PPC Iklan Blogger Indonesia

Kamis, 02 Juni 2011

Keadilan di Tapal batas Peradaban

“Hukum adalah milik kekuasaan suatu kelas masyarakat, maka kelas masyarakat yang paling dominan dalam akses kekuasaan, dialah yang disebut hukum itu sendiri.” Tulis Karl Marx. Apa yang di kemukakan Karl Marx mungkin ada benarnya, ketika hukum menjadi milik kekuasaan maka hukum diciptakan sedemikian rupa untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan agar tetap langgeng ditangan. Telah menjadi mimpi buruk rakyat, dimana keadilan hukum adalah milik orang berduit. Dan dalam berbagai teori sosiologi hukum pun menyebutkan hanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki akses informasi pendidikan yang mapan secara ekonomi yang dapat menikmati keadilan hukum. Sehingga keadilan hukum pada prakteknya akan menjadi relative.

Ambil saja gambaran system hokum Indonesia pada masa Orba (orde Baru) dan pada konteks penegakan hokum terkini terkesan morat-marit dan cenderung plin-plan. Hukum sebagai instrument keadilan seakan-akan bingung menentukan sikap, bertujuan untuk keadialan bagi rakyat atau berpihak kepada penguasa sebagai perpanjangan tangan kelompok minoritas ekonomi atau pemilik modal (capital). Telah banyak fakta yang menggambarkan perlawanan rakyat demi mendapatkan haknya yang telah dirampas melalui instrument hukum walau akhirnya hanya menjadi sebuah harapan. Sampai kini, hukum belum menentukan posisi yang sebenarnya.

Kini ditambah lagi dengan adanya dorongan deras gelombang globalisasi diseluruh penjuru dunia, akan melahirkan konsekuensi bagi peradaban umat manusia. Dimana nasionalisme kebangsaan akan terkikis. Untuk itu Negara akan menjadi tidak berarti lagi, sebab tapal batas, peradaban budaya, bahkan peradaban ideology sekalipun bukanlah menjadi hal yang subtansial lagi. Karena gaung melenium telah bergema, pertanda peradaban suatu Negara ditentukan dari kesiapan Negara tersebut dalam berkompetisi dibidang ekonomi (ekonomi competition state).

Hal ini pun diikuti dengan terjadinya pergerakan perubahan fungsi dan tujuan system hokum dunia, dimana antara system hokum besar Barat (Common Law and Aglo Saxon) sebagai system hokum yang mendominasi system hokum kecil yang hidupa dalam masyarakat berkembang (Living law) menjadi permasalahan social ekonomi yang akut. Karena perbedaan prinsip keadilan-nya menjadikan semua manusia berfikir keras untuk memecahkan permasalahan ini. Walhasil, berbicara produk hokum, maka berbicara kepentingan penguasa akses secara capital.

Padahal secara teoritik dan filosofis, hokum memang diwujudkan untuk memenuhi keadilan disetiap lapisan masyarakat, ternyata hukum belum tentu mencerminkan rasa keadilan pada tingkat praksisnya. Pada dataran tertentu, semua orang, baik praktisi hukum, intelektual, akademisi melihat hukum sebagai sebuah institusi yang harus dijalankan dengan penuh ketaatan dan dipatuhi. Pijakan yang selalu diambil adalah bagaimana terciptanya law enforcement (penegakan hukum) yang tegas dan tidak pilih kasih. Dengan hanya mengandalkan pada aparatur penegak hukum dan berbagai instumen hukum menjadikan wujud keadilan kabur. Tentunya, akan terlihat jelas kearah manakah perspektif hukum yang akan diambil dalam konteks saat ini dan kemudian hari.

Untuk itu gencarnya isu penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi politik melalui instrument hokum-pasca reformasi 1998—apakah menjadi titik tolak perwujudan demokrasi atau hanya sebagai lips service politik penguasa dalam kerangka meredam resistensi rakyat. Dan kenyataannya isu penegakan HAM dan demokrasi politik tak menyentuh akar permasalahan masyarakat Indonesia.

Hal diatas ternyata juga memaksa Negara-negara berkembang tergiring dan diarahkan secara sistematis pada satu system hukum besar yang mendukung dan menjaga sirkulasi modal dinegara yang bersangkutan. System hukum disiapkan untuk kemantapan instrument pasar, alas an sederhana yang dikemukakan kapitalisme dalam menancapkan kekuasaannya adalah supaya proses persaingan bebas berjalan dengan baik maka dibutuhkan aturan main rule of law. Akhirnya Indonesia sebagai Negara berkembang dipaksa mengikuti pergerakan perubahan system hukum dunia karena liberalisasi ekonomi menjadi sebuah syarat mutlak menuju kesejahteraan semu masyarakat Indonesia ala kapitalisme.

Dalam laporan khusus ini kami mengupas keberadaan system hukum dan kekuatan daya tawar masyarakat selaku pelaku dan control hukum yang efektif. Sekarang, di era derasnya pusaran globalisasi serta liberalisasi, akankah hukum dan instrumennya lahir dan tumbuh dari dialektika masyarakatatau hukum hanya akan menjadi letigimasi kekuasaan dan penanam modal untuk menjadikan rakyat semakin tidak berdaya, marginal dan pada akhirnya menjadi orang asing di negerinya sendiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!