A. Deskripsi tentang Buku
Buku bersampul hitam dengan judul “Tafsir Negara Islam, dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia”, adalah hasil karya dari : Dr. Ahmad Yani Anshori dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, editor : Edy Yusuf, Fuad Zarkasyi, desain cover dan layout isi : Indra Wibi S, pra cetak: Abdul Rokhim dan Saifur Rohman. Buku ini terdiri: xii (pengantar buku) + 200 halaman (pembahasan materi) + 8 halaman (daftar pustaka) : 14,5 x 21 cm. ISBN : 978-979-19080-0-9. Buku ini merupakan cetakan I, November 2008, yang dicetak dan diterbitkan oleh Siyasat Press −media bebas ekspresi civitas akademika jurusan Jinayah-Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta− yang beralamat di Jl. Marsda Adisutjipto, Yogyakarta, Telp: (0274) 512840, Fax: (0274) 512840, Mobile: 0817 444 132.
Pembahasan materi dalam buku ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu: pertama, pendahuluan; kedua, Wacana Islam dan Negara-negara di Awal Kemerdekaan; ketiga, Tafsir Negara Islam dalam Konstituante; keempat, Asas Tunggal dan Respon Kebangsaan; kelima, Penutup.
B. Poin-poin dari Buku
I. Pendahuluan
Sejak menjelang kemerdekaan Indonesia, telah terjadi kontroversi terhadap dasar yang nantinya digunakan dalam Negara Indonesia. Dua kelompok (kubu nasionalis Islam dan kubu nasionalis sekuler) saling menginginkan ideologinya sebagai dasar Negara, dengan memunculkan argumen-argumen mereka. Pemahaman politik seperti inilah yang telah menunjukkan corak teologis tersendiri (tidak terkoneksi) dalam pencarian karakter kebangsaan bangsa Indonesia hingga sekarang.
II. Wacana Islam dan Negara-Bangsa di Awal Kemerdekaan
A. Islam Versus Negara
Dalam pencarian identitas dan karakter kebangsaan, hampir semua negeri Muslim mengalami problem Nation-State. Hal tersebut akan selalu melahirkan dikotomis pertentangan antara Negara agama dan Negara sekuler. Polemik Islam versus Negara ini, praktis dimulai sejak masa menjelang kemerdekaan dan masih terasa hingga sekarang. Sebenarnya yang menjadi latar belakang terjadinya tarik-menarik kepentingan antara Islam dengan Negara dalam berbagai variannya adalah ketidakjelasan penegasan tentang karakter dan identitas kebangsaan (nation character buildings).
B. Pemikiran Islam Versus Pemikiran Sekuler
Menurut pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahwa faham nasionalisme harus mempunyai landasan teologis yang diorientasikan sebagai bagian dari bentuk beribadah kepada Allah swt untuk mencari ridho-Nya, sehingga Negara Indonesia muthlak harus memakai syari’at Islam sebagai dasar Negara. Berbeda dengan pemikiran tokoh-tokoh sekuler –dipelopori oleh Soekarno– yang pada dasarnya mendukung pemisahan antara agama dan Negara seperti halnya kebijakan Kemal Attaturk di Negara Turki. Alasan mereka adalah jika agama tidak dipisahkan dari Negara, Islam dapat dijadikan alat kediktatoran oleh pelaku politik yang tidak bertanggungjawab. Dan bila Indonesia menjadi Negara Islam, maka hanya bisa dilakukan dengan paksaan, padahal pemaksaan merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
C. Gagasan Seputar Dasar Negara
Terkait dengan polarisasi masyarakat bangsa Indonesia, berdirinya BPUPKI pada 9 April 1945 mempunyai sejarah terpenting, dimana dalam wadah ini para pendiri bangsa (Founding Fathers) berkumpul untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Lagi-lagi dalam penentuan dasar Negara terjadi kontroversi. Namun kubu nasionalis Islam dan kubu nasionalis sekuler berdiskusi dan akhirnya menyepakati lima hal sebagai dasar Negara dalam kompromi Piagam Jakarta. Tetapi dalam sidang resmi yang pertama kali (18 Agustus 1945), masyarakat non-Islam bagian Timur Indonesia merasa keberatan terhadap dasar negara yang pertama, sehingga mereka –dengan perantara Mohammad Hatta– mengusulkan penghapusan tujuh kata, dan jika usulan itu tidak ditindaklanjuti atau tetap dipertahankan, mereka mengancam untuk memisahkan diri dari pemerintah kesatuan Republik Indonesia. Dalam berbagai pertimbangan, akhirnya tujuh kata tersebut dihapuskan, namun dari sebagian kubu nasionalis Islam penghapusan tersebut merupakan rekayasa sepihak dan bentuk pengkhianatan dari kubu nasionalis sekuler.
III. Tafsir Negara Islam dalam Konstituante
A. Platform dan Ideologi yang Diperjuangkan dalam Konstituante
Pasca kemerdekaan Indonesia, pertama kalinya diadakan Pemilihan Umum adalah pada tanggal 29 September 1955. Dalam pemilu ini, kurang lebih terdapat 30 partai yang dikemas dalam tiga platform, yaitu: platform ketuhanan, platform kebangsaan dan platform marxisme. Sedangkan menurut prinsip-prinsip ideologi dapat disederhanakan menjadi tiga bagian, yaitu: Islam, sosial-ekonomi dan pancasila. Setahun kemudian, tanggal 10 November 1956 tepatnya di Bandung, presiden Soekarno melantik para anggota konstituante yang terdiri dari berbagai utusan partai. Salah satu yang menjadi tugas konstituante adalah menyusun dan mengesahkan UUD yang permanen sebagai pengganti UUD 1950 yang pada saat itu masih bersifat sementara.
B. Perjuangan ke Arah Negara Islam dalam Konstituante
Menurut kesepakatan partai-partai Islam, bahwa dasar Negara yang berlandaskan syari’at Islam sangatlah tepat, karena merupakan amanat perjuangan para pahlawan Islam dalam perang melawan penjajah. Sehingga menurut pandangan mereka Majlis Konstituante dipandang sebagai media politik yang pas untuk merealisasikan tuntutan teologis tersebut secara damai dan demokratis. Konsep-konsep Islam secara terus-menerus di publikasikan oleh wakil-wakil dari partai-partai Islam yang duduk di Majlis Konstituante. Seperti misalnya argumen yang menyatakan bahwa sebenarnya dalam konsep Islam, pancasila dan sosial-ekonomi terdapat banyak sekali titik temunya. Namun demikian, dari kelompok-kelompok yang menjadi lawan politik partai Islam dengan berbagai alasan tetap bersikeras tidak menerima Islam sebagai dasar Negara Indonesia.
C. Akhir dari Perjuangan ke Arah Negara Islam dalam Konstituante
Pada tanggal 19 Februari 1959, pemerintah Soekarno akan melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945, atas tekanan dari Jenderal A. H. Nasution (atas nama Angkatan Darat) karena Majlis konstituante dianggap sedang mengalami jalan buntu dalam menjalankan tugasnya, yang pada akhirnya hal tersebut dapat mengganggu stabilitas Negara secara Nasional.
Kebijakan yang diambil pemerintah ini, menurut kelompok Islam dianggap sebagai trik inkonstitusional untuk melawan upaya perjuangan mereka yang mana pada saat itu kemenangan ummat Islam melalui majlis Konstituante tersebut telah diambang pintu.
Dari persoalan di atas, munculah masalah baru tentang Piagam Jakarta. Kelompok Islam menerima kebijakan yang diambil pemerintah Soekarno, namun dengan syarat menjadikan Piagam Jakarta dimasukkan sebagai pembukaan UUD 1945, yang tentu saja hal itu mendapat penentangan keras dari kelompok non-Islam, karena dianggap –dalam Piagam Jakarta, dasar Negara sila pertama– lebih bersikap diskriminan. Dengan keadaan Negara yang darurat, presiden Soekarno menyatakan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang berisi: pembubaran konstituante; berlakunya kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUD sementara 1950; dan agar secepatnya diadakan pembentukan MPRS dan DPAS. Dekrit Presiden merupakan babakan baru dimulainya era Demokrasi Terpimpin dengan Manipol USDEK sebagai haluan Negara yang melandasi terlaksananya pemerintahan, dan NASAKOM sebagai living realities yang harus diterima.
IV. Asas Tunggal dan Respon Kebangsaan
A. Kebijaklan Asas Tunggal
Pemerintah Demokrasi Terpimpin dengan Manipol USDEK dan NASAKOM berakhir setelah pelimpahan kekuasaan dari presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Selanjutnya Jenderal Soeharto dipilih oleh MPRS menjadi presiden Indonesia tahun 1968. Kepemimpinan Jenderal Soeharto ini sekaligus menandai di mulainya pemerintah Orde Baru.
Pada awal pemerintahannya, Orde Baru melakukan deideologisasi terhadap kekuatan politik dari agama Islam dengan meloloskan RUU pemilu pada 31 Desember 1969, karena pemerintah Orde Baru mengkhawatirkan ideologi Islam dapat mengambil alih kekuasaan kepemerintahannya.
