung ke Indonesia.
Dampak kampanye itu mulai terasa bulan September. Indeks harga saham gabungan merosot sampai ke titik rendah, yaitu 650. Ini berarti sama dengan angka tahun 1999. Nilai dolar merangkak sampai Rp9.000,- per dolar. Masyarakat risau sekali, bayang-bayang krisis ekonomi 1997 muncul kembali. Para aktivis mulai menggalang kekuatannya untuk demonstrasi dan menuntut Presiden turun. Tanda-tanda sukses usaha merobohkan pemerintah masih belum tampak, tapi keresahan mulai menggelundung bagai snow balling di seluruh Indonesia. Investor asing mulai menghentikan penanaman modalnya di Indonesia akhir tahun 2009. Oleh karena itu masih belum diketahui, perusahaan mana yang bakal dibangun di kawasan industri baru di pinggir kota Pakanbaru yang diresmikan Presiden bulan Maret itu.***
Sejak awal tahun 2009, laporan buruk tentang Indonesia merebak di seluruh dunia. Isu yang menyebar di luar negeri adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada buruh di Indonesia. Mereka digaji rendah agar produk Indonesia dijual murah di pasar dunia. Hak rakyat untuk tahu yang merupakan bagian dari HAM juga dihambat. Itu adalah ujung gunung es dari pelanggaran HAM, yang akarnya sulit diungkap, antara lain penangkapan dan penculikan para aktivis. Lebih sulit lagi mengungkap penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga negara. Isu lain adalah pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri dan eksploitasi sumber daya alam semena-mena.
Pertengahan tahun 2009, aktivis HAM dan lingkungan di dunia melancarkan aksi boikot terhadap produk-produk Indonesia. Mereka juga menuntut agar para investor menarik modalnya dari Indonesia. Kampanye lain yang tak kalah pedasnya adalah menghimbau wisatawan untuk tidak berkunjung ke Indonesia.
Dampak kampanye itu mulai terasa bulan September. Indeks harga saham gabungan merosot sampai ke titik rendah, yaitu 650. Ini berarti sama dengan angka tahun 1999. Nilai dolar merangkak sampai Rp9.000,- per dolar. Masyarakat risau sekali, bayang-bayang krisis ekonomi 1997 muncul kembali. Para aktivis mulai menggalang kekuatannya untuk demonstrasi dan menuntut Presiden turun. Tanda-tanda sukses usaha merobohkan pemerintah masih belum tampak, tapi keresahan mulai menggelundung bagai snow balling di seluruh Indonesia. Investor asing mulai menghentikan penanaman modalnya di Indonesia akhir tahun 2009. Oleh karena itu masih belum diketahui, perusahaan mana yang bakal dibangun di kawasan industri baru di pinggir kota Pakanbaru yang diresmikan Presiden bulan Maret itu.***
Skenario 3
Kawah Bergolak
Perkembangan di luar cenderung merata dan kian kokoh menjalankan sistem bernegara yang berdasarkan pada konsep "masyarakat terbuka" dan pemuliaan hak asasi manusia, sehingga segala bentuk tindakan yang berdasarkan militerisme tidak populer lagi. Kehidupan demokratis yang terbina membuat pengambilan keputusan selalu lama, termasuk penanganan di bidang ekonomi, padahal tuntutan untuk menolong orang miskin mendesak sekali. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan intervensi sebagai upaya pengadaan pangan yang terjangkau rakyat, termasuk berbagai kepentingan umum. Intervensi ini membuat potensi partisipasi melemah dan mendapat kecaman dunia.***
Ada sejumlah ranjau-ranjau masalah yang telah tertanam jauh di lubuk kehidupan bangsa ini. Krisis moneter di pertengahan tahun 1997, yang kemudian berubah menjadi krisis ekonomi, berlanjut menjadi krisis politik, puncaknya ditandai bangkitnya mahasiswa dengan dukungan masyarakat yang secara serempak menyampaikan tuntutan reformasi dan berhasil merobohkan pusat kekuasaan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.
Kejadian yang berlangsung 12 tahun yang lalu, itu ternyata hanya merupakan pucuk persoalan dari sebuah gunung es yang terbentuk selama 32 tahun kekuasaan rezim Soeharto. Oleh karena itu, ketika pemerintahan di tangan Kiyai Abdurrahman Wahid, menggantikan rezim Orde Baru, persoalan tidak serta-merta selesai. Berbagai ranjau persoalan lama yang telah tertimbun malah bermunculan dalam tempo yang demikian cepat. Sementara ranjau-ranjau persoalan baru bermunculan tak kalah banyaknya. Dimensinya begitu beragam, mulai dari persoalan-persoalan primordial hingga ke masalah merajalelanya perdagangan narkoba (narkotika dan obat-obatan berbahaya).
Tuntutan referendum dari Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, menjadi semacam model yang bermunculan di sana-sini. Kisah di serambi Mekah itu menjadi kisah lanjutan dari lepasnya Timor-Timor di masa pemerintahan peralihan B.J. Habibie sekitar 11 tahun yang lalu, bersambung dengan gerakan masyarakat Papua, Riau, Kalimantan Timur, hingga Sulawesi Selatan pun sempat santer menyuarakan diri untuk lepas dari RI dan membentuk pemerintahan sendiri. Tak kalah hangatnya adalah tuntutan percepatan dilaksanakannya kebijakan baru otonomi daerah, tuntutan itu terdengar sejak dari Maluku hingga Banten. Akan panjang pula jika didata ihwal konflik-konflik seperti yang terjadi berkepanjangan di Ambon, hingga konflik di Losari yang berupa daerah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Itu semua bertumpuk pula dengan sejumlah kasus yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, persoalan ekonomi yang semula di zaman rezim Soeharto begitu tertutup rapi oleh bingkai kekuasaan, belakangan semakin tampak kekotoran dan keruwetannya. Tangan-tangan gurita sistem konglomerasi yang berjalan seiring dengan kekuasaan, itu ternyata menjulur jauh hingga ke kantung-kantung birokrasi desa. Tak heran jika mata rantai korupsi, kolusi, dan nepotis itu berjalin demikian kuat mulai dari pucuk kekuasaan terkuat hingga di akar rumput. Karena demikian ruwetnya, maka pelaksanaan peradilan kejahatan ekonomi ataupun kejahatan politik, berlangsung begitu lambat penyelesaiannya bahkan tak juga selesai setelah melewati satu dekade waktu.
Tak ayal "Krisis Kepercayaan Jilid 2" pun mulai berbayang menjadi awan hitam yang menggayuti bumi nusantara. Kegelisahan dan gejolak pun kian marak bermunculan di sana-sini. Di satu sisi berbentuk pernyataan-pernyataan politis, di sisi lain berupa suara-suara tuntutan keadilan, di tempat-tempat lain adalah suara-suara "lapar" karena tingkat kemiskinan yang kian menukik ke tingkat paling parah, serta tak kalah tajamnya grafik tindak kriminilitas yang terjadi tak hanya di kota-kota melainkan juga merasuk ke perdesaan. Seiring dengan itu penjahat-penjahat penjual narkoba kian marak dan kian berani, pasarnya pun meluas bahkan sampai menjangkau anak-anak sekolah dasar. Keriuhan akrobat politik, ketidak jelasan arah perkembangan perekonomian, hingga tak pernah tuntasnya penyelesaian masalah hukum; sungguh membuat frustasi dan membuat hilangnya harapan rakyat. Pemerintah yang berkuasa kian hari cenderung seperti improvisasi dalam menangani ataupun mengeluarkan kebijakan, malah salah dalam memahami kondisi dan mengesankan tindakan-tindakan pemerintahan yang panik.
Sesungguhnya ada kehendak dan niat rakyat untuk saling menahan diri, tapi di sisi lain tingkat frustasi dan hilangnya harapan hidup secara wajar begitu mendesak sama kuatnya. Gejolak pun memuncak. Sifat terbuka dan kehendak keterbukaan dari masyarakat sesungguhnya mendapatkan dukungan dari presiden dan sebagian dari kabinetnya, lebih besar lagi dukungan itu datangnya dari pers. Tapi cengkeraman gurita persoalan-persoalan lama ataupun tokoh-tokoh baru dengan gaya keserakahan lama, itu ternyata jauh lebih kuat mengakar ke dasar-dasar kehidupan yang paling bawah. Gairah keterbukaan menjadi berhadapan langsung dengan keadaan yang paling sulit. Kekuatan sekaligus mentalitas statusquo yang masih bercokol pada sejumlah orang, masih ambil peranan dan malah memanfaatkan situasi kacau demi mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Malah terdapat berbagai indikasi yang menunjukan bahwa kekacauan itu memang muncul dari sebuah desain status quo untuk mempersilakan kembali model kekuasaan terpusat. Buktinya TNI sebagai lembaga yang dilandasi kesadaran bertugas untuk mengamankan negara dan berbekalkan UU No. 70/2005 yang mulai diberlakukan sejak 5 tahun yang lalu dan dikenal dengan sebutan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, mengambil inisiatif melakukan berbagai upaya tindakan represif. Tak terhindarkan lagi, kontak senjata dan berbagai bentrokan pun terjadi di mana-mana. Di tengah-tengah itu semua, jalan ke arah pertimbangan dan diplomasi politis menjadi kian terseret oleh pilihan jalan militer. Diplomasi politik bisa dikatakan telah mengalami "dead lock." Situasi yang pergolakannya kian memuncak itu pun seperti mempersilakan bagi hadirnya kembali pucuk pemerintahan di tangan militer.
Kejadian yang berlangsung 12 tahun yang lalu, itu ternyata hanya merupakan pucuk persoalan dari sebuah gunung es yang terbentuk selama 32 tahun kekuasaan rezim Soeharto. Oleh karena itu, ketika pemerintahan di tangan Kiyai Abdurrahman Wahid, menggantikan rezim Orde Baru, persoalan tidak serta-merta selesai. Berbagai ranjau persoalan lama yang telah tertimbun malah bermunculan dalam tempo yang demikian cepat. Sementara ranjau-ranjau persoalan baru bermunculan tak kalah banyaknya. Dimensinya begitu beragam, mulai dari persoalan-persoalan primordial hingga ke masalah merajalelanya perdagangan narkoba (narkotika dan obat-obatan berbahaya).
Tuntutan referendum dari Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, menjadi semacam model yang bermunculan di sana-sini. Kisah di serambi Mekah itu menjadi kisah lanjutan dari lepasnya Timor-Timor di masa pemerintahan peralihan B.J. Habibie sekitar 11 tahun yang lalu, bersambung dengan gerakan masyarakat Papua, Riau, Kalimantan Timur, hingga Sulawesi Selatan pun sempat santer menyuarakan diri untuk lepas dari RI dan membentuk pemerintahan sendiri. Tak kalah hangatnya adalah tuntutan percepatan dilaksanakannya kebijakan baru otonomi daerah, tuntutan itu terdengar sejak dari Maluku hingga Banten. Akan panjang pula jika didata ihwal konflik-konflik seperti yang terjadi berkepanjangan di Ambon, hingga konflik di Losari yang berupa daerah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Itu semua bertumpuk pula dengan sejumlah kasus yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, persoalan ekonomi yang semula di zaman rezim Soeharto begitu tertutup rapi oleh bingkai kekuasaan, belakangan semakin tampak kekotoran dan keruwetannya. Tangan-tangan gurita sistem konglomerasi yang berjalan seiring dengan kekuasaan, itu ternyata menjulur jauh hingga ke kantung-kantung birokrasi desa. Tak heran jika mata rantai korupsi, kolusi, dan nepotis itu berjalin demikian kuat mulai dari pucuk kekuasaan terkuat hingga di akar rumput. Karena demikian ruwetnya, maka pelaksanaan peradilan kejahatan ekonomi ataupun kejahatan politik, berlangsung begitu lambat penyelesaiannya bahkan tak juga selesai setelah melewati satu dekade waktu.
Tak ayal "Krisis Kepercayaan Jilid 2" pun mulai berbayang menjadi awan hitam yang menggayuti bumi nusantara. Kegelisahan dan gejolak pun kian marak bermunculan di sana-sini. Di satu sisi berbentuk pernyataan-pernyataan politis, di sisi lain berupa suara-suara tuntutan keadilan, di tempat-tempat lain adalah suara-suara "lapar" karena tingkat kemiskinan yang kian menukik ke tingkat paling parah, serta tak kalah tajamnya grafik tindak kriminilitas yang terjadi tak hanya di kota-kota melainkan juga merasuk ke perdesaan. Seiring dengan itu penjahat-penjahat penjual narkoba kian marak dan kian berani, pasarnya pun meluas bahkan sampai menjangkau anak-anak sekolah dasar. Keriuhan akrobat politik, ketidak jelasan arah perkembangan perekonomian, hingga tak pernah tuntasnya penyelesaian masalah hukum; sungguh membuat frustasi dan membuat hilangnya harapan rakyat. Pemerintah yang berkuasa kian hari cenderung seperti improvisasi dalam menangani ataupun mengeluarkan kebijakan, malah salah dalam memahami kondisi dan mengesankan tindakan-tindakan pemerintahan yang panik.
Sesungguhnya ada kehendak dan niat rakyat untuk saling menahan diri, tapi di sisi lain tingkat frustasi dan hilangnya harapan hidup secara wajar begitu mendesak sama kuatnya. Gejolak pun memuncak. Sifat terbuka dan kehendak keterbukaan dari masyarakat sesungguhnya mendapatkan dukungan dari presiden dan sebagian dari kabinetnya, lebih besar lagi dukungan itu datangnya dari pers. Tapi cengkeraman gurita persoalan-persoalan lama ataupun tokoh-tokoh baru dengan gaya keserakahan lama, itu ternyata jauh lebih kuat mengakar ke dasar-dasar kehidupan yang paling bawah. Gairah keterbukaan menjadi berhadapan langsung dengan keadaan yang paling sulit. Kekuatan sekaligus mentalitas statusquo yang masih bercokol pada sejumlah orang, masih ambil peranan dan malah memanfaatkan situasi kacau demi mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Malah terdapat berbagai indikasi yang menunjukan bahwa kekacauan itu memang muncul dari sebuah desain status quo untuk mempersilakan kembali model kekuasaan terpusat. Buktinya TNI sebagai lembaga yang dilandasi kesadaran bertugas untuk mengamankan negara dan berbekalkan UU No. 70/2005 yang mulai diberlakukan sejak 5 tahun yang lalu dan dikenal dengan sebutan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, mengambil inisiatif melakukan berbagai upaya tindakan represif. Tak terhindarkan lagi, kontak senjata dan berbagai bentrokan pun terjadi di mana-mana. Di tengah-tengah itu semua, jalan ke arah pertimbangan dan diplomasi politis menjadi kian terseret oleh pilihan jalan militer. Diplomasi politik bisa dikatakan telah mengalami "dead lock." Situasi yang pergolakannya kian memuncak itu pun seperti mempersilakan bagi hadirnya kembali pucuk pemerintahan di tangan militer.
Polarisasi antara pemerintah dengan masyarakat
Kenyataan itu dan bahkan ditambah dengan kenyataan sebelumnya, seharusnya bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sebuah tanda zaman yang seharusnya bisa dibaca dengan cepat. Telah terjadi perubahan masyarakat di tengah-tengah keterbukaan yang secara langsung mempercepat pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Keterbukaan dan kian bebasnya pers di tengah-tengah masyarakat, ini mendukung rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bertujuan untuk merestrukturisasi bentuk-bentuk hubungan kemasyarakatan. Kegiatan-kegiatan masyarakat itu semakin mengarah pada upaya-upaya agar masyarakat bisa mandiri, berbagai langkah untuk menghidupkan kembali ekonomi lokal bermunculan di berbagai daerah. Dari sudut ini terlihat sekali adanya kesadaran untuk melakukan proses perbaikan masyarakat sipil menuju keadaan yang sehat. Di berbagai wilayah terjadi suatu kelahiran kembali organisasi-organisasi rakyat.
Namun sayang, perkembangan rakyat terbuka yang demikian pesat itu tak sebanding dengan sikap pemerintah yang tidak dengan segera melakukan penurunan intervensi pemerintah di bidang ekonomi. Begitu tinggi tingkat intervensi ini sehingga tidak memberikan ruang bagi perkembangan ekonomi rakyat. Pemerintah berkilah, bahwa ia harus melakukan intervensi untuk menolong masyarakat yang tidak berdaya. Tanpa intervensi pemerintah maka harga berbagai kebutuhan dasar tak terjangkau oleh daya beli rakyat.
Polarisasi antara rakyat dan pemerintah pun akhirnya tak terhindarkan lagi. Lagi-lagi akhirnya hanya menimbulkan benturan-benturan yang tidak harmonis antara rakyat dengan rezim penguasa. Ketegangan lama pun bermunculan kembali. Gerakan-gerakan demonstrasi rakyat yang turun ke jalan ataupun di kantor-kantor pusat kekuasaan, kembali marak dan nyaris tiap hari terjadi.
Dalam situasi seperti itu kekuasaan rezim kian bertumpu pada TNI dan kekuatan mobilisasi. Berhadapan dengan persoalan lama yang belum juga terselesaikan serta ditambah dengan persoalan-persoalan yang baru muncul, pemerintahan malah mengambil inisiatif dengan cara terpusat. Harapannya tak lain agar bisa mengontrol dan menetralisir kembali seluruh keadaan. Namun kecenderungan rezim penguasa itu dilawan secara terbuka oleh partai politik, organisasi kemasyarakatan, pers, dan LSM, sehingga ketegangan politik yang tak kunjung reda. Kawah politik Indonesia selalu bergolak.
Menghadapi kian banyaknya penduduk miskin dan tingkat pengangguran yang tak tertahankan lagi, ditempuh berbagai upaya untuk melaksanakan industri padat karya. Langkah lainnya ditempuh pula upaya untuk tetap mempertahankan sumber-sumber ekonomi yang ada di daerah melalui model-model birokrasi terpusat. Langkah ini dirasionalisasikan sebagai usaha mulia untuk menolong mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk memobilisasi perekonomian terpusat, itu membutuhkan sejumlah modal yang sangat besar; pemerintah memperolehnya dengan jalan pintas berupa berbagai pinjaman luar negeri. Tumpukan utang pun kian jauh melewati kepala, hingga ketergantungan pada negara-negara donor pun kian parah. Tapi pemerintah seperti meyakini langkah ini akan bisa menyelesaikan masalah, sehingga mengabaikan berbagai tuntutan desentralisasi dan kehendak rakyat untuk mandiri. Rakyat pun menjadi sangat kecewa. Penumpukan utang negara yang kian tak masuk akal, lebih tampak sebagai langkah gali lobang-tutup lobang. Selebihnya adalah dana untuk "tutup muka" dosa-dosa para pengusaha serakah yang pada periode sebelumnya demikian rakus menyedot utang yang kemudian menjadi beban seluruh rakyat itu. Di tengah kekecewaan itu pula rakyat yang kian cerdas melihat perkembangan tapi papa dalam raihan ekonomi, itu bangkit mencoba untuk mengubah nasib.
Namun sayang, perkembangan rakyat terbuka yang demikian pesat itu tak sebanding dengan sikap pemerintah yang tidak dengan segera melakukan penurunan intervensi pemerintah di bidang ekonomi. Begitu tinggi tingkat intervensi ini sehingga tidak memberikan ruang bagi perkembangan ekonomi rakyat. Pemerintah berkilah, bahwa ia harus melakukan intervensi untuk menolong masyarakat yang tidak berdaya. Tanpa intervensi pemerintah maka harga berbagai kebutuhan dasar tak terjangkau oleh daya beli rakyat.
Polarisasi antara rakyat dan pemerintah pun akhirnya tak terhindarkan lagi. Lagi-lagi akhirnya hanya menimbulkan benturan-benturan yang tidak harmonis antara rakyat dengan rezim penguasa. Ketegangan lama pun bermunculan kembali. Gerakan-gerakan demonstrasi rakyat yang turun ke jalan ataupun di kantor-kantor pusat kekuasaan, kembali marak dan nyaris tiap hari terjadi.
Dalam situasi seperti itu kekuasaan rezim kian bertumpu pada TNI dan kekuatan mobilisasi. Berhadapan dengan persoalan lama yang belum juga terselesaikan serta ditambah dengan persoalan-persoalan yang baru muncul, pemerintahan malah mengambil inisiatif dengan cara terpusat. Harapannya tak lain agar bisa mengontrol dan menetralisir kembali seluruh keadaan. Namun kecenderungan rezim penguasa itu dilawan secara terbuka oleh partai politik, organisasi kemasyarakatan, pers, dan LSM, sehingga ketegangan politik yang tak kunjung reda. Kawah politik Indonesia selalu bergolak.
Menghadapi kian banyaknya penduduk miskin dan tingkat pengangguran yang tak tertahankan lagi, ditempuh berbagai upaya untuk melaksanakan industri padat karya. Langkah lainnya ditempuh pula upaya untuk tetap mempertahankan sumber-sumber ekonomi yang ada di daerah melalui model-model birokrasi terpusat. Langkah ini dirasionalisasikan sebagai usaha mulia untuk menolong mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk memobilisasi perekonomian terpusat, itu membutuhkan sejumlah modal yang sangat besar; pemerintah memperolehnya dengan jalan pintas berupa berbagai pinjaman luar negeri. Tumpukan utang pun kian jauh melewati kepala, hingga ketergantungan pada negara-negara donor pun kian parah. Tapi pemerintah seperti meyakini langkah ini akan bisa menyelesaikan masalah, sehingga mengabaikan berbagai tuntutan desentralisasi dan kehendak rakyat untuk mandiri. Rakyat pun menjadi sangat kecewa. Penumpukan utang negara yang kian tak masuk akal, lebih tampak sebagai langkah gali lobang-tutup lobang. Selebihnya adalah dana untuk "tutup muka" dosa-dosa para pengusaha serakah yang pada periode sebelumnya demikian rakus menyedot utang yang kemudian menjadi beban seluruh rakyat itu. Di tengah kekecewaan itu pula rakyat yang kian cerdas melihat perkembangan tapi papa dalam raihan ekonomi, itu bangkit mencoba untuk mengubah nasib.
Menuju desintegrasi
Konflik demi konflik terus berangkai. Konflik kepentingan kian menajam. Berbagai partai politik berlomba mencari pengaruh, media massa mencari gantungan pada parpol-parpol tertentu. Perang opini pun menggencar tapi tak mampu mempengaruhi pemerintah yang mendapat dukungan milisi dari TNI, yang selalu mempunyai dalih.
Beberapa kali pemerintah berusaha mengekang kemerdekaan pers, dan mengontrol hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, meskipun dengan cara sedikit tersamar. Dengan kata lain pemerintah melancarkan propaganda. Padahal sebenarnya masyarakat secara bebas bisa mendapatkan informasi dari media lain, baik melalui internet ataupun media-media yang dikelola oleh mereka sendiri. Suhu ketidakpastian menjadi tinggi, karena berita yang tersiar di tengah-tengah masyarakat menjadi simpang-siur.
Supremasi hukum memang ditegakkan, tapi proses peradilan begitu lama, sehingga masyarakat tidak sabar. Saluran-saluran penampungan aspirasi rakyat di DPR/DPRD serta media massa sudah dimanfaatkan semaksimal mungkin, tapi masalah masyarakat akibat tekanan ekonomi dan tuntutan keadilan begitu banyaknya, hingga meluap ke jalanan, baik sebagai parlemen jalanan atau pengadilan rakyat.
Dalam keadaan itu, konflik horisontal di antara masyarakat pun muncul. Sementara itu, tingkat emosional masyarakat yang tinggi yang merasa terabaikan tuntutannya, cenderung terus menggumpal. Ihwalnya karena tuntutan yang muncul ternyata tak terfasilitasi, dan berbagai kerisauan terus menyubur di bawah pengawasan mata-mata kekuasaan yang gamang. Ketidakpuasan itu pula yang kemudian menjelma menjadi tindak-tanduk agresif, radikal, dan mendorong terjadinya anarki. Segala sesuatu yang berkenaan dengan kemasyarakatan, maka banyak sekali yang ditempuh dan diputuskan dengan "jalan rakyat." Pembakaran rumah-rumah hiburan malam, penghancuran kompleks pelacuran, penyerbuan tempat-tempat perjudian, bahkan membunuh pengedar narkoba secara ramai-ramai; nyaris menjadi berita sehari-hari. Tak jelas lagi batas antara itikad perjuangan moral, penegakan hukum, atau justru penindasan hak asasi manusia. Situasi malah sangat khaos, tumpang-tindih berbagai kepentingan, dan mendekati kehidupan hukum rimba. Masyarakat cenderung sama sekali mengabaikan apapun yang disuarakan oleh pemerintah, intinya karena tingkat ketidakpercayaan rakyat sudah mencapai tingkat yang paling pekat. TNI dan kemudian Polri, terus berupaya "mengamankan" dan mempertahankan kekuasan pemerintah.
Sementara itu perkembangan di luar cenderung merata dan kian kokoh menjalankan sistem bernegara yang berdasarkan pada konsep "masyarakat terbuka" dan pemuliaan hak asasi manusia, sehingga segala bentuk tindakan yang berdasarkan militerisme tidak populer lagi. Kehidupan demokratis yang terbina membuat pengambilan keputusan selalu lama, termasuk penanganan di bidang ekonomi, padahal tuntutan untuk menolong orang miskin mendesak sekali. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan intervensi sebagai upaya pengadaan pangan yang terjangkau rakyat, termasuk berbagai kepentingan umum. Intervensi ini membuat potensi partisipasi melemah dan mendapat kecaman dunia.
Padahal berbagai tuntutan masyarakat yang muncul, sebenarnya merupakan wujud lain dari keinginan melibatkan diri dalam proses berbangsa secara partisipatif. Muncul dan kian suburnya LSM yang terus-menerus memberdayakan masyarakat, mendorong percepatan menguatnya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya.
Ibu-ibu penjual kue serabi pun akhirnya mempunyai kesadaran baru terhadap hak yang layak bagi usaha mereka. Kesadaran mereka tak sekadar untuk bisa bertahan dalam berusaha, tapi juga mencoba untuk memperbaiki hidup mereka. Lihatlah para perajin yang giat memproduksi barang kerajinan. Demikian halnya pekerja pembuat bata merah, penggali pasir bahan bangunan, pekerja pertambangan, nelayan, dan sektor-sektor perekonomian rakyat lainnya; kian menjadari bahwa mereka bukanlah budak bagi masyarakat perkotaan. Mereka menyadari bahwa keahlian dan tenaganya tak patut lagi diperah oleh kepentingan perkotaan dengan menerima imbalan yang semurah-murahnya. Mereka kian menyadari bahwa secara struktural keahliannya memiliki fungsi sejajar dengan keahlian-keahlian lain. Dengan kesadaran itu, mereka sesungguhnya mulai menumbuhkan semangat kewirausahaan dalam diri dan kehidupannya.
Tapi lagi-lagi sayang sekali, pemerintah masih jauh dari siap atau mungkin pula enggan untuk siap. Kebangkitan kesadaran serta ekonomi rakyat, itu malah menjadi sulit untuk menembus pasar karena tertutupnya jalur distribusi. Lebih parahnya lagi karena perhatian pemerintah hampir tak berpaling ke arah sana. Di tengah kepanikannya pemerintah cenderung lebih berkonsentrasi pada ekonomi terpusat, baik dalam bentuk BUMN ataupun BUMD. Pilihan ini diperkirakan oleh pemerintah akan mampu memobilisir kehidupan perekonomian. Pemerintah menjadi lembaga yang demikian sibuk sebagai administrator sekaligus pelaku ekonomi. Demi pemusatan dan kontrol seluruh jaringan ekonomi, maka sejumlah bank "kuat" yang beredar, pun praktis di bawah kendali dan kekuasaan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja tak bisa diharapkan bagi munculnya produk-produk unggulan, akibat lanjutnya tak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melakukan politik ekonomi yang sangat protektif ketika berhadapan dengan produk luar. Simpati dunia dari sisi ekonomi pun menjadi tidak bisa lagi diharapkan. Padahal dunia jauh-jauh hari telah menyelenggarakan sistem pasar bebas yang lebih mengedepankan persaingan terbuka dan sangat mementingkan kualitas. Pengucilan dan keterkucilan di tengah pergaulan dunia pun sampai di titik ekstrem yang paling menyakitkan.
Dari kondisi politik dan kemudian kenyataan penanganan masalah ekonomi yang seperti itu, tak ayal pergolakan pun kian memanas dan di sisi lain tingkat kemiskinan kian terpuruk ke batas yang paling sulit dibayangkan. Indonesia yang dahulu kala dikenal sebagai negeri subur makmur, perkotaannya kian dipenuhi oleh gelandangan dan peminta-minta. Kenyataan seperti ini ternyata menjadi pemandangan yang umum pula di pedesaan.
Beberapa masyarakat di pulau-pulau di luar pulau Jawa yang relatif masih menyisakan harapan dari sumber daya alamnya, semakin tak punya harapan lagi jika terus bergabung dengan pusat pemerintahan di Jakarta. Riau yang tanahnya memiliki kandungan minyak bumi segera mengibarkan bendera, dan menyatakan sebagai negara yang terpisah dari Indonesia. Pengalaman ini menjadi contoh yang menawan bagi pulau dan kepulauan-kepulauan nusantara lainnya. Mereka pun bangkit menyuarakan keinginannya yang sama. Kawah pun bergolak.
Beberapa kali pemerintah berusaha mengekang kemerdekaan pers, dan mengontrol hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, meskipun dengan cara sedikit tersamar. Dengan kata lain pemerintah melancarkan propaganda. Padahal sebenarnya masyarakat secara bebas bisa mendapatkan informasi dari media lain, baik melalui internet ataupun media-media yang dikelola oleh mereka sendiri. Suhu ketidakpastian menjadi tinggi, karena berita yang tersiar di tengah-tengah masyarakat menjadi simpang-siur.
Supremasi hukum memang ditegakkan, tapi proses peradilan begitu lama, sehingga masyarakat tidak sabar. Saluran-saluran penampungan aspirasi rakyat di DPR/DPRD serta media massa sudah dimanfaatkan semaksimal mungkin, tapi masalah masyarakat akibat tekanan ekonomi dan tuntutan keadilan begitu banyaknya, hingga meluap ke jalanan, baik sebagai parlemen jalanan atau pengadilan rakyat.
Dalam keadaan itu, konflik horisontal di antara masyarakat pun muncul. Sementara itu, tingkat emosional masyarakat yang tinggi yang merasa terabaikan tuntutannya, cenderung terus menggumpal. Ihwalnya karena tuntutan yang muncul ternyata tak terfasilitasi, dan berbagai kerisauan terus menyubur di bawah pengawasan mata-mata kekuasaan yang gamang. Ketidakpuasan itu pula yang kemudian menjelma menjadi tindak-tanduk agresif, radikal, dan mendorong terjadinya anarki. Segala sesuatu yang berkenaan dengan kemasyarakatan, maka banyak sekali yang ditempuh dan diputuskan dengan "jalan rakyat." Pembakaran rumah-rumah hiburan malam, penghancuran kompleks pelacuran, penyerbuan tempat-tempat perjudian, bahkan membunuh pengedar narkoba secara ramai-ramai; nyaris menjadi berita sehari-hari. Tak jelas lagi batas antara itikad perjuangan moral, penegakan hukum, atau justru penindasan hak asasi manusia. Situasi malah sangat khaos, tumpang-tindih berbagai kepentingan, dan mendekati kehidupan hukum rimba. Masyarakat cenderung sama sekali mengabaikan apapun yang disuarakan oleh pemerintah, intinya karena tingkat ketidakpercayaan rakyat sudah mencapai tingkat yang paling pekat. TNI dan kemudian Polri, terus berupaya "mengamankan" dan mempertahankan kekuasan pemerintah.
Sementara itu perkembangan di luar cenderung merata dan kian kokoh menjalankan sistem bernegara yang berdasarkan pada konsep "masyarakat terbuka" dan pemuliaan hak asasi manusia, sehingga segala bentuk tindakan yang berdasarkan militerisme tidak populer lagi. Kehidupan demokratis yang terbina membuat pengambilan keputusan selalu lama, termasuk penanganan di bidang ekonomi, padahal tuntutan untuk menolong orang miskin mendesak sekali. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan intervensi sebagai upaya pengadaan pangan yang terjangkau rakyat, termasuk berbagai kepentingan umum. Intervensi ini membuat potensi partisipasi melemah dan mendapat kecaman dunia.
Padahal berbagai tuntutan masyarakat yang muncul, sebenarnya merupakan wujud lain dari keinginan melibatkan diri dalam proses berbangsa secara partisipatif. Muncul dan kian suburnya LSM yang terus-menerus memberdayakan masyarakat, mendorong percepatan menguatnya pemahaman masyarakat terhadap hak-haknya.
Ibu-ibu penjual kue serabi pun akhirnya mempunyai kesadaran baru terhadap hak yang layak bagi usaha mereka. Kesadaran mereka tak sekadar untuk bisa bertahan dalam berusaha, tapi juga mencoba untuk memperbaiki hidup mereka. Lihatlah para perajin yang giat memproduksi barang kerajinan. Demikian halnya pekerja pembuat bata merah, penggali pasir bahan bangunan, pekerja pertambangan, nelayan, dan sektor-sektor perekonomian rakyat lainnya; kian menjadari bahwa mereka bukanlah budak bagi masyarakat perkotaan. Mereka menyadari bahwa keahlian dan tenaganya tak patut lagi diperah oleh kepentingan perkotaan dengan menerima imbalan yang semurah-murahnya. Mereka kian menyadari bahwa secara struktural keahliannya memiliki fungsi sejajar dengan keahlian-keahlian lain. Dengan kesadaran itu, mereka sesungguhnya mulai menumbuhkan semangat kewirausahaan dalam diri dan kehidupannya.
Tapi lagi-lagi sayang sekali, pemerintah masih jauh dari siap atau mungkin pula enggan untuk siap. Kebangkitan kesadaran serta ekonomi rakyat, itu malah menjadi sulit untuk menembus pasar karena tertutupnya jalur distribusi. Lebih parahnya lagi karena perhatian pemerintah hampir tak berpaling ke arah sana. Di tengah kepanikannya pemerintah cenderung lebih berkonsentrasi pada ekonomi terpusat, baik dalam bentuk BUMN ataupun BUMD. Pilihan ini diperkirakan oleh pemerintah akan mampu memobilisir kehidupan perekonomian. Pemerintah menjadi lembaga yang demikian sibuk sebagai administrator sekaligus pelaku ekonomi. Demi pemusatan dan kontrol seluruh jaringan ekonomi, maka sejumlah bank "kuat" yang beredar, pun praktis di bawah kendali dan kekuasaan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja tak bisa diharapkan bagi munculnya produk-produk unggulan, akibat lanjutnya tak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melakukan politik ekonomi yang sangat protektif ketika berhadapan dengan produk luar. Simpati dunia dari sisi ekonomi pun menjadi tidak bisa lagi diharapkan. Padahal dunia jauh-jauh hari telah menyelenggarakan sistem pasar bebas yang lebih mengedepankan persaingan terbuka dan sangat mementingkan kualitas. Pengucilan dan keterkucilan di tengah pergaulan dunia pun sampai di titik ekstrem yang paling menyakitkan.
Dari kondisi politik dan kemudian kenyataan penanganan masalah ekonomi yang seperti itu, tak ayal pergolakan pun kian memanas dan di sisi lain tingkat kemiskinan kian terpuruk ke batas yang paling sulit dibayangkan. Indonesia yang dahulu kala dikenal sebagai negeri subur makmur, perkotaannya kian dipenuhi oleh gelandangan dan peminta-minta. Kenyataan seperti ini ternyata menjadi pemandangan yang umum pula di pedesaan.
Beberapa masyarakat di pulau-pulau di luar pulau Jawa yang relatif masih menyisakan harapan dari sumber daya alamnya, semakin tak punya harapan lagi jika terus bergabung dengan pusat pemerintahan di Jakarta. Riau yang tanahnya memiliki kandungan minyak bumi segera mengibarkan bendera, dan menyatakan sebagai negara yang terpisah dari Indonesia. Pengalaman ini menjadi contoh yang menawan bagi pulau dan kepulauan-kepulauan nusantara lainnya. Mereka pun bangkit menyuarakan keinginannya yang sama. Kawah pun bergolak.
Belum tahu ketegangan berakhir
Inti permasalahan menjadi terkutub. Pihak pemerintah selalu mengungkapkan bahwa pergolakan politik membuat keadaan tidak aman, yang pada gilirannya membuat pembangunan ekonomi tidak lancar, akibatnya problem kemiskinan tidak bisa teratasi. Dan untuk itu pemerintah terpaksa melakukan intervensi di bidang ekonomi yang luas. Pemerintah berkali-kali mencoba untuk mengubah sistem politik dan mengontrol arus informasi, sehingga gejolak politik bisa dikurangi, sehingga rasa aman untuk mengembangkan ekonomi bisa lancar.
Di pihak lain, kekuatan masyarakat terbuka menolak setiap gagasan yang mencoba membuat masyarakat tertutup. Masyarakat berpendapat, justru intervensi pemerintah yang berlebihan dalam bidang ekonomi yang memacetkan perkembangan masyarakat. Jika pemerintah mengurangi intervensi, dan mengundang partisipasi rakyat, maka pertumbuhan ekonomi bisa menjadi kenyataan, dan problem kemiskinan bisa teratasi. Masyarakat yakin, bahwa keterbukaan sistem politik, tumbuhnya partisipasi rakyat, dan berkurangnya intervensi pemerintah di bidang ekonomi akan membuat Indonesia lebih baik.
Ketegangan dari kedua kecenderungan ini belum diketahui kapan berakhirnya. Belum bisa diketaui keseimbangan yang terbentuk dari pergolakan kawah Indonesia***
Di pihak lain, kekuatan masyarakat terbuka menolak setiap gagasan yang mencoba membuat masyarakat tertutup. Masyarakat berpendapat, justru intervensi pemerintah yang berlebihan dalam bidang ekonomi yang memacetkan perkembangan masyarakat. Jika pemerintah mengurangi intervensi, dan mengundang partisipasi rakyat, maka pertumbuhan ekonomi bisa menjadi kenyataan, dan problem kemiskinan bisa teratasi. Masyarakat yakin, bahwa keterbukaan sistem politik, tumbuhnya partisipasi rakyat, dan berkurangnya intervensi pemerintah di bidang ekonomi akan membuat Indonesia lebih baik.
Ketegangan dari kedua kecenderungan ini belum diketahui kapan berakhirnya. Belum bisa diketaui keseimbangan yang terbentuk dari pergolakan kawah Indonesia***
Fajar Menyingsing, Kabut Mulai Tersibak
Fajar menyingsing teman
malam gelap yang menakutkan telah lewat
malam gelap yang menakutkan telah lewat
Fajar tersenyum manis
berucap salam penuh kehangatan
"Selamat pagi Indonesia''
berucap salam penuh kehangatan
"Selamat pagi Indonesia''
Seluruh tubuh terasa segar
udara begitu bersih,
langkah kaki pun terasa ringan
menapaki jalanan lebar
dihiasi bunga-bunga berwarna warni di sisinya
menebarkan semilir wewangian
udara begitu bersih,
langkah kaki pun terasa ringan
menapaki jalanan lebar
dihiasi bunga-bunga berwarna warni di sisinya
menebarkan semilir wewangian
Tahun 2010, bangsa Indonesia tersenyum bahagia menikmati hari-hari yang makin membaik. Semua tatanan dan wacana kehidupan berbangsa dan bernegara makin mantap. Kesejahteraan kian merata dan pertumbuhan ekonomi menggembirakan.
Fenomena itu terus digulirkan oleh masyarakat yang sangat menyadari betapa penting andil mereka dalam proses pembangunan, yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Semua proses tersebut berjalan secara transparan, sehingga tercipta akuntabilitas, yang pada gilirannya merangsang masyarakat untuk makin berpartisipasi.
Keterbukaan sangat dirasakan masyarakat di berbagai segmen kehidupan. Mekanisme perekonomian diserahkan kepada masyarakat, yang meningkatkan antusiasme masyarakat untuk ambil bagian dalam proses pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi maupun organsasi lain merebak di mana-mana, dan melakukan interaksi secara positif dalam masyarakat yang menghormati kebhinekaan.
Realita tersebut menunjukkan hubungan antar komponen masyarakat yang sangat egaliter, karena kemerdekaan berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi dijamin konstitusi. Negara memposisikan masyarakat sebagai komponen penting dan utama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan campur tangan pemerintah yang semakin kecil.
Fungsi masyarakat dalam membangun tatanan masyarakat terbuka semakin jelas. Sebagai konsekuensi logis dari realita tersebut, lahir tuntutan masyarakat adanya hukum dan peraturan perundangan yang mendukung terbentuknya masyarakat terbuka. Bahkan tidak jarang, masyarakat sendiri yang berinisiatif mendorong munculnya peraturan perundangan itu.
Dorongan masyarakat yang sangat besar dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, membuat pengambilan keputusan untuk public policy sangat lambat, termasuk dalam pembuatan peraturan perundangan. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang menyampaikan keinginan dan kepentingannya, dan masyarakat maupun pemerintah mencoba mengakomodasikannya.
Tahun 2010 landasan supremasi hukum berhasil ditanam. Hak asasi manusia diterapkan dalam berbagai bidang, diantaranya bidang ekonomi, budaya, ketenagakerjaan, berkarya, buruh, dll. Masyarakat bisa berusaha dan berkompetisi dengan leluasa, dinamis, dan persaingan sehat, yang meningkatkan profesionalitas.
Lembaga-lembaga keuangan yang merupakan darah perekonomian mampu bekerja secara efektif dan efisien, dan BI sebagai otoritas moneter telah berada pada fungsi utamanya yang independen.
Fenomena itu terus digulirkan oleh masyarakat yang sangat menyadari betapa penting andil mereka dalam proses pembangunan, yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Semua proses tersebut berjalan secara transparan, sehingga tercipta akuntabilitas, yang pada gilirannya merangsang masyarakat untuk makin berpartisipasi.
Keterbukaan sangat dirasakan masyarakat di berbagai segmen kehidupan. Mekanisme perekonomian diserahkan kepada masyarakat, yang meningkatkan antusiasme masyarakat untuk ambil bagian dalam proses pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi maupun organsasi lain merebak di mana-mana, dan melakukan interaksi secara positif dalam masyarakat yang menghormati kebhinekaan.
Realita tersebut menunjukkan hubungan antar komponen masyarakat yang sangat egaliter, karena kemerdekaan berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi dijamin konstitusi. Negara memposisikan masyarakat sebagai komponen penting dan utama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan campur tangan pemerintah yang semakin kecil.
Fungsi masyarakat dalam membangun tatanan masyarakat terbuka semakin jelas. Sebagai konsekuensi logis dari realita tersebut, lahir tuntutan masyarakat adanya hukum dan peraturan perundangan yang mendukung terbentuknya masyarakat terbuka. Bahkan tidak jarang, masyarakat sendiri yang berinisiatif mendorong munculnya peraturan perundangan itu.
Dorongan masyarakat yang sangat besar dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, membuat pengambilan keputusan untuk public policy sangat lambat, termasuk dalam pembuatan peraturan perundangan. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang menyampaikan keinginan dan kepentingannya, dan masyarakat maupun pemerintah mencoba mengakomodasikannya.
Tahun 2010 landasan supremasi hukum berhasil ditanam. Hak asasi manusia diterapkan dalam berbagai bidang, diantaranya bidang ekonomi, budaya, ketenagakerjaan, berkarya, buruh, dll. Masyarakat bisa berusaha dan berkompetisi dengan leluasa, dinamis, dan persaingan sehat, yang meningkatkan profesionalitas.
Lembaga-lembaga keuangan yang merupakan darah perekonomian mampu bekerja secara efektif dan efisien, dan BI sebagai otoritas moneter telah berada pada fungsi utamanya yang independen.
Era Globalitas
Dengan kesiapan pranata hukum, politik, ekonomi, dan kemasyarakatan, bangsa Indonesia memasuki era globalisasi. Masyarakat Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia masuk ke dalam kancah perekonomian regional maupun internasional, yang ditandai dengan era perdagangan AFTA dan NAFTA.
Salah satu ciri era globalitas adalah ketersediaan informasi yang melimpah. Semua orang mudah mengakses informasi dan menjadikannya sebagai referensi demi memberikan nilai tambah dirinya, sehingga mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau menciptakan manusia profesional. Kemerdekaan arus informasi ini mendorong interaksi antar-anggota masyarakat, yang menambah suasana saling pengertian, yang pada gilirannya muncullah kreasi-kreasi baru di segala bidang.
Inovasi yang dihasilkan menumbuhkan entreupreneurship. Masyarakat lebih mandiri dalam menentukan pilihan usahanya. Mereka berlomba melahirkan karya baru yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang bisa menghasilkan pendapatan baru. Karya atau produk baru itu diinformasikan kepada masyarakat yang kemudian mentransformasikannya ke dalam inovasi-inovasi lainnya.
Keadaan ini makin mengembangkan usaha perekonomian yang ditandai dengan diversifikasi usaha ekonomi yang makin terspesialisasi, terutama dalam pemanfaatan sektor kelautan, pariwisata, dan agrobisnis. Muncullah perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai sub kontraktor dari pengusaha kecil dan menengah. Hal itu dimungkinkan, karena dengan profesionalisme atas spesialisasinya akan membentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pengusaha besar, pengusaha menengah dan kecil mempunyai peran masing-masing dan membangun perekonomian nasional.
Adapun industrialisasi yang dikembangkan mempunyai dua tujuan utama, yaitu yang berorientasi ekspor dan yang berorientasi import substitusi. Kegiatan import substitusi ini merupakan upaya membangun jembatan yang menghubungkan industri hulu dan industri hilir (manufaktur) yang telah terbangun pada saat rezim Orde Baru. Kegiatan import substitusi ini pada tahap awal adalah untuk menghemat devisa yang digunakan membeli bahan setengah jadi bagi industri hilir, dan tahap berikutnya adalah untuk meningkatkan competitive and comparative advantage bagi produk Indonesia untuk kepentingan ekspor. Yang paling menonjol adalah menurunnya import jasa, karena peningkatkan keahlian SDM dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi mencapai 5%, lapangan kerja yang tercipta makin luas dan pendidikan makin berkembang sehingga pengangguran menurun. Seluruh aktivitas ekonomi masyarakat tetap mengoptimalkan informasi yang didapat dengan berbagai cara dari berbagai media, yang menjadi bahan pengambilan keputusan usahanya. Kalangan pengusaha berlomba menguasai teknologi tinggi dan mendapatkan SDM yang berkualitas. Para pelajar dan mahasiswa dirangsang untuk berprestasi tinggi sehingga bisa bekerja dengan baik.
Indonesia tidak ragu-ragu lagi membangun industri padat modal dan teknologi tinggi, karena SDM dan sumber daya lainnya telah tersedia. Investor asing tidak ragu-ragu menanamkan modal di Indonesia, karena Indonesia menjadi negara yang paling menarik ditinjau dari ketersediaan sumber daya, besarnya, maupun kebijakan politik dan ekonomi Indonesia.
Salah satu ciri era globalitas adalah ketersediaan informasi yang melimpah. Semua orang mudah mengakses informasi dan menjadikannya sebagai referensi demi memberikan nilai tambah dirinya, sehingga mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau menciptakan manusia profesional. Kemerdekaan arus informasi ini mendorong interaksi antar-anggota masyarakat, yang menambah suasana saling pengertian, yang pada gilirannya muncullah kreasi-kreasi baru di segala bidang.
Inovasi yang dihasilkan menumbuhkan entreupreneurship. Masyarakat lebih mandiri dalam menentukan pilihan usahanya. Mereka berlomba melahirkan karya baru yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang bisa menghasilkan pendapatan baru. Karya atau produk baru itu diinformasikan kepada masyarakat yang kemudian mentransformasikannya ke dalam inovasi-inovasi lainnya.
Keadaan ini makin mengembangkan usaha perekonomian yang ditandai dengan diversifikasi usaha ekonomi yang makin terspesialisasi, terutama dalam pemanfaatan sektor kelautan, pariwisata, dan agrobisnis. Muncullah perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai sub kontraktor dari pengusaha kecil dan menengah. Hal itu dimungkinkan, karena dengan profesionalisme atas spesialisasinya akan membentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pengusaha besar, pengusaha menengah dan kecil mempunyai peran masing-masing dan membangun perekonomian nasional.
Adapun industrialisasi yang dikembangkan mempunyai dua tujuan utama, yaitu yang berorientasi ekspor dan yang berorientasi import substitusi. Kegiatan import substitusi ini merupakan upaya membangun jembatan yang menghubungkan industri hulu dan industri hilir (manufaktur) yang telah terbangun pada saat rezim Orde Baru. Kegiatan import substitusi ini pada tahap awal adalah untuk menghemat devisa yang digunakan membeli bahan setengah jadi bagi industri hilir, dan tahap berikutnya adalah untuk meningkatkan competitive and comparative advantage bagi produk Indonesia untuk kepentingan ekspor. Yang paling menonjol adalah menurunnya import jasa, karena peningkatkan keahlian SDM dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi mencapai 5%, lapangan kerja yang tercipta makin luas dan pendidikan makin berkembang sehingga pengangguran menurun. Seluruh aktivitas ekonomi masyarakat tetap mengoptimalkan informasi yang didapat dengan berbagai cara dari berbagai media, yang menjadi bahan pengambilan keputusan usahanya. Kalangan pengusaha berlomba menguasai teknologi tinggi dan mendapatkan SDM yang berkualitas. Para pelajar dan mahasiswa dirangsang untuk berprestasi tinggi sehingga bisa bekerja dengan baik.
Indonesia tidak ragu-ragu lagi membangun industri padat modal dan teknologi tinggi, karena SDM dan sumber daya lainnya telah tersedia. Investor asing tidak ragu-ragu menanamkan modal di Indonesia, karena Indonesia menjadi negara yang paling menarik ditinjau dari ketersediaan sumber daya, besarnya, maupun kebijakan politik dan ekonomi Indonesia.
Memuliakan kemanusiaan
Perkembangan ekonomi yang baik tersebut didukung oleh sikap terbuka masyarakat, yang makin mempererat kesetiakawanan bangsa Indonesia. Dengan penuh kesadaran dan semangat tinggi masyarakat membangun kebersamaan di tengah-tengah keragaman, agama, wilayah, suku, budaya, dan aliran. Sikap saling memahami perbedaan itu mendorong masyarakat untuk tidak mempertentangkannya, jurstru merangkaikannya dalam sebuah harmoni yang saling memperkaya.
Masyarakat dan pemerintahan yang terbuka dan demokratis menekankan kebijakan yang memuliakan kemanusiaan, menjaga kedaulatan, harkat dan martabat bangsa. Kebijakan itu tertuang dalam konstitusi baru yang berasal dari amandemen UUD 1945, yang di dalamnya mengatur kehidupan demokrasi, menegakkan supremasi hukum, dan menghargai HAM. Semua peraturan perundangan yang diturunkan dari konstitusi selalu bertujuan untuk kepentingan publik, di antaranya adalah larangan monopoli, dan aturan yang menjamin persaingan bebas dan sehat. Permasalahan tersebut merupakan faktor penting untuk menanamkan kepercayaan masyarakat internasional dalam melakukan kontak ekonominya.
Dengan demikian perekonomian Indonesia yang sebelumnya tergantung pada bantuan luar negeri cukup tinggi telah menjelma sebagai negara yang mapan dan mampu berkompetisi dengan negara-negara lainnya, dan mengantarkan masyarakat ke dalam kehidupan yang sejahtera. Salah satu kebijakan ekonomi Indonesia adalah membayar utang luar negeri, sehingga kewajiban membayar bunga bisa diperkecil. Kemajuan itu didukung oleh pemerintah yang membatasi dirinya untuk tidak banyak ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sebaliknya memperbesar peran dan tanggung jawab masyarakat. Upaya ini dimulai dari Pemerintahan Abdurrahman Wahid yang membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dan menggantinya dengan lembaga yang lebih sederhana, dan wewenang selebihnya diserahkan kepada masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, kemerdekaan pers dihormati dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Pers menjadikan dirinya sebagai pilar ke empat dalam kehidupan bernegara, yang selalu mengawasi tindak tanduk pemerintah, legislatif, pengadilan, bahkan kehidupan masyarakat sendiri. Sebaliknya, masyarakat dan pilar-pilar negara juga mengamati dengan cermat sepak terjang pers, apakah sudah profesional atau tidak.
Kontrol tersebut sangat penting untuk menjaga tatanan kehidupan yang kondusif mendukung kemajuan masyarakat. Dengan demikian kompetisi para pelaku ekonomi yang ditunjang pangsa pasar yang begitu luas, sumber daya alam yang berlimpah-limpah akan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat tanpa meninggalkan wawasan lingkungan.
Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke ufuk barat, dari Sabang sampai Merauke terhampar indah jajaran pulau-pulau Indonesia yang terbaring menakjubkan, bagai untaian zamrud di katulistiwa. Kekayaan pantai, budaya, danau, dan berbagai kesenian merayu wisatawan mancanegara untuk berkujung. Hotel, biro jasa dan perdagangan tumbuh subur dan menyediakan lowongan kerja, serta memacu industri rakyat dan popularitas Indonesia.
Masyarakat dan pemerintahan yang terbuka dan demokratis menekankan kebijakan yang memuliakan kemanusiaan, menjaga kedaulatan, harkat dan martabat bangsa. Kebijakan itu tertuang dalam konstitusi baru yang berasal dari amandemen UUD 1945, yang di dalamnya mengatur kehidupan demokrasi, menegakkan supremasi hukum, dan menghargai HAM. Semua peraturan perundangan yang diturunkan dari konstitusi selalu bertujuan untuk kepentingan publik, di antaranya adalah larangan monopoli, dan aturan yang menjamin persaingan bebas dan sehat. Permasalahan tersebut merupakan faktor penting untuk menanamkan kepercayaan masyarakat internasional dalam melakukan kontak ekonominya.
Dengan demikian perekonomian Indonesia yang sebelumnya tergantung pada bantuan luar negeri cukup tinggi telah menjelma sebagai negara yang mapan dan mampu berkompetisi dengan negara-negara lainnya, dan mengantarkan masyarakat ke dalam kehidupan yang sejahtera. Salah satu kebijakan ekonomi Indonesia adalah membayar utang luar negeri, sehingga kewajiban membayar bunga bisa diperkecil. Kemajuan itu didukung oleh pemerintah yang membatasi dirinya untuk tidak banyak ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sebaliknya memperbesar peran dan tanggung jawab masyarakat. Upaya ini dimulai dari Pemerintahan Abdurrahman Wahid yang membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dan menggantinya dengan lembaga yang lebih sederhana, dan wewenang selebihnya diserahkan kepada masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, kemerdekaan pers dihormati dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Pers menjadikan dirinya sebagai pilar ke empat dalam kehidupan bernegara, yang selalu mengawasi tindak tanduk pemerintah, legislatif, pengadilan, bahkan kehidupan masyarakat sendiri. Sebaliknya, masyarakat dan pilar-pilar negara juga mengamati dengan cermat sepak terjang pers, apakah sudah profesional atau tidak.
Kontrol tersebut sangat penting untuk menjaga tatanan kehidupan yang kondusif mendukung kemajuan masyarakat. Dengan demikian kompetisi para pelaku ekonomi yang ditunjang pangsa pasar yang begitu luas, sumber daya alam yang berlimpah-limpah akan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat tanpa meninggalkan wawasan lingkungan.
Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke ufuk barat, dari Sabang sampai Merauke terhampar indah jajaran pulau-pulau Indonesia yang terbaring menakjubkan, bagai untaian zamrud di katulistiwa. Kekayaan pantai, budaya, danau, dan berbagai kesenian merayu wisatawan mancanegara untuk berkujung. Hotel, biro jasa dan perdagangan tumbuh subur dan menyediakan lowongan kerja, serta memacu industri rakyat dan popularitas Indonesia.
Aku bangga padamu IndonesiaKu.
Masa-masa prihatin
Untuk sampai kepada fajar menyingsing, Indonesia melewati masa gelap yang panjang, masa-masa prihatin selama 10 tahun. Kiai Abdurrahman Wahid dengan sengaja mengurangi kekuasaan negara, dan terus mendorong masyarakat untuk memperkuat dirinya dan mengambil peranan lebih besar. Pemerintahan Gus Dur berupaya menegakkan supremasi hukum, yaitu dengan tidak melakukan intervensi ke dalam proses peradilan. Ia juga menerapkan budaya transparansi dengan memberi kemerdekaan pers seluas-luasnya. Padahal banyak sekali pers yang suka memelintir berita, atau menyiarkan kabar bohong yang sangat mengganggu, dan banyak di antaranya yang sudah melanggar KUHP. Namun, tidak ada satu pun pers yang diajukan ke pengadilan, hanya berkali-kali Presiden menyindir profesionalisme pers. Inilah isyarat Gus Dur, yang penting bebas dulu, profesionalisme dibangun sambil berjalan.
Banyak orang yang salah mengerti langkah-langkah Gus Dur dan kemudian mengecamnya. Di antaranya adalah kasus pembubaran Departemen Penerangan (Deppen). Kalangan DPR menganggap Deppen masih diperlukan, tapi Gus Dur beranggapan bahwa informasi lebih baik diurus masyarakat sendiri. Jika pemerintah mengurus informasi, maka akan tergoda untuk mengontrolnya, selangkah lagi memonopoli informasi, dan kemudian menjadikannya sebagai sarana propaganda. Dan jika itu terjadi, maka pemerintah akan menjadi totaliter.
Yang paling unik adalah cara penyelesaian terhadap ancaman disintegrasi bangsa, termasuk perbedaan pandangan antara negara kesatuan atau negara federal. Di Ambon, Gus Dur menyatakan bahwa perdamaian di Ambon hanya bisa diselesaikan oleh masyarakat Ambon yang bertikai sendiri, pemerintah hanya memfasilitasi. Pernyataan ini mendapat kecaman pedas dari beberapa aktivis LSM maupun anggota DPR, yang menuduh pemerintah membiarkan terjadinya pertumpahan darah di Ambon. Gus Dur dituduh lepas tangan. Seharusnya pemerintah mengambil prakarsa, menurunkan polisi untuk melerai, dan menangkap para pelakunya.
Segala macam konflik dan tuntutan masyarakat, mendorong masyarakat bertanya kembali, mengapa Indonesia yang mempunyai wilayah seluas Eropa bisa menjadi satu negara yang utuh? Mungkin Indonesia bersatu karena mempunyai musuh bersama yaitu penjajah, Belanda. Oleh karena itu wilayah Indonesia adalah daerah bekas jajahan Belanda. Lalu, setelah Belanda pergi, musuh bersama tidak ada, apa yang mendorong masyarakat dari Sabang sampai Merauke tetap bersatu? Apakah karena kesaktian Pancasila? Masa Orde Baru mengajarkan seperti itu, dan Pancasila dijadikan ideologi negara, yang dipakai oleh penguasa untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Begitu Orde Baru jatuh, nama Pancasila tidak harum lagi.
Apakah bisa perasaan senasib sepenanggungan dianggap sebagai perekan persatuan bangsa? Pertanyaan ini sungguh tidak relevan, bagaimana mungkin bisa muncul senasib sepenanggungan kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa terjadi ketimpangan pembagian hasil pembangunan antara pusat dan daerah. Justru tidak adanya keadilan inilah yang merangsang diskusi antara bentuk negara federal. Apakah negara federal lebih baik daripada negara kesatuan? Apakah pembentukan negara federal bukan merupakan stepping stone menuju disintegrasi bangsa, seperti halnya pisahnya Singapura dari Malaysia, atau seperti Uni Soviet, atau bahkan seperti Yugoslavia? Amerika Serikat bukanlah contoh yang tepat bagi federasi Indonesia, karena komposisi demografi dan budaya di tiap negara bagian di Amerika Serikat sangat berbeda dengan di Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia mempunyai budaya lokal yang dominan, demikian pula untuk demografinya yang ditandai dengan adanya suku yang dominan. Tambahan lagi dengan latar belakang sejarah sebelum Belanda menjajah Indonesia, maka bentuk negara federal bukan hanya membawa disintegrasi Indonesia, tetapi juga kemungkinan perang antar daerah, misalnya perang antara Sriwijaya dengan Mataram, atau perang antara Majapahit dengan kerajaan/negara di daerah-daerah lain.
Wacana bentuk negara ini menjadi pembicaran publik selama pemerintahan Gus Dur, yang kemudian disimpulkan dengan kata-kata praktis, jika masyarkat Indonesia tidak mau bersatu, lalu apa mau pecah dan bertikai? Betapa pun lemahnya alasan untuk bersatu dalam satu negara, namun itu lebih baik daripada harus bertikai, bermusuhan, dan saling bunuh.
Akhir tahun 2000, Aceh mendapat otonomi luas. Pelaksanaan Undang-undang No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan awal tahun 2001. Dengan dana yang ada, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur dan Riau menitikberatkan pada pengembangan SDM. Universitas di daerah itu dinomorsatukan, dengan jalan membangun laboratorium ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengundang dosen-dosen dari ITB, ITS, IPB, UGM dan UI dengan tunjangan gaji yang sangat besar. Perkembangan universitas itu mencegah braindrain pelajar-pelajar Riau dan Kaltim ke P. Jawa. Bahkan daerah itu menyedot pelajar-pelajar brilian di sekitarnya untuk masuk ke Universitas Lancang Kuning dan Universitas Mulawarman, bahkan kemudian bekerja di daerah itu pula. Pola Riau dan Kaltim ini segera ditiru oleh daerah-daerah lain. Dengan dana yang diperolehnya, daerah menjadikan universitas sebagai ujung tombak untuk memenuhi kebutuhan tenaga siap pakai.
Kekhawatiran terjadinya pemerataan korupsi di daerah-daerah akibat UU no. 25/1999 diperkecil dengan munculnya masyarakat dan pers yang kritis. Anggota-anggota DPRD tidak berani berkolusi dengan eksekutif, karena mereka dikontrol oleh para pemilihnya dan LSM, sehingga mereka selalu mengontrol tingkah laku eksekutif. Polisi, jaksa dan hakim juga tidak berani main-main. Tingkah laku yang tak pada tempatnya selalu disorot oleh masyarakat, melalui pers, LSM, ormas, orpol atau lewat demonstrasi.
Perkembangan daerah-daerah luar Jawa bagaikan gula yang menyedot penduduk P. Jawa mencari kerja di luar Jawa. Transmigrasi berjalan dengan sendirinya, pemerintah hanya memfasilitasi informasi tenaga yang dibutuhkan, dan pelatihan.
Pelaksanaan UU no 22 dan 25 ini sesungguhnya mengakomodasi seluruh aspirasi federasi tanpa membuat Indonesia menjadi negara federal.
Banyak orang yang salah mengerti langkah-langkah Gus Dur dan kemudian mengecamnya. Di antaranya adalah kasus pembubaran Departemen Penerangan (Deppen). Kalangan DPR menganggap Deppen masih diperlukan, tapi Gus Dur beranggapan bahwa informasi lebih baik diurus masyarakat sendiri. Jika pemerintah mengurus informasi, maka akan tergoda untuk mengontrolnya, selangkah lagi memonopoli informasi, dan kemudian menjadikannya sebagai sarana propaganda. Dan jika itu terjadi, maka pemerintah akan menjadi totaliter.
Yang paling unik adalah cara penyelesaian terhadap ancaman disintegrasi bangsa, termasuk perbedaan pandangan antara negara kesatuan atau negara federal. Di Ambon, Gus Dur menyatakan bahwa perdamaian di Ambon hanya bisa diselesaikan oleh masyarakat Ambon yang bertikai sendiri, pemerintah hanya memfasilitasi. Pernyataan ini mendapat kecaman pedas dari beberapa aktivis LSM maupun anggota DPR, yang menuduh pemerintah membiarkan terjadinya pertumpahan darah di Ambon. Gus Dur dituduh lepas tangan. Seharusnya pemerintah mengambil prakarsa, menurunkan polisi untuk melerai, dan menangkap para pelakunya.
Segala macam konflik dan tuntutan masyarakat, mendorong masyarakat bertanya kembali, mengapa Indonesia yang mempunyai wilayah seluas Eropa bisa menjadi satu negara yang utuh? Mungkin Indonesia bersatu karena mempunyai musuh bersama yaitu penjajah, Belanda. Oleh karena itu wilayah Indonesia adalah daerah bekas jajahan Belanda. Lalu, setelah Belanda pergi, musuh bersama tidak ada, apa yang mendorong masyarakat dari Sabang sampai Merauke tetap bersatu? Apakah karena kesaktian Pancasila? Masa Orde Baru mengajarkan seperti itu, dan Pancasila dijadikan ideologi negara, yang dipakai oleh penguasa untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Begitu Orde Baru jatuh, nama Pancasila tidak harum lagi.
Apakah bisa perasaan senasib sepenanggungan dianggap sebagai perekan persatuan bangsa? Pertanyaan ini sungguh tidak relevan, bagaimana mungkin bisa muncul senasib sepenanggungan kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa terjadi ketimpangan pembagian hasil pembangunan antara pusat dan daerah. Justru tidak adanya keadilan inilah yang merangsang diskusi antara bentuk negara federal. Apakah negara federal lebih baik daripada negara kesatuan? Apakah pembentukan negara federal bukan merupakan stepping stone menuju disintegrasi bangsa, seperti halnya pisahnya Singapura dari Malaysia, atau seperti Uni Soviet, atau bahkan seperti Yugoslavia? Amerika Serikat bukanlah contoh yang tepat bagi federasi Indonesia, karena komposisi demografi dan budaya di tiap negara bagian di Amerika Serikat sangat berbeda dengan di Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia mempunyai budaya lokal yang dominan, demikian pula untuk demografinya yang ditandai dengan adanya suku yang dominan. Tambahan lagi dengan latar belakang sejarah sebelum Belanda menjajah Indonesia, maka bentuk negara federal bukan hanya membawa disintegrasi Indonesia, tetapi juga kemungkinan perang antar daerah, misalnya perang antara Sriwijaya dengan Mataram, atau perang antara Majapahit dengan kerajaan/negara di daerah-daerah lain.
Wacana bentuk negara ini menjadi pembicaran publik selama pemerintahan Gus Dur, yang kemudian disimpulkan dengan kata-kata praktis, jika masyarkat Indonesia tidak mau bersatu, lalu apa mau pecah dan bertikai? Betapa pun lemahnya alasan untuk bersatu dalam satu negara, namun itu lebih baik daripada harus bertikai, bermusuhan, dan saling bunuh.
