PPC Iklan Blogger Indonesia

Rabu, 01 Juni 2011

Jagoan dari Timur (Riwayat Penuh Warna)

Ukiran sejarah militer dan kejuangan berabad lamanya, kiranya memiliki pertalian kenapa jiwa militer orang Sulawesi Selatan menitiskan tentara patriot, pejuang dan pada titik tertentu membangkang

Sampai detik ini cukup besar minat putra-putri Sulawesi Selatan memilih jalur tentara dan polisi sebagai panggilan profesi. Entah apa yang merangsangnya, tak pernah cukup jawaban yang pasti. Namun yang terang mereka menjadi militer lantaran medan pengabdian ini, selain dinilai membangkang, juga pada era 50-an, nama tentara begitu harum di Indonesia Timur.

Karena itulah cepat memikat remaja-remaja dan segera jatuh hati pada profesi militer. Tak heran anak-anak muda siap mengorbankan nyawa asal sajadibolehkan berpakaian seragam hijau sambil memanggul senjata. Mereka rela mati demi TNI.

Dewasa ini tak sedikit orang Sulsel yang menonjol dalam dunia militer, dari kopral hingga jenderal pada semua angkatan. Sebagian dari mereka dikenal mempunyai integritas sebagai prajurit pejuang, pemberani dan kesohor sebagai jago perang.

Dimata Mayjen TNI (Pur) Andi Mattalatta, salah seorang sesepuh militer Indonesia, tentara Bugis Makassar sangat menjunjung siri na pace. Menurut beliau, colonial tidak mengizinkan orang Sulsel sekolah militer. Mungkin Belanda dihantui trauma menghadapi serangan militer Makassar tempo doeloe. Andaikata dibolehkan menempuh pendidikan, tak terbayangkan bakat-bakat tentara yang tinggal menunggu polesan agar lebih mengilap.

Jago-Jago Timur
Dalam banyak hal, sejarah panjang tentara Sulsel sudah mengukir zaman keemasan. Jauh sebelum lahir TNI, berabad-abad lampau, cikal bakal keberanian anak-anak dari Jazirah Sulawesi ini mencuatkan elan tempur. Teknologi perang seperti mesiu telah mereka kuasai sehingga ia merajalela di seantero Nusantara bahkan ke semananjung Malaka. Oleh belanda, pasukan tempur laut hasanuddin, sulit ditaklutkan, sampai-sampai lawan menjuluki prajurit Makassar sebagai de haantje van het oosten (jago-jago dari Timur).

Lebih berarti lagi pasukan perang ini acap dijadikan tentara sewaan. Ia bukan melulu jagoan perang dikandangnya, namun juga menjadi incaran negeri-negeri seberang. Pasukan Makassar disewa oleh negeri jiran seperti Siam. Sebaliknya di Jawa, sisa-sisa kehebatan tentara Makassar dipatrikan dalam keratin Yogyakarta yang sampai sekarang dikenal sebagai Pasukan Daeng. Pasukan Daeng pada zaman dahulu tak lain adalah pasukan elit dan berdiri di garda depan dalam berbagai peperangan hebat.
Tersebutlah Karaeng Naba (Karaeng Galesong V) yang menyokong Hamengkubuwono I di ere Kerajaan Mataram.

Sejatinya diakui kerajaan Gowa dengan operasi militernya sangat berpengaruh dan ditakuti bahkan menundukkan kawasan Indonesia bagian Timur. Malah prajurit gagah berani ini member bala bantuan ke pusat kerajaan di pelbagai daerah di Sulawesi, Kalimantan dan Maluku.

Sebaliknya tak sedikit orang Bugis di abad 18 menjadi pemimpin perang dalam unit kerajaan di Riau, Aceh, Malaka, Sumbawa, Pasir, Tenggarong, Siam, Madura, Batavia, Singapura dan lainnya.

Walhasil, benih-benih tentara sudah ada sejak dulu kala. Apalagi kerajaan local di Sulsel sangat doyan mengankat senjata dan berperang sesame mereka. Perang Gowa-Bone, dalam rangka mencari pengaruh, misalnya, sangat memungkinkan lahirnya bibit-bibit militer tersebut.

Kegigihan dalam perang bukan isapan jempol belaka. Coba palingkan pandangan jauh ke Malak. Lihatlah misalnya Temenggong Daeng Ibrahim memajukan Johor pada abad 17. Kerajaan johor bias bertahan sebab bantuan militer tentara Bugis dalam perang regional. Pasukan Bugis kala itu disegani di malak.

Ratusan tahun sebelumnya, tepatnya 1420, Karaeng Samarluka menggunakan 400 perahu perang, menyerang dan menduduki Malaya selama tiga bulan. Tak mengenyampingkan perang Karaeng Bontomarannu dengan kekuatan 300 perahu dan 20.000 prajurit menjelajahi pesisir Jawa untuk meneror penjajah. Juga rombongan prajurit Makassar dibawah Karaeng Galesong mulai membajak laut di Jawa bagian timur. Kedua kelompok Makassar, Galesong dan Bontomarannu bersekutu untuk menguasai lautan Jawa pada abad 16.

Tak lama kemudian mereka membantu raja Madura trunajaya dalam perang local. Memang pada 1669, tak terhitung pasukan Makassar pergi keberbagai daerah antara lain Banten, untuk member dukungan tempur.

Sementara itu pasukan Makassar-Madura ini menguasai banyak pelabuhan besar di Pulau Jawa. Dengan begitu keandalan pasukan Makassar terbukti setelah mereka setelah mereka bersama Trunajaya mengalahkan Mataram dan memukul mundul pasukan Pangeran Adipati Anom pada 1676.

Tak pelak lagi, Makassar pada abad 17 adalah masyarakat yang khas di Nusantara. Kerajaan Gowa dengan pusat kekuasaannya di Makassar, melebarkan pengaruh dengan kekuatan senjata. Daerah ini menganut paham radikal disertai prinsip kemerdekaan laut, yang mirip dengan Nederland yang bermotto mare liberum. Jadi, menurut mereka, laut diciptakan oleh Tuhan untuk semua penghuni bumi bukan cuma buat Belanda. Tak terhindarkan persaingan antara pelaut Belanda dan Makassar, kian sengit.

Akhirnya kebanggan sejarah militer dan kejuangan yang gagah berani, barangkali memiliki pertalian, kenapa jiwa militer orang Sulsel menitiskan keberanian, patriot, dan pada titik tertentu menjadi pemberontak. Apakah itu kemudian menjadi salah satu pilihan favorit bagi panggilan profesi mereka. Ataukah memang diturunkan secara genetic???
Wallahu alam bissawad.

Disadur dari Majalah PINISI No. 14 Th XXIV. Maret-April 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!