Sampai pada puncaknya (23 Juni 1984), presiden Soeharto memerintahkan menteri Dalam Negeri, Supardjo Rustam, sebagai wakil pemerintah untuk membacakan lima RUU di muka DPR sebelum dibahas dan disahkan. Dalam RUU tersebut terdapat peletakan pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menteri Agama saat itu, Munawir Sadzali menyatakan kepada ummat Islam, bahwa pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan punya keserasian antara keduanya. Terkait organisasi politik, asas tunggal pancasila diundangkan dalam UU No. 5 tahun 1985. Secara yuridis, UU ini mengharuskan organisasi politik (seperti PPP) untuk menerima pancasila sebagai asas tunggal dan menanggalkan dari asas Islamnya. Walaupun pada awalnya partai politik Islam menolak UU tersebut atas argumen jika menghilangkan asas Islam, berarti secara formal PPP telah menjadi
“partai terbuka” termasuk bagi non-Muslim, padahal PPP bukan partainya non-Muslim. Namun akhirnya partai politik Islampun menyetujui UU tersebut, sebab posisi pemerintah sangat kuat sementara partai politik Islam berada dalam daya tawar dan posisi politik yang cukup rendah.
B. Respon Kebangsaan Muhammadiyah
Di dalam pemikiran politiknya, sejarah Muhammadiyah pada tahun 1918 mencatat munculnya dualisme gagasan, yaitu Muhammadiyah sebagai organisasi politik (H. Agus Salim) dan Muhammadiyah tetap sebagai organisasi keagamaan (KH. Ahmad Dahlan).
Dalam menanggapi keinginan pemerintah masa Orde Baru, politik praktis Muhammadiyah menggelar sidang Tanwir pada bulan Mei 1983. Hasil dari sidang ini diantaranya: menerima pancasila sebagai asas tunggal dengan alasan karena beberapa pemimpin Muhammadiyah telah berpartisipasi dalam perumusan pancasila, serta perubahannya. Namun akhirnya pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971, memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak mau terlibat lagi dalam politik praktis dan bersikap netral. Keputusan ini merupakan titik balik bagi Muhammadiyah untuk kembali ke khithahnya sebagai gerakan sosial keagamaan. Mundurnya Muhammadiyah dari panggung politik praktis adalah dikarenakan munculnya sebuah lapisan baru ummat Islam yang tidak concern dengan partai Islam.
Respon Muhammadiyah terhadap wacana politik kontemporer lebih didasarkan kepada; pertama pembacaan dan analisa politik situasional, dan kedua didasarkan kepada figur pimpinan.
C. Respon Kebangsaan NU (Nahdlatul Ulama)
Pada tahun 1984 dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, NU menetapkan: pancasila sebagai asas organisasi (pasal yang ke-2) mendahului pengundangan Undang-undang keormasan, dan menambah pasal aqidah yang dirumuskan dalam Anggaran Dasar NU, yaitu NU sebagai Jami’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (pasal yang ke-3). Dalam kaitannya merespon kebijakan pemerintah Orde Baru tentang asas tunggal, di kalangan NU telah mulai diperdebatkan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983. NU sebagai organisasi masyarakat terkena aturan dan harus menerima pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, tetapi dalam pengertian bahwa hal itu bukan berarti NU mengesampingkan Islam, buktinya pada Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989, dalam pasal tentang asas organisasi yang tadinya pasal 2 diubah menjadi pasal 3, dan pasal 3 diubah menjadi pasal 2. Dari pengubahan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa NU lebih mengedepankan aqidah, baru kemudian asas pancasila. Penerimaan NU terhadap pancasila sebagai asas tunggal adalah karena di dalam pancasila itu isinya sejalan dengan ajaran syari’at Islam, dan juga karena pancasila merupakan sebuah mitsaq (kesepakatan) kebangsaan antara ummat Islam dan golongan lain dari masyarakat bangsa Indonesia untuk mendirikan sebuah Negara yang berdaulat.
C. Komentar terhadap buku
Buku ini sebetulnya isinya bagus, tetapi sekilas dilihat dari sampulnya kurang memberikan daya tarik terhadap pembaca, walaupun judulnya cukup mengesankan. Karena biasanya pembaca mulai tertarik terhadap buku dimuali dari ketertarikannya dengan sampul dan judul buku. Kemudian penulisan daftar isi terdapat kesalahan, yaitu pada “bab penutup”, seharusnya pada bab V, bukan bab VI. Selanjutnya pada daftar pustaka, yang merupakan resensi yang tidak terdapat nama dari penulisnya, seharusnya dipisahkan dengan berada pada halaman berikutnya.
Isi dari buku ini cukup memberikan aspirasi yang cukup besar, terlihat dari tindakan kelompok-kelompok Islam untuk memperjuangkan ideologinya. Mereka saling mengemukakan argumen-argumen tentang ideologinya, dengan tujuan supaya ideologi dari golongannya dapat dijadikan sebagai dasar Negara.
Seharusnya pada halaman terakhir di paparkan biografi penulis, baik mengenai riwayat hidup dari penulis, maupun tentang riwayat pendidikan yang telah ditempuh, sehingga menimbulkan motivasi pembaca untuk lebih baik seperti penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar