PPC Iklan Blogger Indonesia

Kamis, 02 Juni 2011

Angkringan, Potret Suasan Malam

Gerobak kayu, temaran sinar lentera, kehangatan api tungku tradisional, menggambarkan kesederhanaan malam yang sesaat. Sanggupkah bertahan dari derasnya arus modernisasi?

Jaman berubah drastic, berbagai pemikiran modern, mulai mengikis budaya tradisional. Yogyakarta yang memiuliki nuansa ini, menawarkan kesederhanaan dan keramahtamahannya lewat aktivitas ekonomi masyarakatnya seperti angkringan, jajanan alternative ditengah semaraknya iklan KFC (Kentucky Fried Cicken) dan MC Donald. Saat berkunjung disebuah angkringan di Jalan Sultan Agung depan Biaskop Permata, tampak suasana kakeluargaan dan kebersamaan tertuang dalam obrolan santai antar pengunjung. Kehangatan wedan jahe, gurihnya gorengan, keramangan lampu teplok dan hawa anglo yang hangat, mampu mengikis dinginnya malam.

Pak Giat (48) nama sapaan, mulai berdagang angkringan sejak tahun 1992 dan dilakukan disela-sela bertani sebagai mata pencarian pokoknya. Berdagang angkringan hanya sampingan sampil musin tanam atau musim panen tiba. Sepuluh hari berdagan sepuluh hari kemudian turun kesawah atau kekebun.

“Kalau sepuluh hari tak berdagang, apakah tidak takut ditinggal pelanggan, pak?”
Oh, tentu tidak, sebab digantikan dengan sama keponakan saya dari kampung, Gunawan (26). Dia selain petani, juga pedagan angkringan.” Jelas pak Giat.
“Ngomong-ngaomong, berapa keuntungan setiap malamnya?”.

“Pendapatan rata-rata dua puluh ribu dan kadang-kadang bisa sampai tiga puluh ribu rupiah semalam, maka uang yang terkumpul sekitar enam ratus ribu rupiah (sebulan). Dipotong kebutuhan hidup dan sewa gerobak selama di Jogja, jadi hanya sekitar Rp. 350.000. keuntungan bersihnya dan itu belum masuk transportasinya kekampung sekitar Rp. 30.000.” tambahnya. Penghasilan dari berdagang digunakan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari, sedangkan biaya pendidikan ketiga anaknya diambil dari hasil sawah yang hanya seluas dua petak.

Dia cuman bisa berharap agar harga-harga turun dan angkringan dapat diperhatikan keberadaannya. “ Karena dari sinilah dapur keluarga saya tetap ngebul.” Tambahnya.
Dibalik cirri khasnya, angkringan ternyata member secercah harapan dengan bermodal kesederhanaan, pak Giat harus bertahan melewati masa krisis ini walaupun harus tertatih-tatih karena minimnya modal.

“Dulu namanya sekoteng. Lalu berubah menjadi warung koboi, karena pergeseran waktu maupun modernisasi semakin berkembang, lama-lama lebih akrab dikenal dengan sebutan angkringan,” cerita pak Suardi (49) yang saat itu berada diangkringan pak Giat. Yang sering mangkal di Pasar Sentul, tepat didepan halaman Pakualaman. Bapak 4 anak ini mengaku sudah 20 tahun berdagang angkringan. Ia juga seorang petani di desa Karang asem, Klaten.

Dengan pengunjung yang kebanyakan tukang becak, anak kost (terutama saya pribadi) dan orang-orang yang lewat sore ataupun malam hari, ternyata masih sering dipunguti retribusi sebesar seribu rupiah dengan alas an untuk kebersihan dan belum lagi retribusi dari RT dimana daerah lingkungan tempat ia berdagang.
Keberadaang angkringan jauh dari perhatian kebijakan ekonomi nasional. Saat globalisasi ekonomi menjadi pandangan hidup, maka seluruh sector ekonomi domestic harus mampu bersaing dengan modal luar negeri. Yang terlihat kemudian adalah modernisasi mendominasi segala lini kehidupan. Tak ayal lagi, pola konsumsi masyarakat juga ikit terbawa.

“Saya berjuang angkringan karena kecewa dengan keadaan, “tegas Yono (36), pedagang angkringan yang biasa mangkal di depan Super Market Jl. Glagasari.
“Dengan ijasah SD siapa sih, yang mau mempekerjakan, sedangkan lulusan sarjana banyak yang menganggur atau jadi kuli”, ungkapnya. Menurut dia sekolah setinggi apapun ujung-ujungnya untuk bekerja dengan harapan kelak berpenghasilan tinggi. Tingginya biaya pendidikan sangat tidak seimbang dengan penghasilan dari angkringan yang sangat minim.

“Bayangkan Mas! Seperti apa ini, dengan penghasilan kecil harus juga berhadapan dengan kejamnya malam.” Tegas lelaki yang biasa dipanggil Mugi ini.
“Saya kira hidup itu indah seperti sinetron. Kekerasa tidak pernah ada, hidup tinggal menikmati, asalkan bekerja dengan normal. Saya kesal dengan abdi Negara kita, Mas! Sebab mereka setiap malam menarik retribusi, tetapi tak mau pernah menjaga kami dari preman. Saat ada operasi penertiban, gerobak saya diangkut begitu saja hingga banyak dagangan hancur tanpa pernah mendapatkan ganti rugi.” Ungkapnya penuh dengan emosi.

Pada era millenium III ini, dari awal hingga kini telah menambah catatan peradaban manusia. Masyarakat Indonesia pun dituntut untuk selalu siap. Pada era tahun 2010 an ini merupakan era medan perang ekonomi, dimana Negara hanya sebagai pengawas sirkulasi transaksi dan distribusi ekonomi, sedangkan sang pengatur adalah pasar yang komandoi oleh pemilik modal di seluruh dunia. Konsekwensinya harus ada kesiapan lapisan ekonomi bawah, salah satunya angkringan. Walaupun bemum memberikan kontribusi ekonomi yang berarti, paling tidak inilah proses dari kemandirian kekuatan ekonomi rakyat. Atau kita akan biarkan angkringan bersaing dengan KFC dalam merebut pasar?

Seharusnya penguasa sudah saatnya melihat kondisi realitas social masyarakat lapisan bawah, agar orang-orang seperti Pak Giat, Pak Suardi dan Mugi mampu mewujudkan tujuan hidupnya, bukan sekedar impian dalam sinetron

By: Buyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

morzing.com dunia humor dan amazing!