Akhir tahun 2000, Aceh mendapat otonomi luas. Pelaksanaan Undang-undang No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan awal tahun 2001. Dengan dana yang ada, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur dan Riau menitikberatkan pada pengembangan SDM. Universitas di daerah itu dinomorsatukan, dengan jalan membangun laboratorium ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengundang dosen-dosen dari ITB, ITS, IPB, UGM dan UI dengan tunjangan gaji yang sangat besar. Perkembangan universitas itu mencegah braindrain pelajar-pelajar Riau dan Kaltim ke P. Jawa. Bahkan daerah itu menyedot pelajar-pelajar brilian di sekitarnya untuk masuk ke Universitas Lancang Kuning dan Universitas Mulawarman, bahkan kemudian bekerja di daerah itu pula. Pola Riau dan Kaltim ini segera ditiru oleh daerah-daerah lain. Dengan dana yang diperolehnya, daerah menjadikan universitas sebagai ujung tombak untuk memenuhi kebutuhan tenaga siap pakai.
Kekhawatiran terjadinya pemerataan korupsi di daerah-daerah akibat UU no. 25/1999 diperkecil dengan munculnya masyarakat dan pers yang kritis. Anggota-anggota DPRD tidak berani berkolusi dengan eksekutif, karena mereka dikontrol oleh para pemilihnya dan LSM, sehingga mereka selalu mengontrol tingkah laku eksekutif. Polisi, jaksa dan hakim juga tidak berani main-main. Tingkah laku yang tak pada tempatnya selalu disorot oleh masyarakat, melalui pers, LSM, ormas, orpol atau lewat demonstrasi.
Perkembangan daerah-daerah luar Jawa bagaikan gula yang menyedot penduduk P. Jawa mencari kerja di luar Jawa. Transmigrasi berjalan dengan sendirinya, pemerintah hanya memfasilitasi informasi tenaga yang dibutuhkan, dan pelatihan.
Pelaksanaan UU no 22 dan 25 ini sesungguhnya mengakomodasi seluruh aspirasi federasi tanpa membuat Indonesia menjadi negara federal.
Redefinisi peranan TNI
Masalah paling kritis di akhir Millenium 2 bagi Indonesia adalah masalah TNI. Semasa Orde Baru TNI atau ABRI adalah kelas istimewa bagi bangsa Indonesia. Kelas ini diberikan Presiden Suharto sebagai konsesi, karena ABRI dijadikan tukang pukulnya untuk membasmi lawan-lawan politik Orde Baru. Personel militer memperoleh jabatan dari Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Dirjen, Irjen, Dirut BUMN, sampai ke anggota MPR/DPR/DPRD. ABRI bukan saja memperoleh kursi gratis di DPR, tapi organisasi-organisasi yang bergandengan dengan ABRI juga mempunya jatah khusus, misalnya Perpabri, FKPPI, Panca Marga, Veteran, Darma Pertiwi.
Sebagai tukang pukul, ABRI mempunyai policy, sikap dan tindak tanduk yang menjadi sebab utama disintegrasi bangsa. Pembantaian di Santa Cruz Dili adalah awal dari terpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Operasi militer yang dilakukan di Aceh mendorong keinginan sebagian masyarakat Aceh ingin memisahkan diri.
Jatuhnya Orde Baru, dihujatnya ABRI/TNI, mendorong sebagian perwira tinggi TNI melakukan mawas diri, dan melakukan redefinisi peranan TNI dalam negara. Proses ini sangat panas dan sensitif, karena banyak jenderal diadili karena pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Ini adalah jalan terbaik, daripada para jenderal itu diadili oleh Mahkamah Internasional (International Tribunal). Namun, beberapa peleton TNI tak tahan menerima kenyataan itu, dan dengan perasaan sakit hati melakukan kerusuhan di Jakarta, yang menimbulkan korban tewas puluhan orang di kalangan sipil. Mereka menuntut dihentikannya hujatan terhadap TNI, dan juga menuntut peningkatan kesejahteraan bagi prajurit.
Letupan ini berhasil diredam oleh kalangan TNI sendiri. Para perwira meminta maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat. Sedangkan kalangan pemimpin masyarakat menghimbau kepada pers dan para aktivis LSM untuk menghentikan caci maki terhadap TNI, serta memindahkan energi hujatan itu ke arah perbaikan doktrin TNI. Keseimbangan yang terjadi adalah dibubarkannya doktrin teritorial TNI. Komando Daerah Militer dilikuidasi, dan sebagai gantinya adalah pembentukan militer yang efisien tapi efektif dalam bergerak untuk menghadapi musuh negara. Kesejahteran TNI ditingkatkan sampai ke titik wajar.
Setelah tahun 2002 keadaan TNI mengalami keseimbangan. Para jenderal yang dijatuhi hukuman karena melanggar hak asasi manusia, setelah menjalani hukuman sebentar diampuni oleh Presiden.
Sebagai tukang pukul, ABRI mempunyai policy, sikap dan tindak tanduk yang menjadi sebab utama disintegrasi bangsa. Pembantaian di Santa Cruz Dili adalah awal dari terpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Operasi militer yang dilakukan di Aceh mendorong keinginan sebagian masyarakat Aceh ingin memisahkan diri.
Jatuhnya Orde Baru, dihujatnya ABRI/TNI, mendorong sebagian perwira tinggi TNI melakukan mawas diri, dan melakukan redefinisi peranan TNI dalam negara. Proses ini sangat panas dan sensitif, karena banyak jenderal diadili karena pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Ini adalah jalan terbaik, daripada para jenderal itu diadili oleh Mahkamah Internasional (International Tribunal). Namun, beberapa peleton TNI tak tahan menerima kenyataan itu, dan dengan perasaan sakit hati melakukan kerusuhan di Jakarta, yang menimbulkan korban tewas puluhan orang di kalangan sipil. Mereka menuntut dihentikannya hujatan terhadap TNI, dan juga menuntut peningkatan kesejahteraan bagi prajurit.
Letupan ini berhasil diredam oleh kalangan TNI sendiri. Para perwira meminta maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat. Sedangkan kalangan pemimpin masyarakat menghimbau kepada pers dan para aktivis LSM untuk menghentikan caci maki terhadap TNI, serta memindahkan energi hujatan itu ke arah perbaikan doktrin TNI. Keseimbangan yang terjadi adalah dibubarkannya doktrin teritorial TNI. Komando Daerah Militer dilikuidasi, dan sebagai gantinya adalah pembentukan militer yang efisien tapi efektif dalam bergerak untuk menghadapi musuh negara. Kesejahteran TNI ditingkatkan sampai ke titik wajar.
Setelah tahun 2002 keadaan TNI mengalami keseimbangan. Para jenderal yang dijatuhi hukuman karena melanggar hak asasi manusia, setelah menjalani hukuman sebentar diampuni oleh Presiden.
Mendorong produktivitas masyarakat
Langkah yang paling menonjol adalah kebijakan ekonomi Pemerintahan Gus Dur. Seperti halnya di bidang sosial politik, Gus Dur juga menyerahkannya kepada dinamika masyarakat. Intervensi hanya dilakukan untuk beras, agar kepentingan petani tidak dirugikan, tapi masyarakat bisa menjangkau harga beras di pasar. Secara umum pemerintah hanya menjadi fasilitator. Jika dahulu ada istilah "jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah", maka istilah itu mulai berkurang. Hal ini karena gaji pegawai dinaikkan, sehingga dorongan ke arah meminta suap berkurang, apalagi kontrol dari pers sangat tajam dan efektif.
Profesionalisme sangat dihargai. BUMN diswastakan dan masuk ke pasar modal, sehingga masyarakat bisa langsung mengontrolnya. Swasta diberi keleluasaan. Koperasi didorong untuk memperkuat industri kecil dan menengah.
Pada awalnya, kebijakan Gus Dur tak mampu memancing pertumbuhan ekonomi yang berarti, bahkan masih lebih kecil daripada tingkat inflasi. Namun di akhir masa jabatannya, inflasi hanya 3% per tahun, dan tingkat pertumbuhan mencapai 5%.
Gus Dur memutuskan untuk tidak maju lagi dalam pemilihan presiden tahun 2004, dan menarik diri untuk menjadi Guru Bangsa yang diidam-idamkannya sejak muda, dan kembali ke Ciganjur. "Alhamdulillah saya masih kuat menjadi Presiden sampai akhir jabatan, di tengah-tengah kesehatan saya yang makin menurun. Insya Allah, bila peran serta masyarakat tetap dijamin oleh sistem politik kita, dan pemerintah mengurangi kekuasaannya dan peranannya, maka rakyat akan kuat dan Indonesia akan selamat," kata Kiai Ciganjur itu.***
Profesionalisme sangat dihargai. BUMN diswastakan dan masuk ke pasar modal, sehingga masyarakat bisa langsung mengontrolnya. Swasta diberi keleluasaan. Koperasi didorong untuk memperkuat industri kecil dan menengah.
Pada awalnya, kebijakan Gus Dur tak mampu memancing pertumbuhan ekonomi yang berarti, bahkan masih lebih kecil daripada tingkat inflasi. Namun di akhir masa jabatannya, inflasi hanya 3% per tahun, dan tingkat pertumbuhan mencapai 5%.
Gus Dur memutuskan untuk tidak maju lagi dalam pemilihan presiden tahun 2004, dan menarik diri untuk menjadi Guru Bangsa yang diidam-idamkannya sejak muda, dan kembali ke Ciganjur. "Alhamdulillah saya masih kuat menjadi Presiden sampai akhir jabatan, di tengah-tengah kesehatan saya yang makin menurun. Insya Allah, bila peran serta masyarakat tetap dijamin oleh sistem politik kita, dan pemerintah mengurangi kekuasaannya dan peranannya, maka rakyat akan kuat dan Indonesia akan selamat," kata Kiai Ciganjur itu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar